Ekonomi yang Tumbuh ke Dalam: Jalan Sehat Kemakmuran Bersama

Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat

12 November 2025, 00.17

Penulis:  cakHP (Heru Prabowo)

Pernahkah Anda merasa heran: ekonomi Indonesia katanya tumbuh, tapi kenapa lapangan kerja bagus masih sulit?

Mengapa kota makin ramai pusat belanja, tapi pabrik baru tidak banyak terdengar?

Mari kita mulai dengan satu rumus sederhana — jantung dari ekonomi makro:

> PDB = C + I + G + (X – M)

Di mana:

▪️C adalah konsumsi rumah tangga,

▪️I investasi,

▪️G pengeluaran pemerintah, dan

▪️X – M ekspor dikurangi impor.

Empat huruf ini — C, I, G, X-M — seperti empat pilar rumah besar bernama “ekonomi nasional”.

Kalau satu pilar tumbuh tidak seimbang, rumahnya berdiri, tapi miring. Dan itu yang sedang kita alami sekarang.

 

🏠

1️⃣. Ketika C Jadi Raja, Tapi I Tak Sempat Naik Takhta

Sejak awal 2000-an hingga kini, sekitar 56–60 persen PDB Indonesia disumbang oleh konsumsi rumah tangga. Artinya, pertumbuhan ekonomi kita didorong oleh aktivitas belanja: dari beli makanan, baju, motor, sampai liburan. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, setiap kali ekonomi tumbuh 5%, sekitar 3% di antaranya berasal dari konsumsi. Sekilas ini membanggakan — rakyat berdaya beli, pasar ramai.

Tapi di balik itu ada tanda tanya: apa yang sebenarnya tumbuh — daya beli, atau utang konsumtif?

 

Contoh: dalam 10 tahun terakhir, kredit konsumsi meningkat rata-rata 10–12% per tahun, sementara kredit investasi hanya naik 6–7%.

Artinya, uang berputar cepat, tapi lebih banyak ke mobil, rumah, dan gadget — bukan ke mesin produksi. Akibatnya, PDB memang naik, tapi kapasitas produksi nasional stagnan. Seperti rumah yang terus dipercantik catnya, tapi fondasinya tak pernah diperkuat.

 

🏭

2️⃣. Investasi Kita Masih Dangkal

Kata “investasi” sering terdengar indah dalam pidato, tapi di lapangan, sebagian besar investasi masuk ke sektor non-produktif: real estat, otomotif, dan infrastruktur konsumtif.

Data BKPM dan BPS (2023) menunjukkan, porsi investasi ke manufaktur hanya sekitar 19–21% — padahal tahun 1990-an sempat mencapai 30%. Bandingkan dengan Korea Selatan di era 1980-an. Negara itu sengaja mendorong 40% investasinya ke sektor teknologi dan industri berat.

Pemerintah memberi kredit murah untuk riset baja dan mobil. Dalam dua dekade, mereka beralih dari pengimpor menjadi pengekspor otomotif terbesar dunia. Indonesia berbeda. Kita masih menjadi importer mesin, bukan pembuat mesin. Itulah kenapa meski ekonomi tumbuh, produktivitas tenaga kerja Indonesia hanya naik 3–4% per tahun (ILO, 2022). Sebagai perbandingan, Vietnam naik 5–6%, dan China mencapai 7% dalam periode yang sama.

 

🔩

3️⃣. Skenario “Tumbuh ke Dalam"

Mari kita bayangkan:

Alih-alih memompa kredit konsumsi Rp200 triliun, pemerintah mengarahkan dana itu ke sektor yang membentuk rantai nilai domestik.

Misalnya:

▪️Membiayai pabrik komponen otomotif di Tegal yang memasok industri mobil di Karawang.

▪️Membangun klaster pangan olahan di Makassar agar hasil tani Sulawesi tidak berhenti di pasar lokal.

▪️Menyambung petani singkong di Lampung dengan industri bioetanol nasional.

▪️Menugaskan BUMN dan startup teknologi untuk mengembangkan mesin pertanian lokal berbasis IoT.

Kuncinya:

👉 setiap rupiah berputar di dalam negeri minimal dua kali.

Dari petani ke pabrik, dari pabrik ke pasar, dari pasar ke inovasi baru.

Inilah yang disebut

🔹domestic value chain strengthening — atau dalam bahasa kampung, “uang jangan cepat keluar pagar.”

Studi Bank Dunia (2023) menunjukkan bahwa setiap peningkatan 1% keterkaitan industri dalam negeri (domestic linkages) bisa menambah 0,4% pertumbuhan PDB secara berkelanjutan dalam jangka menengah. Artinya, tumbuh dari dalam itu memang lebih lambat, tapi lebih kokoh.

 

🇯🇵🇰🇷🇨🇳

4️⃣. Belajar dari Jepang, Korea, dan China

🇯🇵Jepang setelah Perang Dunia II, nyaris bangkrut. Tapi mereka tahu, yang penting bukan sekadar ekspor, melainkan kemampuan membuat barang sendiri. Mereka bangun riset bahan, mesin, otomasi, dan mendidik insinyur dalam jumlah besar. MITI (Kementerian Perdagangan dan Industri Jepang) jadi dapur kebijakan industri yang melibatkan kampus dan pengusaha.

🇰🇷Korea Selatan, setelah perang saudara, membangun ekonomi lewat import substitution dulu — mengganti barang impor dengan buatan lokal. Pemerintah memberi pinjaman jangka panjang untuk riset dan mesin. Dalam 20 tahun, mereka mencetak Samsung, LG, Hyundai.

🇨🇳China lebih telat, tapi lihai.

Awalnya menyalin teknologi, lalu memperdalam riset dan menciptakan versi sendiri. Kini, setiap kenaikan 1% PDB mereka membawa tambahan kapasitas teknologi, bukan sekadar volume dagang.

🇲🇨Indonesia punya peluang serupa, asal satu syarat dipenuhi:

👉 menjadikan riset dan teknologi sebagai arus utama pembangunan.

 

🧬

5️⃣. Riset: Mesin yang Sering Dibiarkan Mati

Kita sering bangga punya ilmuwan, tapi lupa memberi mereka bahan bakar. Total belanja riset Indonesia hanya 0,28% dari PDB (UNESCO, 2022) — tertinggal jauh dari Korea (4,9%) dan China (2,4%). Padahal, tiap kenaikan 1% investasi riset terhadap PDB bisa menambah produktivitas ekonomi 1,5–2% dalam lima tahun. Riset itu bukan hanya laboratorium dan jas putih. Ia adalah cara bangsa menemukan dirinya kembali — memahami potensi tanahnya, lautnya, dan otaknya sendiri. Kalau Korea punya chip, Jepang punya robot, maka Indonesia mestinya punya green technology berbasis biodiversitasnya.

 

📈

6️⃣. Menutup Kuliah: Ekonomi yang Berakar

Jadi, kenapa PDB kita naik tapi tidak memperkuat struktur ekonomi? Karena pertumbuhannya terlalu banyak berasal dari konsumsi, bukan dari penciptaan nilai baru. Ekonomi tumbuh karena ramai belanja, bukan karena pandai berproduksi. Pertumbuhan sejati, seperti kata almarhum dosen senior saya, bukan “seberapa cepat angka naik di layar,” tapi seberapa banyak anak bangsa yang belajar membuat sesuatu sendiri. Ekonomi yang tumbuh ke dalam itu ibarat pohon yang berakar sebelum berdaun. Daunnya memang tak langsung rindang, tapi akarnya dalam — kuat menghadapi badai.

 

📚

Sumber Bacaan dan Data

Badan Pusat Statistik (2000–2024). Produk Domestik Bruto Menurut Lapangan Usaha.

Bank Indonesia (2023). Laporan Perekonomian Indonesia.

World Bank (2023). Indonesia Economic Prospects: Growth with Depth.

Chang, H.-J. (2002). Kicking Away the Ladder: Development Strategy in Historical Perspective. Anthem Press.

Amsden, A. (1989). Asia’s Next Giant: South Korea and Late Industrialization. Oxford University Press.

Lin, J. Y. (2012). New Structural Economics: A Framework for Rethinking Development. World Bank.

OECD (2021). Science, Technology and Innovation Outlook: Strengthening Domestic R&D Ecosystems.

UNESCO Institute for Statistics (2022). Research and Development Expenditure Database.