Hambatan Perdagangan di Angola 2025: Kenaikan Tarif, Pembatasan Impor, dan Ketidakpastian Regulasi yang Membentuk Lingkungan Usaha

Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat

28 November 2025, 22.10

Angola memasuki 2025 dengan serangkaian kebijakan perdagangan yang semakin proteksionis. Walaupun negara ini memiliki kerangka kerja sama perdagangan dengan Amerika Serikat melalui Trade and Investment Framework Agreement (TIFA), arah kebijakan internalnya justru bergerak menuju penguatan kontrol negara atas arus barang, devisa, dan perizinan komersial.

Bagian laporan 2025 National Trade Estimate menggambarkan Angola sebagai salah satu pasar yang paling menantang di Afrika bagi eksportir dan investor internasional. Hambatan yang dihadapi bukan hanya berupa tarif yang tinggi, tetapi juga pembatasan kuantitatif, pelarangan impor untuk berbagai produk, ketidakpastian kebijakan kepabeanan, serta tantangan besar dalam hal valuta asing dan perizinan bisnis.

Kenaikan Tarif Besar-besaran: Proteksionisme yang Didorong Kepentingan Produksi Lokal

Angola sebelumnya memiliki tarif impor rata-rata 11%, tetapi kebijakan baru melalui Presidential Decree No. 1/24 mengubah peta tarif secara signifikan untuk mendukung produksi domestik. Banyak kebutuhan pokok dikenakan tarif jauh lebih tinggi, termasuk:

  • susu: naik dari 10% menjadi 40%,

  • beras: dari bebas bea menjadi 20%,

  • tepung terigu: dari 20% menjadi 50%,

  • minyak sayur dan minyak sawit: naik dari 10% menjadi 40%,

  • gula tebu: naik dari 10% menjadi 30%.

Pemerintah berargumen bahwa kenaikan ini bertujuan mendorong substitusi impor dan meningkatkan kapasitas produksi lokal. Namun, para analis di Angola memperingatkan risiko kelangkaan karena negara tersebut hanya benar-benar swasembada pada beberapa komoditas seperti pisang dan garam.

Hambatan Non-Tarif: Pembatasan Impor yang Ketat dan Mekanisme Lisensi yang Tidak Transparan

Di luar tarif, serangkaian aturan baru mempersempit akses impor secara substansial:

1. Mekanisme tender untuk impor beras

Pada April 2024, pemerintah membuka prosedur elektronik untuk lisensi impor beras, kemudian memilih sembilan perusahaan sebagai importir resmi. Kebijakan ini bertindak sebagai pembatasan kuantitatif terselubung, meski tidak menggunakan dana publik.

2. Pembatasan impor melalui Presidential Decree No. 213/23

Peraturan ini mensyaratkan bahwa importir harus membuktikan telah mencoba bermitra dengan pemasok lokal sebelum mengimpor barang. Praktik ini menghambat pemasok asing yang ingin memasuki pasar.

3. Pelarangan produk tertentu

Per April 2024, Angola melarang impor berbagai produk, termasuk bagian tubuh hewan dengan harga murah (offal), produk unggas, dan offal sapi atau babi. Selain itu, izin impor untuk produk unggas yang tidak dilarang juga ditangguhkan tanpa pemberitahuan resmi.

Kebijakan ini berdampak besar bagi pengusaha AS karena sekitar 99% ekspor pertanian AS ke Angola termasuk dalam kategori produk yang terkena pembatasan ini.

Hambatan Kepabeanan: Proses Lambat, Tidak Konsisten, dan Kurang Transparan

Salah satu tantangan terbesar adalah kurangnya transparansi dalam penilaian bea cukai. Angola belum menyampaikan notifikasi resmi mengenai implementasi Customs Valuation Agreement WTO, dan ini menciptakan ketidakjelasan dalam:

  • proses penilaian nilai barang,

  • persyaratan dokumentasi impor,

  • standar verifikasi,

  • dan konsistensi penerapan aturan di lapangan.

Importir sering menghadapi penahanan barang, pemeriksaan berulang, dan permintaan dokumen tambahan yang tidak selalu sesuai pedoman internasional.

SPS dan Bioteknologi: Kontrol Ketat terhadap Produk Pangan dan Benih

Semua produk pangan hewani dan nabati yang masuk ke Angola wajib diuji di laboratorium dan disertai sertifikat kesehatan. Ketiadaan sistem manajemen risiko yang efektif menyebabkan prosedur menjadi lebih lambat dan tidak efisien bagi produk berisiko rendah.

Dalam hal bioteknologi:

  • benih hasil rekayasa genetika tidak boleh diimpor,

  • produk yang mengandung GE hanya diperbolehkan untuk bantuan pangan dan harus digiling sebelum tiba di Angola,

  • impor GE untuk riset diperbolehkan di bawah pengawasan ketat.

Pada 2024, Angola membentuk Genetically Modified Seed Committee untuk merancang sistem nasional biosafety—tanda bahwa negara mungkin menuju regulasi yang lebih terstruktur, namun implementasi masih belum jelas.

Pengadaan Pemerintah: Dominasi Kontrak Langsung dan Minimnya Kompetisi

Meskipun Angola telah memperbarui Undang-Undang Pengadaan Publik untuk meningkatkan transparansi, praktiknya berbeda. Proses pengadaan masih banyak menggunakan:

  • tender terbatas,

  • pra-kualifikasi,

  • penunjukan langsung,

  • dan kontrak yang berulang ke kelompok perusahaan tertentu.

Praktik ini menciptakan hambatan besar bagi perusahaan asing yang ingin bersaing dalam proyek publik. Angola juga bukan anggota GPA-WTO sehingga tidak terikat pada standar internasional tentang pengadaan pemerintah.

Korupsi: Tantangan Struktural yang Belum Terselesaikan

Walaupun ada kemajuan melalui undang-undang baru mengenai anti-korupsi dan pencucian uang, implementasinya masih jauh dari ideal. Beberapa masalah yang terus berulang:

  • kapasitas institusi yang lemah,

  • pelatihan aparat yang tidak merata,

  • penegakan hukum yang tidak konsisten,

  • lemahnya identifikasi beneficial ownership,

  • minimnya tuntutan kasus pencucian uang.

Evaluasi FATF regional pada 2023 juga menunjukkan berbagai kelemahan fundamental.

Korupsi yang terus berlanjut menambah ketidakpastian dan meningkatkan biaya kepatuhan bagi pelaku usaha asing.

Keterbatasan Akses Valuta Asing: Risiko Besar bagi Importir dan Investor

Ketergantungan Angola pada sektor minyak membuat ketersediaan devisa sangat fluktuatif. Pelaku usaha sering mengalami:

  • antrean panjang untuk memperoleh dolar,

  • keterlambatan pembayaran impor,

  • nilai tukar yang sangat volatil.

Pada 2023, mata uang Angola mengalami depresiasi hampir 40% akibat kurangnya pasokan dolar. Pemerintah kemudian memperketat kontrol devisa, termasuk:

  • pembatasan transfer internasional hingga USD 250.000 per individu per tahun,

  • pengenaan Special Contribution for Foreign Exchange Operations (CEOC) antara 2,5% hingga 10% pada transfer valuta asing tertentu.

Langkah ini meningkatkan biaya transaksi sekaligus menciptakan ketidakpastian tambahan bagi importir dan perusahaan jasa asing.

Perizinan dan Iklim Usaha: Sentralisasi Kewenangan di Tangan Presiden

Melalui Law No. 26/21, kewenangan penerbitan lisensi usaha dipindahkan dari tingkat provinsi dan kota langsung ke Presiden. Perubahan ini mengangkat kekhawatiran akan:

  • birokrasi yang semakin tersentralisasi,

  • potensi keterlambatan izin,

  • dan ketergantungan pelaku usaha pada otoritas eksekutif tingkat atas.

Meskipun perluasan cakupan lisensi dianggap positif, ketidakpastian dalam proses persetujuan justru dipandang sebagai hambatan baru bagi investasi.

Penutup: Peluang Pasar Ada, tetapi Aksesnya Sulit

Angola memiliki potensi ekonomi besar, terutama dari sumber daya alam, pertanian, dan kebutuhan pembangunan infrastrukturnya. Namun pola kebijakan yang sangat proteksionis, proses kepabeanan yang lambat, pembatasan impor yang luas, masalah korupsi, serta kesulitan akses devisa membuat negara ini menjadi salah satu pasar yang paling sulit dimasuki pelaku usaha internasional.

Bagi perusahaan global, terutama dari sektor agrikultur, energi, dan logistik, memahami dinamika hambatan ini merupakan langkah awal untuk merencanakan strategi yang layak memasuki pasar Angola.

 

Daftar Pustaka

2025 National Trade Estimate Report on Foreign Trade Barriers – Angola Section.