Tidak asing dengan ‘batu bara’? Secara umum, batu bara merupakan sedimen yang dapat terbakar dan terbentuk dari endapan organik. Selain sebagai bahan bakar dan pembangkit listrik, manfaat lainnya di kehidupan manusia untuk mencetak uang logam hingga briket.
Di balik manfaatnya, perlu diketahui juga bahwa limbah dari batu bara ini pernah masuk dalam kategori limbah bahan berbahaya dan beracun atau B3.
Namun, baru-baru ini pemerintah mengumumkan bahwa limbah abu batu bara atau kerap disebut Fly Ash dan Bottom Ash (FABA) dihapus dari daftar limbah B3.
FABA sendiri berasal dari pembakaran batu bara pada pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) dan industri berbahan bakar batu bara lainnya. Lewat situs resmi Badan Penelitian dan Pengembangan Energi dan Sumber Daya Mineral (Litbang ESDM), proyeksi kebutuhan batu bara hingga tahun 2027 sebesar 162 juta ton sedangkan potensi FABA-nya sebesar 16,2 juta ton.
Hal ini membuktikan bahwa banyaknya jumlah limbah disebabkan oleh kebutuhan yang semakin hari bertambah pula.
Lalu, bagaimana bisa FABA dihapus dari kategori limbah B3?
Penghapusan tersebut dilakukan lewat Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dimana peraturan tersebut merupakan salah satu aturan turunan UU Cipta Kerja.
Awalnya, limbah FABA termasuk dalam daftar B3 pada PP 101 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Limbah B3, namun kebijakan tersebut dicabut melalui PP nomor 22 bersama dengan empat PP lainnya.
Dilansir dari Tempo.co, Nani Hendrianti selaku Deputi Pengelolaan Lingkungan dan Kehutanan Kemenko Maritim pada Kamis (3/3/2021) lalu menjelaskan bahwa proses penyusunan PP 22 tersebut memerlukan proses yang tidak sebentar dan dikawal oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Keputusan ini akhirnya keluar. Bab Penjelasan Pasal 459 Ayat 3 Huruf C pada PP 22 menyatakan bahwa limbah batu bara ini termasuk non-B3 yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku konstruksi pengganti semen "pozzolan".
Limbah abu batu bara tersebut dapat diolah menjadi pengganti semen pozzolan bila menggunakan boiler minimal Circulating Fluidized Bed (CFB). Bukan hanya di Indonesia, beberapa negara lainnya seperti Amerika Serikat, Tiongkok, Jepang, India, dan Vietnam juga telah mengkategorikan FABA dalam limbah non-B3.
Sebelum adanya PP 22, ternyata sudah ada 16 asosiasi yang tergabung dalam Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) telah mengusulkan agar FABA dapat dikeluarkan dari daftar limbah B3. Hal tersebut diungkapkan oleh Haryadi B. Sukamdani selaku Ketua Umum APINDO yang mengatakan bahwa FABA bukan merupakan limbah B3.
Ungkapan Haryadi bukan tanpa landasan. Hasil Toxicity Leaching Procedure (TCLP) dari uji petik kegiatan industri, dan hasil uji toksikologi Lethal Dose-50 (LD50), memperoleh hasil FABA telah memenuhi ambang batas persyaratan PP 101.
"Karena berdasarkan hasil uji-ujinya pun menyatakan bahwa FABA bukan merupakan limbah B3,” ujar Haryadi.
FABA sendiri berasal dari pembakaran batu bara pada pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) dan industri berbahan bakar batu bara lainnya. Lewat situs resmi Badan Penelitian dan Pengembangan Energi dan Sumber Daya Mineral (Litbang ESDM), proyeksi kebutuhan batu bara hingga tahun 2027 sebesar 162 juta ton sedangkan potensi FABA-nya sebesar 16,2 juta ton.
Hal ini membuktikan bahwa banyaknya jumlah limbah disebabkan oleh kebutuhan yang semakin hari bertambah pula.
Lalu, bagaimana bisa FABA dihapus dari kategori limbah B3?
Penghapusan tersebut dilakukan lewat Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dimana peraturan tersebut merupakan salah satu aturan turunan UU Cipta Kerja.
Awalnya, limbah FABA termasuk dalam daftar B3 pada PP 101 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Limbah B3, namun kebijakan tersebut dicabut melalui PP nomor 22 bersama dengan empat PP lainnya.
Dilansir dari Tempo.co, Nani Hendrianti selaku Deputi Pengelolaan Lingkungan dan Kehutanan Kemenko Maritim pada Kamis (3/3/2021) lalu menjelaskan bahwa proses penyusunan PP 22 tersebut memerlukan proses yang tidak sebentar dan dikawal oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Keputusan ini akhirnya keluar. Bab Penjelasan Pasal 459 Ayat 3 Huruf C pada PP 22 menyatakan bahwa limbah batu bara ini termasuk non-B3 yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku konstruksi pengganti semen "pozzolan".
Limbah abu batu bara tersebut dapat diolah menjadi pengganti semen pozzolan bila menggunakan boiler minimal Circulating Fluidized Bed (CFB). Bukan hanya di Indonesia, beberapa negara lainnya seperti Amerika Serikat, Tiongkok, Jepang, India, dan Vietnam juga telah mengkategorikan FABA dalam limbah non-B3.
Sebelum adanya PP 22, ternyata sudah ada 16 asosiasi yang tergabung dalam Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) telah mengusulkan agar FABA dapat dikeluarkan dari daftar limbah B3. Hal tersebut diungkapkan oleh Haryadi B. Sukamdani selaku Ketua Umum APINDO yang mengatakan bahwa FABA bukan merupakan limbah B3.
Ungkapan Haryadi bukan tanpa landasan. Hasil Toxicity Leaching Procedure (TCLP) dari uji petik kegiatan industri, dan hasil uji toksikologi Lethal Dose-50 (LD50), memperoleh hasil FABA telah memenuhi ambang batas persyaratan PP 101.
"Karena berdasarkan hasil uji-ujinya pun menyatakan bahwa FABA bukan merupakan limbah B3,” ujar Haryadi.
Sumber: www.kompasiana.com