Jalur Sutra Abad 21: Ambisi Cina dan Dampaknya bagi Asia Tengah
China’s Belt and Road Initiative (BRI), atau dikenal juga sebagai Jalur Sutra Baru, merupakan proyek mega-infrastruktur global yang diluncurkan Presiden Xi Jinping pada 2013. Proyek ini menghubungkan Tiongkok ke puluhan negara lewat jaringan transportasi darat dan laut, dengan Asia Tengah sebagai simpul penting. Artikel ini membedah tujuan strategis BRI, dampak ekonominya di Asia Tengah, risiko tersembunyi, dan respon negara-negara Asia Tengah terhadap ekspansi Tiongkok, berdasarkan kompilasi riset yang disunting oleh Marlene Laruelle (2018) dan diterbitkan oleh Central Asia Program, The George Washington University.
BRI: Visi Global Tiongkok dengan Motivasi Domestik
Meskipun dibungkus dengan retorika “konektivitas dan kerja sama multilateral”, BRI sejatinya lahir dari kebutuhan domestik Cina: mengatasi kelebihan kapasitas industri, memperluas pasar ekspor, dan menstabilkan kawasan perbatasan seperti Xinjiang. Investasi senilai USD 304,9 miliar telah dikucurkan sejak 2013 untuk berbagai proyek infrastruktur di Asia Tengah—mulai dari jalur kereta api, jalan raya, pembangkit listrik, hingga zona ekonomi khusus.
Manfaat Ekonomi: Harapan dan Kenyataan di Asia Tengah
Beberapa keuntungan yang diharapkan dari BRI antara lain:
- Konektivitas regional yang meningkat: Jalur kereta barang dari Cina ke Iran melalui Kazakhstan dan Turkmenistan telah beroperasi.
- Diversifikasi ekonomi: Investasi di sektor tekstil dan agrikultur, seperti di Dangara (Tajikistan), bertujuan mengurangi ketergantungan pada ekspor komoditas mentah.
- Penciptaan lapangan kerja: Di sektor-sektor seperti garmen dan pertanian, sejumlah perusahaan Cina mulai mempekerjakan tenaga kerja lokal.
Namun kenyataannya, mayoritas proyek masih didominasi oleh pekerja, peralatan, dan kontraktor dari Cina. Misalnya, 70% proyek tenaga di Turkmenistan menggunakan tenaga kerja Cina, walaupun secara hukum seharusnya 70% tenaga kerja berasal dari lokal.
Risiko Utama: Ketergantungan Ekonomi dan Utang Berlebihan
Salah satu konsekuensi utama dari BRI adalah krisis utang di negara-negara penerima, terutama Kyrgyzstan dan Tajikistan:
- Kyrgyzstan: 38% dari total utangnya (sekitar USD 1,5 miliar) berasal dari Exim Bank Cina.
- Tajikistan: 59% dari utangnya berasal dari bank yang sama.
- Kemungkinan gagal bayar meningkat seiring perlambatan ekonomi Cina.
Masalah lainnya adalah pinjaman ‘tidak transparan’ dan praktik “predatory lending”—di mana negara penerima diberi pinjaman besar, namun proyek dikunci hanya untuk kontraktor dan material dari Cina, sehingga manfaat ekonominya minim bagi negara lokal.
Kritik terhadap Strategi Konektivitas Cina
1. Konektivitas Fisik Tanpa Dampak Nyata
Meskipun jalur logistik meningkat, ekonomi lokal tidak otomatis tumbuh. Proyek seperti jalur kereta dan jalan raya hanya menjadikan negara Asia Tengah sebagai “koridor transit”, bukan pusat produksi.
2. Investasi Industri yang Tidak Seimbang
Proyek industri sering kali diarahkan untuk memenuhi kebutuhan ekspor Cina, bukan diversifikasi ekspor negara Asia Tengah. Contohnya:
- Uzbekistan mulai mengirimkan benang katun ke Cina via kereta, padahal Cina sendiri mengembangkan industri tekstil di Xinjiang senilai USD 3 miliar.
Respons Politik dan Sosial Asia Tengah
Reaksi masyarakat dan pemerintah di Asia Tengah beragam:
- Kazakhstan mengintegrasikan BRI dengan proyek nasional “Nurly Zhol” (USD 9 miliar) untuk mendorong pembangunan logistik dan industri.
- Kekhawatiran atas dominasi Cina muncul lewat protes anti-Cina di Kazakhstan (2016), serta isu perebutan tanah dan pekerja migran Cina.
Namun, persepsi negatif ini mulai berkurang lewat interaksi langsung, kolaborasi bisnis, dan pelibatan warga lokal di sektor pertanian dan industri.
Peluang Nyata: Kolaborasi Industri dan Transfer Teknologi
Studi kasus dari Tajikistan menunjukkan bahwa perusahaan seperti Jing Yin Yin Hai Seeds membawa:
- Teknologi pertanian baru
- Kontrak farming untuk petani lokal
- Alternatif pekerjaan bagi warga lokal yang sebelumnya bergantung pada migrasi ke Rusia
Model seperti ini menunjukkan bahwa jika dikelola dengan transparan, investasi Cina bisa menciptakan nilai nyata bagi ekonomi lokal.
Masalah Tata Kelola dan Korupsi
Namun, proyek-proyek BRI tidak lepas dari isu korupsi:
- Di Kazakhstan, kepala zona bebas Khorgos ditangkap karena menerima suap dalam proyek hotel.
- Di Kyrgyzstan, PM Temir Sariyev mengundurkan diri karena dugaan manipulasi tender yang dimenangkan kontraktor Cina tanpa izin.
Kurangnya transparansi ini tidak hanya merugikan reputasi Cina, tetapi juga mengancam legitimasi pemerintah lokal.
Rekomendasi untuk Negara Asia Tengah
Agar BRI membawa manfaat berkelanjutan, negara penerima harus:
- Menuntut keterlibatan tenaga kerja lokal secara nyata
- Menegosiasikan diversifikasi pasar ekspor, tidak hanya bergantung pada pasar Cina
- Mengembangkan kapasitas industri domestik melalui pelatihan dan transfer teknologi
- Memperkuat sistem hukum dan pengawasan kontrak untuk mencegah korupsi
Kesimpulan: Jalan Panjang Menuju Konektivitas Seimbang
BRI adalah proyek strategis raksasa yang tidak akan berhenti dalam waktu dekat. Namun, seperti disebutkan dalam laporan, “konektivitas tidak cukup hanya dengan infrastruktur”. Butuh reformasi kebijakan, tata kelola yang baik, dan kolaborasi sejati agar Asia Tengah tidak sekadar menjadi jalur, tetapi bagian dari pusat pertumbuhan ekonomi baru.
Cina mungkin telah membentangkan jalan sutra baru, tapi arah dan manfaat perjalanannya tetap bergantung pada strategi negara-negara mitra itu sendiri.
Sumber: Laruelle, M. (Ed.). (2018). China’s Belt and Road Initiative and its Impact in Central Asia. Washington, D.C.: The George Washington University, Central Asia Program.