Ekonomi Sirkular dan Pengelolaan Sampah di Indonesia: Strategi, Teknologi, EPR, dan Kontribusinya terhadap Dekarbonisasi serta Pembangunan Berkelanjutan

Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat

30 Desember 2025, 13.06

1. Pendahuluan

Pengelolaan sampah di Indonesia masih menjadi persoalan struktural yang berdampak langsung pada lingkungan, kesehatan masyarakat, serta keberlanjutan ekonomi. Pertumbuhan penduduk, urbanisasi, dan pola konsumsi modern mendorong peningkatan timbulan sampah, sementara kapasitas pengelolaan masih didominasi pendekatan end-of-pipe—sampah dikumpulkan, diangkut, lalu dibuang ke TPA. Pola ini menyebabkan beban lingkungan semakin tinggi, mulai dari pencemaran tanah dan air, emisi metana dari landfill, hingga tekanan pada ekosistem pesisir akibat kebocoran plastik.

Paper yang menjadi dasar tulisan ini menempatkan ekonomi sirkular sebagai pendekatan transformatif untuk keluar dari model ekonomi linear “ambil–produksi–pakai–buang”. Ekonomi sirkular berupaya memperpanjang siklus hidup material melalui prinsip reduce, reuse, recycle, recovery, serta desain produk yang memungkinkan material kembali masuk ke rantai nilai. Dalam konteks Indonesia, pendekatan ini tidak hanya relevan untuk pengelolaan sampah, tetapi juga terhubung dengan agenda dekarbonisasi, pembangunan berkelanjutan (SDGs), dan peningkatan daya saing industri.

Paper menunjukkan bahwa penerapan ekonomi sirkular mampu sekaligus menjawab tiga tantangan utama:
(1) tingginya timbulan sampah dan rendahnya tingkat daur ulang,
(2) ketergantungan pada bahan baku baru (virgin materials), dan
(3) emisi karbon dari proses produksi, transportasi, serta pengolahan sampah.

Dengan kata lain, ekonomi sirkular bukan sekadar strategi lingkungan, melainkan instrumen pembangunan ekonomi hijau yang berpotensi menciptakan lapangan kerja baru, meningkatkan efisiensi sumber daya, serta memperkuat ketahanan industri nasional. Analisis dalam artikel ini mengembangkan kembali temuan paper dengan memberi interpretasi kritis, relevansi kontekstual Indonesia, serta contoh implementasi lintas-sektor.

Di tingkat global, berbagai negara telah membuktikan bahwa transisi ke ekonomi sirkular dapat menghasilkan manfaat ekonomi signifikan. Uni Eropa, misalnya, memproyeksikan peningkatan GDP dan kesempatan kerja melalui inovasi daur ulang dan substitusi bahan baku. Indonesia berada pada posisi strategis untuk mengikuti arah tersebut, namun membutuhkan penyesuaian model implementasi yang selaras dengan kondisi tata kelola, kapasitas daerah, serta dinamika sektor informal yang masih memegang peran penting dalam rantai pengelolaan sampah.

Pada tahap ini, isu penting yang perlu digarisbawahi adalah bahwa ekonomi sirkular harus dipahami sebagai sistem lintas-hulu–hilir—dimulai sejak desain produk, produksi, distribusi, konsumsi, hingga fase akhir penggunaan. Tanpa perubahan paradigma pada bagian hulu (produksi & desain), reformasi di hilir (pengumpulan & daur ulang) hanya akan menjadi solusi parsial.

 

2. Circular Economy, Dekarbonisasi, dan Posisi Indonesia dalam Transisi Keberlanjutan

Salah satu kontribusi utama paper ini adalah menunjukkan keterkaitan erat antara ekonomi sirkular dan dekarbonisasi. Pengurangan emisi karbon tidak hanya bergantung pada transisi energi, tetapi juga pada cara material diproduksi, dipakai, dan diproses kembali. Setiap proses ekstraksi bahan baku, pembuatan produk baru, dan pembuangan ke landfill menyumbang jejak karbon yang signifikan. Dengan memperpanjang siklus material, proses produksi baru dapat dikurangi sehingga kebutuhan energi dan emisi turut menurun.

Dalam konteks Indonesia, keterkaitan ini terlihat pada beberapa sektor kunci:

a. Pengelolaan Sampah sebagai Instrumen Pengurangan Emisi

Sampah organik dan plastik yang berakhir di TPA menghasilkan emisi metana serta karbon dari pembakaran terbuka. Melalui model sirkular—seperti komposting, RDF (refuse-derived fuel), serta daur ulang plastik—emisi dari landfill dapat ditekan. Paper menekankan bahwa langkah-langkah ini bukan hanya persoalan kebersihan kota, tetapi bagian dari strategi mitigasi iklim nasional.

Dari perspektif kebijakan, Indonesia telah memasukkan ekonomi sirkular ke dalam RPJMN 2020–2024 serta strategi pembangunan rendah karbon. Target pengurangan emisi 29–41% pada 2030 menunjukkan bahwa sektor pengelolaan sampah dan material berperan sebagai penyumbang reduksi emisi, bukan sekadar sektor layanan publik. Di sinilah ekonomi sirkular memperoleh legitimasi sebagai instrumen kebijakan iklim sekaligus pembangunan ekonomi

b. Sektor Pertanian, Kehutanan, dan Penggunaan Lahan

Paper juga menyinggung peran ekonomi sirkular dalam praktik pertanian regeneratif dan pemanfaatan biomaterial. Di Indonesia, sektor ini krusial karena terkait langsung dengan deforestasi, degradasi lahan, dan emisi dari perubahan tata guna lahan. Praktik seperti:

  • pemanfaatan residu biomassa sebagai energi atau kompos,

  • pengurangan limbah pascapanen melalui teknologi penyimpanan,

  • diversifikasi produk berbasis biomaterial,

dapat menurunkan tekanan pada hutan dan mengurangi kebutuhan ekspansi lahan baru. Secara konseptual, pendekatan ini menggeser logika ekonomi dari ekspansi horizontal (ekspansi lahan) menjadi optimalisasi vertikal (nilai tambah dari sisa material).

c. Energi Terbarukan, Efisiensi, dan Circular Business Models

Ekonomi sirkular juga mendorong efisiensi energi melalui:

  • perpanjangan umur produk,

  • remanufaktur,

  • model product-as-a-service, dan

  • desain modular untuk perbaikan.

Di sektor elektronik, misalnya, remanufaktur dan recovery logam bernilai tinggi tidak hanya mengurangi sampah elektronik, tetapi juga menghemat energi yang dibutuhkan untuk proses pertambangan dan produksi material baru. Paper mencatat bahwa peluang ekonominya sangat besar, terutama jika sektor informal—yang kini mendominasi—diberikan skema upgrading kompetensi dan perlindungan kerja.

d. Transportasi dan Mobilitas Berkelanjutan

Pada sektor transportasi, ekonomi sirkular diterjemahkan ke dalam:

  • peralihan ke transportasi publik,

  • sistem berbagi kendaraan,

  • mobilitas listrik, serta

  • optimalisasi logistik.

Langkah-langkah tersebut tidak hanya menurunkan emisi, tetapi juga mengurangi konsumsi sumber daya untuk produksi kendaraan baru dalam jumlah besar. Dengan kata lain, ekonomi sirkular memperkuat logika efisiensi aset, bukan semata efisiensi energi.

Nilai Tambah Analitis

Jika dilihat secara kritis, transisi menuju ekonomi sirkular di Indonesia masih menghadapi tiga tantangan struktural:

  1. Ketergantungan pada pendekatan proyek, bukan transformasi sistemik lintas sektor.

  2. Keterbatasan integrasi teknologi dan tata kelola, terutama di level kota dan kabupaten.

  3. Belum kuatnya insentif ekonomi bagi pelaku industri untuk beralih dari model linear ke sirkular.

Namun di sisi lain, peluangnya besar karena:

  • sektor informal dapat menjadi partner strategis, bukan hambatan,

  • digitalisasi (IoT, tracking material, marketplace daur ulang) membuka ruang inovasi,

  • dan agenda dekarbonisasi nasional memberi momentum politik yang kuat.

Dengan demikian, ekonomi sirkular di Indonesia perlu ditempatkan bukan hanya sebagai kebijakan lingkungan, melainkan sebagai strategi industrial, sosial, dan iklim yang berjalan simultan.

 

3. Circular Economy dalam Sektor Prioritas Industri di Indonesia

Transisi ekonomi sirkular di Indonesia memiliki relevansi kuat pada sejumlah sektor industri strategis. Paper menunjukkan bahwa beberapa sektor memiliki potensi terbesar dalam pengurangan limbah, peningkatan efisiensi sumber daya, dan penciptaan nilai ekonomi baru. Namun, implementasi di tiap sektor menunjukkan karakteristik, peluang, dan tantangan yang berbeda sehingga memerlukan pendekatan kebijakan yang kontekstual.

a. Sektor Pangan dan Minuman: Fokus pada Food Loss dan Food Waste

Sektor pangan dan minuman menyumbang porsi signifikan terhadap PDB nasional, sehingga pergeseran ke ekonomi sirkular pada sektor ini tidak hanya berdampak pada lingkungan tetapi juga stabilitas ekonomi. Paper mencatat bahwa sebagian besar food loss di Asia Tenggara terjadi pada tahap produksi serta penyimpanan, bukan hanya di tingkat konsumsi. Hal ini menunjukkan bahwa sumber pemborosan lebih terkait pada inefisiensi sistem logistik, teknologi pascapanen, serta rantai distribusi yang panjang.

Pendekatan ekonomi sirkular dalam sektor ini dapat diterapkan melalui upaya seperti penguatan rantai pasok lokal, peningkatan fasilitas penyimpanan dingin di wilayah produksi, pemanfaatan limbah organik untuk kompos atau biogas, serta pengembangan ekosistem ekonomi kreatif berbasis produk turunan bahan pangan. Jika dikelola secara sistemik, transformasi ini bukan hanya mengurangi timbulan sampah organik, tetapi juga memperbaiki ketahanan pangan serta menekan emisi dari rantai produksi makanan yang boros energi dan sumber daya.

Sebagai pembanding, beberapa negara telah menunjukkan manfaat ekonomi besar dari pengurangan food waste melalui reformasi logistik dan komersialisasi residu pangan. Dalam konteks Indonesia, peluang serupa terbuka, terutama pada wilayah agraris dan kota satelit yang memiliki volume distribusi pangan tinggi namun infrastruktur penyimpanan masih terbatas

b. Sektor Tekstil: Limbah Produksi dan Peluang Daur Ulang

Industri tekstil Indonesia berperan besar dalam ekspor dan penyerapan tenaga kerja, namun pada saat yang sama menghasilkan jejak lingkungan signifikan, terutama pada tahap pewarnaan dan finishing yang intensif air, energi, serta bahan kimia. Paper menunjukkan bahwa sebagian besar limbah tekstil masih berakhir di TPA, sementara tingkat daur ulang material tekstil masih rendah secara nasional.

Ekonomi sirkular pada sektor ini dapat dikembangkan melalui desain material yang memungkinkan reuse, program take-back garment, model bisnis sewa atau fashion-as-a-service, serta penguatan industri daur ulang tekstil. Studi kasus internasional memperlihatkan bahwa cluster daur ulang tekstil mampu menciptakan rantai nilai baru sekaligus menurunkan ketergantungan pada bahan baku serat baru. Jika strategi serupa diterapkan di Indonesia, peluang muncul pada wilayah industri kreatif, UMKM tekstil, dan kota-kota yang telah memiliki basis industri sandang.

Nilai tambah lain yang penting adalah penguatan standar keberlanjutan industri. Paper mencatat adanya inisiatif Standar Industri Hijau sebagai titik awal, namun implementasi masih perlu ditingkatkan agar bergerak dari sekadar kepatuhan ke arah transformasi struktur produksi yang lebih regeneratif

c. Sektor Konstruksi dan Lingkungan Terbangun

Sektor konstruksi berkontribusi besar terhadap konsumsi energi, material, dan produksi limbah bangunan. Limbah konstruksi dan pembongkaran sebenarnya memiliki tingkat potensi daur ulang tinggi, namun di Indonesia sebagian besar masih berakhir di landfill. Paper menekankan bahwa pendekatan ekonomi sirkular dalam konstruksi mencakup desain modular, penggunaan material daur ulang, pemanfaatan kembali komponen bangunan, serta penerapan standar efisiensi energi.

Jika kebijakan konstruksi sirkular diterapkan sejak tahap desain, maka kota-kota baru dan proyek infrastruktur dapat menjadi katalis inovasi, bukan hanya penyumbang timbulan limbah. Hal ini memiliki implikasi besar bagi pembangunan perkotaan, terutama di wilayah dengan tingkat urbanisasi cepat.

d. Sektor Perdagangan dan Ritel: Tantangan Sampah Kemasan Plastik

Sektor perdagangan modern dan ritel menjadi salah satu sumber utama sampah kemasan plastik. Paper menunjukkan bahwa sebagian besar plastik masih bocor ke lingkungan atau terpapar ke laut. Pendekatan ekonomi sirkular di sektor ini mencakup pengurangan kemasan sekali pakai, pengembangan refill station, redesign kemasan agar mudah didaur ulang, serta inovasi supply chain reverse logistics.

Dari sudut pandang ekonomi, sektor ini memiliki potensi besar menciptakan investasi baru dan lapangan kerja di bidang pengumpulan, pemilahan, dan daur ulang. Namun, agar transformasi berjalan efektif, diperlukan model kolaborasi antara ritel, produsen, pengelola sampah, dan sektor informal sebagai aktor utama dalam rantai pemulihan material

e. Sektor Elektronik dan E-Waste

Pertumbuhan konsumsi perangkat elektronik di Indonesia berdampak pada peningkatan volume limbah elektronik. Paper menyoroti bahwa e-waste memiliki nilai ekonomi tinggi karena mengandung logam berharga, namun pengelolaannya masih didominasi pelaku informal dengan tingkat perlindungan kerja rendah dan teknologi terbatas.

Ekonomi sirkular mendorong model remanufaktur, refurbish, dan desain produk yang memungkinkan perbaikan serta penggantian komponen. Jika sektor ini dikembangkan secara formal melalui peningkatan kapasitas pelaku informal, penguatan regulasi, dan pengembangan fasilitas recycling center, maka kontribusinya tidak hanya pada pengurangan limbah tetapi juga pada penguatan industri berbasis teknologi material sekunder.

 

4. Extended Producer Responsibility (EPR) dan Implementasinya dalam Pengelolaan Sampah Plastik

Paper memberikan perhatian khusus pada penerapan Extended Producer Responsibility (EPR) sebagai mekanisme untuk mendorong produsen ikut bertanggung jawab atas siklus hidup produknya. Di Indonesia, inisiatif EPR masih berada pada tahap awal, namun telah muncul berbagai praktik sukarela melalui kemitraan industri.

a. Pola Implementasi EPR di Indonesia

Melalui berbagai contoh yang dipaparkan dalam paper, terlihat bahwa praktik EPR di Indonesia umumnya berfokus pada edukasi konsumen, perluasan jaringan pengumpulan sampah kemasan, kolaborasi dengan bank sampah dan komunitas, serta pengembangan inovasi desain kemasan. Sebagian produsen juga mulai menerapkan program take-back, refill system, dan penggunaan material hasil daur ulang.

Namun pola implementasi masih bersifat terbatas pada perusahaan besar dan kota-kota tertentu. Artinya, keberhasilan EPR belum menyebar secara merata dan masih membutuhkan kerangka kebijakan yang lebih kuat agar tidak hanya berjalan sebagai inisiatif filantropi korporasi, tetapi terinstitusionalisasi sebagai sistem pengelolaan sampah berbasis produsen.

b. Nilai Strategis EPR terhadap Ekonomi Sirkular

EPR berfungsi sebagai mekanisme penghubung antara produsen, konsumen, dan pengelola sampah. Dengan menempatkan produsen sebagai aktor utama dalam pemulihan material, EPR mendorong perubahan perilaku pada tahap desain produk, pemilihan bahan, serta strategi distribusi. Secara ekonomi, skema ini membuka peluang bisnis baru di bidang pengumpulan, pemilahan, dan material recovery, sekaligus menciptakan ekosistem pasar bagi bahan daur ulang.

Dalam perspektif keberlanjutan, EPR memperkuat logika bahwa pengelolaan sampah tidak boleh hanya dibebankan pada pemerintah daerah, melainkan menjadi bagian dari tanggung jawab extended value chain.

c. Tantangan Implementasi EPR

Paper mengidentifikasi sejumlah kendala yang perlu diperhatikan. Tantangan tersebut mencakup rendahnya kesadaran publik terhadap pemilahan sampah, keterbatasan infrastruktur pengumpulan, tumpang tindih kewenangan regulasi, lemahnya pengawasan, serta risiko free-rider di kalangan produsen yang belum berpartisipasi.

Selain itu, keberadaan sektor informal yang besar menciptakan dinamika tersendiri. Di satu sisi, mereka memiliki kontribusi nyata dalam pengumpulan material; di sisi lain, belum sepenuhnya terintegrasi ke dalam skema EPR formal sehingga potensi ekonomi dan perlindungan sosial belum termanfaatkan secara optimal

.

5. Teknologi, Inovasi, dan Adopsi Circular Economy di Indonesia

Transisi menuju ekonomi sirkular di Indonesia tidak hanya bergantung pada perubahan perilaku dan kebijakan, tetapi juga pada tingkat adopsi teknologi dan inovasi dalam sistem pengelolaan sampah dan pemulihan material. Paper menunjukkan bahwa saat ini banyak aktivitas pengelolaan sampah di Indonesia masih dilakukan secara manual, sementara pemanfaatan teknologi digital, otomasi, maupun platform berbasis Internet of Things (IoT) masih terbatas dibandingkan negara maju. Kondisi ini menciptakan kesenjangan antara potensi ekonomi sirkular dan kapasitas aktual di lapangan.

a. Circular Economy dan Industry 4.0

Perkembangan Industry 4.0 menghadirkan peluang besar bagi peningkatan efisiensi proses pengumpulan, pemilahan, pengolahan, dan pemanfaatan kembali material. Di negara lain, teknologi seperti sensor, sistem pemantauan digital, smart bins, hingga cloud-based waste data telah digunakan untuk mengoptimalkan logistik pengumpulan sampah, mengurangi biaya operasional, dan meningkatkan kualitas data material flow.

Dalam konteks Indonesia, paper mencatat bahwa potensi penerapan teknologi tersebut sebenarnya besar, namun masih terkendala oleh kapasitas teknis, pendanaan, dan tata kelola. Di sisi lain, sektor informal yang berperan sentral dalam pengumpulan material daur ulang belum sepenuhnya terintegrasi dengan sistem digital, sehingga pemanfaatan data rantai siklus material belum optimal. Jika integrasi ini dapat diperkuat, maka digitalisasi berpeluang menjadi katalis peningkatan nilai ekonomi daur ulang sekaligus transparansi ekosistem circular economy.

b. State-of-the-Art Teknologi Global dan Relevansinya bagi Indonesia

Paper menguraikan perkembangan teknologi global mulai dari autoclaving, RDF, gasification, pyrolysis, hingga biofuel, yang berfungsi mengubah residu sampah menjadi energi atau material baru. Pada tahap akhir, teknologi landfill modern seperti bioreactor dan microturbines juga mampu mengurangi dampak lingkungan residu sampah.

Namun dalam praktik nasional, sebagian besar TPA masih menggunakan sistem open dumping atau controlled landfill, sementara fasilitas waste-to-energy baru diadopsi di kota-kota tertentu dan menghadapi persoalan regulasi, pembiayaan, dan koordinasi kelembagaan. Ini menunjukkan bahwa adopsi teknologi circular economy di Indonesia masih berjalan selektif, lebih bersifat responsif terhadap kebutuhan kota daripada dirancang sebagai strategi nasional yang terintegrasi.

c. Drivers dan Challenges dalam Adopsi Teknologi

Paper menekankan bahwa pendorong utama penerapan teknologi circular economy meliputi tuntutan pasar global, kebutuhan efisiensi proses, tekanan regulasi keberlanjutan, serta peluang nilai tambah ekonomi dari material sekunder. Namun di saat yang sama, tantangan muncul dalam bentuk keterbatasan investasi, rendahnya literasi teknologi, insentif ekonomi yang belum kuat, serta minimnya integrasi kebijakan antar sektor.

Selain itu, terdapat persoalan sikap dan perilaku pemangku kepentingan yang masih menempatkan sampah sebagai tanggung jawab pemerintah, bukan sebagai bagian dari rantai nilai industri. Tanpa perubahan paradigma ini, penerapan teknologi hanya akan berhenti pada skala proyek, bukan pada transformasi sistemik seperti yang dibutuhkan oleh ekonomi sirkular

.

6. Studi Kasus Kota di Indonesia dan Tingkat Kematangan Teknologi Circular Economy

Paper menyajikan studi kasus di beberapa kota, yaitu Jakarta, Surabaya, Semarang, dan Magelang, untuk melihat bagaimana penerapan teknologi dan inovasi circular economy berbeda sesuai karakteristik wilayah. Hasilnya menunjukkan bahwa adopsi teknologi tidak seragam dan sangat dipengaruhi oleh kapasitas fiskal, dukungan regulasi, kemitraan dengan sektor swasta, serta partisipasi masyarakat.

a. Jakarta

Jakarta memiliki kombinasi fasilitas pengelolaan sampah modern dan inisiatif inovatif, seperti fasilitas intermediate treatment, landfill gas to energy, program komposting, serta penerapan aplikasi digital untuk perdagangan dan pelaporan sampah. Hal ini menunjukkan bahwa kota besar dengan kapasitas kelembagaan tinggi cenderung lebih siap mengadopsi teknologi circular economy, meskipun masalah volume sampah dan ketergantungan TPA masih menjadi tantangan utama.

b. Surabaya

Surabaya memanfaatkan pendekatan terpadu melalui fasilitas waste-to-energy dan program kolaborasi antara pemerintah dan sektor swasta. Meski sistem pengumpulan masih banyak bergantung pada moda konvensional, kota ini mulai menunjukkan pengembangan teknologi pengolahan berbasis gasifikasi serta platform digital untuk transaksi bank sampah. Surabaya menjadi contoh kota transisi yang bergerak dari sistem konvensional menuju model circular yang lebih terstruktur.

c. Semarang

Di Semarang, teknologi circular economy diterapkan melalui fasilitas TPS3R, komposting, methane capture, serta aplikasi pelaporan sampah berbasis digital. Namun tingkat kematangan teknologi masih berada pada tahap penguatan integrasi, di mana proses pengumpulan dan pemilahan belum sepenuhnya otomatis dan masih sangat bergantung pada kapasitas komunitas lokal.

d. Magelang

Studi kasus Magelang menggambarkan kondisi kota kecil dengan dominasi pendekatan 3R berbasis komunitas, bank sampah, dan program kampung organik. Teknologi yang digunakan masih sederhana, namun memiliki kedekatan sosial yang kuat. Hal ini memberi gambaran bahwa circular economy tidak selalu identik dengan teknologi canggih, melainkan dapat berkembang dari model sosial-ekonomi berbasis partisipasi warga.

Paper kemudian mengklasifikasikan tingkat kematangan teknologi ke dalam beberapa kategori, mulai dari tradisional hingga smart system. Berdasarkan penilaian tersebut, kota-kota di Indonesia masih berada pada rentang common hingga organized maturity level, sementara transisi menuju integrated dan smart system baru muncul di beberapa inisiatif terbatas.

Nilai analitis yang dapat ditarik dari studi kasus ini adalah bahwa circular economy di Indonesia berkembang melalui jalur bertahap: dimulai dari penguatan praktik komunitas dan sektor informal, kemudian bergerak ke integrasi teknologi dan kelembagaan, sebelum akhirnya mencapai model kota cerdas berbasis sistem data dan otomasi. Artinya, pendekatan kebijakan perlu adaptif terhadap tingkat kesiapan daerah, bukan sekadar mengadopsi model generik yang tidak selaras dengan konteks lokal.

 

7. Nilai Tambah Analitis: Pembelajaran, Kesenjangan, dan Implikasi Kebijakan

Bagian ini merangkum temuan paper sekaligus menambahkan pembacaan kritis mengenai arah perkembangan ekonomi sirkular di Indonesia. Jika dilihat secara menyeluruh, upaya implementasi ekonomi sirkular telah bergerak ke berbagai sektor, mulai dari pangan, tekstil, konstruksi, ritel, hingga elektronik. Namun, perkembangan ini masih menunjukkan sifat gradual, parsial, dan belum sepenuhnya bersifat sistemik.

a. Kesenjangan antara kebijakan dan implementasi

Di tingkat kebijakan nasional, ekonomi sirkular telah diposisikan sebagai bagian dari strategi pembangunan rendah karbon, pengurangan emisi, dan pencapaian SDGs. Namun, pada tataran implementasi daerah, masih terdapat kesenjangan antara visi kebijakan dan kapasitas operasional. Banyak program circular economy berjalan sebagai proyek berbasis lokasi, bukan sebagai transformasi sistemik lintas rantai nilai.

Kondisi ini menunjukkan bahwa tantangan utama bukan hanya terletak pada ketersediaan teknologi, tetapi pada koordinasi kelembagaan, kesinambungan pendanaan, serta kemampuan pemerintah daerah mengintegrasikan sektor informal ke dalam ekosistem pengelolaan material yang lebih formal dan produktif.

b. Peran strategis sektor informal dalam ekosistem circular economy

Paper memberikan gambaran bahwa sebagian besar aktivitas pemulihan material di Indonesia justru dilakukan oleh sektor informal, seperti pemulung, pengepul, dan bank sampah. Selama ini, kontribusi mereka sering dipandang sebagai aktivitas sosial-ekonomi marginal, padahal dari perspektif circular economy, mereka merupakan aktor rantai pasok material sekunder yang vital.

Nilai tambah terbesar ke depan justru berada pada proses peningkatan kapasitas, standardisasi kerja, perlindungan sosial, dan integrasi data aktivitas sektor informal ke dalam sistem circular economy nasional. Tanpa langkah ini, ekonomi sirkular berisiko hanya berkembang di tingkat korporasi, sementara kontribusi terbesar pemulihan material tetap tidak tercatat dan tidak memperoleh nilai ekonomi yang adil.

c. Teknologi sebagai enabler, bukan tujuan akhir

Studi kasus dalam paper memperlihatkan bahwa kota besar cenderung lebih siap mengadopsi teknologi seperti landfill gas to energy, aplikasi digital, atau fasilitas pengolahan modern. Namun, konsep circular economy menekankan bahwa teknologi hanyalah alat untuk meningkatkan efisiensi sistem, bukan tujuan utama.

Pendekatan yang paling relevan untuk Indonesia adalah kombinasi antara inovasi sosial berbasis komunitas, penguatan kelembagaan, serta adopsi teknologi secara bertahap sesuai tingkat kesiapan wilayah. Dengan demikian, transisi circular economy dapat bersifat inklusif dan tidak meninggalkan kelompok pelaku yang selama ini menjadi tulang punggung pengelolaan material.

d. Implikasi bagi masa depan pembangunan berkelanjutan di Indonesia

Ekonomi sirkular di Indonesia berpotensi memainkan tiga fungsi sekaligus: sebagai strategi pengelolaan sampah, sebagai instrumen pengurangan emisi karbon, dan sebagai pengungkit transformasi industri menuju penggunaan material yang lebih efisien. Jika penguatan tata kelola, digitalisasi rantai material, dan integrasi sektor informal dapat dipercepat, maka circular economy tidak hanya menjadi agenda lingkungan, tetapi menjadi salah satu fondasi transisi ekonomi nasional menuju model pembangunan yang lebih resilien dan berbasis sumber daya berkelanjutan

 

8. Kesimpulan

Berdasarkan analisis paper, ekonomi sirkular di Indonesia memiliki posisi strategis sebagai pendekatan lintas sektor yang mampu menjawab persoalan sampah, efisiensi sumber daya, dan pengurangan emisi secara simultan. Implementasinya telah terlihat pada berbagai sektor prioritas, mulai dari pangan, tekstil, konstruksi, ritel plastik, hingga elektronik, meskipun tingkat kedalaman adaptasi masih bervariasi.

Penerapan konsep ini menunjukkan bahwa transformasi tidak hanya terjadi pada aspek teknis pengelolaan sampah, tetapi juga menyentuh dimensi ekonomi, sosial, tata kelola, dan inovasi teknologi. Studi kasus kota-kota di Indonesia menegaskan bahwa circular economy berkembang secara bertahap, dipengaruhi oleh kapasitas institusi, kesiapan teknologi, serta dinamika partisipasi masyarakat.

Di sisi lain, masih terdapat tantangan utama berupa kesenjangan implementasi, keterbatasan infrastruktur, lemahnya integrasi data, serta belum optimalnya skema Extended Producer Responsibility. Namun, peluang untuk mempercepat transisi tetap terbuka melalui sinergi kebijakan nasional, inovasi berbasis komunitas, dan integrasi sektor informal sebagai aktor kunci dalam rantai pemulihan material.

Dengan demikian, circular economy bukan hanya jawaban atas persoalan sampah, tetapi merupakan elemen penting dalam membangun model pembangunan yang lebih adaptif terhadap perubahan iklim, lebih inklusif secara sosial, dan lebih efisien secara ekonomi. Jika upaya penguatan tata kelola, edukasi publik, dan inovasi teknologi terus dikembangkan, maka Indonesia memiliki peluang besar untuk menjadikan ekonomi sirkular sebagai pilar utama pembangunan berkelanjutan ke depan

 

 

Daftar Pustaka
Arisman, & Fatimah, Y. A. (2023). Waste Management in Indonesia: Strategies and Implementation of Sustainable Development Goals (SDGs) and Circular Economy. Dalam S. K. Ghosh (Ed.), Circular Economy Adoption. Springer Singapore. https://doi.org/10.1007/978-981-99-4803-1_5

CE-Adoption_SKG-SKG_book-Spring…

Fatimah, Y. A., et al. (2020). Industry 4.0 based sustainable circular economy approach for smart waste management system to achieve sustainable development goals: A case study of Indonesia. Journal of Cleaner Production, 269, 122263.

Ghosh, S. K. (Ed.). (2020). Circular Economy: Global Perspective. Springer, Singapore.

Ellen MacArthur Foundation. (2017). A New Textiles Economy: Redesigning Fashion’s Future.

Jika ingin, saya bisa menyederhanakan daftar pustaka ke hanya sumber utama atau menyesuaikan dengan gaya sitasi tertentu (APA/IEEE/Chicago).