Kota-kota besar di Indonesia, termasuk Samarinda, menghadapi tantangan serius dalam penyediaan air bersih. Pertumbuhan penduduk dan perubahan fungsi lahan menyebabkan berkurangnya area resapan, sehingga air hujan lebih banyak terbuang sebagai limpasan. Akibatnya, krisis air bersih kerap terjadi, terutama saat musim kemarau atau ketika kualitas air sungai menurun. Paper karya Anggara Saputra dan Hery Setyobudiarso dari Institut Teknologi Nasional Malang ini menawarkan solusi konkret melalui pemanfaatan air hujan menggunakan sistem cistern di Komplek Balai Latihan Kerja (BLK) Samarinda1.
Studi Kasus: Implementasi Sistem Cistern di BLK Samarinda
Latar Belakang dan Permasalahan
Selama ini, air hujan di BLK Samarinda hanya dialirkan ke saluran pembuangan tanpa dimanfaatkan. Sementara itu, seluruh kebutuhan air di kawasan ini dipenuhi oleh PDAM, yang kualitas dan distribusinya sangat bergantung pada kondisi Sungai Mahakam. Ketika musim kemarau tiba, distribusi air bersih sering terganggu karena air sungai menjadi keruh dan sulit diolah1.
Padahal, tidak semua kebutuhan air di BLK memerlukan kualitas air setara air minum. Banyak aktivitas, seperti flushing toilet, menyiram tanaman, dan pemeliharaan, dapat menggunakan air hujan sebagai alternatif untuk menghemat air PDAM1.
Metode Perencanaan: Dari Survei Lapangan hingga Analisis Ekonomi
Penelitian ini dimulai dengan survei lapangan untuk mengumpulkan data jumlah pegawai, kamar mandi, luas taman, dan pengukuran luas atap gedung. Data curah hujan diperoleh dari Stasiun Meteorologi Temindung Samarinda selama 2008–2018. Semua data ini digunakan untuk menghitung potensi air hujan yang bisa dipanen dan menentukan desain cistern yang optimal1.
Perhitungan Curah Hujan dan Volume Air
Curah hujan bulanan diolah untuk mendapatkan hujan andalan, yaitu curah hujan yang peluang terjadinya 80%. Hasil analisis menunjukkan bahwa volume air hujan yang bisa dipanen dari atap-atap gedung BLK Samarinda mencapai 20.433,4 m³ per tahun, atau sekitar 54,92 m³ per hari1.
Sementara itu, kebutuhan air harian di BLK Samarinda adalah 21,6 m³ per hari, atau sekitar 5.637,6 m³ per tahun. Ini berarti, secara teoritis, air hujan yang ditampung dapat mencukupi kebutuhan air harian di kawasan ini, bahkan memiliki surplus signifikan1.
Desain dan Konstruksi Cistern
Berdasarkan kebutuhan dan ketersediaan air, dirancang enam unit cistern dengan rincian kapasitas sebagai berikut:
- Satu unit berkapasitas 35.000 liter
- Satu unit berkapasitas 25.000 liter
- Tiga unit berkapasitas 15.000 liter
- Satu unit berkapasitas 10.000 liter
Setiap cistern dilengkapi bangunan pengolah dengan ukuran setengah dari kapasitas cistern-nya. Penempatan cistern disesuaikan dengan area kebutuhan dan ketersediaan lahan di masing-masing gedung1.
Analisis Ekonomi: Investasi dan Penghematan Biaya
Total biaya investasi awal untuk pembangunan enam cistern beserta bangunan pengolahnya adalah Rp373.704.000. Investasi ini menghasilkan penghematan biaya air PDAM sebesar Rp24.157.116 per tahun. Dengan demikian, waktu pengembalian investasi (payback period) adalah sekitar 15 tahun 3 bulan1.
Penghematan biaya ini diperoleh dari pengurangan penggunaan air PDAM sebesar 5.637,6 m³ per tahun, dengan harga air PDAM sekitar Rp4.285 per m³. Selain keuntungan finansial, pemanfaatan air hujan juga memberi nilai tambah pada upaya konservasi sumber daya air di lingkungan perkotaan1.
Dampak Lingkungan dan Konservasi Air
Selain aspek finansial, manfaat lingkungan dari sistem cistern sangat signifikan. Dengan menampung dan memanfaatkan air hujan:
- Tekanan terhadap sumber air tanah dan PDAM berkurang.
- Limpasan air hujan ke saluran kota dapat ditekan, sehingga risiko banjir juga menurun.
- Upaya konservasi air di kawasan urban menjadi lebih nyata dan terukur.
Studi lain juga menunjukkan bahwa pemanfaatan air hujan dapat mengurangi penggunaan air PDAM hingga 50% di lingkungan kampus atau perumahan, terutama saat musim hujan34. Bahkan, di beberapa negara maju seperti Singapura dan Jepang, sistem panen air hujan sudah menjadi standar pada bangunan baru untuk mendukung ketahanan air kota2.
Tantangan, Kritik, dan Saran Pengembangan
Kelebihan Studi
- Data curah hujan dan kebutuhan air dianalisis secara komprehensif.
- Desain cistern disesuaikan dengan kebutuhan aktual dan potensi ketersediaan air.
- Analisis ekonomi dilakukan secara transparan, sehingga pembaca bisa menilai kelayakan investasi.
Tantangan dan Kritik
- Payback period yang cukup lama (lebih dari 15 tahun) bisa menjadi kendala, terutama untuk institusi dengan keterbatasan anggaran. Namun, jika dilihat dari manfaat lingkungan dan keberlanjutan, investasi ini tetap layak dipertimbangkan.
- Kualitas air hujan yang ditampung perlu diperhatikan, terutama jika akan digunakan untuk konsumsi langsung. Diperlukan sistem filtrasi tambahan untuk memastikan air aman digunakan.
- Perawatan cistern harus rutin dilakukan agar tidak menjadi sarang nyamuk atau sumber kontaminasi lain.
Saran Pengembangan
- Integrasi teknologi sensor untuk memantau level air dan kualitas air secara otomatis.
- Edukasi kepada pengelola gedung dan masyarakat mengenai pentingnya pemeliharaan sistem cistern.
- Pemerintah daerah dapat memberikan insentif atau mewajibkan sistem panen air hujan pada bangunan baru, terutama di kota-kota dengan curah hujan tinggi.
Relevansi dengan Tren Urban Sustainability dan Industri
Pemanfaatan air hujan dengan sistem cistern sangat relevan dengan tren urban sustainability yang kini menjadi fokus banyak kota besar di dunia. Sistem ini tidak hanya menghemat biaya, tetapi juga mendukung konservasi air dan pengelolaan lingkungan yang lebih baik. Jika diadopsi secara luas, sistem cistern dapat menjadi solusi jangka panjang untuk mengatasi krisis air bersih di kawasan urban Indonesia.
Studi serupa di Bank Indonesia Jakarta membuktikan bahwa pemanfaatan air hujan dapat menghemat penggunaan air PAM hingga 65,41% untuk kebutuhan pertamanan6. Sementara itu, penelitian di Universitas Bosowa Makassar menunjukkan penurunan penggunaan air PDAM hingga 50% per tahun dengan memanfaatkan air hujan sebagai sumber air bersih alternatif3.
Simulasi Potensi Penghematan Nasional
Jika sistem cistern diadopsi oleh 1.000 institusi serupa di Indonesia, potensi penghematan air PDAM bisa mencapai lebih dari 5,6 juta m³ per tahun, dengan penghematan biaya lebih dari Rp24 miliar per tahun. Angka ini belum termasuk manfaat lingkungan yang didapat dari konservasi air dan pengurangan risiko banjir di kawasan urban.
Kesimpulan: Investasi Hijau untuk Kota Berkelanjutan
Penelitian di Komplek Balai Latihan Kerja Samarinda membuktikan bahwa sistem panen air hujan dengan cistern adalah solusi nyata untuk konservasi air di kawasan urban. Dengan investasi awal Rp373 juta dan penghematan Rp24 juta per tahun, sistem ini tidak hanya mengurangi beban PDAM dan air tanah, tetapi juga berkontribusi pada lingkungan yang lebih lestari.
Meski waktu pengembalian investasi cukup lama, manfaat jangka panjang dari sisi lingkungan, penghematan biaya, dan ketahanan air sangat besar. Sistem cistern sangat relevan dengan tren urban sustainability dan dapat menjadi model bagi institusi lain di Indonesia. Dengan penyesuaian desain dan teknologi, sistem ini dapat diadopsi di berbagai skala, mulai dari rumah tangga hingga gedung perkantoran.
Sumber Artikel
Anggara Saputra, Hery Setyobudiarso. "Analisa Pemanfaatan Potensi Air Hujan Menggunakan Cistern Sebagai Alternatif Sumber Air Kebutuhan Pada Komplek Gedung Balai Latihan Kerja Samarinda." Program Studi Teknik Lingkungan, Institut Teknologi Nasional Malang. Seminar Nasional Infrastruktur Berkelanjutan Era Revolusi Industri 4.0, 2019.1