Penulis: cakHP (Heru Prabowo)

Bangsa Indonesia jago survival — mengakali, menambal, menghindar — tetapi gagal membangun machine-enabled society yang memproduksi teknologi, bukan sekadar mengimpor atau merakit.

I. Bangsa yang Selalu Hampir Maju
Kita negara yang aneh.
Setiap kali dunia berubah, Indonesia hampir ikut naik kelas. Hampir jadi pusat manufaktur Asia Tenggara. Hampir memimpin hilirisasi nikel. Hampir menjadi pemain EV. Hampir mandiri pangan. Hampir menguasai logistik Laut Nusantara. Hampir membangun industri pertahanan modern.
“Hampir” ini bukan kebetulan. Ia adalah pola budaya. Kita bangsa yang pintar bertahan hidup, tetapi tidak pernah membangun mesin — baik mesin dalam arti literal (industri, manufaktur, teknologi), maupun simbolik (institusi, standar, protokol, sistem insentif).
Makanya, dalam setiap krisis, rakyat Indonesia bisa hidup dengan kreativitas ekstrem:
warung buka satu jam setelah bencana,
UMKM muncul besok paginya,
logistik informal bekerja lebih cepat dari BNPB.
Tetapi ketika harus membuat teknologi tingkat industri:
turbin, mesin presisi, chip desain,
modul baterai efisiensi tinggi, atau
sekadar jembatan baja modular standar nasional, kita gagap. Dan hari ini dunia tidak menunggu kita.
Dekade 2025–2035 adalah dekade terakhir sebelum peta industri global mengeras. Yang siap — Vietnam, India, Meksiko, Turki — mengambil porsi terbesar. Yang lambat, tersingkir jadi mineral supplier. Indonesia ada di tengah persimpangan itu. Dan arah kita tidak meyakinkan.

II. Analisis Antropologis Modern: Mengapa Kita Tidak Bisa Membuat Mesin
Indonesia tidak kekurangan orang pintar.
Yang kurang adalah arah budaya produksi. Mari gunakan kerangka antropologi modern (bukan Hofstede yang sudah usang), terutama anthropology of technology, political economy of innovation, dan cultural tightness–looseness theory.
1. Kita adalah survival culture, bukan production culture
Dalam riset psikologi budaya terbaru, masyarakat yang tumbuh di lingkungan serba tidak pasti mengembangkan improvisation-first mindset: pola pikir mengakali situasi, bukan membuat sistem jangka panjang. [^1]
Ciri-cirinya jelas:
jago “problem solving instan”
buruk dalam membuat standard operating procedure
unggul informalitas
lemah dalam process control
sangat adaptif
tidak membangun path dependency institusional.
Ini cocok untuk pedagang kaki lima, tapi fatal untuk industri mesin, baterai, semikonduktor, dan rantai pasok presisi.
2. Kita terjebak dalam improvisation trap
Improvisasi membuat kita bertahan hidup, tetapi tidak pernah naik kelas.
Karena:
improvisasi membuat institusi formal tidak berkembang
improvisasi memberi ilusi “pintar”
improvisasi menghasilkan kebijakan ad-hoc
improvisasi menghancurkan learning curve teknologi.
Saat Vietnam membangun manufacturing discipline sejak 2010, kita masih sibuk mencari “jalur cepat”.
Saat India berinvestasi belasan miliar dolar dalam electronics clusters, kita negosiasi export relaxation untuk smelter yang belum siap. [^2]
3. Tight culture dalam moral, loose culture dalam produksi
Penelitian Michele Gelfand menunjukkan bahwa negara yang longgar (loose) adaptif, tetapi buruk dalam risiko dan disiplin teknis. [^3]
Indonesia unik:
kita tight dalam moral sosial, tetapi loose dalam produksi.
urusan pakaian bisa ribut nasional
tetapi toleransi terhadap deviasi standar konstruksi sangat tinggi
urusan simbolik heboh
urusan audit proses manufaktur longgar.
Hasilnya: kita hebat membuat narasi nasional, tetapi kalah membuat mesin nasional.
4. Path dependency kita tidak industrial
Negara industri membangun jalur kebiasaan jangka panjang:
standarisasi → akumulasi pengalaman → inovasi bertahap → skala.
Indonesia selalu memutus jalur itu.
Contoh paling gamblang: kebijakan hilirisasi nikel 2014–2024.
Kita mengubah regulasi setiap 12–18 bulan. [^4]
Tidak ada policy path yang cukup panjang untuk membentuk industri baterai.
Tidak ada institutional memory.
5. Negara cenderung jadi “perantara politik”, bukan “platform produksi”
Institusi kita bekerja sebagai perantara:
izin
rente
konsesi
proyek APBN
kemudahan impor
proteksi pasar.
Bukan sebagai platform produksi nasional:
pusat R&D
biro standar
laboratorium uji nasional
ekosistem manufaktur.
Kita membangun “pos penjagaan”, bukan “mesin negara”.
.

III. Rekomendasi Radikal: Apa yang Harus Diubah Sekarang
Jika Indonesia ingin keluar dari kutukan “bangsa pintar bertahan hidup tetapi bodoh bikin mesin”, kita perlu perubahan radikal — bukan kosmetik.
A. Paksakan Standarisasi Nasional: 10 Produk Inti
Pilih 10 produk sebagai tulang punggung industri Nusantara, misalnya :
1. jembatan baja modular standar
2. baterai sel LFP & NMC
3. motor listrik
4. panel surya presisi
5. modul logistik pelayaran
6. alat kesehatan dasar
7. mesin pertanian
8. drone sipil & militer
9. sistem penyimpanan energi
10. bahan bakar bio-synthetic.
Lalu
wajibkan satu standar nasional, seperti Jepang pada 1950–1970.
Setiap produk: satu platform teknologi, banyak produsen.
Bukan 1000 merk, 0 standar.

B. Reformasi radikal ekosistem teknologi:
Audit semua laboratorium teknologi: tutup 30% yang tidak efektif
Gabungkan riset BRIN - PTN yang redundan
Wajibkan Technology Readiness Level (TRL) minimum untuk semua proposal
Jadikan pembelian pemerintah sebagai industrial policy yang jelas
Larang impor barang yang sudah punya substitusi nasional (dengan tenggat rasional).

C. Nasionalisasi path dependency
Buat 15-year non-negotiable policy track:
hilirisasi baterai
industri kelistrikan EV
manufaktur agritech
logistik maritim
sistem pertahanan berbasis drone
industri AI + chip desain (level menengah).
Regulasi tidak boleh berubah kecuali force majeure.
Ini yang Vietnam lakukan dengan kemitraan FDI Korea selama 15 tahun. [^5]

D. Jadikan BUMN sebagai anchor firm, bukan monopoli malas
BUMN harus menjadi “mesin pembentuk peluang”, bukan “administrator rente”.
BUMN logistik memaksa standardisasi kontainer Nusantara
BUMN energi mewajibkan local content yang realistis, tapi konsisten
BUMN konstruksi menggunakan jembatan modular standar
BUMN pertahanan melakukan forced joint development, bukan sekadar offset

E. Revolusi pendidikan teknologi
Kita tidak butuh lebih banyak sarjana manajemen.
Kita butuh:
60.000 teknisi mekatronik baru per tahun
politeknik dengan dual system seperti Jerman
maker culture yang terpusat, bukan festival insidental
insentif besar untuk non-degree engineering pathways.

F. Ubahlah cara negara memandang inovasi
Inovasi bukan “acara expo”.
Inovasi adalah:
struktur insentif
disiplin teknis
akumulasi pengalaman
skala produksi
learning curve.
Jika tidak mengubah logika negara, kita akan terus kalah dari Vietnam — yang kini sudah menyalip Indonesia di ekspor elektronik. [^6]
.

IV. Horizon Peradaban: Indonesia sebagai Mesin Produksi, Bukan Pasar
Bayangkan Indonesia 2045. Bukan yang sering dipasang di slide PowerPoint kementerian. Indonesia 2045 yang rasional adalah ini:
45% ekspor berasal dari barang manufaktur presisi
30% energi disimpan dalam baterai buatan domestik
5 juta motor listrik dibuat di Jawa–Sumatra
logistik laut Nusantara standar seperti Jepang 1980
industri pangan memproduksi surplus berbasis mesin
sistem pertahanan berbasis drone & AI
70% jembatan pedesaan memakai modular standar nasional
2 juta teknisi mekatronik membentuk kelas menengah baru.
Ini bukan mimpi — ini
pilihan kebijakan. Atau, skenario lain:
Indonesia menjadi negara 270 juta penduduk yang bergantung pada impor mesin, sementara kita mengekspor nikel murah, tenaga kerja kasar, dan konten Tiktok.
Dua masa depan itu ditentukan oleh pertanyaan sederhana: apakah kita mau berhenti jadi bangsa yang hanya pintar bertahan hidup, dan mulai membangun mesin?

KOSAKATA PENTING
Survival Culture
Budaya yang terbentuk oleh lingkungan tidak pasti, menyebabkan masyarakat mengandalkan improvisasi, bukan sistem.
Production Culture
Budaya yang menekankan standar, disiplin proses, dan pembangunan mesin fisik maupun institusional.
Improvisation Trap
Ketika kemampuan mengakali masalah menghambat perkembangan institusi dan disiplin produksi.
Path Dependency
Jalur kebiasaan jangka panjang yang membentuk kemampuan industri suatu bangsa.
Tight–Loose Culture Theory
Kerangka antropologi tentang kedisiplinan norma sosial dan fleksibilitas menghadapi ketidakpastian.
WEIRD
Western, Educated, Industrialized, Rich, Democratic — kategori masyarakat dalam psikologi budaya yang berbeda secara struktural dari Indonesia.
.

ENDNOTES
[^1]: Henrich, J. (2020). The WEIRDest People in the World.
[^2]: Kementerian ESDM, Laporan Minerba 2023–2024.
[^3]: Gelfand, M. (2018). Rule Makers, Rule Breakers.
[^4]: Kompilasi regulasi hilirisasi 2014–2024, ESDM–BKPM.
[^5]: Vietnam–Korea Industrial Cooperation Report 2023.
[^6]: UNCTAD, Handbook of Statistics 2024.
.

PUSTAKA BACA
Gelfand, M. (2018). Rule Makers, Rule Breakers: How Tight and Loose Cultures Wire Our World. Scribner.
Henrich, J. (2020). The WEIRDest People in the World: How the West Became Psychologically Peculiar and Particularly Prosperous. Farrar, Straus and Giroux.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. (2024). Laporan Kinerja Subsektor Minerba.
UNCTAD. (2024). Handbook of Statistics. United Nations.
World Bank. (2023). Vietnam Manufacturing and FDI Deepening Report.