Evaluasi Sertifikasi Kompetensi Lulusan IPDN 2020–2022: Peluang, Tantangan, dan Rekomendasi Perbaikan

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah

04 Juli 2025, 09.37

pixabay.com

Sertifikasi Kompetensi, Kunci Daya Saing SDM Pemerintahan

Di tengah tuntutan era globalisasi dan birokrasi modern, kualitas sumber daya manusia (SDM) aparatur menjadi salah satu faktor penentu keberhasilan reformasi birokrasi di Indonesia. Sertifikasi kompetensi bagi lulusan perguruan tinggi, termasuk lulusan Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN), menjadi instrumen penting untuk memastikan bahwa calon aparatur negara memiliki standar keahlian yang terukur dan diakui secara nasional. Namun, bagaimana realitas pelaksanaan sertifikasi kompetensi di IPDN selama tiga tahun terakhir? Apakah sudah memenuhi harapan dan standar nasional?

Artikel ini membedah hasil penelitian Eskandar (2023) tentang evaluasi pelaksanaan sertifikasi kompetensi bagi calon lulusan IPDN tahun 2020–2022. Dengan pendekatan model evaluasi CIPP (Context, Input, Process, Product), artikel ini akan mengupas data, fakta, studi kasus, serta memberikan analisis kritis dan rekomendasi agar sertifikasi kompetensi benar-benar menjadi nilai tambah bagi lulusan IPDN dan stakeholder.

Mengapa Sertifikasi Kompetensi Penting bagi Lulusan IPDN?

Sertifikasi kompetensi kini menjadi kebutuhan mendesak dalam dunia kerja, baik di sektor swasta maupun pemerintahan. Pemerintah Indonesia melalui RPJMN 2020–2024 menargetkan peningkatan kualitas SDM, salah satunya dengan memperluas cakupan sertifikasi. Di sektor pemerintahan, sertifikasi kompetensi bukan hanya sekadar formalitas, tetapi juga bukti tertulis keahlian yang mempercepat proses penempatan kerja dan meningkatkan profesionalisme ASN.

Bagi IPDN, lembaga yang menjadi kawah candradimuka calon birokrat, sertifikasi kompetensi diharapkan menjadi pelengkap ijazah sekaligus pengakuan atas keahlian spesifik lulusan sesuai Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI).

Studi Kasus: Implementasi Sertifikasi Kompetensi di IPDN 2020–2022

Latar Belakang dan Metodologi

Penelitian Eskandar menggunakan model evaluasi CIPP yang menilai empat aspek utama:

  1. Context (konteks): Kesesuaian tujuan, kebijakan, dan lingkungan pelaksanaan.
  2. Input (masukan): Ketersediaan sumber daya seperti asesor, waktu, dan anggaran.
  3. Process (proses): Kesesuaian pelaksanaan dengan standar nasional.
  4. Product (produk): Hasil akhir, kepuasan peserta, dan pengakuan stakeholder.

Data dikumpulkan dari 50 responden yang terdiri dari asesor, peserta, panitia, dan bagian perencanaan melalui angket, wawancara, dan dokumentasi.

Fakta dan Angka: Hasil Sertifikasi Kompetensi

Selama tiga tahun (2020–2022), jumlah peserta uji kompetensi di IPDN meningkat signifikan. Pada tahun 2020, ada 419 peserta yang seluruhnya dinyatakan kompeten. Namun, pada tahun 2021, jumlah peserta melonjak menjadi 1.531 orang, dengan tingkat kelulusan hanya sekitar 60%. Tahun 2022, peserta bertambah menjadi 1.993 orang, dan tingkat kelulusan naik menjadi sekitar 86%.

Dari sisi biaya, rata-rata anggaran per peserta di IPDN jauh di bawah standar nasional. Pada tahun 2020, anggaran per peserta sekitar Rp981 ribu, tahun 2021 turun menjadi sekitar Rp555 ribu, dan tahun 2022 naik sedikit menjadi sekitar Rp607 ribu. Padahal, standar biaya sertifikasi BNSP (Badan Nasional Sertifikasi Profesi) berkisar antara Rp1,5 juta hingga Rp4 juta per peserta.

Bidang uji kompetensi yang diujikan meliputi berbagai program studi di tiga fakultas utama IPDN, seperti Manajemen Pemerintahan, Politik Pemerintahan, dan Perlindungan Masyarakat. Namun, pelaksanaan uji kompetensi ini masih dilakukan secara mandiri oleh IPDN tanpa akreditasi dari BNSP.

Analisis Model CIPP: Kekuatan dan Kelemahan Implementasi

Context: Tujuan dan Kebijakan Sudah Tepat

Dari sisi konteks, tujuan pelaksanaan sertifikasi kompetensi di IPDN sudah sangat relevan dengan kebutuhan nasional dan stakeholder. Kebijakan internal IPDN juga mendukung sertifikasi sebagai indikator kinerja dan peningkatan kualitas lulusan. Namun, tujuan baik ini belum sepenuhnya didukung oleh pelaksanaan di lapangan.

Input: Sumber Daya dan Anggaran Masih Lemah

Ketersediaan asesor menjadi masalah utama. Mayoritas asesor berasal dari internal IPDN dan belum memiliki lisensi BNSP. Anggaran yang tersedia juga jauh di bawah standar nasional, sehingga berdampak pada kualitas pelaksanaan uji kompetensi. Waktu pelaksanaan dinilai sudah tepat, yakni menjelang kelulusan, namun keterbatasan SDM dan dana menjadi kendala utama.

Process: Proses Belum Terstandar Nasional

Proses pelaksanaan uji kompetensi di IPDN belum mengikuti standar BNSP. Materi uji disusun oleh asesor internal dan eksternal, namun belum terakreditasi BNSP. Proses penilaian juga belum menggunakan perangkat dan standar nasional. Sistem penilaian dinilai belum transparan dan belum sepenuhnya memenuhi harapan peserta.

Product: Hasil Tidak Diakui Secara Nasional

Sertifikat kompetensi yang diterbitkan IPDN tidak diakui secara nasional karena tidak melalui BNSP. Akibatnya, sertifikat tersebut tidak memiliki nilai tambah di pasar kerja. Stakeholder menilai sertifikat ini kurang relevan dan tidak membedakan kompetensi spesifik lulusan. Peserta pun merasa upaya mengikuti uji kompetensi tidak sebanding dengan manfaat yang diperoleh.

Studi Kasus: Suara Peserta dan Stakeholder

Salah satu peserta uji kompetensi tahun 2022, Avin, mengungkapkan kekecewaannya:
“Saya kira ikut uji kompetensi ini untuk dapat sertifikat yang diakui BNSP, ternyata tidak. Jadi sia-sia capek ujian, sertifikatnya tidak ada artinya.”

Dari sisi pengguna lulusan, seorang pejabat instansi daerah menyatakan:
“Lulusan IPDN kurang menonjol kompetensi spesifik sesuai program studi. Sertifikat kompetensi yang ada tidak membantu kami mengenali keahlian mereka.”

Perbandingan dengan Praktik Terbaik Nasional

Jika dibandingkan dengan SMK dan politeknik, uji kompetensi di lembaga tersebut sudah dilakukan oleh LSP (Lembaga Sertifikasi Profesi) terlisensi BNSP. Sertifikat yang dihasilkan diakui secara nasional dan menjadi syarat utama penempatan kerja. Di sektor pariwisata, sertifikasi BNSP bahkan menjadi standar industri dan meningkatkan daya saing tenaga kerja. Sementara di IPDN, sertifikasi masih bersifat internal dan belum memenuhi standar nasional.

Kritik dan Opini: Mengapa IPDN Perlu Berbenah?

Kelemahan utama pelaksanaan sertifikasi kompetensi di IPDN terletak pada legalitas, kualitas sertifikat, keterbatasan anggaran, dan SDM asesor. Tidak adanya koordinasi dengan BNSP membuat sertifikat yang diterbitkan tidak memiliki kekuatan hukum nasional. Kualitas sertifikat pun diragukan, karena tidak diakui di luar lingkungan internal IPDN. Anggaran yang minim berdampak pada kualitas pelaksanaan uji, dan mayoritas asesor belum bersertifikat BNSP, sehingga validitas penilaian juga dipertanyakan.

Dampak jangka panjangnya, lulusan IPDN berpotensi kalah bersaing dengan lulusan perguruan tinggi lain yang sudah memiliki sertifikat kompetensi BNSP. Stakeholder pun kesulitan menilai keahlian spesifik lulusan, yang pada akhirnya mempengaruhi penempatan kerja dan pengembangan karier mereka.

Rekomendasi dan Solusi

  1. Segera Bentuk LSP Internal IPDN
    IPDN perlu membentuk Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) sendiri yang terakreditasi BNSP. Dengan LSP internal, pelaksanaan uji kompetensi akan diakui secara nasional dan memberikan nilai tambah bagi lulusan.
  2. Tingkatkan Kompetensi dan Jumlah Asesor
    Asesor harus mengikuti pelatihan dan sertifikasi BNSP agar penilaian lebih objektif dan diakui. Kolaborasi dengan LSP eksternal bisa menjadi solusi sementara.
  3. Penyesuaian Anggaran
    IPDN perlu menyesuaikan anggaran pelaksanaan sertifikasi agar setara dengan standar nasional. Optimalisasi dana bisa dilakukan melalui efisiensi dan prioritas pada program strategis.
  4. Sistem Seleksi Transparan
    Hingga LSP internal terbentuk, pelaksanaan sertifikasi bisa dilakukan melalui seleksi terbuka dan transparan, sehingga hanya peserta terbaik yang mengikuti uji kompetensi.
  5. Kolaborasi dengan Industri dan Stakeholder
    Libatkan instansi pengguna lulusan dalam penyusunan materi uji dan penilaian, agar sertifikasi lebih relevan dengan kebutuhan dunia kerja.

Hubungan dengan Tren Industri dan Kebijakan Nasional

Transformasi ASN menuju jabatan fungsional berbasis keahlian menuntut adanya sertifikasi kompetensi yang diakui nasional. Digitalisasi dan adaptasi global juga menuntut lulusan yang memiliki sertifikat kompetensi nasional maupun internasional. Kebijakan Merdeka Belajar–Kampus Merdeka mendorong kolaborasi antara kampus, industri, dan lembaga sertifikasi untuk menghasilkan lulusan siap kerja.

Kesimpulan: Jalan Panjang Menuju Sertifikasi Kompetensi yang Diakui

Evaluasi pelaksanaan sertifikasi kompetensi di IPDN tahun 2020–2022 menunjukkan bahwa meski tujuan dan kebijakan sudah tepat, pelaksanaan di lapangan masih jauh dari standar nasional. Keterbatasan anggaran, SDM asesor, dan absennya akreditasi BNSP menjadi hambatan utama. Tanpa perbaikan mendasar, sertifikasi kompetensi di IPDN berisiko menjadi formalitas tanpa nilai tambah nyata bagi lulusan dan stakeholder.

Langkah strategis seperti pembentukan LSP internal, peningkatan kompetensi asesor, penyesuaian anggaran, dan kolaborasi dengan industri mutlak diperlukan agar sertifikasi kompetensi benar-benar menjadi instrumen peningkatan kualitas SDM aparatur yang diakui dan dibutuhkan di era persaingan global.

Sumber artikel asli:
Eskandar. (2023). Evaluation of Competence Certification for The Prospective Graduates of Institut Pemerintahan Dalam Negeri Year 2020-2022. Jurnal MSDA (Manajemen Sumber Daya Aparatur), Vol 11, No. 1, 2023, pp. 101-129.