Internet of Things

Mengenal Smart Healthcare, Teknologi Deteksi Kesehatan Menggunakan IoT

Dipublikasikan oleh Muhammad Farhan Fadhil pada 25 Maret 2022


Perkembangan Internet of Things (IoT) merambah seluruh bidang usaha, tak terkecuali pada industri alat kesehatan.

Salah satu rumah sakit yang memanfaatkan IoT adalah RS Metropolitan Medical Centre (MMC).

RS MMC Berkolaborasi dengan XL Axiata Business Solutions menghadirkan Smart Healthcare yang memanfaatkan IoT di Wellness Centre rumah sakit tersebut.

CEO RS MMC Dr. Roswin Rosnim Djaafar, MARS mengatakan Smart Healthcare memantau dan mendeteksi kondisi kebugaran seseorang.

"Solusi IoT dipilih karena mampu memberikan visibilitas secara real-time di mana pun dan kapan pun tanpa terhalang jarak dan waktu," kata Roswin dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Sabtu (13/11).

Roswin menjelasakan kehadiran Smart Healthcare menjadi bagikan dari value tambahan bagi seluruh pasien RS MMC. Pasien akan merasakan pelayanan yang lebih lengkap dengan pendampingan langsung oleh dokter spesialis Rumah Sakit Metropolitan Medical Centre serta dilengkapi dengan fitur Smart Healthcare.

Dia berharap perangkat Smart Healthcare di Wellness Centre mampu memberikan pemantauan kondisi tubuh pasien secara realtime.

"Sehingga, pasien-pasien di Wellness Centre dapat rekondisi tubuh, meningkatkan kebugaran, serta meningkatkan derajat kesehatan pada tubuhnya," ungkap Roswin.

Roswin menegaskan RS MMC selalu mengutamakan mutu dan pelayanan yang berfokus pada pasien.

"Kerja sama pengembangan solusi Internet of Thing (IoT) bersama XL Axiata diharapkan bisa memberikan pelayanan dan pengalaman kepada para pasien secara lebih komprehensif dan juga memperkenalkan Wellness Centre," bebernya.

Menurut dia, Wellnes menyediakan fasilitas gym, outdoor jogging track, dan Smart Healthcare disertai pendampingan dan pemantauan langsung oleh tim Dokter Spesialis Kedokteran Olahraga.

Dokter Spesialis Kedokteran Olahraga dr. Donny Kurniawan, Sp.KO (K) sebagai menambahkan Wellness Centre adalah sarana untuk meningkatkan derajat kesehatan seseorang lewat peningkatan kebugaran tubuh.

“Wellness Centre hadir untuk menjadi solusi yang komprehensif bagi pasien untuk meningkatkan kebugaran sehingga kualitas hidup akan lebih baik dan mereka dapat menikmati, tak hanya di hidup masa kini, namun juga kehidupan di masa tua.”

Chief of Enterprise & SME Officer XL Axiata Feby Sallyanto mengatakan berkomitmen untuk terus menghadirkan beragam solusi IoT untuk seluruh sektor industri.

"Termasuk juga untuk masuk industri teknologi kesehatan," ungkapnya.

Dia menyebut Smart Healthcare merupakan solusi IoT untuk kesehatan yang pertama di Indonesia, yang dibangun bersama oleh XL Axiata Business Solutions dan RS MMC.

"Solusi IoT dan konektivitas yang kami sediakan, Smart Healthcare ini bisa menjadi perangkat cerdas yang akan sangat membantu Rumah Sakit Metropolitan Medical Centre memantau kondisi seseorang secara cepat dan tepat," ujar Feby.

Smart Healthcare merupakan perangkat yang memantau kondisi kebugaran tubuh seperti detak jantung, EKG, pola pernafasan, suhu tubuh, gerakan, dan titik lokasi pada saat yang bersamaan.

Semua sinyal tersebut, kata Feby, secara terus menerus dan secara instan akan diukur dan dianalisa lewat perangkat yang sudah terintegrasi dengan platform IoT XL Axiata.

"Oleh karena itu, perangkat dapat memberikan report analisa kesehatan penggunanya dari waktu ke waktu," tegas Feby.

Sumber Artikel: msn.com

Selengkapnya
Mengenal Smart Healthcare, Teknologi Deteksi Kesehatan Menggunakan IoT

Energi dan Sumber Daya Mineral

Badai Api Pernah Menyapu Bumi, Dampaknya Menyeramkan

Dipublikasikan oleh Wanda Adiati, S.E. pada 24 Maret 2022


Pada suatu titik sekitar 12.800 tahun yang lalu, sepersepuluh permukaan bumi tiba-tiba diselimuti api yang menderu. Badai api itu menyaingi badai yang memusnahkan dinosaurus.

Kemungkinan besar, badai tersebut disebabkan oleh pecahan komet yang berukuran sekitar 100 kilometer. Saat awan debu menutupi bumi, peristiwa ini memulai zaman es mini yang membuat planet ini tetap dingin selama seribu tahun lagi, seperti ketika bumi muncul dari masa 100.000 tahun yang tertutup gletser. Setelah api padam, kehidupan pun dimulai lagi.

"Hipotesisnya adalah komet besar terfragmentasi dan bongkahannya berdampak pada bumi, menyebabkan bencana ini," kata Adrian Melott dari University of Kansas, yang ikut menulis studi tahun 2018 yang merinci peristiwa bencana ini.

"Sejumlah tanda kimia yang berbeda, karbon dioksida, nitrat, amonia dan lain-lain, semua tampaknya menunjukkan bahwa 10% dari permukaan bumi, atau sekitar 10 juta kilometer persegi, habis terbakar," ujarnya seperti dikutip dari Science Alert.

Untuk mengintip kembali ke dalam api yang membakar dan gelombang kejut dari peristiwa besar ini, sejumlah besar penanda geokimia dan isotop diukur dari lebih dari 170 situs di seluruh dunia, yang melibatkan tim yang terdiri dari 24 ilmuwan.

Salah satu bagian dari analisis yang dilakukan adalah pada pola tingkat serbuk sari, yang menunjukkan bahwa hutan pinus tiba-tiba terbakar untuk digantikan oleh pohon poplar, spesies yang mengkhususkan diri menutupi tanah tandus. Peristiwa ini seperti yang mungkin terjadi ketika planet terkena serangkaian bola api besar.

Faktanya, bagian-bagian komet yang hancur di luar angkasa kemungkinan masih akan mengambang di sekitar Tata Surya kita 13.000 tahun kemudian.

Konsentrasi tinggi platinum, yang sering ditemukan di asteroid dan komet, dan tingkat debu yang tinggi juga dicatat dalam sampel yang dianalisis oleh para peneliti, di samping peningkatan konsentrasi aerosol pembakaran. Kita akan bisa melihat apakah banyak biomassa yang terbakar yaitu amonium, nitrat, dan lain-lain.

Ketika tanaman mati, sumber makanan akan langka, dan gletser yang sebelumnya mundur mulai bergerak lagi, demikian catatan tim peneliti. Budaya manusia harus beradaptasi dengan kondisi yang lebih keras, dengan populasi menurun sebagai hasilnya.

"Perhitungan menunjukkan bahwa dampaknya akan menipiskan lapisan ozon, menyebabkan peningkatan kanker kulit dan efek kesehatan negatif lainnya," kata Melott.

Tim tersebut berhipotesis bahwa dampak yang begitu luas dari fragmen komet, dan badai api berikutnya, bertanggung jawab atas sedikit pendinginan ekstra yang dikenal sebagai periode Dryas Muda. Perubahan suhu planet yang relatif singkat ini terkadang disebabkan oleh perubahan arus laut.

Namun, tabrakan komet bukanlah pendapat yang benar-benar baru, meskipun penelitian terbaru ini sangat mendalam untuk mencoba dan menemukan buktinya. Para ilmuwan telah memperdebatkan apakah dampak komet memicu peristiwa Younger Dryas selama beberapa tahun sekarang.

Tidak semua orang setuju bahwa data tersebut menunjukkan serangan komet, tetapi karya komprehensif ini menawarkan lebih banyak dukungan untuk hipotesis tersebut, seperti halnya ukiran kuno yang ditemukan di Turki pada tahun 2017. Ukiran ini menggambarkan dampak dahsyat dari objek antarbintang.

"Hipotesis dampak masih merupakan hipotesis, tetapi penelitian ini memberikan sejumlah besar bukti, yang menurut kami hanya dapat dijelaskan oleh dampak kosmik yang besar," kata Melott.


Sumber Artikel: inet.detik.com

Selengkapnya
Badai Api Pernah Menyapu Bumi, Dampaknya Menyeramkan

Energi dan Sumber Daya Mineral

Begini Peta Jalan Indonesia Menuju Netral Karbon di 2060

Dipublikasikan oleh Wanda Adiati, S.E. pada 24 Maret 2022


Demi mewujudkan komitmen mencapai net zero emission (netralitas karbon) di tahun 2060 atau lebih cepat, Pemerintah Indonesia telah menyiapkan road map alias peta jalan.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif mengungkapkan, komitmen ini akan didorong sesuai Strategi Jangka Panjang untuk Rendah Karbon dan Ketahanan Iklim (Long-Term Strategy for Low Carbon and Climate Resilence/LTS-LCCR).

"Roadmap ini juga mencakup upaya yang diperlukan dari sisi permintaan untuk mendukung transisi energi, seperti penggunaan kompor listrik, lampu LED dan gas kota," jelas Arifin saat menyampaikan pandangannya pada Ministrial Talks, dalam rangkaian agenda Conference of Parties (COP) ke-26 diikuti dari keterangan resmi, Senin (1/10).

Arifin menjelaskan, selama periode tahun 2021 hingga 2025, dilakukan penerbitan dan implementasi regulasi antara lain terkait Undang-Undang tentang EBT, penghentian dini pembangkit berbasis batubara, perluasan Co-firing PLTU, serta konversi diesel ke gas dan EBT.

Regulasi terkait PLTS Atap diterbitkan sebagai insentif bagi masyarakat yang memasang PLTS Atap sebagai energi bersih agar pengembangannya semakin masif. Selain itu, kebijakan pajak karbon (cap and tax) juga disiapkan untuk mengendalikan peningkatan emisi gas rumah kaca (GRK) dan mengubah prilaku aktifitas ekonomi agar dapat menurunkan emisi GRK. 

Pajak karbon akan diterapkan secara terbatas untuk PLTU mulai April 2022. "Pada tahun 2025, pangsa energi terbarukan ditargetkan sebesar 23% dan didominasi oleh Solar PV," kata Arifin.

Dari tahun 2026 hingga 2030, tidak akan ada tambahan kapasitas PLTU karena kapasitas hanya dari yang sudah berkontrak atau sedang dibangun. Solar PV dan kendaraan listrik akan dikembangkan secara masif, ditargetkan untuk mendukung penyediaan 2 juta kendaraan roda empat dan 13 juta roda dua.

Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia dapat dicapai dengan pengurangan emisi di sektor energi sebesar 314 juta ton CO2 pada tahun 2030. "Kami akan memulai tahap pertama penghentian PLTU dan mengurangi penggunaan diesel mulai tahun 2031. Pembangkit energi surya, hydro, dan panas bumi akan mendominasi 57% energi terbarukan pada tahun 2035," ungkap Arifin.

Selanjutnya pada 2036-2040 akan menjadi tahap kedua penghentian PLTU termasuk subcriticalcritical dan sebagian supercritical. Sedangkan porsi EBT akan meningkat menjadi 66% yang didominasi oleh pembangkit surya, hydro, dan bioenergi. Selain itu, dilakukan pengurangan penjualan kendaraan roda dua konvensional.

Dari 2041 hingga 2045, pembangkit arus laut skala besar dan pembangkit nuklir pertama mulai Commercial Operation Date (COD). Peningkatan pemanfaatan energi terbarukan menjadi 93% yang akan didominasi oleh pembangkit surya, hydro, dan bioenergi. Penjualan kendaraan roda empat konvensional juga akan berkurang.

Terakhir, selama 2051 hingga 2060 akan menjadi periode terakhir untuk penghentian PLTU dan hidrogen untuk listrik akan dikembangkan secara besar-besaran. Energi terbarukan yang dikembangkan didominasi oleh pembangkit surya, hydro, dan angin.

"Kami berkomitmen untuk mengurangi emisi Gas Rumah Kaca sebesar 29% pada tahun 2030 dengan upaya sendiri atau 41% dengan dukungan internasional," pungkas Arifin.


Sumber Artikel: kontan.co.id

Selengkapnya
Begini Peta Jalan Indonesia Menuju Netral Karbon di 2060

Energi dan Sumber Daya Mineral

Inspirasi Energi: Menanti Hidrogen sebagai Sumber Energi di Masa Depan

Dipublikasikan oleh Wanda Adiati, S.E. pada 24 Maret 2022


Ketika dunia gegap gempita menyambut kendaraan listrik, khususnya mobil lsitri, ada salah satu sumber energi yang membayangi dan bisa saja menyalip di masa depan.

Sumber energi tersebut adalah hidrogen. Melansir AFP, hidrogen di masa depan bisa menjadi bahan bakar untuk kereta api, pesawat terbang, mobil, truk, atau bahkan untuk pabrik.

Pemanfaatan hidrogen sebagai bahan bakar dinilai ramah lingkungan karena sangat rendah emisi. Melansir AFP, berikut kegunaan hidrogen di masa depan.


Mobil dan Truk

Mobil listrik fuel cell hidrogen sudah ada di jalan. Pada akhir 2014, Toyota meluncurkan sedan Mirai, kendaraan listrik fuel cell hidrogen yang diproduksi secara massal pertama di dunia.

Pabrikan asal Korea Selatan, Hyundai, tak mau kalah dan meluncurkan SUV Nexo pada 2018.

Kendala utama dari mobil listrik fuel cell hidrogen adalah harganya yang tinggi. Di pasar Amerika Serikat (AS), Mirai misalnya, dibanderol dengan harga 50.000 dollar AS (Rp 726 juta).

Kendala lainnya adalah kurangnya stasiun pengisian ulang hidrogren. Untuk membuatnya pun, diperlukan modal yang besar.

Namun di satu sisi, beberapa produsen mobil dan produsen alat telah mengumumkan rencana berupa investasi berskala besar untuk mengembangkan kendaraan ini.

Salah satu segmen yang kemungkinan bisa dikembangkan adalah segmen kendaraan niaga untuk transportasi barang, yakni truk.

Di segmen ini, hidrogen dapat menggantikan mesin diesel berbahan bakar solar. Kecepatan pengisian bahan bakar merupakan salah satu kelebihan dari truk dengan hidrogen.

Hyundai telah meluncurkan prototipe truk dengan hidrogen. GM, Traton (Volkswagen), dan Toyota mempercepat pengembangan model mereka sendiri.

Perusahaan otomotif rintisan di AS, Nikola, membuat gebrakan berumur pendek dengan janjinya akan truk berbahan bakar hidrogen sebelum mengakui bahwa jalannya masih panjang.

Beberapa perusahaan mengusulkan bus yang menggunakan fuel cell hidrogen, tetapi sektor ini masih dalam tahap percobaan.


Prototipe Kereta Api

Kereta berbahan bakar hidrogen dianggap sebagai alternatif yang baik untuk kereta berbahan bakar diesel dan tidak dapat beroperasi dengan listrik.

Namun, segmen ini membutuhkan jaringan pengisian bahan bakar khusus.

Perusahaan asal Perancis, Alstom, telah menguji kereta semacam itu di Jerman sejak akhir 2018, dan kini mengaku siap untuk membangun sarana perkeretaapian.

Perusahaan perkeretaapiaan Perancis, yakni SNCF, dan empat wilayah Perancis diharapkan menandatangani kontrak untuk kereta semacam ini.

Kontrak tersebut bertujuan untuk meletakkan prototipe di rel pada 2023, diikuti oleh program percontohan pada 2024 hingga 2025.


Pesawat Terbang

Sektor transportasi udara melirik hidrogen guna untuk memangkas tingkat emisi polusi yang diproduksi hingga separuhnya pada 2050.

Ada dua opsi pengembangan hidrogen untuk pesawat. Opsi pertama adalah menggunakan hidrogen langsung sebagai bahan bakar untuk mesin jet.

Opsi ini cukup simpel karena mengatasi hambatan teknis yang serius dan tidak terlalu banyak memodifikasi desain pesawat.

Namun, opsi ini menghadapi kedala pada masalah penyimpanan bahan bakar. Pada suhu -253 derajat Celsius, hidrogen memakan ruang empat kali lebih banyak daripada bahan bakar minyak.

Opsi kedua adalah menggabungkan hidrogen dengan karbon dioksida untuk menghasilkan bahan bakar sintetis.

Bahan bakar sintetis ini dapat digunakan sendiri atau dicampur bahan bakar minyak tanpa modifikasi mesin besar-besaran.

Pabrikan pesawat asal Eropa, Airbus, telah menjadikan pesawat berbahan bakar hidrogen sebagai prioritas strategis mereka.

Perusahaan ini menargetkan tahun 2035 sebagai tahun untuk setidaknya satu dari tiga konsepnya mulai membuahkan hasil.

Kelompok riset kedirgantaraan Jerman DLR dan Boeing tertarik dengan konsep bahan bakar hibrida.


Industri Berat

Industri berat juga memiliki target iklim yang harus dipenuhi pada 2050. Dan hidrogen tampaknya memiliki keunggulan di industri semen, kimia, dan baja.

Menurut prospek Ekonomi Hidrogen yang diterbitkan oleh BloombergNEF, “hidrogen hijau” yang diproduksi dari air dan listrik berkelanjutan dapat berharga antara 0,80 dollar AS hingga 1,60 dollar AS per kilo pada 2050.

Dengan semakin murahnya harga “hidrogen hijau”, akan membuatnya kompetitif dengan gas alam di sebagian besar negara.

Hidrogen sudah banyak digunakan dalam proses pembuatan pupuk.

Perusahaan asal Perancis, Air Liquide, memperkirakan bahwa antara 2030 hingga 2040, lebih dari setengah penjualan hidrogennya akan disalurkan ke sektor industri.

Sedangkan 40 persen di antaranya akan disalurkan untuk transportasi dan 10 persen digunakan untuk beragam aktivitas.

Perusahaan raksasa yang memproduksi baja, ArcelorMittal, bertujuan untuk mengurangi emisi global hingga 30 persen dalam waktu kurang dari 10 tahun.

ArcelorMittal telah meluncurkan proyek dengan Air Liquide di sebuah pabrik di Dunkirk, Perancis, yang sudah menjadi pemimpin eksperimental di Eropa.

Di La Mede, Perancis, perusahaan energi Total dan Engie mengerjakan kilang bio bertenaga surya yang diproyeksikan menghasilkan lima ton “hidrogen hijau” dalam sehari.

Air Liquide memiliki proyek energi lain yang sedang dikembangkan di Normandia dan Kanada.


Sumber Artikel: kompas.com

Selengkapnya
Inspirasi Energi: Menanti Hidrogen sebagai Sumber Energi di Masa Depan

Energi dan Sumber Daya Mineral

Pemerintah Targetkan 3,6 GW Kapasitas Terpasang PLTS Atap

Dipublikasikan oleh Wanda Adiati, S.E. pada 24 Maret 2022


Mendorong target bauran energi baru terbarukan (EBT), pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap menjadi salah satu perhatian Pemerintah. Bahkan Kementerian ESDM memasang target kapasitas terpasang pembangkit tersebut pada angka 3,6 Giga Watt (GW) di tahun 2025.

Direktur Jenderal, Energi Baru Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Dadan Kusdiana mengungkapkan tingginya minat masyarakat kepada PLTS Atap akan memberikan peluang terhadap menurunnya konsumsi sumber energi fosil, yaitu batubara. "Terjadi penghematan dari konsumsi batubara sekitar 3 juta ton (per tahun)," kata Dadan di Jakarta, Kamis (26/8).

Berdasarkan laporan dari International Renewable Energy (IRENA), penggunaan energi bersih tersebut mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 121.500 orang dan penurunan potensi Gas Rumah Kaca sebesar 5,4 juta ton CO2. "Ini akan ada investasi tambahan sekitar Rp45-64 triliun," sambung Dadan.

Potensi bisnis lain yang bisa dihasilkan adalah mendorong terciptanya green product. "Di dalam sistem perdagangan internasional mulai ada mekanisme baru bahwa produk itu harus dibuat dengan proses-proses yang lebih bersih sehingga produknya dikategorikan green produk dan tidak terkena pajak tambahan," jelas Dadan.

Pemerintah menyadari pengembangan PLTS atap yang semakin masif dapat mengurangi pertumbuhan pendapatan PT PLN (Persero). "Yang pertama pasti terjadi pengurangan pendapatan. Ini tidak bisa dihindari. Kalau 3,6 GW ini terpasang, setahun berkurang sekitar Rp5,7 triliun," Dadan menegaskan.

Namun di sisi lain, hal tersebut juga dapat menurunkan Biaya Pokok Penyediaan (BPP) listrik PLN. "Potensi untuk menurukan BPP sebesar 12, 6 per kWh, mengurangi subsidi Rp0,9 triliun dalam satu tahun, termasuk kompensasi dari pemerintah Rp2,7 triliun," ungkap Dadan.

Manfaat bisnis lain yang mampu dibangun adalah ekspor - impor (eksim) listrik. " Pengadaan ekpor - impor diprediksi menghasilkan bisnis baru senilai Rp2 - 4 triliun," ungkap Dadan.


Sumber Artikel: republika.co.id

Selengkapnya
Pemerintah Targetkan 3,6 GW Kapasitas Terpasang PLTS Atap

Energi dan Sumber Daya Mineral

Kementerian ESDM Pacu Pertumbuhan Industri PLTS Atap

Dipublikasikan oleh Wanda Adiati, S.E. pada 24 Maret 2022


Kementerian ESDM terus memacu pertumbuhan industri pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) atap agar makin berkontribusi secara signifikan bagi perkembangan energi baru terbarukan di Indonesia. Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Dadan Kusdiana mengatakan revisi Peraturan Menteri ESDM tentang pemanfaatan PLTS atap dapat menjawab kebutuhan industri penunjang PLTS atap.

"Kita ciptakan dulu pasarnya di dalam negeri, salah satunya dengan PLTS atap, kemudian nanti akan mendorong tumbuhnya industri di dalam negeri," katanya dalam diskusi daring yang dipantau di Jakarta, Jumat (27/8).

Dadan menjelaskan kecenderungan konsumen untuk mengonsumsi produk hijau yang dibuat dari proses ramah lingkungan mengharuskan pabrik-pabrik untuk menggunakan energi bersih. Menurutnya, urgensi revisi regulasi tersebut salah satunya untuk menjawab tantangan global terkait konsumsi produk hijau yang harus segera dipenuhi sektor industri secara cepat agar produk mereka tetap kompetitif dan bisa diterima konsumen.

"Kalau nanti berkembang ini bisa tumbuh industri PLTS di dalam negeri. Kita bisa menambah kapasitasnya dan punya industri dari sisi hulu untuk pembuatan sel yang sekarang masih impor," ujar Dadan.

Kehadiran industri pendukung PLTS atap akan memperbaiki keekonomian, sehingga membuat biaya pemasangan PLTS atap makin kompetitif. Dadan mengungkapkan pihaknya terus berkomunikasi dengan Kementerian Perindustrian dan Asosiasi mengenai kapasitas industri lokal PLTS atap yang dibangun di Indonesia.

Tujuan utama pemerintah adalah membuka seluas mungkin pasar PLTS atap di dalam negeri, sehingga bisa memacu pelaku usaha untuk membangun industri penunjang PLTS atap baik laminasi maupun sisi hulu pembuatan sel. 

Berdasarkan data Kementerian ESDM hingga Juli 2021, jumlah pengguna PLTS atap mencapai 4.028 pelanggan dengan kapasitas 35,56 megawatt peak. Pada Januari 2018, jumlah pengguna PLTS atap di Indonesia hanya sebanyak 351 pelanggan dengan begitu angka pertumbuhan pelanggan PLTS atap mencapai 1.047 persen dalam kurun waktu tiga tahun.

"Angka sekarang yang kami punya ada 22 atau 26 pabrikan yang siap dengan kapasitas total sekitar 500 megawatt," ujar Dadan.


Sumber Artikel: republika.co.id

Selengkapnya
Kementerian ESDM Pacu Pertumbuhan Industri PLTS Atap
« First Previous page 741 of 773 Next Last »