KOMPAS.com - Dekarbonisasi atau pembatasan emisi karbon dioksida adalah proses yang rumit karena harus merancang ulang jalannya kegiatan perekonomian. Saat ini, sistem energi netral iklim membutuhkan sejumlah besar bahan baku penting untuk menginstalasi dan menyimpan energi terbarukan.
Kian ambisiusnya target penanggulangan perubahan iklim dan naiknya harga bahan baku telah membuat investasi energi terbarukan menjadi lebih mahal dan lebih rentan terhadap ketegangan geopolitik. Masalah pandemi, investasi, rantai pasokan, dan logistik juga ikut memperburuk situasi.
Baru-baru ini dilaporkan bahwa harga panel surya yang sebagian besar diproduksi di China lebih mahal dan sulit ditemukan di pasaran. Para ahli pun memprediksi masalah ini akan tetap ada dalam beberapa tahun mendatang
Harga komoditas terus bergejolak
"Harga sejumlah bahan baku meningkat signifikan dalam beberapa bulan terakhir, tetapi tentu saja harga minyak dan gas alam juga meningkat secara signifikan," Direktur Pusat Inovasi dan Teknologi IRENA, Dolf Gielen, mengatakan kepada DW. IRENA adalah Badan Energi Terbarukan Internasional.
Pakar perencanaan energi ini juga menambahkan bahwa permintaan bahan baku yang lebih tinggi didorong oleh besarnya permintaan bahan baku terkait produksi mobil elektrik "karena banyak pabrik baterai baru sedang dibangun.
" Ia menambahkan bahwa ketidakpastian tetap ada, antara lain dapat berupa bentuk dan material dasar pembuatan generasi baterai masa depan. "Seperti apa baterainya, tepatnya, masih menjadi tanda tanya," kata Gielen.
"Beberapa tahun yang lalu, semua orang berbicara tentang kobalt, tetapi sekarang sepertinya jumlah kobalt yang dibutuhkan jauh lebih rendah daripada yang diperkirakan sebelumnya. Masa depan campuran bahan katoda masih belum pasti.
" Setidaknya butuh beberapa tahun dan perencanaan keamanan jangka panjang untuk mewujudkan proyek-proyek pertambangan skala besar, terutama mengingat volatilitas harga yang tinggi. Tahun 2017 harga litium anjlok, tetapi dalam beberapa bulan terakhir harganya melonjak ke level rekor baru. Menurut Gielen, kita harus terbiasa dengan fluktuasi seperti itu.
Perburuan sumber litium dan nikel
"Mengenai litium, kita butuh lima kali lebih banyak dalam penambangan pada dekade ini, tetapi ada banyak kapasitas baru yang dikembangkan," ujar Gielen.
Litium adalah material yang paling banyak dibutuhkan terutama untuk produksi baterai. Material ini tersedia di beberapa daerah. Penambangan litium itu sendiri bukanlah faktor strategis yang besar, tetapi lebih kepada pemrosesannya, tambah Gielen. "China punya posisi dominan dalam pemrosesan litium menjadi baterai, dan perusahaan China membeli banyak pasokan litium baru.
" Dalam jangka menengah, ketegangan geopolitik terkait litium kemungkinan besar dapat diatasi melalui fasilitas penambangan dan pemrosesan baru di Uni Eropa (UE). Peluang pasokan ada di Republik Ceko, Portugal, Spanyol, dan Jerman serta di negara-negara Eropa lain termasuk Inggris dan Serbia. Namun proyek pertambangan baru sulit diterima oleh warga lokal.
Nikel adalah mineral mentah utama lainnya untuk baterai. "Indonesia akan menjadi produsen utama nikel, menggantikan Filipina di posisi teratas," kata Gielen. "China kembali memproses sebagian besar sumber dayanya. Indonesia memberlakukan kebijakan lama dan mengharuskan nikel diproses langsung di dalam negeri. Jadi, China dan Indonesia akan mendominasi pasar nikel.”
Secara keseluruhan, permintaan nikel diperkirakan akan meningkat dua kali lipat dalam 10 tahun ke depan. UE memiliki simpanan nikelnya sendiri, termasuk di Finlandia dan di Kaledonia Baru.
Material tanah jarang, ada di mana? Tanah jarang atau rare earth, juga diperlukan untuk membuat magnet. Mineral ini jadi bagian ketiga dalam teka-teki transisi energi ini. China berada di depan Eropa dan Amerika, kata Beata Javorcik, Kepala Ekonom di European Bank for Reconstruction and Development.
"Pada 2010 China telah menguasai lebih dari 90% penambangan tanah jarang," kata Javorcik kepada DW. "Negara ini mengejutkan dunia dengan memberlakukan pembatasan ekspor. AS dan UE menentang keputusan itu dan menang, tetapi masih ada beberapa kekhawatiran bahwa pembatasan ekspor mungkin akan kembali berlaku."
China bukan satu-satunya negara yang memberlakukan pembatasan ekspor. "Meskipun pembatasan ekspor adalah ilegal menurut aturan WTO, itu tetap terjadi," kata Javorcik. Ekonom yang berbasis di London ini menjelaskan bahwa ikatan internasional yang kuat adalah kunci agar pasar bahan baku yang minim ini bisa tetap berfungsi dengan baik.
Selain hubungan rumit antara AS dan China, ketegangan juga mungkin muncul sebagai konsekuensi dari upaya UE untuk menghindari kebocoran karbon. Ini memicu perilaku perusahaan untuk memindahkan produksi mereka yang intensif karbon ke luar negeri tempat mereka mungkin menemukan standar yang lebih longgar.
Opsi dan alternatif bagi UE
Sejumlah institusi di UE juga tengah mengerjakan beberapa program untuk mendukung penciptaan rantai pasokan lokal yang digerakkan oleh pasar untuk produksi baterai.
Awal bulan ini, perusahaan Neo Performance Materials asal Kanada mengumumkan rencana investasi pada tanah jarang di Estonia. Pemasok bahan canggih ini juga berencana memproduksi magnet permanen pada 2024.
Terlepas dari investasi baru-baru ini, UE masih bergantung pada impor logam tanah jarang, dan baterai. Namun blok ini kuat di sektor energi angin.
"Sekitar 99 persen turbin angin yang dipasang di Eropa diproduksi di benua ini. Karena perusahaan-perusahaan Eropa memimpin di bidang ini, kita dapat menetapkan standar teknologi internasional," kata Alexander Vandenberghe, manajer penelitian dan inovasi di Association Wind Europe. Ia menambahkan bahwa turbin angin tidak akan berubah drastis dalam beberapa tahun ke depan.
Karena itu, kebutuhan industri angin untuk bahan baku kritis dapat direncanakan sebelumnya, dan ini menciptakan kepastian di sektor pertambangan. Namun di sisi lain, industri angin UE sangat bergantung pada impor tanah jarang. Kenaikan harga yang drastis dapat memperlambat ekspansi sektor ini.
Selama lima tahun ke depan, sektor angin Eropa kemungkinan akan menderita meskipun ada produksi dalam negeri. "Harga bahan baku yang tinggi saat ini mempersulit perusahaan energi angin di Eropa," Manajer Komunikasi Wind Europe, Christoph Zipf.
Sumber: www.kompas.com