JAKARTA, KOMPAS.com – Pemerintah terus mengupayakan pembangunan infrastruktur sumber daya air (SDA) di seluruh wilayah Indonesia.
Pembangunan infrastruktur SDA ini mencakup waduk, bendung dan bendungan yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan air masyarakat.
Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono kerap mengemukakan alasan lain dibangunnya bendungan, seperti mendukung ketahanan pangan, pembangkit listrik tenaga air, mereduksi banjir hingga desitinasi wisata yang mampu meningkatkan perekonomian warga.
Akan tetapi, selain manfaat yang dihadirkan melalui pengadaan bendungan, terdapat berbagai dampak negatif yang jarang disebutkan dan diketahui oleh masyarakat.
Dilansir dari American Rivers, Jumat (11/2/2022), sebuah studi oleh para peneliti di Eropa mengatakan, sebanyak 3.700 bendungan baru yang sedang dibangun di seluruh dunia tidak akan mampu memenuhi kebutuhan listrik di negara-negara berkembang seperti tujuan awal.
Sebaliknya, bendungan diperkirakan menghasilkan emisi gas metana yang jauh lebih tinggi dari perolehan energi.
Alih-alih berkontribusi untuk menyelesaikan krisis iklim, tetapi bendungan malah memberikan dampak negatif yang besar bagi lingkungan.
Selain itu, pembangunan bendungan bisa menimbulkan masalah ekologi baru dengan pengurangan jumlah sungai yang mampu mengalir bebas di seluruh dunia sebesar 21 persen.
Pembangunan bendungan juga kerap membutuhkan sebagian lahan warga sekitar yang tidak jarang menimbulkan konflik dalam proses pembebasannya.
Misalnya adalah konflik antara warga dan kepolisian di Desa Wadas, Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo, Provinsi Jawa Tengah, belum lama ini.
Beberapa warga tidak menyetujui lahan mereka akan dibebaskan dan digunakan sebagai area pertambangan batu andesit yang disebut merupakan salah satu material pembangunan Bendungan Bener.
Sementara itu, dilansir dari Arcadia, kehadiran bendungan juga menimbulkan risiko penumpukan sedimen ketika air mengalir melalui turbin internal.
Hal tersebut dapat menciptakan penumpukan sedimen dan mencemari serta mengganggu ekologi air.
Lebih lanjut, ketika air sungai dialihkan karena bendungan, ini dapat sangat mengganggu ekosistem alam yang rapuh serta menyebabkan kematian flora dan fauna yang tidak mampu bertahan.
Sebagai contoh, setelah Bendungan Aswan di Mesir dibangun, para ilmuwan melihat adanya penurunan tajam dalam produksi ikan di area sekitar karena jumlah nutrisi dan makanan yang berkurang.
Tangga ikan yang dibangun di bendungan untuk membantu ikan bermigrasi juga tidak dapat digunakan dengan baik oleh ikan, terlebih ketika air bendungan bergerak sangat cepat.
Tidak hanya itu, erosi akibat pengurangan sedimen pasca pembangunan Bendungan Aswan turut mempersempit lahan warga untuk bertani dan bekerja.
Hal yang sama juga terjadi pada wilayah sekitar Bendungan Tiga Ngarai di China yang mengalami pengikisan tanah pada garis pantai terdekatnya.
Terkait masalah ini, Pengamat Bendungan Didiek Djarwadi mengatakan bahwa lokasi suatu penelitian bendungan dan fungsi bendungan dapat memberikan hasil yang berbeda.
“Misalkan di Eropa yang fungsi bendungan biasanya hanya untuk energi listrik, akan beda dengan daerah lain seperti Asia yang bendungannya multifungsi, untuk irigasi, pembangkit listrik, pengendalian banjir, air baku suatu kota atau daerah dan tempat wisata,” ujar Didiek saat dihubungi Kompas.com, Kamis (10/2/2022).
Sedangkan jika melihat kondisi Indonesia dengan dua musim, yakni musim hujan dan kemarau, mengumpulkan air sungai dalam suatu tampungan yang terukur volumenya untuk pemanfaatan secara berkelanjutan menjadi lebih baik dibandingkan dengan tanpa bendungan.
"Apabila air ditampung di suatu bendungan maka air yang terkumpul dalam siklus tahunan dapat memberikan manfaat, seperti air irigasi yang konstan dan pembangkit listrik yang konstan yang tentunya akan didasarkan pada kapasitas air yang handal dalam kurun waktu satu tahun,” pungkas Didiek.
Sumber: kompas.com