Wilayah pesisir Indonesia adalah kawasan padat penduduk yang sangat bergantung pada sumber daya alam. Namun, justru di kawasan ini akses terhadap air bersih kerap menjadi persoalan besar. Air tanah di pesisir sering kali tercemar akibat intrusi air laut dan limbah domestik, sementara jaringan air perpipaan belum sepenuhnya menjangkau masyarakat. Anehnya, di tengah curah hujan yang tinggi, masyarakat pesisir masih mengandalkan air kemasan atau air sumur yang tidak selalu aman.
Berangkat dari kenyataan tersebut, penelitian yang dilakukan oleh Joleha dan tim peneliti dari Universitas Riau berupaya mengevaluasi kelayakan air hujan sebagai sumber air bersih rumah tangga. Penelitian ini berfokus pada wilayah pesisir Riau, yaitu Indragiri Hilir, Rokan Hilir, dan Kepulauan Meranti. Tujuan utamanya adalah menguji kualitas kimia air hujan dan membandingkannya dengan standar baku mutu air bersih nasional.
Metodologi: Mengukur Air Langit dengan Standar Bumi
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif melalui pengambilan sampel air hujan di tiga lokasi pesisir berbeda. Sampel kemudian diuji di laboratorium untuk mengetahui berbagai parameter kimia yang penting, seperti kadar pH, logam berat (besi, mangan, seng), zat anorganik (nitrat, nitrit, fluorida), zat organik terlarut, dan tingkat kesadahan.
Standar acuan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 492 Tahun 2010 tentang Persyaratan Kualitas Air Minum dan Air Bersih. Dengan membandingkan data aktual dari lapangan dengan standar baku mutu tersebut, peneliti dapat menentukan apakah air hujan aman digunakan untuk keperluan domestik.
Selain itu, untuk memperkaya perspektif, penelitian ini juga membandingkan kualitas air hujan di pesisir dengan kualitas air hujan dari wilayah perkotaan seperti Malang dan Lampung, yang memiliki kepadatan penduduk dan aktivitas industri lebih tinggi.
Hasil Penelitian: Potensi Air Hujan di Tiga Titik Pesisir Riau
Di Indragiri Hilir, sampel air hujan menunjukkan tingkat pH sekitar 6,5, yang tergolong netral. Kandungan zat-zat berbahaya seperti besi, mangan, dan nitrit berada jauh di bawah batas maksimum yang diizinkan. Bahkan, tingkat kesadahan air hujan di wilayah ini hanya sekitar 2 mg/L, jauh lebih rendah dari ambang batas 500 mg/L yang ditetapkan.
Bagan Siapi-api, salah satu kota pelabuhan di Rokan Hilir, menunjukkan hasil serupa. Air hujan di wilayah ini memiliki pH 8—sedikit basa namun masih dalam rentang aman. Kandungan zat organik sedikit lebih tinggi dibanding lokasi lain, diduga akibat keberadaan sarang burung walet di sekitar tempat penampungan air hujan, yang menyebabkan masuknya kotoran ke dalam sistem.
Sementara itu, di Pulau Merbau, Kepulauan Meranti, air hujan memiliki pH sekitar 6,14. Walaupun sedikit lebih asam dibanding lokasi lain, angka ini masih berada dalam batas aman. Kandungan logam berat seperti seng dan fluorida juga tidak melebihi ambang batas. Secara umum, semua parameter kimia air hujan dari ketiga lokasi ini menunjukkan bahwa air hujan dapat digunakan untuk keperluan rumah tangga, bahkan berpotensi sebagai air minum dengan sedikit pengolahan tambahan.
Perbandingan dengan Wilayah Perkotaan: Air Langit di Kota Lebih Rentan Polusi
Penelitian ini juga menyinggung kualitas air hujan di beberapa wilayah perkotaan seperti Malang dan Lampung. Di Malang, air hujan memiliki pH sekitar 7,4 dan kandungan kesadahan sebesar 39,6 mg/L. Angka ini masih tergolong aman, namun tidak sebersih air hujan dari wilayah pesisir.
Kondisi berbeda terlihat di Lampung, terutama di daerah perumahan dan industri. Kandungan mangan di air hujan mencapai lebih dari 10 mg/L, jauh melampaui batas aman yang hanya 0,5 mg/L. Ini menandakan bahwa aktivitas manusia, terutama transportasi dan industri, memberikan kontribusi signifikan terhadap pencemaran air hujan di daerah urban.
Perbandingan ini memperkuat temuan utama: kualitas air hujan di wilayah pesisir cenderung lebih baik daripada di wilayah perkotaan yang padat aktivitas industri.
Analisis Parameter: Apa yang Menjadikan Air Hujan Aman atau Berisiko?
Pertama, derajat keasaman atau pH adalah indikator utama. Jika terlalu rendah (asam), air bisa merusak jaringan pipa dan berpotensi menyebabkan iritasi kulit. Namun, hasil dari semua lokasi pesisir menunjukkan nilai pH dalam rentang aman, antara 6 hingga 8.
Kedua, logam berat seperti besi, mangan, dan seng adalah parameter toksik yang paling dikhawatirkan. Air hujan dari lokasi pesisir menunjukkan kandungan logam berat yang sangat rendah, bahkan sering kali tidak terdeteksi.
Ketiga, zat anorganik seperti nitrat dan nitrit berbahaya bagi bayi dan ibu hamil karena dapat mengganggu sistem pernapasan. Namun, kandungan zat ini juga sangat rendah di semua sampel pesisir.
Terakhir, tingkat kesadahan air, yang menentukan kecocokan air untuk keperluan mencuci dan memasak, juga menunjukkan hasil sangat baik. Semua sampel menunjukkan air hujan sebagai air lunak, artinya aman digunakan untuk berbagai keperluan tanpa menyebabkan kerak pada alat rumah tangga.
Rekomendasi: Bagaimana Memanfaatkan Air Hujan Secara Aman dan Efektif?
Hasil penelitian ini memberikan pijakan kuat bagi rumah tangga di wilayah pesisir untuk mulai memanfaatkan air hujan sebagai sumber air bersih. Namun, ada beberapa catatan penting agar air hujan aman digunakan:
- Gunakan sistem penampungan yang tertutup agar tidak terkontaminasi debu, serangga, atau kotoran hewan.
- Pasang saringan awal di atap dan talang air untuk menyaring daun dan partikel besar.
- Tambahkan penyaringan akhir, misalnya dengan pasir lambat atau karbon aktif, untuk meningkatkan kejernihan dan kualitas air.
- Disinfeksi ringan dengan sinar matahari atau rebusan singkat jika air akan digunakan untuk minum atau memasak.
- Bersihkan bak penampungan secara berkala minimal setiap dua minggu.
Dengan langkah-langkah ini, air hujan bisa menjadi sumber air andalan rumah tangga, terutama di daerah dengan sumber air tanah yang tidak layak atau sulit diakses.
Kritik dan Opini Tambahan terhadap Penelitian
Penelitian ini sangat kuat dari segi validitas data dan relevansi lokasi. Tiga wilayah pesisir yang dijadikan sampel mewakili kondisi pesisir secara umum di Indonesia. Metodologi yang digunakan juga sesuai dengan standar pengujian laboratorium nasional.
Namun, ada beberapa aspek yang bisa ditingkatkan:
Pertama, penelitian ini belum menyertakan uji mikrobiologis. Padahal, kontaminasi mikroorganisme seperti E. coli atau coliform adalah salah satu risiko terbesar dalam air hujan, terutama jika disimpan terlalu lama.
Kedua, studi ini tidak menggali persepsi masyarakat lokal terhadap air hujan. Padahal, tingkat penerimaan masyarakat sangat penting dalam keberhasilan pemanfaatan air hujan. Banyak orang masih menganggap air hujan sebagai "air mentah" yang tidak aman diminum, padahal faktanya bisa jadi lebih bersih daripada air sumur di wilayah mereka.
Ketiga, aspek teknis desain sistem pemanenan air hujan tidak dijelaskan secara detail. Informasi seperti kapasitas tangki ideal, bahan terbaik untuk atap dan talang, serta tata letak sistem sangat dibutuhkan agar hasil penelitian ini dapat diimplementasikan secara nyata oleh masyarakat.
Implikasi Kebijakan dan Peluang Implementasi
Berdasarkan hasil penelitian ini, pemerintah daerah di wilayah pesisir seharusnya mulai mengembangkan program air bersih berbasis air hujan. Beberapa langkah strategis yang bisa diambil meliputi:
- Memberikan insentif untuk rumah tangga yang memasang sistem penampungan air hujan.
- Mewajibkan setiap bangunan baru di pesisir memiliki sistem pemanenan air hujan sebagai syarat IMB.
- Melatih kader lingkungan di desa untuk membantu merancang dan memelihara sistem PAH (pemanenan air hujan).
- Membuat standar teknis nasional untuk sistem penampungan air hujan yang aman dan hemat biaya.
Selain itu, LSM, sekolah, dan kelompok masyarakat seperti PKK atau karang taruna dapat berperan dalam sosialisasi dan edukasi.
Kesimpulan: Air Hujan Adalah Solusi Nyata, Bukan Alternatif Sementara
Penelitian oleh Joleha dan rekan-rekannya membuktikan bahwa air hujan yang jatuh di wilayah pesisir Indonesia memiliki kualitas kimia yang sangat baik, bahkan lebih baik dibandingkan air hujan di wilayah perkotaan. Dengan pengelolaan yang tepat, air hujan dapat digunakan sebagai sumber air bersih rumah tangga, tidak hanya untuk mencuci dan mandi, tetapi juga untuk minum setelah pengolahan sederhana.
Dalam konteks perubahan iklim, urbanisasi, dan meningkatnya beban sumber daya air, air hujan bukan lagi alternatif darurat. Ia adalah bagian dari solusi berkelanjutan untuk ketahanan air, terutama bagi masyarakat pesisir yang selama ini kekurangan layanan air bersih dari negara. Kini saatnya menengadah, bukan hanya untuk berdoa, tapi juga untuk memanen air kehidupan yang turun dari langit.
Sumber Asli Artikel:
Joleha, Aras Mulyadi, Wawan, Imam Suprayogi. Penilaian Kualitas Air Hujan di Wilayah Pesisir untuk Pasokan Air Bersih Rumah Tangga. Prosiding Konferensi Nasional Teknik Sipil ke-13 (KoNTekS-13), Banda Aceh, 2019.