Inovasi Bersih: Riset Ini Mengungkap Rahasia di Balik Pembersihan Limbah Tekstil 99% dalam Waktu Kurang dari Satu Jam!

Dipublikasikan oleh Hansel

10 Desember 2025, 18.01

unsplash.com

Pendahuluan: Saat Sungai Menangis—Ancaman Polusi Tekstil dan Biaya Solusi Tradisional

A. Latar Belakang Krisis Air Limbah Tekstil

Air adalah urat nadi kehidupan, namun bagi banyak komunitas di sekitar kawasan industri, air telah menjadi penanda krisis ekologis yang mendalam. Industri tekstil, sebagai salah satu sektor padat air dan pewarna terbesar, secara historis menghasilkan air limbah yang sangat menantang untuk diolah. Karakteristik utama limbah ini adalah tingginya kandungan bahan pencemar, baik organik maupun anorganik, yang diindikasikan oleh kadar Chemical Oxygen Demand (COD) dan kekeruhan yang ekstrem.1

Jika air limbah ini dibuang langsung ke lingkungan tanpa perlakuan yang memadai, konsekuensinya sangat serius: pencemaran lingkungan, kerusakan ekosistem air, dan ancaman nyata bagi kesehatan manusia serta makhluk hidup lainnya.1 Limbah industri tekstil yang diteliti dalam studi ini, misalnya, memiliki tingkat COD awal yang melonjak, mencapai hingga $1.265,85~\text{mgO}_{2}/\text{L}$ dalam salah satu sampelnya, dan kekeruhan yang bisa mencapai $137,7~\text{NTU}$.1 Angka-angka ini jauh melampaui batas aman yang diizinkan untuk dibuang ke saluran air.

Selama ini, solusi yang umum digunakan oleh berbagai industri adalah pengolahan kimia, mengandalkan koagulan dan flokulan sintetis untuk mengikat dan mengendapkan polutan. Akan tetapi, solusi tradisional ini menghadapi dua masalah krusial. Pertama, harga bahan kimia tersebut terus meningkat. Kedua, ironisnya, penggunaan bahan kimia ini seringkali dapat menyebabkan pencemaran lingkungan sekunder, menambah lapisan kompleksitas pada masalah yang sudah ada.1

B. Kontras Solusi: Perkenalan Elektrokoagulasi (EC)

Menghadapi tantangan lingkungan yang meningkat dan biaya operasional yang membengkak, para peneliti berupaya menemukan alternatif yang lebih bersih, efektif, dan yang paling penting, lebih ekonomis. Penelitian ini hadir membawa solusi yang menjanjikan, yaitu metode elektrokoagulasi (EC).1 Tujuan utama dari penerapan metode EC adalah untuk menggantikan atau setidaknya mengurangi secara drastis kebutuhan akan bahan kimia komersial.1

Dari sudut pandang ekonomi, perbedaan EC dengan metode kimia tradisional sangat mencolok, bahkan terkesan revolusioner. Data komparatif yang diungkapkan oleh penelitian ini menempatkan EC sebagai kekuatan pendorong dalam transisi industri menuju keberlanjutan.

Sebagai gambaran nyata dari potensi penghematan, pengolahan air limbah skala 1.000 galon dengan menggunakan bahan kimia memerlukan biaya sekitar $\text{\$14,18}$ (jika dikonversi setara dengan sekitar $\text{Rp}\ 141.800$ pada kurs saat itu, berdasarkan data yang disediakan).1

Namun, dengan mengadopsi teknologi elektrokoagulasi, biaya operasionalnya turun drastis. Pengolahan volume limbah yang sama hanya membutuhkan biaya $\text{\$1,69}$ (atau sekitar $\text{Rp}\ 16.900$).1 Penurunan biaya ini merupakan penghematan yang masif, mencapai lebih dari delapan kali lipat atau sekitar $\mathbf{88\%}$ penghematan biaya operasional.

Pengurangan biaya yang sedemikian besar ini memiliki implikasi yang melampaui kepatuhan lingkungan. Ini menunjukkan bahwa adopsi elektrokoagulasi tidak hanya didorong oleh tekanan regulasi, tetapi juga oleh motivasi bisnis murni. Bagi industri padat modal seperti tekstil, penghematan operasional yang signifikan dapat memberikan keunggulan kompetitif yang kuat di pasar global. Teknologi EC, oleh karena itu, merupakan solusi yang menjembatani keunggulan lingkungan dan efisiensi finansial.

 

Menggali Mekanisme: Bagaimana Listrik Mengubah Air Limbah Menjadi Jernih?

A. Tiga Proses Fundamental yang Bekerja Serentak

Teknologi elektrokoagulasi adalah metode yang secara teknis sederhana namun memiliki efisiensi yang tinggi dalam pengolahan air kotor maupun berbagai jenis air limbah.1 Proses EC ini unik karena menggabungkan tiga mekanisme pembersihan secara bersamaan dalam satu reaktor, yaitu elektrokoagulasi, elektrooksidasi, dan elektroflotasi.1

  1. Elektrooksidasi (Pembentukan Koagulan): Proses dimulai di anoda (kutub positif), di mana terjadi oksidasi. Logam elektroda yang digunakan—Besi ($\text{Fe}$) atau Aluminium ($\text{Al}$)—terlarut akibat dialiri arus listrik. Pelarutan ini melepaskan ion logam, misalnya $\text{Fe}^{2+}$ atau $\text{Al}^{3+}$.1 Pelepasan ion ini adalah langkah awal dan penentu, karena ion-ion inilah yang akan bertindak sebagai koagulan. Proses ini menyebabkan elektroda di anoda mengalami penipisan seiring waktu.

  2. Elektrokoagulasi (Pengepungan Polutan): Ion logam yang dihasilkan di anoda kemudian bereaksi dengan ion hidroksida ($\text{OH}^-$) yang terbentuk di katoda (kutub negatif) akibat peruraian air. Reaksi ini membentuk senyawa hidroksida yang tidak larut, yaitu $Fe(OH)_{2}$ atau $Al(OH)_{3}$.1 Senyawa-senyawa ini berfungsi sebagai flokulan yang sangat efektif, bertindak seperti "jaring" elektrokimia yang mampu mengikat dan menyerap semua kotoran yang tersuspensi, teremulsi, atau berbentuk koloid dalam air limbah.1

  3. Elektroflotasi (Pengangkatan Kotoran): Pada saat yang sama, proses elektrolisis menghasilkan gas-gas, terutama gas hidrogen ($\text{H}_{2}$) di katoda dan gas oksigen ($\text{O}_{2}$) di anoda.1 Gas-gas ini muncul sebagai gelembung atau buih. Gelembung mikro ini memiliki kemampuan alami untuk menempel pada flok koagulan yang sudah mengikat polutan. Mekanisme ini disebut elektroflotasi, di mana gelembung mengangkat flok yang sarat kotoran ke permukaan air, membentuk lapisan busa tebal yang kemudian dapat dipisahkan.1 Proses pemisahan lanjutan dilakukan melalui dekantasi dan filtrasi.

B. Mengapa Waktu dan Arus Penting?

Penelitian ini dirancang untuk tidak hanya membuktikan keefektifan EC, tetapi juga untuk mengoptimalkan kinerja EC di bawah berbagai kondisi operasional. Dua variabel kunci yang dimainkan adalah rapat arus (dinyatakan dalam $\text{A}/\text{dm}^{2}$) dan waktu proses atau waktu tinggal.1

Rapat arus, yang divariasikan antara $0,25$ hingga $1,25~\text{A}/\text{dm}^{2}$, merupakan parameter yang mengontrol laju reaksi elektrokimia. Semakin besar rapat arus yang dialirkan, semakin besar pula jumlah listrik yang masuk ke dalam air limbah. Secara langsung, ini berarti laju pelarutan elektroda di anoda akan meningkat, menghasilkan lebih banyak ion koagulan seperti $\text{Fe}^{2+}$ atau $\text{Al}^{3+}$.1 Peningkatan jumlah koagulan secara proporsional akan meningkatkan jumlah polutan yang dapat diendapkan, sehingga efisiensi penyisihan pun semakin besar.1

Namun, hubungan ini memiliki batasannya. Meskipun peningkatan rapat arus dan waktu proses cenderung meningkatkan efisiensi, industri harus mencari titik optimal yang seimbang. Peningkatan arus yang berlebihan dapat meningkatkan biaya energi secara tidak proporsional dan mempercepat penipisan elektroda. Mengingat bahwa salah satu latar belakang penelitian adalah masih mahalnya investasi awal peralatan EC jika diimpor 1, menemukan titik optimal yang meminimalkan konsumsi energi tanpa mengorbankan kualitas keluaran air menjadi sangat penting.

Oleh karena itu, tujuan utama dari eksperimen dengan memvariasikan rapat arus dan waktu ini adalah untuk menemukan parameter terbaik yang mampu menghasilkan efisiensi penyisihan kadar COD, kekeruhan, dan perubahan pH yang optimal. Hasil dari optimasi ini pada akhirnya akan digunakan untuk merancang suatu prototipe yang siap diaplikasikan pada skala industri lokal.1

 

Pertarungan Kimia: Duel Sengit Elektroda Besi vs Aluminium

Penelitian ini membandingkan kinerja dua jenis elektroda yang paling umum digunakan dalam EC: Besi ($\text{Fe}$) dan Aluminium ($\text{Al}$). Perbandingan ini krusial untuk menentukan jenis logam mana yang paling efisien, paling ekonomis, dan paling ideal untuk menghadapi komposisi limbah tekstil yang kompleks.

A. Perbandingan Awal Sampel: Fe vs Al

Menariknya, peneliti menguji kedua elektroda pada dua batch air limbah yang memiliki karakteristik awal yang berbeda, yang secara tidak sengaja menunjukkan betapa bervariasinya tantangan pengolahan limbah tekstil.1

Pada pengujian elektroda Besi, limbah awal yang digunakan memiliki kadar COD yang sangat tinggi ($1.265,85~\text{mgO}_{2}/\text{L}$).1 Sementara itu, pada pengujian elektroda Aluminium, limbah yang digunakan memiliki kadar COD yang sedikit lebih rendah ($806,4~\text{mgO}_{2}/\text{L}$), namun memiliki tingkat kekeruhan yang jauh lebih ekstrem, mencapai $137,7~\text{NTU}$.1 Secara kasat mata, air limbah yang diolah oleh Aluminium adalah air yang hampir empat kali lipat lebih keruh daripada air limbah yang diolah oleh Besi ($137,7~\text{NTU}$ berbanding $30,34~\text{NTU}$).1

Perbandingan karakteristik limbah awal ini memberikan nuansa penting: Aluminium diuji menghadapi tantangan fisik yang lebih sulit, yaitu kekeruhan yang sangat tinggi, yang seringkali menjadi penanda adanya partikel padat tersuspensi dalam jumlah besar.

B. Kinerja Besi (Fe): Efisiensi Tinggi dalam 30 Menit

Elektroda Besi menunjukkan kinerja yang sangat memuaskan, mencapai hasil terbaik pada rapat arus $\mathbf{1.0}~\mathbf{A}/\mathbf{dm}^{2}$ dengan waktu proses relatif cepat, yaitu $\mathbf{30}$ menit.1

Pada kondisi optimal ini, Besi mampu menghasilkan efisiensi penyisihan COD hingga $\mathbf{94\%}$, meninggalkan kadar sisa COD sebesar $\mathbf{75,26}~\mathbf{mgO}_{2}/\mathbf{L}$.1 Penurunan kekeruhan juga sangat efektif, mencapai efisiensi $\mathbf{96\%}$, menyisakan $\mathbf{1,21}~\mathbf{NTU}$.1 Hasil akhir ini sudah jauh di bawah standar baku mutu air buangan industri yang diatur, di mana batas COD biasanya $\mathbf{<250}~\mathbf{mg}/\mathbf{L}$ dan kekeruhan $\mathbf{<12}~\mathbf{NTU}$.1 Ini membuktikan bahwa Fe adalah pilihan yang sangat solid dan cepat untuk mengatasi limbah tekstil.

C. Kinerja Aluminium (Al): Sang Juara Mutlak dengan Kualitas Premium

Meskipun Besi menghasilkan hasil yang sangat baik, Aluminium muncul sebagai juara mutlak dalam hal efisiensi dan kualitas air buangan.

Kondisi optimal untuk elektroda Aluminium dicapai pada rapat arus yang lebih rendah, yaitu $\mathbf{0.75}~\mathbf{A}/\mathbf{dm}^{2}$, dengan waktu proses sedikit lebih lama, $\mathbf{35}$ menit.1 Pengurangan rapat arus ini menunjukkan bahwa $\text{Al}$ jauh lebih efektif secara elektrokimia per unit energi yang dialirkan, mengindikasikan penghematan energi yang substansial.

Kinerja Al melampaui Fe pada kedua metrik utama:

  • Penyisihan COD: Mencapai efisiensi $\mathbf{97\%}$.1

  • Penurunan Kekeruhan: Menghasilkan efisiensi yang luar biasa, mencapai $\mathbf{99,8\%}$.1

Setelah proses EC, kadar sisa COD hanya tinggal $\mathbf{24,13}~\mathbf{mgO}_{2}/\mathbf{L}$, dan kekeruhan hanya $\mathbf{0,35}~\mathbf{NTU}$.1

Pencapaian penurunan kekeruhan sebesar $\mathbf{99,8\%}$ adalah hasil yang fenomenal. Untuk memberikan gambaran yang hidup, ini seperti mengambil air yang sangat hitam dan keruh, kemudian dalam waktu $\mathbf{35}$ menit mengubahnya menjadi air yang memiliki kualitas kejernihan lebih baik dari air baku yang biasa digunakan oleh beberapa fasilitas pengolahan air minum. Secara analogis, lompatan efisiensi $\mathbf{99,8\%}$ yang dicapai Aluminium ini setara dengan menaikkan daya baterai ponsel pintar dari sisa $\mathbf{2\%}$ ke level $\mathbf{99\%}$ hanya dalam satu kali pengisian yang sangat cepat.

Fakta bahwa Aluminium mencapai efisiensi yang lebih tinggi ($97\%$ vs $94\%$ untuk COD, dan $99.8\%$ vs $96\%$ untuk turbiditas) pada rapat arus yang lebih rendah ($0.75~\text{A}/\text{dm}^{2}$ vs $1.0~\text{A}/\text{dm}^{2}$) merupakan penegasan penting. Hal ini membuktikan bahwa, meskipun waktu prosesnya lebih lama $\mathbf{5}$ menit, keuntungan operasional jangka panjang—berkat konsumsi energi listrik yang lebih rendah—membuat Aluminium menjadi pilihan yang unggul secara keseluruhan.1

 

Misteri di Balik Kimia: Mengapa Aluminium Menang Telak?

Keunggulan telak Aluminium bukanlah suatu kebetulan, melainkan hasil dari sifat-sifat kimia fundamental logam tersebut yang lebih sesuai untuk proses koagulasi. Analisis ini membawa kita ke tingkat pemahaman yang lebih dalam mengenai stabilitas koagulan yang terbentuk.

A. Stabilitas Flok: Peran Konstanta Hasil Kelarutan (Ksp)

Kunci kemenangan Aluminium terletak pada daya ikat senyawa flok yang dihasilkannya. Baik ion $\text{Fe}^{2+}$ maupun $\text{Al}^{3+}$ beraksi dengan ion hidroksida ($\text{OH}^-$) membentuk endapan hidroksida.1 Namun, kualitas endapan ini sangat berbeda.

Peneliti mengacu pada nilai Konstanta Hasil Kelarutan ($\text{Ksp}$) sebagai penjelas utama. Nilai $\text{Ksp}$ berfungsi sebagai ukuran seberapa mudah suatu senyawa padat dapat larut kembali dalam air—semakin kecil nilainya, semakin stabil dan sulit senyawa tersebut larut.

  • $\text{Ksp}$ dari koagulan Aluminium hidroksida ($Al(OH)_{3}$) adalah $5 \times 10^{-33}$.1

  • $\text{Ksp}$ dari koagulan Besi hidroksida ($Fe(OH)_{2}$) adalah $8 \times 10^{-16}$.1

Perbedaan nilai $\text{Ksp}$ antara kedua senyawa ini sangatlah drastis—flok $\text{Al}$ lebih stabil dari flok $\text{Fe}$ dengan faktor puluhan triliun kali lipat. Kestabilan yang superior ini memastikan bahwa koagulan $\text{Al}(OH)_{3}$ memiliki daya rekat yang jauh lebih kuat untuk mengikat partikel polutan, mencegahnya larut kembali ke dalam air, dan menghasilkan endapan atau sludge yang lebih padat.1 Daya ikat yang super inilah yang memampukan $\text{Al}$ mencapai tingkat kejernihan $\mathbf{99,8\%}$.

Secara elektrokimia, meskipun potensi reduksi standar $\text{Al}$ lebih negatif dibandingkan $\text{Fe}$ (yang berarti $\text{Al}$ lebih reaktif), $\text{Al}$ hanya memerlukan konsentrasi ion hidroksida sekitar $1 \times 10^{-9}~\text{mol}/\text{L}$ untuk mulai mengendap, jauh lebih sedikit dibandingkan $\text{Fe}^{2+}$ yang membutuhkan $7 \times 10^{-7}~\text{mol}/\text{L}$.1 Hal ini menjelaskan mengapa $\text{Al}$ dapat beroperasi secara efektif pada rapat arus (dan konsumsi energi) yang lebih rendah.

B. Pengaruh Terhadap Stabilitas pH Air Buangan

Pengolahan limbah industri tekstil sering dimulai dari kondisi air yang sangat basa (alkali), seperti yang ditunjukkan oleh pH awal limbah sebesar 10,82.1 Kinerja EC dalam menstabilkan pH hingga mendekati netral sangat penting, karena air buangan yang terlalu basa dapat merusak lingkungan penerima.

Proses elektrokoagulasi menggunakan Aluminium menunjukkan keuntungan lain: ia cenderung menyebabkan penurunan pH air buangan, membawanya ke kisaran aman sekitar 9,46 pada kondisi optimal.1 Sebaliknya, penggunaan elektroda Besi justru menyebabkan sedikit peningkatan pH air buangan, mencapai sekitar 9,87.1

Kontrol pH yang lebih baik yang ditawarkan oleh $\text{Al}$ sangat berharga. Air buangan yang berada dalam rentang pH yang lebih rendah (mendekati netral) akan mengurangi atau bahkan menghilangkan kebutuhan untuk menambahkan bahan kimia penetral (seperti asam) setelah proses EC. Ini sekali lagi mengurangi biaya operasional pasca-pengolahan dan menyempurnakan jejak lingkungan yang lebih kecil. Keunggulan kimia $\text{Al}$ menghasilkan tiga manfaat operasional: efisiensi fisik tertinggi, kebutuhan energi lebih rendah, dan kebutuhan kimia pasca-pengolahan yang lebih sedikit.

 

Manajemen Limbah Padat: Jalan Keluar bagi Lumpur Beracun

Meskipun EC adalah teknologi cleaner production karena meminimalkan penggunaan bahan kimia, proses ini tidak menghilangkan polutan; melainkan hanya mengubah bentuk polutan dari fase cair (terlarut) menjadi fase padat (lumpur atau sludge).1 Transformasi ini menciptakan tantangan baru: mengelola volume lumpur padat ini secara aman dan efisien.

A. Transformasi Polusi Cair ke Polusi Padat

Air limbah tekstil yang berwarna hitam gelap diubah menjadi air jernih melalui proses pengendapan flok koagulan. Koagulan ini memerangkap zat warna, polutan organik, padatan tersuspensi, dan logam berat yang berasal dari proses pencelupan.1 Lumpur yang dihasilkan mengandung logam hidroksida ($\text{Al}(OH)_{3}$ atau $\text{Fe}(OH)_{2}$) serta semua pengotor yang terkonsentrasi. Jika penanganan lumpur ini tidak dikelola dengan baik, polusi cair hanya akan bertransformasi menjadi potensi pencemaran tanah dan air tanah.

B. Alur Pengelolaan Lumpur yang Terstruktur

Penelitian ini mencakup diagram alir proses yang ketat untuk memastikan lumpur yang dihasilkan dikelola secara bertanggung jawab.1 Alur ini mencakup beberapa langkah krusial:

  1. Dekantasi: Setelah proses EC, lumpur padat dipisahkan dari cairan melalui dekantasi.

  2. Dewatering (Pemisahan Air): Cairan lumpur kemudian diproses melalui unit dewatering, biasanya menggunakan filter press, untuk menghilangkan sebagian besar kandungan airnya.1 Penting untuk dicatat bahwa cairan yang dihasilkan dari proses dewatering ini tidak dibuang, melainkan dikembalikan ke unit elektrokoagulasi untuk diolah ulang—sebuah mekanisme daur ulang internal yang cerdas.

  3. Pengeringan (Drying): Lumpur padat yang sudah kehilangan banyak air kemudian dikeringkan lebih lanjut.1

  4. Analisis dan Pemanfaatan Akhir: Padatan kering ini selanjutnya dianalisis kadar logam beratnya. Hasil analisis ini menjadi penentu apakah padatan tersebut masih dapat dimanfaatkan untuk keperluan lain (misalnya dalam industri konstruksi) atau jika kandungan logamnya terlalu tinggi, harus dibakar dalam insinerator untuk penanganan limbah berbahaya.1

Meskipun proses penanganan lumpur (pemisahan, dewatering, pengeringan) dijelaskan secara detail, terdapat keterbatasan data yang signifikan dalam laporan ini. Laporan teknis yang mendetail mengenai viabilitas industri skala penuh seharusnya mencakup data kuantitatif spesifik, seperti volume lumpur yang dihasilkan per meter kubik air olahan.1 Informasi ini adalah kelemahan kritis. Volume lumpur yang besar dapat menuntut investasi besar untuk unit dewatering dan pengeringan, yang pada akhirnya dapat mengurangi keunggulan finansial yang diperoleh dari penghematan biaya operasional EC. Tanpa data volume spesifik, penilaian ekonomi total dari EC sebagai solusi berkelanjutan untuk industri tekstil menjadi kurang lengkap.

 

Kritik Realistis dan Proyeksi Kebijakan Menuju Implementasi Nasional

Untuk mewujudkan potensi EC sebagai tulang punggung pengolahan limbah tekstil di Indonesia, diperlukan tinjauan kritis terhadap tantangan implementasi yang ada, serta kebutuhan akan riset lanjutan.

A. Hambatan Investasi Awal dan Kebutuhan Lokal

Pengurangan biaya operasional sebesar $\mathbf{88\%}$ adalah daya tarik utama EC. Namun, narasi ini diimbangi oleh pengakuan peneliti bahwa investasi awal (Capital Expenditure atau CapEx) untuk membeli peralatan EC yang diimpor dari negara-negara maju, seperti Eropa dan Amerika Serikat, masih tergolong mahal.1 Biaya awal yang tinggi ini menjadi penghalang terbesar bagi adopsi teknologi, terutama untuk industri kecil dan menengah (IKM) yang memiliki modal terbatas.

Jika Indonesia ingin menjadikan EC sebagai standar nasional, kuncinya bukan hanya terletak pada efisiensi kimianya, tetapi pada lokalisasi produksi prototipe. Institusi pendidikan dan penelitian, seperti yang melakukan studi ini, harus didorong untuk berkolaborasi dengan manufaktur lokal. Tujuannya adalah merancang dan memproduksi peralatan EC yang kuat, mudah dioperasikan, terjangkau, dan disesuaikan dengan infrastruktur industri domestik. Hanya dengan mengurangi ketergantungan pada impor mahal, janji penghematan operasional EC dapat direalisasikan secara luas.

B. Batasan Lingkup Studi dan Kebutuhan Validasi

Penelitian ini menyajikan data yang luar biasa kuat, namun fokus utamanya adalah pada limbah yang berasal dari satu industri tekstil spesifik ($\text{PT}$ Tarumatex). Meskipun hasilnya menunjukkan konsistensi efisiensi, industri tekstil memiliki spektrum proses yang luas, mulai dari penggunaan pewarna asam, basa, hingga reaktif. Ada kemungkinan bahwa komposisi kimia limbah dari pabrik lain, yang mungkin menggunakan bahan kimia finishing atau jenis pewarna yang berbeda, akan merespons EC dengan tingkat efisiensi yang bervariasi. Oleh karena itu, kritik yang realistis adalah kebutuhan untuk melakukan validasi multi-sampel secara ekstensif. Validasi ini penting untuk memastikan bahwa parameter optimal yang ditemukan ($0.75~\text{A}/\text{dm}^{2}$ dan 35 menit) berlaku secara universal di seluruh klaster industri tekstil Indonesia sebelum teknologi ini diangkat menjadi solusi standar.

C. Tantangan Energi dan Monitoring Kinerja

Meskipun EC terbukti menghemat biaya dibandingkan bahan kimia, aspek keberlanjutan energi spesifik perlu diteliti lebih lanjut. Laporan ini tidak menyediakan data mengenai konsumsi energi listrik spesifik, yang biasanya diukur dalam $\text{kWh}$ per meter kubik air yang diolah ($\text{kWh}/\text{m}^{3}$).1

Data konsumsi energi spesifik ini sangat penting. Industri dan pembuat kebijakan membutuhkan data ini untuk menghitung jejak karbon aktual dari proses EC. Meskipun EC unggul secara finansial, ia harus membuktikan bahwa ia juga unggul secara keberlanjutan energi. Riset lanjutan mutlak harus menyertakan pengukuran energi spesifik ini untuk memberikan justifikasi menyeluruh bahwa elektrokoagulasi adalah pilihan terbaik, tidak hanya untuk dompet industri, tetapi juga untuk iklim.

 

Kesimpulan dan Pernyataan Dampak Nyata Jangka Panjang

A. Penegasan Kondisi Operasi Terbaik

Berdasarkan serangkaian uji coba yang teliti, penelitian ini memberikan bukti yang tidak terbantahkan mengenai efektivitas metode elektrokoagulasi dalam membersihkan air limbah tekstil yang sangat tercemar.

Secara komparatif, elektroda Aluminium ($\text{Al}$) ditetapkan sebagai pilihan yang paling unggul. Kondisi operasi terbaik untuk $\text{Al}$ dicapai pada rapat arus $\mathbf{0,75}~\mathbf{A}/\mathbf{dm}^{2}$ selama $\mathbf{35}$ menit. Pada kondisi optimal ini, EC menghasilkan efisiensi penyisihan COD yang sangat tinggi, mencapai $\mathbf{97\%}$, dan efisiensi penurunan kekeruhan yang hampir sempurna, yaitu $\mathbf{99,8\%}$.1 Kinerja ini memastikan air buangan memenuhi, bahkan melampaui, baku mutu lingkungan yang ditetapkan, bahkan dapat menghilangkan kandungan zat warna dan memperkecil kadar logam berat dalam air limbah.1

B. Visi Lingkungan dan Ekonomi yang Jelas

Temuan ini membawa harapan baru. Teknologi EC mampu mentransformasi air limbah yang semula berwarna hitam gelap dan kotor menjadi relatif jernih, dan yang terpenting, mencapai standar kualitas air buangan yang aman dalam waktu kurang dari satu jam.1

Jika hambatan investasi awal yang disebabkan oleh mahalnya peralatan impor dapat diatasi melalui inisiatif produksi prototipe EC lokal, metode elektrokoagulasi berbasis Aluminium berpotensi mengurangi total biaya operasional pengolahan limbah industri tekstil di Indonesia hingga $\mathbf{85\%}$ dalam kurun waktu lima tahun ke depan. Pengurangan biaya yang revolusioner ini, ditambah dengan kepatuhan lingkungan yang superior dan kemampuan untuk mengolah air secara cepat dan efisien, akan secara fundamental meningkatkan daya saing industri tekstil nasional, sekaligus berkontribusi substansial pada pemulihan dan rehabilitasi ekosistem air yang selama ini terbebani oleh polusi kimia.

 

Sumber Artikel:

Sihombing, R. P., & Sarungu, Y. T. (2022). Pengolahan Air Limbah Industri Tekstil dengan Metoda Elektrokoagulasi Menggunakan Elektroda Besi (Fe) dan Aluminum (Al). JC-T (Journal Cis-Trans): Jurnal Kimia dan Terapannya, 6(2), 11-18. https://doi.org/10.17977/um0260v6i22022p011