Pendahuluan: Ambisi dan Konteks Global
Denmark telah menetapkan target pengurangan emisi gas rumah kaca sebesar 70% pada 2030 dibandingkan level 1990 dan net-zero emissions pada 2050. Di tengah krisis iklim dan tekanan ekonomi pasca-pandemi, negara ini tidak hanya menunjukkan komitmen, tetapi juga menawarkan cetak biru yang dapat diadopsi oleh negara lain. Kajian yang dilakukan oleh Nicoletta Batini, Ian Parry, dan Philippe Wingender dalam IMF Working Paper WP/20/235 mengulas kebijakan fiskal Denmark sebagai model prototipe kebijakan iklim nasional yang progresif dan adil.
Strategi Inti: Harga Karbon sebagai Pusat Kebijakan
Denmark memusatkan strateginya pada carbon pricing, termasuk:
- Pengenaan pajak karbon domestik sebesar $100/ton CO₂ pada 2030.
- Integrasi dengan sistem ETS (Emission Trading System) Uni Eropa.
- Pemanfaatan penerimaan pajak karbon untuk mengurangi tarif pajak penghasilan sebesar 1% demi mengimbangi dampak ekonomi terhadap rumah tangga.
Penetapan harga karbon ini, meski signifikan, hanya mengurangi emisi sebesar 19% dari BAU (Business As Usual) pada 2030. Oleh karena itu, perlu penguatan dengan kebijakan tambahan berbasis sektor.
Kebijakan Penguat: Feebate dan Border Carbon Adjustment (BCA)
1. Feebate: Skema Insentif Netral Anggaran
Feebate diterapkan sebagai alternatif regulasi ketat, melalui sistem:
- Biaya untuk produk/aktivitas beremisi tinggi, dan
- Subsidi untuk yang beremisi rendah.
Contoh implementasi:
- Transportasi: Subsidi hingga $14.000 untuk EV, dan pajak $7.500 untuk mobil berbahan bakar konvensional dengan emisi 145 g CO₂/km.
- Sektor pertanian: Petani dibebani atau diberi insentif berdasarkan emisi CO₂-ekivalen per hektar dibanding rata-rata industri.
Feebate dipilih karena:
- Lebih fleksibel dan cost-effective dibanding regulasi.
- Tidak membebani APBN.
- Dapat mengintegrasi langsung ke sistem pajak yang sudah ada (seperti pajak registrasi kendaraan).
2. BCA: Mengatasi Risiko Kompetisi dan Kebocoran Karbon
Border Carbon Adjustment adalah solusi untuk:
- Melindungi industri nasional dari produk impor beremisi tinggi.
- Mencegah carbon leakage (misalnya, 35% kebocoran karbon di Denmark akibat perdagangan terbuka).
- Menyesuaikan harga karbon produk impor dengan emisi tertanamnya.
Potensi penerimaan dari BCA dapat digunakan untuk:
- Menurunkan resistensi hukum internasional.
- Mendukung negara berkembang melalui Dana Iklim Hijau (Green Climate Fund).
Dampak Sosial dan Ekonomi: Analisis Keadilan Kebijakan
Beban Rumah Tangga:
Dengan pajak karbon $100/ton CO₂ pada 2030, beban pada konsumsi rumah tangga rata-rata hanya 1,8% dan dapat:
- Dikompensasi penuh melalui penurunan tarif pajak penghasilan.
- Memicu peningkatan jam kerja sebesar 0,05% dalam jangka panjang.
Distribusi Beban:
- Rumah tangga berpendapatan rendah: Terpengaruh oleh kenaikan harga gas alam dan penurunan upah sektor ekspor.
- Rumah tangga berpendapatan tinggi: Terkena dampak lebih besar dari konsumsi bahan bakar kendaraan pribadi.
Opsi Kompensasi:
- Transfer langsung ke rumah tangga miskin menggunakan 13% dari penerimaan pajak karbon.
- Reformasi tarif listrik agar lebih proporsional terhadap kontribusi energi terbarukan.
Studi Kasus: Dampak dan Capaian Sektoral
- Transportasi: EV hanya 2% dari kendaraan pada 2019, tapi subsidi dan feebate membuatnya kompetitif. Target 100% penjualan kendaraan nol emisi pada 2030.
- Energi: Pajak bahan bakar tinggi (gasoline $0.74/liter) belum mencerminkan semua biaya eksternal. Rencana peralihan ke pajak berbasis kilometer untuk mengatasi penurunan penerimaan dan kemacetan (yang merugikan ekonomi $3,1 miliar pada 2017).
- Pertanian: Emisi dari ternak (terutama sapi perah dan potong) menjadi fokus. Feebate digunakan agar lebih diterima dibanding pajak langsung atas emisi.
- Industri: Penguatan dengan feebate pada emisi per unit produksi, bukan hanya pengurangan emisi absolut.
Kritik dan Opini Tambahan: Apakah Denmark Bisa Jadi Teladan?
Denmark menunjukkan bahwa dekarbonisasi ambisius bisa dicapai tanpa mematikan ekonomi. Namun, ada tantangan:
- Tingkat harga karbon yang tinggi ($200–250/ton CO₂) sulit ditiru negara berkembang.
- Kebutuhan reformasi kelembagaan besar, termasuk data pertanian, sistem pelaporan emisi, dan pengukuran karbon impor.
Meski begitu, mekanisme seperti feebate dan BCA memberikan fleksibilitas tinggi, dan cocok diterapkan di negara dengan kapasitas fiskal menengah. Kuncinya adalah transparansi kebijakan, partisipasi publik, dan penggunaan ulang penerimaan yang adil.
Kesimpulan: Model yang Layak Dicontoh
Denmark berhasil menggabungkan:
- Kebijakan fiskal (carbon pricing, feebate),
- Reformasi sosial (kompensasi pajak, subsidi rumah tangga miskin),
- Instrumen internasional (BCA),
menjadi strategi mitigasi iklim yang terintegrasi dan adil. Model ini bukan hanya cocok untuk negara maju, tetapi juga bisa diadaptasi secara bertahap oleh negara berkembang, khususnya dalam kerangka Paris Agreement dan SDGs.
Sumber : Batini, N., Parry, I., & Wingender, P. (2020). Climate Mitigation Policy in Denmark: A Prototype for Other Countries (IMF Working Paper No. WP/20/235). International Monetary Fund.