Hilirisasi di industri pertambangan yang terjadi saat ini masih setengah jalan. Begitulah penilaian dari Ketua Umum Perhimpunan Ahli Tambang Indonesia (Perhapi) Ir. Rizal Kasli, ST, IPU, ASEAN Eng. Menurut dia idealnya hilirisasi itu benar-benar sampai ke hilir, SDA yang ada diproses hingga menjadi barang jadi. Ada sejumlah persoalan yang membelit hilirisasi di Indonensia.
Indonesia adalah negara yang kaya dengan sumber daya alam. Namun, belum semua bisa diolah. Yang terjadi setelah dilakukan penambangan langsung diekspor ke mancanegara dalam bentuk bahan mentah. Karena itulah hilirisasi menjadi tuntutan agar terjadi proses pengolahan bahan mentah menjadi bahan setengah jadi dan proses selanjutnya menjadi bahan jadi. Ada nilai tambah yang didapat dari proses hilirisasi ini.
Saat ini di sektor pertambangan sudah terjadi hilirisasi. Namun yang terjadi baru setengah jalan. “Selama ini yang dipahami hilirisasi adalah menghasilkan produk antara dari bahan baku. Padahal sesungguhnya bahan baku itu harus dihilirkan sampai ke produk akhir. Jadi harus diartikan sebagai industrialisasi secara umum. Jadi yang belum itu lanjutannya, dari bahan setengah jadi menjadi bahan jadi,” kata Rizal Kasli.
Yang menjadi kendala proses hilirisasi ini, antara lain, pertama soal penguasaan teknologi yang belum ada. Indonesia belum punya teknologinya sehingga masih harus impor dari negara lain seperti China. “Harus ada insentif dan kemudahan untuk investor yang akan berinvestasi di sektor hilirisasi. Dan pemerintah harus mendorong BUMN untuk berani berinovasi agar bisa masuk ke industri terkait yang mendukung hilirisasi,” tegasnya.
Kini proses hilirisasi sudah terjadi, namun pemerintah jangan hanya mengejar target investasi, tapi juga nilai tambah investasi. Soal tenaga kerja mestinya sebanyak mungkin dari dalam negeri. Jadi negosiasinya harus kuat. Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) harus tinggi, jangan semua dibawa dari negara asal. “Soal hilirisasi pemerintah harus lebih serius. Jangan hanya puas dengan setengah jadi, harus menghasilkan produk akhir. Artinya terjadi industrialisasi,” ujarnya kepada Edy Suherli, Bambang Eros, dan Irfan Medianto dari VOI yang menemuinya di bilangan Mampang, Jakarta Selatan belum lama berselang. Inilah petikan selengkapnya."
Meski kini harga nikel anjlok, Ketum Perhapi Rizal Kasli optimis ke depan nikel tetap akan jadi primadona. (Foto: Bambang Eros, DI: Raga Granada VOI)
Nikel kembali menjadi perbincangan, kali ini harganya anjlok, mengapa bisa begitu?
Meski harga nikel belakangan ini memang turun, namun nikel tetap menjadi primadona. Karena nikel digunakan untuk banyak produk. Untuk campuran stainless steel, dan campuran logam lainnya. Maraknya penggunaan mobil listrik untuk mengganti mobil berbahan bakar fosil, membuat baterai menjadi kebutuhan. Salah satu komponennya nikel-kobalt, komponen lain yang juga digunakan untuk baterai mobil listrik adalah LFP (litium ferrofosfat) yang kemarin heboh dibahas dalam debat cawapres. Keduanya punya kelebihan dan kekurangan masing-masing. Baterai berbahan nikel itu densitinya tinggi, karena itu jarak tempuh lebih jauh. Kalau LFP lebih rendah densitinya sehingga jarak tempuhnya juga tak sejauh baterai berbahan nikel. Tetapi dari sisi keamanan lebih unggul LFP.
Soal harga nikel anjlok tak lepas dari suplai dan permintaan. Sekarang suplai banyak sedangkan permintaan berkurang. Dulu sebaliknya permintaan banyak dan suplai sedikit, harga tinggi. Suplai melimpah karena selesainya smelter di berbagai daerah di Indonesia. China sebagai pengguna nikel terbesar permintaannya tak sesuai ekspektasi, karena pertumbuhan ekonominya tak bagus-bagus amat. Inilah yang membuat harga nikel turun.
Apa dampaknya bagi pertambangan nikel di Indonesia?
Di beberapa negara seperti Australia, Kaledonia Baru, ada yang menutup tambang nikelnya karena ongkos operasi tak sebanding dengan harga jual. Kalau di Indonesia masih bisa beroperasi karena ongkos operasinya bisa bersaing.
Apakah ada asosiasi negara produsen Nikel seperti di minyak ada OPEC?
Sampai saat ini belum ada, saya tidak tahu kalau beberapa tahun ke depan. Saat ini Indonesia adalah produsen nikel terbesar, disusul Australia dan negara-negara lainnya. Kalau di Indonesia ada asosiasi pengusaha tambang nikel. Diperlukan atau tidak saya kira tergantung negara-negara penghasil nikel. Karena kalau ada bisa mengatur jumlah produksi agar harga bisa dikendalikan.
Jadi jumlah produksi itu bisa diatur?
Bisa, di Kementerian ESDM ada namanya RKAB (Rencana Kerja dan Anggaran Biaya) yang diajukan perusahaan tambang. Ini mekanisme untuk mengontrol produksi nikel di dalam negeri. Mekanisme DMO (domestic market obligation) dalam produksi minyak sawit atau CPO bisa juga diaplikasikan untuk nikel.
Ketum Perhapi Rizal Kasli mendesak Presiden Indonesia yang terpilih bisa menertibkan pertambangan tak berizin yang beroperasi saat ini. (Foto: Bambang Eros, DI: Raga Granada VOI)
Apakah pertambangan nikel di Indonesia sudah menerapkan tambang lestari, ini yang kerap menjadi sasaran kritik, pengusaha hanya babat hutan dan menambang, bagaimana dengan kelestarian alam?
Dalam dunia pertambangan itu ada namanya good mining practice. Yang mencakup seluruh aspek; keselamatan kerja, kesehatan, kelestarian lingkungan dan konservasi alam serta pengembangan masyarakat sekitar. Faktanya ada perusahaan yang sudah memenuhi aturan dan ada juga yang kurang peduli. Ada juga perusahaan tambang yang menerapkan konsep environmental social and governance (ESG). Perusahaan tambang internasional biasanya melakukan ESG agar harga saham mereka stabil atau bahkan naik di pasar saham. Inilah yang harus dibina oleh pemerintah agar kelestarian alam terjadi.
Kencendrungan dunia sekarang menuju net zero emission 2060, apakah di sektor tambang juga demikian?
Di sektor pertambangan juga begitu. Perusahaan tambang sudah mulai mengurangi emisi karbon dengan mengurangi penggunaan energi yang berbahan bakar fosil. Solusinya adalah penggunaan energi baru terbarukan. Mungkin tidak semua, namun bertahap sudah menggunakan energi hijau.
Apa benar nikel ini akan menjadi masa depan, untuk industri kendaraan listrik?
Saat ini penggunaan nikel untuk baterai baru 15%, masih kalah dengan penggunaan buat stainless steel yang sudah mencapai 55%. Sisanya untuk campuran logam, mesin, dan keperluan lainnya.
Bicara soal hilirisasi nikel di Indonesia, seperti apa Anda melihatnya? Berapa nilai tambahnya setelah diolah?
Selama ini yang dipahami hilirisasi adalah menghasilkan produk antara dari bahan baku. Padahal sesungguhnya adalah bahan baku itu harus dihilirkan sampai ke produk akhir. Jadi harus diartikan sebagai industrialisasi secara umum. Jadi yang belum itu lanjutannya, dari bahan setengah jadi menjadi bahan jadi.
Yang sekarang terjadi nilai tambah hilirisasinya berapa besar?
Memang belum maksimal estimasi saya sekarang baru 10% hingga 11% nilai tambahnya untuk produk antara. Kita nantikan agar hilirisasi ini terus berlanjut sampai pada produk akhir yang bisa digunakan masyarakat. Sekarang ini seperti kendaraan listrik, itu ada subsidi. Padahal masih impor, artinya kita menyumbang industri itu untuk negara lain. Harusnya bangun dulu industrinya di dalam negeri baru kasih subsidi.
Disadur dari: voi.id