Mengapa Temuan Ini Penting untuk Kebijakan
Perubahan besar yang sedang terjadi di industri konstruksi global tidak bisa dilepaskan dari gelombang digitalisasi. Artikel Sustainability (2020) menyoroti bagaimana teknologi digital seperti Building Information Modeling (BIM), Internet of Things (IoT), big data, kecerdasan buatan (AI), dan sistem kolaborasi berbasis platform telah mengubah cara proyek konstruksi direncanakan, dikelola, dan dijalankan. Temuan ini sangat penting untuk kebijakan publik karena konstruksi merupakan salah satu sektor penyumbang emisi karbon terbesar di dunia, sekaligus sektor dengan rantai pasok yang kompleks dan sering kali kurang efisien.
Digitalisasi memberi peluang untuk mempercepat transisi menuju pembangunan hijau dan berkelanjutan. Dengan teknologi yang tepat, konsumsi energi dapat ditekan, limbah konstruksi bisa diminimalisasi, dan kualitas hidup masyarakat meningkat melalui infrastruktur yang lebih ramah lingkungan. Namun, jika kebijakan publik tidak responsif terhadap tren ini, ada risiko besar bahwa industri konstruksi Indonesia maupun negara lain akan tertinggal. Ketertinggalan tersebut bukan hanya soal teknologi, melainkan juga menyangkut daya saing ekonomi, reputasi internasional, dan yang paling penting: kemampuan negara dalam memenuhi target pembangunan berkelanjutan (SDGs).
Pentingnya temuan ini juga terlihat dari konteks lokal. Indonesia, misalnya, tengah menghadapi tantangan besar berupa kebutuhan infrastruktur yang masif, urbanisasi cepat, serta komitmen pengurangan emisi sesuai Paris Agreement. Digitalisasi dalam konstruksi dapat menjadi kunci untuk menjawab semua tantangan ini sekaligus. Tetapi, tanpa kerangka kebijakan yang jelas dan konsisten, teknologi berpotensi hanya diadopsi secara parsial, menghasilkan ketimpangan antara perusahaan besar dan kecil, serta gagal memberikan dampak positif yang merata.
Dengan demikian, temuan ini relevan bukan hanya untuk kalangan akademik atau industri, tetapi terutama untuk pembuat kebijakan. Digitalisasi harus dipandang sebagai alat strategis untuk membangun sistem konstruksi yang lebih efisien, inklusif, aman, dan berkelanjutan.
Implementasi di Lapangan: Dampak, Hambatan, dan Peluang
Di lapangan, implementasi digitalisasi dalam industri konstruksi sudah mulai terlihat, meskipun masih terbatas. Dampaknya cukup signifikan di berbagai negara maju yang telah lebih dulu mengintegrasikan teknologi digital ke dalam regulasi dan praktik bisnis. Misalnya, Inggris mewajibkan penggunaan BIM untuk proyek pemerintah sejak 2016, yang terbukti meningkatkan transparansi, mengurangi kesalahan desain, dan menekan biaya proyek. Di Tiongkok, penerapan big data dan IoT dalam konstruksi gedung-gedung tinggi berhasil meningkatkan keselamatan kerja dengan memantau kondisi struktur secara real time.
Bagi Indonesia, dampak positif yang dapat dirasakan dari digitalisasi konstruksi sangat besar. Efisiensi biaya dan waktu terlihat nyata dalam studi-kasus lokal, seperti dalam artikel Evaluasi Implementasi Building Information Modeling (BIM) di Indonesia: Studi Kasus Nyata dan Strategi Pengembangan, di mana proyek-proyek strategis berhasil menurunkan biaya desain dan mempercepat koordinasi antar tim. Selain itu, peningkatan kualitas dan keamanan juga makin diperkuat lewat laporan seperti Digitalisasi Kesehatan dan Keselamatan Kerja di Proyek Konstruksi: Solusi Masa Depan atau Tantangan Budaya?, yang menyebut bagaimana sensor IoT dan BIM dapat meningkatkan pengawasan keselamatan di lokasi kerja dan memperkecil kecelakaan akibat kondisi yang tidak terukur. Selain itu, pengurangan dampak lingkungan bisa dicapai melalui penggunaan teknologi hijau dan IoT dalam proyek—seperti yang diulas dalam Menuju Masa Depan Hijau: Analisis Penerapan Teknologi Konstruksi Ramah Lingkungan dalam Proyek Infrastruktur, di mana penggunaan sensor IoT dan simulasi desain BIM membantu mengoptimalkan material dan konsumsi energi.
Namun, perjalanan menuju digitalisasi penuh tidak tanpa hambatan. Biaya implementasi teknologi masih menjadi penghalang utama, terutama bagi kontraktor kecil dan menengah. Investasi perangkat keras, perangkat lunak, serta pelatihan sumber daya manusia membutuhkan dana yang tidak sedikit. Hambatan berikutnya adalah resistensi terhadap perubahan. Banyak praktisi di lapangan yang sudah terbiasa dengan metode konvensional dan enggan beralih ke sistem digital yang dianggap rumit. Keterbatasan keterampilan digital juga menjadi persoalan serius. Tanpa pelatihan yang memadai, teknologi canggih sekalipun tidak akan memberi manfaat optimal.
Meski demikian, peluang yang ada jauh lebih besar daripada hambatan. Digitalisasi membuka kesempatan bagi terciptanya ekosistem kolaboratif yang lebih inklusif. Perusahaan-perusahaan konstruksi bisa saling terhubung dalam satu platform digital, berbagi data proyek, dan bekerja sama secara lebih efisien. Artikel Strategi Nasional Menghadapi Kesenjangan Keterampilan Digital di Industri Konstruksi untuk Era Industri 4.0 menunjukkan bahwa salah satu langkah strategis adalah pelatihan dan pengembangan keterampilan digital yang fokus agar pekerja bukan hanya mampu menggunakan perangkat digital, tapi memahami konteks penggunaannya, sehingga adopsi teknologi lebih optimal. Regulasi nasional dan insentif juga disebut dalam Implementasi Building Information Modeling Untuk Percepatan Pembangunan sebagai faktor pendukung kuat agar penggunaan BIM dan teknologi digital bisa lebih tersebar, tidak hanya di proyek besar tapi juga di skala menengah dan kecil.
Rekomendasi Kebijakan Praktis
Untuk memastikan bahwa digitalisasi benar-benar mendukung pembangunan berkelanjutan, kebijakan publik harus dirancang dengan hati-hati. Ada beberapa langkah praktis yang bisa dipertimbangkan.
Pertama, pemerintah perlu membuat regulasi yang mendorong adopsi teknologi digital pada proyek-proyek strategis. Seperti Inggris yang mewajibkan BIM, Indonesia bisa menetapkan aturan serupa untuk proyek infrastruktur pemerintah. Regulasi ini akan menciptakan standar nasional yang jelas sekaligus mendorong industri untuk beradaptasi.
Kedua, kebijakan insentif perlu dirancang untuk mengatasi hambatan biaya. Pemerintah bisa memberikan potongan pajak, subsidi perangkat lunak, atau skema pembiayaan khusus bagi perusahaan konstruksi yang mengadopsi teknologi digital. Insentif ini penting agar digitalisasi tidak hanya menjadi domain perusahaan besar, tetapi juga bisa diakses oleh kontraktor kecil dan menengah.
Ketiga, pengembangan sumber daya manusia harus menjadi prioritas. Pemerintah bersama perguruan tinggi, politeknik, dan asosiasi profesi bisa mengembangkan kurikulum baru yang fokus pada keterampilan digital di bidang konstruksi. Program pelatihan daring, sertifikasi digital, dan workshop reguler bisa mempercepat transformasi keterampilan tenaga kerja.
Keempat, pemerintah perlu membangun infrastruktur digital yang memadai, terutama di daerah-daerah yang sedang berkembang. Akses internet yang cepat dan stabil adalah syarat mutlak bagi keberhasilan digitalisasi. Tanpa itu, kesenjangan digital hanya akan memperlebar ketidakadilan antara kota besar dan daerah terpencil.
Kelima, kebijakan harus memastikan bahwa digitalisasi digunakan untuk tujuan keberlanjutan, bukan sekadar efisiensi. Setiap proyek konstruksi digital sebaiknya disertai indikator hijau, seperti pengurangan emisi karbon, efisiensi energi, atau penggunaan material ramah lingkungan. Dengan demikian, digitalisasi tidak hanya mendukung keuntungan ekonomi, tetapi juga memberikan kontribusi nyata terhadap pencapaian SDGs.
Kritik terhadap Potensi Kegagalan Kebijakan
Meskipun digitalisasi menawarkan banyak peluang, ada potensi kegagalan kebijakan jika tidak dirancang dengan baik. Salah satu risiko terbesar adalah adopsi setengah hati. Jika regulasi hanya bersifat imbauan tanpa mekanisme pengawasan, banyak perusahaan yang akan memilih jalan aman dengan tetap menggunakan metode konvensional. Hal ini akan menciptakan kesenjangan di mana sebagian kecil perusahaan maju pesat dengan teknologi, sementara mayoritas tetap tertinggal.
Risiko lain adalah digitalisasi yang tidak inklusif. Jika kebijakan hanya menguntungkan perusahaan besar, kontraktor kecil akan semakin tersisih. Alih-alih menciptakan ekosistem yang lebih efisien dan kolaboratif, digitalisasi justru bisa memperkuat oligopoli di sektor konstruksi. Potensi kegagalan juga muncul jika fokus hanya pada aspek teknis, sementara aspek sosial dan budaya diabaikan. Misalnya, adopsi teknologi tanpa pelatihan yang memadai hanya akan menciptakan frustrasi di kalangan pekerja lapangan.
Selain itu, ada risiko bahwa digitalisasi disalahgunakan untuk kepentingan komersial semata. Perusahaan mungkin mengadopsi teknologi hanya untuk meningkatkan keuntungan tanpa memperhatikan dampak lingkungan atau kesejahteraan pekerja. Jika hal ini terjadi, digitalisasi justru bertentangan dengan tujuan pembangunan berkelanjutan.
Kritik juga perlu diarahkan pada kemungkinan bahwa kebijakan digitalisasi terlalu fokus pada jangka pendek. Banyak negara mengadopsi teknologi baru tanpa menyiapkan strategi pemeliharaan jangka panjang. Akibatnya, sistem digital yang sudah diinvestasikan dengan mahal menjadi usang atau tidak terpakai karena tidak ada rencana pembaruan.
Penutup
Digitalisasi dalam industri konstruksi bukan sekadar tren teknologi, melainkan kebutuhan strategis yang harus direspons oleh kebijakan publik. Temuan Sustainability (2020) memberikan pesan kuat bahwa teknologi digital adalah kunci untuk menjawab tantangan pembangunan hijau, efisiensi energi, dan keberlanjutan lingkungan. Namun, peluang besar ini hanya bisa dimanfaatkan jika pemerintah, industri, dan masyarakat bekerja sama dalam menciptakan ekosistem yang inklusif, efisien, dan berorientasi pada keberlanjutan.
Bagi Indonesia, digitalisasi bisa menjadi jalan keluar dari berbagai persoalan klasik konstruksi, mulai dari inefisiensi biaya, rendahnya kualitas, hingga tingginya angka kecelakaan kerja. Dengan regulasi yang jelas, insentif yang tepat, pelatihan sumber daya manusia, infrastruktur digital yang memadai, serta fokus pada tujuan hijau, transformasi ini bisa menjadi kenyataan. Namun, kebijakan harus dijalankan dengan konsisten dan diawasi dengan ketat agar tidak terjebak dalam formalitas atau hanya menguntungkan segelintir pihak.
Pada akhirnya, digitalisasi harus dipandang sebagai alat untuk membangun masa depan konstruksi yang lebih hijau, lebih aman, dan lebih manusiawi. Inilah saatnya kebijakan publik berperan sebagai penggerak utama dalam mewujudkan transformasi besar ini.
Sumber
Zheng, L., et al. (2020). Digitalization in the Construction Industry: Challenges and Opportunities for Green and Sustainable Development. Sustainability, 12(2729).