Arah Baru Manajemen K3 di Industri Konstruksi UK: Antara CSR, Pemasaran, dan Praktik Nyata

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati

28 Mei 2025, 09.52

pixabay.com

Pendahuluan 

Industri konstruksi UK telah lama menjadikan manajemen Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) sebagai prioritas utama. Namun, penelitian oleh Rawlinson dan Farrell (2010) mengungkap bahwa arah kebijakan K3 saat ini tidak hanya didorong oleh kepedulian terhadap pekerja, tetapi juga oleh faktor pemasaran dan Corporate Social Responsibility (CSR). Studi ini menganalisis materi promosi 20 kontraktor besar UK untuk memahami tren terkini, motivasi, dan tantangan dalam implementasi K3. 

 Temuan Utama 

 1. Dominasi CSR dalam Narasi K3 

- 11 dari 20 kontraktor menempatkan K3 di bawah payung CSR, dengan istilah seperti "sustainability" atau "good governance". 

- Fokus pada citra perusahaan: Kontraktor cenderung menonjolkan program K3 yang "marketable" (misalnya, kampanye "zero accident") daripada proses teknis seperti rapat keselamatan rutin. 

- Kritik: Pendekatan ini berisiko mengabaikan aspek praktis K3, seperti pengawasan kesehatan pekerja atau investigasi kecelakaan mendalam. 

 2. Program Keselamatan Berbasis Perilaku vs. Budaya 

- 7 kontraktor mengembangkan program keselamatan berbasis perilaku (Behavioural-Based Safety/BBS), sementara 5 lainnya fokus pada perubahan budaya (Safety Cultural Model/SCM). 

- BBS dikritik karena cenderung menyalahkan pekerja ("blame the worker"), alih-alih mengatasi bahaya di lapangan (Frederick & Lessin, 2000). 

- SCM lebih menekankan tanggung jawab kolektif, tetapi implementasinya masih terbatas pada proyek besar. 

 3. Kesenjangan antara Target dan Realitas 

- 43% kontraktor menetapkan target "zero accident", tetapi hanya 30% yang menyertakan bukti statistik pencapaian. 

- KPIs tidak jelas: Beberapa perusahaan menggunakan istilah samar seperti "meningkatkan kinerja" tanpa data pendukung. 

- Contoh kasus: Salah satu kontraktor menampilkan grafik penurunan kecelakaan, tetapi tidak menjelaskan metodologi pengumpulan datanya. 

 4. Pengaruh Pemerintah vs. Akademia 

- Regulasi pemerintah seperti CDM 2007 dan Corporate Manslaughter Act 2007 menjadi pendorong utama perubahan. 

- Peran akademia minim: Inovasi dari riset akademis (misalnya, penyelidikan penyebab kecelakaan oleh Donaghy, 2009) jarang diadopsi langsung oleh industri. 

 Studi Kasus: Kontraktor X vs. Kontraktor Y 

Dalam studi kasus ini, Kontraktor X dan Kontraktor Y menunjukkan pendekatan yang berbeda terhadap penerapan keselamatan dan kesehatan kerja (K3). Kontraktor X lebih menonjolkan pendekatan pro-CSR (Corporate Social Responsibility), sementara Kontraktor Y fokus pada praktik teknis yang konkret di lapangan.

Kontraktor X mempromosikan K3 melalui halaman khusus yang mencantumkan logo dan slogan keselamatan, sebagai bagian dari pencitraan perusahaan. Di sisi lain, Kontraktor Y memilih pendekatan lebih teknis, dengan menyediakan dokumen kebijakan K3 yang rinci, meskipun terkesan kaku dan kurang komunikatif.

Dari segi Key Performance Indicators (KPIs), Kontraktor X menetapkan target ambisius berupa “zero accident” namun tanpa penjabaran detail. Sebaliknya, Kontraktor Y menyajikan laporan tahunan yang mencantumkan data objektif seperti Accident Frequency Rate (AFR), memberikan gambaran nyata atas performa K3 mereka.

Untuk program K3, Kontraktor X menjalankan pendekatan Behavior-Based Safety (BBS) namun hanya dengan pelatihan singkat, sedangkan Kontraktor Y menerapkan Safety Culture Maturity (SCM) dan mendirikan komite keselamatan di lapangan, yang mencerminkan komitmen berkelanjutan terhadap keselamatan kerja.

Meskipun demikian, masing-masing pendekatan tidak lepas dari kritik. Kontraktor X dinilai terlalu fokus pada citra perusahaan, sehingga penerapan riil di lapangan diragukan. Sementara itu, Kontraktor Y dianggap kurang menarik di mata klien potensial karena minimnya elemen komunikasi publik dan branding.

 Kritik dan Rekomendasi 

1. Jangan Abaikan Kesehatan Kerja 

   - Hanya 2 dari 20 kontraktor yang menyertakan program surveilansi kesehatan pekerja, meskipun isu seperti penyakit akibat kerja marak. 

2. Transparansi Data 

   - KPIs harus dilengkapi metodologi jelas untuk menghindari "greenwashing" K3. 

3. Kolaborasi dengan Akademia 

   - Industri perlu menjembatani gap dengan riset terbaru, misalnya penerapan teknologi wearable untuk deteksi bahaya. 

 Kesimpulan 

Manajemen K3 di UK kini berada di persimpangan antara tuntutan regulasi, tekanan pemasaran, dan kebutuhan praktis. CSR berhasil meningkatkan kesadaran, tetapi tanpa implementasi mendalam, inovasi K3 berisiko stagnan. Kontraktor perlu menyeimbangkan "promotable goals" dengan langkah nyata seperti pelatihan berkelanjutan dan kolaborasi multidisiplin. 

Sumber : Rawlinson, F., & Farrell, P. (2010). UK construction industry site health and safety management: An examination of promotional web material as an indicator of current direction. Construction Innovation, 10(4), 435-446.