Semakin banyaknya kejadian konstruksi bangunan rusak terutama pada bagian atap dicurigai karena kualitas bahan baja ringan yang digunakan tidak memenuhi standar. Ketua Umum Asosiasi Roll Former Indonesia (ARFI), Nicolas Kesuma mengungkapkan produk rangka baja ringan yang beredar di Indonesia diwajibkan telah mendapatkan Standar Nasional Indonesia (SNI) sebagai sebuah bentuk tanggung jawab terhadap pelindungan keamanan konsumen.
Menurutnya, fungsi dari baja ringan adalah untuk menopang atau menyangga penutup atap atau dinding sehingga memberikan kekuatan yang diperlukan untuk melindungi dan menjaga kesatuan struktur atap atau dinding, serta kualitas bangunan.
"Baja ringan yang tidak memenuhi standar keamanan akan berujung pada kegagalan konstruksi yang dampaknya bisa menimbulkan korban jiwa," jelasnya dalam Rapat Pembahasan Analisa Dampak Regulasi Teknis Produk Baja Ringan yang digelar Direktorat Logam, Kementrian Perindustrian, seperti yang dikutip dari pernyataan tertulisnya.
Produk yang telah mendapat label SNI memiliki nilai tambah karena merupakan jaminan kekuatan produk. Diharapkan nantinya produk baja ringan yang telah mendapat sertifikat SNI akan menjadi satu-satunya pilihan konsumen karena terjamin kualitas, kekuatan, dan keamanannya.
"Keselamatan pengguna harus menjadi prioritas utama. Karena itu, SNI 8399:2022 untuk profil rangka baja ringan semakin mendesak untuk dirubah dari status sukarela menjadi wajib karena keamanan pengguna adalah prioritas utamanya. Jangan sampai kepercayaan publik pada produk baja ringan memudar sehingga dampaknya nanti dapat mempengaruhi industri baja ringan yang kini tengah tumbuh di Tanah Air," kata Nicolas lagi.
Industri baja disebut sebagai salah satu industri penggerak di Indonesia. Kebutuhan baja sendiri pada tahun 2045 diproyeksi mencapai 100 juta ton. Saat ini, 18 perusahaan besar penghasil roll forming yang menguasai pasar baja ringan nasional di bawah naungan ARFI telah berkomitmen dalam mewujudkan kemandirian baja nasional.
Mereka meminta langkah selanjutnya, pemerintah harus berkomitmen dalam melakukan langkah-langkah wajib menerapkan SNI sebagai profil rangka baja ringan, pembatasan impor, dan peningkatan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) dalam pembangunan sehingga produk baja ringan dalam negeri meningkat kualitasnya.
Dalam hal ini, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) telah menerapkan kebijakan untuk menggunakan produk lokal berstandar SNI dalam menyelesaikan sejumlah proyek infrastruktur dan perumahaan rakyat. Dalam pengerjaan proyek infrastruktur dan perumahan nasional, Kementerian PUPR mewajibkan penggunaan material produksi dalam negeri yang sudah memiliki SNI, termasuk baja ringan.
"Kebijakan ini tertuang dalam Permen PUPR Nomor 7 Tahun 2021 tentang Pencatatan Sumber Daya Material dan Peralatan Konstruksi (SDMPK). Di situ disebutkan bahwa SDMK (Sumber Daya Material Konstruksi) dan SDPK (Sumber Daya Peralatan Konstruksi) yang digunakan dalam pekerjaan konstruksi harus telah lulus uji dan mengoptimalkan penggunaan produk dalam negeri ," jelas Nicolas.
Sementara itu, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) juga secara bertahap menerapkan SNI wajib untuk produk baja lapis guna meningkatkan kualitas dan pengembangan industri baja dalam negeri.
Nicolas menuturkan di sektor hulu pada tahun 2006 lalu, Kemenperin telah mewajibkan SNI Baja Lapis yang disusul dengan SNI wajib untuk Baja Lapis Seng pada tahun 2007. Baru di kurun waktu 2016 hingga saat ini, ketentuan SNI untuk baja lapis di sektor hilir diberlakukan meski baru bersifat sukarela.
Dia juga menyebutkan ketentuan yang diatur pada SNI profil rangka baja ringan adalah SNI 8399 2017 tentang spesifikasi teknis dan bentuk dasar. Kemudian SNI 8399 AMD 1 2019, tentang tambahan pengaku samping. Lalu SNI 8399 2022, terkait spesifikasi teknis, bentuk dasar, berbagai jenis pengaku. Ketiganya masih bersifat sukarela.
"Tapi kami sangat berharap agar status sukarela ini bisa menjadi wajib sehingga industri baja ringan di Indonesia semakin maju. Untuk itu kami sangat mengapresiasi langkah Kemenperin yang pada 26 Maret 2024 lalu telah mengundang ARFI, asosiasi produsen baja ringan lain, serta Kementerian PUPR guna membahas analisa dampak regulasi teknis produk baja ringan dari sukarela menjadi wajib ini," tutup Nicolas.
Terakhir, dia menceritakan, kegagalan konstruksi akibat penggunaan profil rangka baja ringan yang belum berstatus SNI sudah banyak ditemukan di Tanah Air. Januari lalu, 6 siswa SMPN 2 Greged, Kabupaten Cirebon terluka setelah atap ruang kelas mereka ambruk ketika kegiatan belajar mengajar tengah berlangsung. Di bulan ini saja, dalam sepekan ada 2 sekolah di kabupaten Bogor yang ambruk. Di SMPN 1 Sukajaya, Kabupaten Bogor, 2 ruang kelas yang ambruk. Sementara di SMAN 1 Ciampea, atap bangunan yang ambruk melukai 7 siswa yang tengah belajar.
Sumber: detik.com