Ada Larangan Bank Fasilitasi Kripto, Pengamat Minta OJK dan Bappebti Duduk Bersama

Dipublikasikan oleh Jovita Aurelia Sugihardja

28 Mei 2024, 20.06

Sumber: liputan6.com

Liputan6.com, Jakarta - Pernyataan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terkait larangan pihak perbankan memfasilitasi transaksi kripto telah menuai kritik. Sebelumnya OJK telah meminta kepada industri perbankan agar pemakaian rekening bank tidak dijadikan sebagai penampung dana dari kegiatan melanggar hukum, termasuk kripto. Hal ini merupakan buntut dari maraknya penipuan investasi dan kejahatan bermodus skema ponzi.

 Di sisi lain, kripto telah dikukuhkan sebagai salah satu komoditas yang diperdagangkan dengan pengawasan di bawah Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti).

Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Nailul Huda menilai pernyataan OJK itu menandakan adanya ketidakselarasan antar instansi pemerintah. Lantaran, kripto sendiri telah dirancang sebagai komoditas oleh Bappebti di bawah Kementerian Perdagangan.

Tidak hanya itu, Bappebti juga telah merancang aturan terkait perdagangan dan pedagang kripto secara resmi. Artinya, selama transaksi dilakukan oleh pedagang kripto terdaftar dan diawasi Bappebti, skema perdagangan kripto layaknya komoditas ataupun produk derivatif lainnya.

"Di satu sisi Bappebti berupaya memfasilitasi industri ini, tapi di sisi lain ada institusi lain yang punya pandangan lain. OJK dan Bappebti ini ngobrol dululah, tren aset kripto ini sudah jalan beberapa tahun terakhir," ujar  Nailul dikutip dari keterangan tertulis, Selasa (8/2/2022).

Di lain sisi, dia memahami sudut pandang OJK yang masih mempersepsikan aset kripto berpotensi sebagai alat tukar layaknya uang fiat, karena namanya adalah cryptocurrency. Sedangkan alat tukar resmi adalah Rupiah sebagaimana diatur perundang-undangan.

"Tapi sejak awal ketika Bapppebti memfasilitasinya, kesepakatannya di Indonesia hanya boleh digunakan sebagai aset investasi. Bukan alat transaksi,” ujar Nailul.

Ada Perbedaan

Oleh karena itu, dia menilai ada kejanggalan dengan imbauan dari otoritas agar perbankan tidak memfasilitasi transaksi aset kripto, padahal sejak awal Bappebti merumuskan kripto sebagai komoditas investasi.

"Bagaimana bisa investor membeli atau berinvestasi aset kripto kalau tidak bisa menggunakan rekening bank sebagai jembatan untuk beli atau jual aset kripto ke pedagang kriptonya? Ini aset digital, masa iya beli dan jualnya lewat pedagang langsung secara offline," tutur Nailul.

Dia sepakat, otoritas dan Satgas Waspada Investasi (SWI) berhak melarang sejauh perdagangan itu bersifat ilegal, termasuk dilakukan oleh pedagang kripto yang tidak terdaftar.

"Selama ini Bappebti sudah merilis mana saja pedagang kripto dan koin kripto yang terdaftar dan berizin resmi di Bappebti. Seharusnya itu sudah cukup jadi acuan untuk melakukan pengawasan dan mengendalikan keterlibatan bank," tutur Nailul.

Dia menambahkan, OJK berhak dan berwenang mengatur dan melarang perbankan dalam ekosistem aset kripto, dalam hal penempatan dana bank ke dalam bentuk aset kripto. Sebab, kata Nailul, karena dana di bank adalah dana masyarakat.

"Mereka tidak boleh main-main menempatkan dana nasabahnya, terutama di aset yang punya fluktuasi tinggi," tutur dia.

Tanggapan Asosiasi

Ketua Asosiasi Pedagang Aset Kripto Indonesia (Aspakrindo), Teguh K. Harmanda mengungkapkan pihak asosiasi menghargai pernyataan dari otoritas. Namun, dia menilai, sejauh ini asosiasi telah berupaya untuk menempatkan perdagangan kripto sesuai aturan main dan melengkapi perlindungan hukum.

"Bahwa sudah semestinya kita harus menjaga industri agar tumbuh secara sehat, contohnya pada industri aset kripto yang sudah menerapkan rekomendasi terhadap APU/PPT, adanya pelaporan yang diwajibkan oleh Bappebti setiap harinya, dan melaporkan jika menemukan transaksi mencurigakan," ujar dia.

Pihaknya yakin, transaksi aset kripto yang berjalan saat ini sudah seirama dengan mitigasi risiko yang khawatirkan bersama pada industri keuangan secara luas.

Sumber: www.liputan6.com