Bintang Jatuh dan Kisah Tuan Kebun Belanda Sang Raja Teh

Dipublikasikan oleh Nadia Pratiwi

15 Mei 2024, 11.11

Sumber: CNBC Indonesia/ Andrean Kristianto

Ki Topa, 106 tahun, warga Cianjur dekat selatan Bandung, Jawa Barat masih bugar saat menceritakan awal pembukaan Perkebunan Bintang di selatan Jawa Barat (Jabar).

Perkebunan Bintang di pekarangan rumahnya diambil dari nama kejadian 'bintang jatuh' atau meteor yang berhasil ditemukan kembali lokasinya di hutan pinus di sekitar Perkebunan Bintang, oleh CNBC Indonesia dan warga sekitar pada April 2023 lalu.

Ki Topa menceritakan bahwa kejadian 'bintang jatuh' terjadi pada era tuan kebun 'Adiwar' atau diduga sebagai Edward atau Eduard. Namun, Ki Topa hanya tahu nama itu sebagai pembuka lahan teh dan kina saat dugaan saat kejadian waktu meteor jatuh di Jabar selatan, di kampung halamannya.

CNBC Indonesia sulit memastikan siapa yang dimaksud Adiwar atau Edward/Eduard oleh Ki Topa. Namun, berdasarkan pencarian literasi sejarah soal perkebunan teh di selatan Jawa Barat pada masa silam, memang ditemukan keluarga tuan kebun bernama Eduard. Selain itu, pada periode akhir abad ke-19 (1885-1898), Kebun Kina Rancabali juga dibuka yang lokasinya berdekatan dengan situs kawah meteor. 

Di daerah Jawa Barat ada tiga nama keluarga kaya pemilik kebun teh terbesar, antara lain keluarga Holle yang memiliki Perkebunan Teh Waspada di daerah Garut, keluarga Bosscha yang mengembangkan Perkebunan Teh Malabar di daerah Pangalengan, dan keluarga Kerkhoven yang menguasai Perkebunan Teh Sinagar dan Parakan Salak di Sukabumi dan Perkebunan Teh Gambung dan Arjasari di Bandung.

Dua nama terakhir merupakan nama besar di sektor teh daerah Priangan. Bagaimana ceritanya?

Rudolf Eduard Kerkhoven (1848-1918) adalah paman dari Karel Albert Bosscha (1865-1928). Dalam buku biografi astronom Belanda Jacobus C. Kapteyn berjudul Pioneer of Galactic Astronomy (2021) diketahui, Kerkhoven sangat berjasa bagi perkembangan kebun teh Bosscha di Pangalangen.

Sebab, Kerkhoven menjadi orang Belanda pertama yang membuka perkebunan teh di Pangalengan. Dia membuka kebun teh karena keberhasilan ayahnya membuka kebun teh di daerah Banjaran pada 1869 dan Ciwidey pada 1873. 

Keberanian Kerkhoven membuka lahan teh sebagai pendatang baru di Hindia Belanda disebabkan karena dukungan kuat dari seorang tokoh besar bernama S. J. W Van Buuren dan bantuan dana dari firma John Peet dan Co. Ditambah lagi, saat itu pun sudah diberlakukan liberalisasi pertanian lewat UU Agraria 1870 yang membuat pihak swasta bebas membuka lahan baru untuk perkebunan.

Namun, peran Kerkhoven di daerah utara Bandung ini tidak lama. Dia hanya sebatas membuka perizinan lahan teh baru sebelum akhirnya diteruskan oleh sepupunya Bosscha. 

Dia kemudian fokus pada membangun kebun di daerah Jawa Barat Selatan dan sekitar Bandung. Beruntung berkat UU Agraria itu, dia mendapat hak erfpacht yang membuat bisa menambah luas tanah dari tahun ke tahunnya. Jadi, tak heran kalau Kerkhoven punya banyak kebun teh dan mampu mendirikan kerajaan bisnis bernama, Kerkhoven dan  Co.

Setelah meninggal pada 1918 dan dimakamkan di Gambung, Ciwidey, kerajaan bisnis teh itu kemudian diteruskan oleh anak-cucunya. Khusus jabatan komisaris, selalu dipegang turun-temurun oleh keluarga Kerkhoven. Siti Julaeha dalam Perkebunan Teh di Hindia Belanda Studi Kasus Perkebunan Teh Malabar (2010) mencatat, secara bergantian A.R.W Kerkhoven, Johannes Kerkhoven, dan Eduard Julis Kerkhoven.

Mereka inilah yang kemudian mengurus perkebunan dalam situasi sulit, seperti ketidakseimbangan harga dan tingkat produksi teh di pasaran global, serta depresi ekonomi 1930-an. Beban pengelolaan ini berkurang ketika kebun tehnya mulai diambil alih pemerintah kolonial yang kemudian berlanjut dipegang pemerintahan republik.

Sumber: https://www.cnbcindonesia.com/