Bakpia Bukan Sekadar Oleh-Oleh: Kisah Budaya Yogyakarta Lewat Film Dokumenter

Dipublikasikan oleh Afridha Nu’ma Khoiriyah

06 Mei 2025, 12.17

pixabay

Pendahuluan

Yogyakarta telah lama dikenal bukan hanya sebagai kota pelajar dan budaya, tetapi juga sebagai rumah dari berbagai ikon kuliner khas. Salah satu yang paling melekat dalam benak wisatawan maupun penduduk lokal adalah bakpia. Makanan ringan berbentuk bulat pipih ini tak hanya dikenal sebagai oleh-oleh khas, melainkan juga telah menjelma sebagai penanda identitas kultural.

Dalam skripsinya, Dicky Eriyanto tidak sekadar mengulas sejarah atau persebaran bakpia, melainkan menyelami lebih dalam bagaimana bakpia diposisikan sebagai lambang budaya lokal melalui media visual, khususnya film dokumenter bergaya ekspository. Pendekatan ini menghadirkan perspektif baru mengenai relasi antara kuliner, identitas budaya, dan representasi media.

Ekspository Documentary

Apa Itu Gaya Ekspository?

Gaya ekspository dalam dokumenter merupakan gaya yang bersifat informatif, dengan narasi sebagai pengikat utama. Pendekatan ini digunakan untuk menyampaikan fakta dan argumen secara langsung kepada penonton. Dalam dokumenter “Bakpia” yang disutradarai oleh Dicky Eriyanto, gaya ini digunakan secara dominan untuk menarasikan perjalanan dan nilai simbolik bakpia dalam masyarakat Yogyakarta.

Narasi dalam film ini bersifat voice-over (suara di luar layar), membimbing audiens menelusuri sejarah, proses pembuatan, serta makna sosial dari bakpia. Visual yang disajikan mendukung narasi secara kuat, sehingga informasi dapat diterima secara utuh dan jelas oleh penonton.

Studi Kasus

Tahap Produksi: Dari Ide ke Layar

Dicky memulai penelitiannya dengan observasi langsung di sentra produksi bakpia seperti Pathuk dan Kauman, melakukan wawancara mendalam dengan pelaku UMKM dan konsumen, serta mempelajari sejarah kuliner tersebut sejak era kolonial. Proses ini kemudian dijadikan bahan utama dalam skenario film dokumenter.

Tahapan produksi mengikuti struktur konvensional:

  • Pra-produksi: Riset lapangan, penyusunan narasi, dan penjadwalan pengambilan gambar.

  • Produksi: Pengambilan gambar di lokasi pembuatan bakpia, wawancara narasumber, dan pengambilan visual pendukung (B-roll).

  • Pasca-produksi: Penyuntingan visual, sinkronisasi audio, dan pengisian narasi suara.

Durasi dan Struktur Film

Film ini berdurasi sekitar 15 menit dan dibagi ke dalam beberapa segmen:

  1. Pengantar sejarah bakpia

  2. Proses pembuatan secara tradisional vs modern

  3. Testimoni pelaku usaha

  4. Simbolisme bakpia dalam relasi sosial dan budaya Yogyakarta

Analisis Budaya

Bakpia bukan hanya produk makanan, tapi juga narasi tentang adaptasi budaya. Awalnya dibawa oleh imigran Tionghoa sebagai pia kacang hijau (Tou Luk Pia), makanan ini diadaptasi menjadi “bakpia” untuk memenuhi selera lokal. Adaptasi ini menunjukkan bagaimana budaya lokal bersifat dinamis dan terbuka.

Dari sisi identitas budaya, bakpia telah melewati beberapa transformasi:

  • Simbol ekonomi lokal: Dengan ribuan UMKM yang menggantungkan hidup dari produksi bakpia, produk ini menjadi tulang punggung perekonomian mikro di kota Yogyakarta.

  • Penanda budaya oleh-oleh: Dalam konteks budaya konsumsi wisata, bakpia diposisikan sebagai “wajib beli” ketika seseorang mengunjungi Yogyakarta. Nilai ini menjadikannya simbol kehadiran dan kenangan dari kota budaya tersebut.

  • Medium komunikasi budaya: Melalui bentuk, isi, dan narasinya, bakpia menyampaikan nilai-nilai lokal seperti keterbukaan, kebersamaan, dan kekayaan rasa.

Kritik dan Nilai Tambah

Representasi yang Kaya, Tapi Kurang Kritis?

Meski dokumenter ini berhasil menghadirkan dimensi historis dan kultural bakpia, kritik dapat diarahkan pada kurangnya analisis terhadap aspek kontestasi identitas. Siapa yang sebenarnya diuntungkan dalam pencitraan bakpia sebagai simbol budaya? Apakah semua pelaku industri turut menikmati keuntungan citra ini, atau hanya beberapa brand besar saja?

Sebagai contoh, merek-merek besar seperti Bakpia Kencana atau Bakpia Pathok 25 kini mendominasi pasar, sementara produsen kecil terseok menghadapi tekanan ekonomi dan inovasi teknologi.

Peluang untuk Interaktivitas dan Eksperimen Visual

Gaya ekspository memberi struktur yang jelas, namun membatasi eksplorasi interaktif penonton. Dokumenter ini dapat diperluas melalui pendekatan hybrid (gabungan ekspository dengan observatory atau participatory) agar penonton tidak hanya menjadi penerima narasi, tetapi ikut mengalami dan membentuk makna.

Konteks Industri

Dalam konteks tren industri kreatif saat ini, dokumenter bertema kuliner memiliki peluang besar. Netflix misalnya, melalui seri seperti Street Food dan Chef’s Table, berhasil mengangkat kisah lokal menjadi konsumsi global.

Film “Bakpia” dapat menjadi embrio dari pengembangan dokumenter lokal yang tidak hanya menyasar audiens akademis, tetapi juga publik yang lebih luas. Jika dikembangkan dengan durasi lebih panjang dan visual sinematik, film ini berpotensi untuk masuk festival dokumenter seperti Festival Film Dokumenter (FFD) Yogyakarta, bahkan pasar OTT.

Implikasi Praktis

Film dokumenter seperti ini bisa dijadikan alat:

  • Edukasi budaya di sekolah: Mengenalkan sejarah kuliner lokal kepada siswa.

  • Branding destinasi pariwisata: Memberikan cerita di balik produk oleh-oleh, bukan sekadar citra konsumerisme.

  • Pelatihan UMKM kuliner: Mengajarkan nilai storytelling sebagai strategi promosi.

Dengan dukungan pemerintah daerah dan Dinas Pariwisata, karya dokumenter seperti ini dapat menjadi bagian dari strategi promosi pariwisata berbasis budaya.

Perbandingan dengan Penelitian Serupa

Penelitian Dicky sejalan dengan karya lain seperti dokumenter “Jamu” oleh Mira Lesmana yang mengeksplorasi budaya herbal Nusantara, serta dokumenter “Sate dan Daging” oleh Visinema Pictures. Semua menyampaikan satu hal penting: makanan bukan hanya soal rasa, tapi soal memori, identitas, dan ekonomi.

Namun keunikan “Bakpia” terletak pada fokus lokal yang kuat dan keterkaitan historisnya dengan migrasi budaya serta pembentukan citra kota.

Kesimpulan

Skripsi ini membuktikan bahwa film dokumenter bukan sekadar media hiburan, tetapi juga alat analisis budaya yang kuat. Dicky Eriyanto berhasil meramu narasi, visual, dan pendekatan ekspository untuk merepresentasikan bakpia sebagai lebih dari sekadar makanan—ia adalah cerita, sejarah, dan simbol Yogyakarta.

Langkah selanjutnya adalah membawa film seperti ini ke ranah distribusi yang lebih luas, menjadikannya bagian dari kurikulum edukasi budaya, serta mendorong sineas muda untuk tidak ragu mengangkat topik-topik lokal sebagai subjek film dokumenter.

Sumber

Eriyanto, Dicky. (2021). Bakpia sebagai Salah Satu Identitas Budaya Yogyakarta dalam Penyutradaraan Film Dokumenter “Bakpia” dengan Gaya Ekspository. Skripsi. Institut Seni Indonesia Yogyakarta.