Riset dan Inovasi

Dukung Pengelolaan DAS Terpadu, BRIN Kembangkan WHAS

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 21 Februari 2025


Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) telah mengembangkan Watershed Health Assessment System (WHAS). Sistem ini bertujuan untuk memonitor kondisi hidrologi, tanah, dan aspek sosial-ekonomi dalam upaya mengelola aktivitas manusia dan sumber daya alam secara bersama-sama. Peneliti BRIN, Prof Irfan Budi Pramono menjelaskan bahwa Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) terpadu merupakan pendekatan yang mengharuskan pengelolaan aktivitas manusia dan sumber daya alam dilakukan secara bersama-sama, dengan mempertimbangkan keterkaitan lingkungan, ekonomi, dan masyarakat.

"Untuk mengetahui keberhasilan tujuan pengelolaan DAS perlu dilakukan pemantauan dan evaluasi. Parameternya adalah lahan, hidrologi dan kesejahteraan masyarakat," ucapnya dalam Webinar International bertajuk "International-Based Water Resources Management for Shared Prosperity", Senin (19/3).

Dijelaskan Irfan, WHAS mampu memonitoring berbagai parameter kunci seperti koefisien aliran, beban sedimen, indeks penggunaan air, kualitas air, persentase tutupan vegetasi, dan Indeks Pembangunan Manusia. Ini memberikan pemahaman yang lebih komprehensif dalam mengelola DAS dengan mempertimbangkan kepentingan dan kebutuhan lingkungan, ekonomi, dan masyarakat.

Menurut Irfan, pengelolaan sumber daya air berbasis DAS dianggap penting untuk menjamin pasokan air yang berkelanjutan. Untuk itu, perhatian khusus diberikan pada pengelolaan lahan di daerah hulu guna menjaga keseimbangan air. Salah satu solusi yang diusulkan adalah melalui program Pembayaran Jasa Lingkungan (PES) yang memungkinkan masyarakat di hilir DAS sebagai pengguna jasa lingkungan untuk berkontribusi kepada masyarakat di hulu DAS sebagai penyedia jasa lingkungan, terutama jasa air.

Dalam konteks ini, DAS Cidanau diidentifikasi sebagai salah satu contoh praktik terbaik pengelolaan DAS terpadu di Indonesia. Namun, masih terdapat sejumlah masalah yang perlu diatasi, seperti perambahan hutan, fluktuasi debit sungai yang tinggi, dan perlindungan di bagian hulu DAS. Melalui program PES, air sungai Cidanau diharapkan dapat diolah menjadi air bersih untuk memenuhi kebutuhan lebih dari 120 industri besar, menjadikannya sebagai contoh nyata dari win-win solution dalam pengelolaan DAS.

Irfan menyoroti beberapa peluang dan tantangan dalam pengelolaan DAS terpadu, termasuk carbon trading, PES, dan ekowisata. Tantangan utamanya adalah memanfaatkan dana dari berbagai sumber, memberdayakan pemangku kepentingan, dan memanfaatkan teknologi informasi untuk berbagi data dan memfasilitasi koordinasi. Dengan pendekatan yang komprehensif dan sinergis seperti ini, diharapkan pengelolaan DAS dapat menjadi landasan bagi pembangunan yang berkelanjutan dan kesejahteraan bersama bagi masyarakat Indonesia.

"Ada beberapa peluang dan tantangan dalam pengelolaan DAS terpadu seperti carbon trading, PES, dan Ecotourism. Sedangkan tantangannya adalah memanfaatkan dana dari berbagai sumber yang tersedia, memberdayakan berbagai pemangku kepentingan, dan memanfaatkan teknologi informasi untuk berbagi data dan memfasilitasi koordinasi," tandasnya.

Sementara itu, Profesor dari Shinshu University Japan, Kazuhiro Komatsu menawarkan penelitian mengenai karakterisasi Dissolved Organic Matter (DOM) atau Bahan Organik Terlarut pada danau dangkal dan dalam dengan menggunakan Excitation Emission Matrix (EEM)- PARAFAC Analysis. Hal ini seperti yang sudah dilakukannya di beberapa danau Jepang. "Excitation Emission Matrix (EEM) merupakan salah satu metode karakterisasi DOM, Pengukurannya sendiri sangat mudah dan sederhana. Hanya membutuhkan waktu 10 menit per sampel," ungkapnya.

Dijelaskan Kazuhiro, karakterisasi Bahan Organik Terlarut (DOM) menjadi kunci dalam pemahaman ekosistem akuatik dan siklus karbon global. Dua teknik terkini yang mendapatkan perhatian besar dalam hal ini adalah Matriks Emisi Eksitasi 3D dan Analisis Faktor Paralel (PARAFAC).

Lebih jauh, Kazuhiro menjelaskan bahwa Metode Excitation Emission Matrix (EEM) 3D memungkinkan pemetaan kontur 3-D dari panjang gelombang eksitasi, panjang gelombang emisi, dan intensitas fluoresensi dari DOM. Dengan karakteristik yang unik ini, peneliti dapat mengidentifikasi variasi kualitatif dan kuantitatif dalam komposisi DOM dengan detail yang tinggi. Keunggulan utamanya adalah kesederhanaan metodenya, yang memungkinkan pengukuran banyak sampel dalam waktu singkat. Hal ini membuatnya menjadi alat yang efisien dalam survei lapangan dan studi lingkungan yang luas.

Sedangkan, PARAFAC adalah metode analisis faktor yang digunakan untuk memecah Matriks Emisi Eksitasi 3D menjadi beberapa zat fluoresen hipotetis berdasarkan posisi puncaknya. Dengan demikian, PARAFAC menciptakan apa yang sering disebut sebagai "sidik jari organik", memungkinkan peneliti untuk mengidentifikasi dan memahami kontribusi masing-masing komponen DOM secara lebih terperinci. Penggunaan pemrosesan statistik memungkinkan analisis yang lebih mendalam terhadap data yang kompleks.

Kedua teknik ini membuka jalan baru dalam pemahaman DOM dan peranannya dalam ekosistem akuatik. Matriks Emisi Eksitasi 3D memberikan gambaran yang luas dan rinci tentang distribusi fluoresensi DOM, sementara PARAFAC memungkinkan identifikasi zat fluoresen kunci dan pemahaman tentang faktor yang memengaruhi distribusi mereka. Dengan menggunakan kedua metode ini secara bersamaan, para peneliti dapat memperoleh wawasan yang lebih mendalam tentang komposisi dan dinamika DOM dalam berbagai lingkungan akuatik, dari sungai hingga lautan, yang pada gilirannya dapat mendukung upaya konservasi dan pengelolaan sumber daya alam yang lebih efektif.

Untuk itu, pihaknya membuka kolaborasi dengan Indonesia melalui BRIN dalam melakukan penelitian tersebut. Salah satunya melalui kolaborasi dengan laboratorium di Jepang mulai dari survey lapangan, analisis sampel, eksperimen bersama, analisis data, seminar hingga publikasi bersama. 

Sumber: https://brin.go.id/

Selengkapnya
Dukung Pengelolaan DAS Terpadu, BRIN Kembangkan WHAS

Pertanian

Percobaan pada Hewan: Tikus Putih Sering Digunakan untuk Uji Coba Hewan?

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 21 Februari 2025


Percobaan pada hewan (bahasa Inggris: animal testing) merupakan kegiatan yang melibatkan hewan sebagai objek dari percobaan. Beberapa istilah yang berkaitan dengan uji coba hewan antara lain eksperimen pada hewan, penelitian pada hewan, uji coba in-vivo dan vivisection. Uji coba hewan dilakukan pada penelitian dasar dan terapan (biomedis), pengujian obat-obatan, pengujian zat-zat biologis, serta bertujuan sebagai sarana pendidikan. Hewan yang dapat dijadikan sebagai objek pengujian adalah hewan yang bebas dari mikroorganisme patogen, memiliki reaksi imunitas yang baik, kepekaan pada suatu penyakit, dan performa atau anatomi tubuh hewan percobaan dikaitkan dengan sistem genetiknya. Hewan yang banyak digunakan pada percobaan ialah mencit (Mus musculus) sekitar 40%, tikus putih (Rattus norvegicus), kelinci (Oryclolagus cunucilus), hamster, dan primata.

Terdapat konsep 3Rs yaitu replacement (penggantian), reduction (pengurangan), dan refinement (perbaikan) sebagai parameter penggunaan hewan dalam penelitian. Uji coba pada hewan perlu dilakukan sesuai etik antara lain cara memperoleh hewan percobaan, transportasi, perkandangan, kondisi lingkungan, makanan, perawatan, pengawasan oleh dokter hewan, dan teknik pelaksanaan uji coba dengan anastesi agar tidak menimbulkan rasa nyeri.

Tujuan

Berikut ini adalah beberapa tujuan dari dilakukannya animal testing yaitu sebagai berikut:

  1. Memastikan bahwa bahan baku yang digunakan dalam suatu produk benar-benar aman.
  2. Memastikan bahwa senyawa-senyawa yang digunakan dalam suatu produk tidak mempunyai efek fisiologis yang negatif terhadap jaringan tubuh manusia.
  3. Memastikan keamanan produk kosmetik yang digunakan.
  4. Mengetahui fototoksisitas (iritasi yang berhubungan dengan cahaya, biasanya terjadi setelah kulit dikenai cukup cahaya) bahan baku maupun produk terhadap kulit.
  5. Mengetahui potensi iritasi bahan baku atau produk terhadap kulit dan mata.
  6. Mengetahui komedogenitas kemampuan untuk merangsang tumbuhnya jerawat dan gangguan lain) pada kulit.

Teknis

Biasanya hewan yang digunakan pada animal testing merupakan hewan utuh atau hanya bagian tertentu dari tubuh hewan tersebut. Namun demikian, tidak jarang juga hewan hidup sehat digunakan sebagai objek penderita. Berikut ini adalah salah satu contoh langkah-langkah animal testing untuk mengetahui potensi bahan atau produk dalam menimbulkan komedo/jerawat (comedogemity):

  1. Hewan yang digunakan dalam pengujian tersebut yaitu kelinci.
  2. Bahan atau produk yang akan diteliti diaplikasikan pada salah satu telinga kelinci sebanyak setengah mililiter. Sedangkan telinga lainnya sebagai kontrol.
  3. Uji coba ini dilakukan selama 5 hari dalam 1 minggu dan dilakukan selama 2 minggu berturut-turut.
  4. Setelah itu dilakukan observasi berdasarkan gejala yang muncul pada objek penelitian.

Larangan pengadaan

Meskipun uji coba hewan ini memiliki tujuan yang baik berupa memastikan bahwa produk yang diproduksi dari suatu industri aman bagi kulit, tetapi beberapa negara melarang hal tersebut. Animal testing dianggap menjadi salah satu metode pengujian yang bertentangan dengan bioetika. Mereka mendorong supaya lembaga-lembaga penelitian menemukan metode pengujian yang lebih ramah dan beretika.

Pihak yang banyak menentang uji coba hewan yaitu Lembaga swadaya Masyarakat (LSM) lingkungan hidup dan kelompok pecinta satwa. Seperti dimaklumi, uji coba hewan menggunakan hewan sebagai objek penderitanya.Tak jarang hewan yang digunakan dalam penelitian tersebut dibunuh guna menghindari interaksi terhadap hewan lainnya. Hewan-hewan yang biasanya digunakan dalam animal testing yaitu hewan-hewan pengerat seperti tikus, kelinci, dan marmut. Hewan-hewan tersebut diperoleh dari pembiakan atau penangkaran. Selain hewan pengerat, hewan-hewan dari kelompok karnivora dan primata juga sering digunakan dalam animal testing. Hewan golongan ini pada umumny amasih banyak yang diperoleh dari alam liar.

Ada beberapa alasan para penggiat LSM lingkungan hidup dan kelompok pecinta satwa melarang uji coba hewan untuk menguji keamanan produk:

  1. Hewan-hewan yang tidak bersalah harus menanggung efek samping penggunaan dosis bahan-bahan kimia yang digunakan dalam kosmetik pada animall testing.
  2. Hewan-hewan yang digunakan pada animal testing terkadang diperlakukan secara tidak layak. Bahkan tidak jarang juga kebutuhan nutrisi mereka diabaikan atau kurang diperhatikan.
  3. Bahan-bahan yang dinyatakan lolos melalui uji coba ini terkadang memberikan efek yang berbeda apabila diaplikasikan kepada manusia. Jadi, bahan yang dinyatakan aman pada saat animal testing belum tentu aman digunakan pada manusia, begitu pula sebaliknya.

Sumber: https://id.wikipedia.org/

Selengkapnya
Percobaan pada Hewan: Tikus Putih Sering Digunakan untuk Uji Coba Hewan?

Riset dan Inovasi

Hari Air Sedunia, BRIN Tekankan Pentingnya Pengelolaan DAS Terpadu

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 21 Februari 2025


Hari Air Sedunia atau World Water Day diperingati setiap tanggal 22 Maret. Kepala Pusat Riset Limnologi dan Sumber Daya Air Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Hidayat menyatakan, peringatan ini menjadi momentum untuk meningkatkan kesadaran pentingnya pengelolaan sumber daya air berbasis daerah aliran sungai (DAS) terpadu.

“Pengelolaan DAS terpadu menghadirkan solusi holistik terhadap tantangan air yang kita hadapi. Strategi pengelolaan air yang proaktif terbukti mengurangi risiko bencana, melindungi masyarakat, dan menumbuhkan ketahanan regional,” ungkap Hidayat, pada seminar internasional bertajuk “Watershed-Based Water Resources Management for Shared Prosperity,” secara hibrida, Senin (18/3).

Karena itu, lanjut dia, perlu kolaborasi, keterlibatan masyarakat, dan pendanaan berkelanjutan, untuk menjamin keamanan air jangka panjang dan lingkungan yang sehat. Hal ini mencakup praktik konservasi tanah dan air yang mencegah erosi, meminimalkan limbah, dan mendorong siklus air yang berkelanjutan.

“Pendekatan terpadu ini menumbuhkan win-win scenario, yang menguntungkan masyarakat dan lingkungan,” tambahnya.

Komite Pengarah Program Hidrologi Internasional (IHP) UNESCO Indonesia yang juga Deputi Bidang Kebijakan Pembangunan BRIN Mego Pinandito, mengatakan, pertumbuhan populasi global, gangguan iklim, polusi air, dan ketimpangan akses terhadap air bersih memerlukan peralihan ke praktik pengelolaan air berkelanjutan.

Tantangan-tantangan ini memerlukan solusi inovatif. Pengelolaan DAS menjadi solusi yang tepat.

“Dengan memahami aliran air di dalam DAS dan menerapkan langkah-langkah seperti dataran banjir dan penyangga alami, kita dapat meminimalkan dampak banjir dan kekeringan. Ini melindungi masyarakat, infrastruktur, dan lahan pertanian,” ungkap Mego.

Selain itu, pengelolaan DAS dinilai mendorong efisiensi biaya. Mengoptimalkan penggunaan air berarti meminimalkan kehilangan air akibat penguapan dan kebocoran.

“Hal ini dapat mencakup promosi teknologi hemat air di bidang pertanian dan perkotaan. Serta penerapan teknik pemanenan air hujan. Sehingga, mengurangi permintaan terhadap sumber daya yang ada dan menurunkan biaya pengolahan air,” jelasnya.

Dikatakan Mego, seminar ini menjadi batu loncatan gelaran World Water Forum 2024 bulan Mei mendatang.

“Dengan mendorong dialog dan kolaborasi antar pemangku kepentingan, membuka jalan bagi pengembangan solusi inovatif dan kolaboratif terhadap tantangan air global yang kita hadapi,” tandasnya.

Rehabilitasi hutan dan lahan

Dalam kesempatan ini, Martin Doviyanti dari Direktorat Konservasi Tanah dan Air Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menjelaskan, pengelolaan DAS mencakup produksi, regulasi, distribusi, dan konsumsi air yang melibatkan banyak pihak.

Karena itu, konservasi tanah dan air menjadi upaya mencegah erosi tanah, menjaga kualitas air, dan mengelola penggunaan sumber daya tanah dan air secara berkelanjutan.

Menurutnya, dalam hal pengembangan energi baru terbarukan, rehabilitasi hutan dan lahan dapat menjadi salah satu alternatif. Pemilihan jenis tanaman yang tepat perlu dilakukan.

“Rehabilitasi hutan dan lahan (forest and land rehabilitation/FLR) merupakan upaya pemulihan, pemeliharaan, dan peningkatan fungsi hutan dan lahan. Agar daya dukung, produktivitas, dan peranannya dalam menunjang sistem penyangga kehidupan tetap terjaga,” terang Martin.

Sasarannya, lanjut Martin, FLR diprioritaskan pada daerah hulu DAS yang rawan banjir, kekeringan, tanah longsor, daerah tangkapan air dari waduk, bendungan, danau, daerah imbuhan air tanah, dan daerah sempadan sungai. Serta, daerah hilir DAS yang rawan terhadap tsunami, intrusi air laut, dan abrasi sungai.

“Implementasi FLR sudah diterapkan antara lain di Jawa Tengah, Kawasan Hutan Gunung Balak Lampung, Desa Girimulyo, Kawasan Bukit Menoreh Yogyakarta, dan Hutan Cyclop Papua. Juga dilakukan sentra pembibitan tanaman tertentu di sejumah daerah seperti Mentawir, Labuan Bajo, Toba, Rumpin, dan mangrove di Bali,” pungkasnya.

Sebagai informasi, seminar internasional ini diselenggarakan oleh Komite Nasional Indonesia untuk IHP UNESCO bekerja sama dengan BRIN dan Masyarakat Limnologi Indonesia. Pertemuan ini menjadi contoh pentingnya kolaborasi dalam berbagi pengetahuan tentang pengelolaan sumber daya air secara terpadu. 

Sumber: https://brin.go.id/

 

Selengkapnya
Hari Air Sedunia, BRIN Tekankan Pentingnya Pengelolaan DAS Terpadu

Riset dan Inovasi

BRIN dan Pihak Swasta Komitmen Kurangi Gas Rumah Kaca

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 21 Februari 2025


Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menggandeng PT. TUV Rheinland Indonesia (TRID) untuk melakukan riset bersama terkait  standar keberlanjutan dan sistem pelaporan terkait penilaian keberlanjutan industri dan produk. Kolaborasi kedua belah pihak ini merupakan upaya mewujudkan tujuan pembangunan berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs) khususnya dalam bidang Low Carbon Development Initiative.

Kerja sama ini diwujudkan dengan penandatanganan naskah kerja sama yang dilakukan di Gedung BJ. Habibie, Jl. M.H. Thamrin, Jakarta, Jumat (15/03).  Naskah kerja sama ini ditandatangani antara Kepala Pusat Riset Sistem Produksi Berkelanjutan dan Penilaian Daur Hidup (PR SPBPDH)  Nugroho Adi Sasongko dengan Presiden Direktur PT. TRID I Nyoman Susila.

Nugroho menjelaskan, upaya mencapai SDGs khususnya dalam pengurangan emisi karbon telah menjadi target untuk semua negara di dunia ini, termasuk Indonesia. Bahkan pemerintah Indonesia telah menetapkan sebesar 29% dengan usaha sendiri dan 41% dengan dukungan internasional di tahun 2030.

"Selain itu, mitigasi dan aksi pengurangan gas rumah kaca (GRK) yang dihasilkan oleh aktivitas perorangan, perusahaan, atau negara diharapkan terpenuhi melalui komitmen nasional dalam Enhanced National Determined Contribution (ENDC) juga di Tahun 2030," ujar Nugroho.

Guna mencapai target yang telah ditetapkan, lanjut Nugroho, pemerintah telah mengeluarkan regulasi terkait dengan Gas Rumah Kaca (GRK) untuk mendukung target untuk memenuhi net zero emission maksimal pada tahun 2060. Dalam Pemenuhan target-target tersebut, terdapat banyak Norm, Standards dan Technical Regulations terkait Industri dan Produk yang ramah lingkungan diwajibkan terpenuhi oleh Komunitas Internasional.

"Diperlukan riset dan pengembangan standarisasi industri serta produk, untuk meningkatkan pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan. Dalam hal ini, riset dan pengembangan sistem produksi berkelanjutan dan penilaian daur hidup menjadi rancangan strategi yang paling penting untuk mendukung hal-hal tersebut," jelasnya.

Menurut Nugroho, BRIN dalam hal ini PR SPBPDH merupakan pusat riset yang memiliki bidang kepakaran terkait sistem produksi berkelanjutan dan penilaian daur hidup dan secara spesifik mengenai Norm, Standards, serta Technical Regulations dalam Pengukuran, Verifikasi, Sistem Pelaporan serta Penilaian Keberlanjutan Industri Serta Produk dalam Industri dan Perdagangan Global. Sedangkan PT. TRID merupakan lembaga swasta di bidang jasa layanan sertifikasi, inspeksi, pengujian serta pelatihan, dan merupakan bagian dari TUV Rheinland Group.

"Saat ini perusahaan sedang berkonsentrasi dalam topik upaya untuk mereduksi GRK di Indonesia dan mendorong strategi kepada berbagai perusahaan terkait dengan sustainability. Karenanya membutuhkan peran dari PRSPBPDH BRIN dalam melakukan riset dan dan pengembangan keilmuan yang terkait bidang tersebut," ujar Nugroho.

Presiden Direktur TRID I Nyoman Susila merasa bangga mempunyai kesempatan bisa bekerja sama dengan BRIN. Kerja sama ini merupakan bentuk kolaborasi dua institusi yang saling membutuhkan.

"Kerja sama ini bisa menjadi momentum untuk kolaborasi antara dua institusi yang saling membutuhkan, dan kami merasa bangga bisa bekerja sama dengan BRIN," kata I Nyoman.

Kerja sama kata I Nyoman, diharapkan mendapatkan dokumen riset terkait dengan standar keberlanjutan dan sistem pelaporan terkait penilaian keberlanjutan industri dan produk yang dapat dimanfaatkan oleh industri di Indonesia serta global. 

Sumber: https://brin.go.id/

Selengkapnya
BRIN dan Pihak Swasta Komitmen Kurangi Gas Rumah Kaca

Pertanian

Perternak Sapi Konvensial vs Perternak Sapi Modern

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 21 Februari 2025


Peternakan sapi telah menjadi kegiatan yang dilakukan oleh manusia selama ribuan tahun. Di berbagai bagian dunia, sapi digunakan sebagai sumber makanan, tenaga kerja, dan bahan bakar. Di Indonesia, sapi merupakan sumber utama protein hewani yang penting dalam kehidupan sehari-hari. Dengan kemajuan zaman, peternakan sapi telah mengalami banyak perubahan dan perkembangan teknologi. Saat ini, terdapat dua jenis peternakan sapi yang berbeda, yakni peternakan sapi konvensional dan peternakan sapi modern. Dalam artikel ini, akan dibahas perbedaan antara kedua jenis peternakan sapi tersebut serta kelebihan dan kekurangan masing-masing.

Bagian I: Peternakan Sapi Konvensional

Peternakan sapi konvensional merupakan bentuk peternakan sapi yang mengandalkan metode-metode tradisional dalam proses budidaya. Di Indonesia, peternakan sapi konvensional masih umum ditemui, terutama di daerah pedesaan. Berikut adalah beberapa karakteristik dari peternakan sapi konvensional:

  • Penggunaan lahan alami

Peternakan sapi konvensional biasanya memanfaatkan lahan alami sebagai tempat pemeliharaan sapi. Sapi dibiarkan bebas berkeliaran di padang rumput atau hutan untuk mencari makanan sendiri. Ini merupakan perbedaan dengan peternakan sapi modern yang menggunakan kandang atau ladang sebagai tempat pemeliharaan sapi.

  • Penggunaan pakan alami

Sapi yang dipelihara dalam peternakan sapi konvensional diberi makanan alami berupa rumput, daun, atau kulit kayu sebagai pakan utama mereka. Mereka dibiarkan mencari makan sendiri di sekitar peternakan atau di lahan yang disediakan oleh peternak.

  • Tidak adanya penggunaan teknologi

Peternakan sapi konvensional biasanya tidak mengadopsi teknologi modern seperti mesin pengaduk pakan, peralatan pengontrol suhu, atau teknologi lainnya yang dapat mempercepat dan memudahkan proses budidaya sapi.

1. Kelebihan Peternakan Sapi Konvensional

  • Biaya yang lebih rendah

Peternakan sapi tradisional memiliki biaya yang lebih murah daripada peternakan sapi modern. Hal ini dikarenakan peternakan sapi tradisional tidak memerlukan peralatan dan teknologi modern untuk mengelola peternakan.

  • Makanan yang lebih sehat

Sapi yang dirawat di peternakan sapi tradisional diberikan pakan alami seperti rumput, daun, atau kulit kayu. Jenis pakan alami ini dianggap lebih sehat bagi sapi maupun manusia.

  • Lebih ramah lingkungan

Peternakan sapi tradisional menghindari penggunaan teknologi modern yang berlebihan sehingga lebih memperhatikan lingkungan. Sapi diberikan kebebasan untuk mencari makan sendiri di sekitar peternakan dan membutuhkan sedikit lahan.

2. Kekurangan Peternakan Sapi Konvensional

  • Produksi yang rendah

Peternakan sapi tradisional umumnya menghasilkan produksi yang lebih rendah dibandingkan dengan peternakan sapi modern. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor seperti penggunaan teknologi modern yang kurang serta kurangnya perawatan yang optimal terhadap sapi.

  • Kualitas yang tidak konsisten

Sapi yang dirawat di peternakan sapi tradisional memiliki kualitas yang bervariasi. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor seperti jenis pakan yang diberikan dan kurangnya perawatan yang optimal.

  • Berisiko terhadap kesehatan sapi dan manusia

Peternakan sapi tradisional seringkali kurang memenuhi standar sanitasi dan kesehatan yang memadai. Hal ini meningkatkan risiko sapi dan manusia terkena penyakit dan infeksi.

Bagian II: Peternakan Sapi Modern

Peternakan sapi modern merujuk pada jenis peternakan sapi yang mengadopsi teknologi modern dalam kegiatan budidaya sapi. Peternakan sapi modern umumnya terdapat di daerah perkotaan atau di negara-negara maju. Berikut adalah beberapa ciri khas dari peternakan sapi modern:

  • Penggunaan kandang atau ladang

Sapi yang dikembangkan di peternakan sapi modern biasanya ditempatkan di kandang atau ladang. Tujuan utamanya adalah untuk mempermudah pengawasan dan perawatan sapi.

  • Penggunaan pakan buatan

Sapi yang dirawat di peternakan sapi modern diberikan pakan buatan yang terdiri dari jagung, kedelai, atau tepung tulang sebagai pakan utama. Jenis pakan buatan ini disesuaikan dengan kebutuhan nutrisi sapi.

  • Penggunaan teknologi modern

Peternakan sapi modern memanfaatkan teknologi modern seperti mesin pengaduk pakan, alat pengendali suhu, dan berbagai teknologi lainnya untuk mempercepat dan mempermudah proses budidaya sapi.

1. Kelebihan Peternakan Sapi Modern

  • Produksi yang tinggi

Peternakan sapi modern memiliki potensi menghasilkan produksi yang lebih tinggi dibandingkan dengan peternakan sapi konvensional. Hal ini disebabkan oleh penggunaan teknologi modern dan perawatan yang optimal terhadap sapi.

  • Kualitas yang lebih konsisten

Sapi yang dirawat di peternakan sapi modern umumnya memiliki kualitas yang lebih konsisten. Hal ini dikarenakan penggunaan pakan buatan yang disesuaikan dengan kebutuhan nutrisi sapi.

  • Lebih aman terhadap kesehatan sapi dan manusia

Peternakan sapi modern menerapkan standar sanitasi dan kesehatan yang tinggi. Hal ini menjaga keamanan sapi dan manusia dari penyakit dan infeksi.

2. Kekurangan Peternakan Sapi Modern

  • Biaya yang lebih tinggi

Peternakan sapi modern membutuhkan biaya yang lebih tinggi dibandingkan dengan peternakan sapi konvensional. Hal ini disebabkan oleh penggunaan teknologi modern dan perawatan yang lebih intensif terhadap sapi.

  • Dampak lingkungan yang besar

Peternakan sapi modern umumnya memerlukan lahan yang lebih luas dan menghasilkan limbah yang lebih banyak. Dampaknya dapat merugikan lingkungan sekitar peternakan, seperti pencemaran air dan udara.

  • Kurangnya keberlanjutan

Peternakan sapi modern sering kali menerapkan praktik-praktik yang tidak berkelanjutan, seperti menggunakan pakan buatan yang mengandung bahan-bahan tidak ramah lingkungan dan penggunaan antibiotik secara berlebihan. Dampaknya dapat mengurangi kualitas lingkungan dan mengancam keberlanjutan usaha peternakan.

Sebagai seorang penulis, pendapat saya adalah bahwa peternakan sapi modern memiliki potensi sebagai solusi untuk mengatasi masalah kelangkaan daging sapi di masa depan. Namun, saya juga menyadari bahwa peternakan sapi konvensional memainkan peran penting dalam memenuhi kebutuhan pangan di banyak daerah, terutama di daerah pedesaan.

Dalam konteks ini, saya yakin bahwa peternakan sapi modern memberikan alternatif yang positif bagi peternakan sapi konvensional. Penerapan teknologi modern dapat membantu meningkatkan produksi daging sapi serta meningkatkan kualitas sapi yang dihasilkan. Namun, penting untuk melakukannya dengan mempertimbangkan aspek keberlanjutan dan kesehatan lingkungan.

Selain itu, diperlukan upaya untuk meningkatkan kualitas peternakan sapi konvensional. Pemerintah dan organisasi terkait dapat memberikan dukungan berupa pelatihan dan penyediaan teknologi sederhana yang dapat membantu peternak sapi konvensional meningkatkan produksi dan kualitas sapi mereka.

Secara keseluruhan, saya meyakini bahwa peternakan sapi modern dan peternakan sapi konvensional memiliki keunggulan dan kelemahan masing-masing. Namun, kedua jenis peternakan ini dapat berjalan berdampingan dan saling melengkapi untuk memenuhi kebutuhan pangan yang semakin meningkat di masa depan. (Dosen Universitas Teknokrat Indonesia, Pakar Sistem Tertanam, Tim Kelompok Keilmuan IoT dan Sistem Tertanam)

Sumber: https://teknokrat.ac.id/

Selengkapnya
Perternak Sapi Konvensial vs Perternak Sapi Modern

Pertanian

Mengenal Apa itu Etologi

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 21 Februari 2025


Etologi atau Ilmu perilaku hewan adalah suatu cabang ilmu zoologi yang mempelajari perilaku atau tingkah laku hewan, mekanisme serta faktor-faktor penyebabnya.

Sepanjang sejarah telah banyak naturalis yang mempelajari aneka aspek tingkah laku hewan, berakar pada penelitian-penelitian Charles Darwin (1809-1882). Namun disiplin ilmu etologi modern dianggap lahir sekitar tahun 1930-an atas penilitian-penilitian yang dilakukan ornitologis asal Belanda, Nikolaas Tinbergen (1907-1988), dan ornitologis asal Austria, Konrad Lorenz (1903-1989) serta zoologis Karl von Frisch (1886-1982). Atas jerih payahnya, ketiga peneliti ini kemudian dianugerahi Hadiah Nobel dalam Fisiologi dan Kedokteran pada tahun 1973.

Etologi merupakan kombinasi antara pekerjaan laboratorium dan pengamatan di lapangan, yang memiliki keterkaitan yang kuat dengan disiplin ilmu-ilmu tertentu seperti neuroanatomi, ekologi, dan evolusi. Seorang ahli perilaku hewan cenderung menaruh minat pada proses terjadinya sebuah perilaku dari pada kelompok hewan tertentu, dan sering kali mempelajari satu jenis perilaku, seperti agresi, pada sejumlah spesies yang tidak berkerabat.

Etologi adalah bidang yang berkembang pesat. Sejak awal abad ke-21, para peneliti telah memeriksa kembali dan mencapai kesimpulan baru dalam banyak aspek komunikasi hewan, emosi, budaya, pembelajaran, dan seksualitas yang telah lama dipahami oleh komunitas ilmiah. Bidang-bidang baru, seperti neuroetologi, juga mulai berkembang.

Etimologi dan terminologi

Istilah etologi diturunkan dari bahasa Yunani, yaitu kata ethos (ήθος) yang berarti "kebiasaan", seperti kata etis dan etika. lalu kata -logia (-λογία) yang berarti "ilmu mengenai-". Pertama kali istilah ini diperkenalkan dalam bahasa Inggris oleh mirmekolog asal Amerika William Morton Wheeler pada 1902.

Meski tidak diterima dalam kalangan akademisi, John Stuart Mill dalam bukunya Sistem Logika, Ratiosinatif dan Induktif (1843) mendefinisikan Etologi sebagai "ilmu pembentukan karakter" yang akan menjadi ilmu tentang sifat manusia yang tidak dapat disediakan oleh Psikologi.

Dia menyarankan psikologi akan menjadi ilmu untuk menemukan hukum pikiran universal, sedangkan Etologi akan menjadi ilmu yang menjelaskan pikiran individu atau karakter menurut hukum umum disediakan oleh Psikologi. Etologi juga akan memiliki hukumnya sendiri, tetapi mereka akan menjadi turunan; yaitu, mereka akan disimpulkan dari hukum-hukum universal Psikologi.[5] Studi semacam ini kemudian dikenal sebagai Psikologi Komparatif.

Sejarah

  • Periode awal etologi

Karena dianggap sebagai bagian dari biologi, para ahli perilaku hewan mengkhususkan perhatian mereka kepada evolusi perilaku dan pemahamannya terkait dengan seleksi alam. Charles Darwin dianggap sebagai etologis modern pertama, dia menulis The Expression of the Emotions in Man and Animals (1872) yang memberikan pengaruh kepada para etologis. Dia menyalurkan minatnya dalam perilaku dengan mendorong muridnya George Romanes, yang menyelidiki pembelajaran dan kecerdasan hewan menggunakan metode antropomorfik, kognitivisme anekdot, yang tidak mendapatkan dukungan masyarakat ilmiah.

Etologis periode awal lain, seperti Eugène Marais, Charles O. Whitman, Oskar Heinroth, Wallace Craig, dan Julian Huxley, berkonsentrasi pada perilaku naluriah atau alami yang terjadi pada semua anggota spesies dalam keadaan tertentu. Permulaan mereka dalam mempelajari perilaku spesies baru adalah dengan menyusun etogram (deskripsi jenis perilaku umum beserta frekuensi kemunculannya). Ini memberikan database perilaku kumulatif yang objektif, yang dapat diperiksa dan ditambahkan oleh peneliti selanjutnya.

  • Perkembangan bidang studi

Karena penelitian Konrad Lorenz dan Nikolaas Tinbergen, etologi berkembang pesat di Eropa selama tahun-tahun menjelang Perang Dunia II. Setelah perang, Tinbergen pindah ke Universitas Oxford dan etologi menjadi lebih kuat di Inggris, dengan pengaruh tambahan dari William Thorpe, Robert Hinde, dan Patrick Bateson di Sub-departemen Perilaku Hewan di Universitas Cambridge. Pada periode ini pula, etologi mulai berkembang pesat di Amerika Utara.

Lorenz, Tinbergen, dan von Frisch bersama-sama dianugerahi Hadiah Nobel dalam Fisiologi atau Kedokteran pada tahun 1973 untuk karya mereka dalam mengembangkan etologi.

Etologi menjadi disiplin ilmu yang terpandang, dan memiliki sejumlah jurnal yang membahas perkembangan dalam subjek tersebut, seperti Animal BehaviourAnimal WelfareApplied Animal Behaviour ScienceAnimal CognitionBehaviourBehavioral Ecology and Ethology: International Journal of Behavioural Biology. Pada tahun 1972, International Society for Human Ethology didirikan untuk mempromosikan pertukaran pengetahuan dan pendapat tentang perilaku manusia yang diperoleh dengan menerapkan prinsip dan metode etologis dan menerbitkan jurnal mereka, The Human Ethology Bulletin.

  • Etologi sosial dan perkembangan terkini

Pada tahun 1972, etologis Inggris John H. Crook membedakan 'etologi komparatif' dari 'etologi sosial', dan berpendapat bahwa sebagian besar etologi yang ada sejauh ini benar-benar etologi komparatif—memeriksa hewan sebagai individu—sementara di masa depan, ahli etologi perlu berkonsentrasi pada perilaku kelompok sosial hewan dan struktur sosial di dalamnya.

Pada tahun 1975, Edward O. Wilson mengeluarkan buku Sociobiology: The New Synthesis, dan sejak saat itu studi tingkah laku meletakkan perhatian lebih pada aspek sosial. Hal ini juga didorong oleh Darwinisme yang lebih kuat, tetapi lebih canggih, yang diasosiasikan dengan E.O. Wilson, Robert Trivers, dan W.D. Hamilton. Perkembangan terkait ekologi perilaku juga telah membantu mengubah etologi. Selain itu, pemulihan hubungan yang substansial dengan psikologi komparatif telah terjadi, sehingga studi ilmiah modern tentang perilaku menawarkan spektrum pendekatan yang lebih mulus: dari kognisi hewan hingga psikologi komparatif yang lebih tradisional, etologi, sosiobiologi, dan ekologi perilaku. Pada tahun 2020, Dr. Tobias Starzak dan Profesor Albert Newen dari Institut Filsafat II di Universitas Ruhr Bochum mendalilkan bahwa hewan mungkin memiliki 'kepercayaan'.

Kaitan dengan psikologi komparatif

Etologi dapat dibedakan dengan psikologi komparatif, yang juga mempelajari perilaku hewan dalam konteks dan kaidah psikologi. Sedangkan etologi memandang studi perilaku hewan dalam konteks dari apa yang dikenal tentang anatomi dan fisiologi hewan yang cenderung mengikuti kaidah biologi. Lebih lanjut, psikolog komparatif awal berkonsentrasi pada studi pembelajaran dan cenderung memahami perilaku dalam keadaan buatan, sedangkan para etolog awal berkonsentrasi pada perilaku dalam keadaan alami, cenderung menggambarkannya secara naluriah.

Kedua pendekatan ini saling melengkapi alih-alih bersaing, tetapi mereka memberikan perspektif yang berbeda dan kadang berbeda pendapat mengenai hal yang substansial. Ditambah lagi dengan fakta bahwa selama abad ke-20 psikologi komparatif berkembang paling kuat di Amerika Utara dan etologi lebih kuat di Eropa sehingga menimbulkan berbeda fondasi filsafat dalam kedua studi itu. Dari sudut pandang praktis, psikolog komparatif awal berkonsentrasi untuk memperoleh pengetahuan luas tentang perilaku spesies yang sangat sedikit. Para etolog lebih tertarik untuk memahami perilaku di berbagai spesies untuk memfasilitasi perbandingan berprinsip di seluruh kelompok taksonomi. Para ahli etologi lebih banyak menggunakan perbandingan lintas spesies seperti itu daripada yang para psikolog komparatif.

Insting

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata 'insting' mengenai zoologi diartikan sebagai "Kecenderungan pada tingkah laku yang diwarisi dari nenek moyang dan kebiasaan pada binatang jenis tertentu tanpa pengalaman sebelumnya atau tanpa tujuan yang mendasar"

  • Pola tindakan tetap

Langkah penting yang dikaitkan dengan Konrad Lorenz, walau kemungkinan lebih kepada gurunya, Oskar Heinroth, ialah pengenalan pola tindakan tetap. Lorenz mempopulerkan hal ini sebagai respons naluriah yang akan terjadi dengan keterandalan disebabkan stimulus yang dikenali yang disebut stimulus penanda atau "stimulus pelepas". Pola tindakan tetap sekarang dianggap sebagai urutan perilaku naluriah yang relatif tidak berubah di dalam spesies dan hampir pasti berjalan sampai selesai.

Lorenz mengidentifikasi 6 karakteristik pola tindakan tetap, yaitu; stereotip, kompleks, karakteristik spesies, dilepaskan, dipicu, dan tidak bergantung pada pengalaman. Terdapat 4 pengecualian kondisi dari pola tindakan tetap, yaitu; ambang toleransi respon yang menurun, terlalu lama tidak dirilis, perilaku displacement, respon yang bertingkat.

Pola tindakan tetap telah diamati pada banyak spesies, tetapi terutama pada ikan dan burung. Studi klasik oleh Konrad Lorenz dan Niko Tinbergen melibatkan perilaku kawin ikan stickleback jantan dan perilaku pengambilan telur angsa greylag. Oskar Heinroth kenyakan melakukan pengamatan pada Anatidae sebagai studi kasusnya.

Salah satu studi populer tentang hal ini juga dilakukan Karl von Frish mengenai "Tarian Kibasan" (Waggle Dance) atau "Bahasa Tari" yang diamati pada lebah madu. Dengan melakukan tarian ini, lebah pekerja dapat berbagi informasi tentang arah dan jarak ke petak bunga yang menghasilkan nektar dan serbuk sari, ke sumber air, atau ke lokasi sarang baru dengan anggota koloni lainnya.

Pembelajaran

  • Habituasi

Habituasi adalah bentuk pembelajaran yang sederhana dan terjadi di banyak taksa hewan. Ini adalah proses di mana hewan berhenti merespons stimulus. Seringkali, responsnya adalah perilaku bawaan. Pada dasarnya, hewan itu belajar untuk tidak menanggapi stimulus yang tidak relevan. Stimulus diberikan secara terus-menerus maka respon yang dihasilkan akan mengalami penurunan, tidak akan berasosiasi dengan respon tertentu.

Meskipun terjadi penurunan respon pada proses habituasi, efek yang ditimbulkan tidak membahayakan bagi makhluk. Hal ini dikarenakan saat stimulus terus-menerus diberikan pada makhluk tersebut, maka ia akan menyesuaikan diri dengan baik, sehingga respon tidak ditampilkan dan stimulus akan diabaikan.

  • Pembelajaran asosiatif

Pembelajaran asosiatif dalam perilaku hewan adalah setiap proses pembelajaran di mana respons baru dikaitkan dengan stimulus tertentu. Studi pertama pembelajaran asosiatif dilakukan oleh ahli fisiologi Rusia Ivan Pavlov, yang mengamati bahwa anjing yang dilatih untuk mengasosiasikan makanan dengan bunyi bel akan mengeluarkan air liur saat mendengar bel.

  • Perakaman

Perakaman memungkinkan anakan untuk membedakan anggota spesies mereka sendiri, penting untuk keberhasilan reproduksi. Jenis pembelajaran penting ini hanya berlangsung dalam jangka waktu yang sangat terbatas. Lorenz mengamati bahwa anak burung seperti angsa dan ayam mengikuti induknya secara spontan hampir dari hari pertama setelah mereka menetas, dan dia menemukan bahwa respons ini dapat ditiru oleh stimulus yang berubah-ubah jika telur diinkubasi secara artifisial dan stimulus diberikan. selama periode kritis yang berlanjut selama beberapa hari setelah menetas.

  • Imitasi (Peniruan)

Imitasi adalah perilaku tingkat lanjut di mana seekor hewan mengamati dan secara tepat meniru perilaku hewan lain. Peniruan merupakan proses kognisi untuk melakukan tindakan maupun aksi seperti yang dilakukan oleh model dengan melibatkan indra sebagai penerima stimulus dan pemasangan kemampuan persepsi untuk mengolah informasi dari stimulus dengan kemampuan aksi. Proses ini melibatkan kemampuan kognisi tahap tinggi karena tidak hanya melibatkan bahasa namun juga pemahaman terhadap pemikiran orang lain. Spesies monyet menghabiskan banyak waktu dengan para peniru bahkan lebih suka terlibat dengan mereka, meski disediakan opsi untuk melakukan aktifitas yang sama tanpa diikuti oleh para peniru. Imitasi telah diamati dalam penelitian terbaru tentang simpanse, mereka tidak hanya meniru tindakan individu lain, ketika diberi pilihan, simpanse lebih suka meniru tindakan simpanse yang lebih tua dari pada simpanse muda yang berperingkat lebih rendah.

Berkawanan

Beberapa spesies hewan, termasuk manusia, cenderung hidup berkawanan. Ukuran kawanan adalah aspek utama dari lingkungan sosial mereka. Kehidupan sosial mungkin merupakan strategi bertahan hidup yang kompleks dan efektif. Ini dapat dianggap sebagai semacam simbiosis di antara individu-individu dari spesies yang sama: suatu masyarakat terdiri dari sekawanan individu yang termasuk dalam spesies yang sama yang hidup dalam aturan yang jelas tentang pengelolaan makanan, pembagian peran, dan ketergantungan timbal balik.

Ketika ahli biologi yang tertarik pada teori evolusi pertama kali mulai meneliti perilaku sosial, beberapa pertanyaan yang tampaknya tidak dapat dijawab muncul, seperti bagaimana kelahiran kasta steril, seperti pada lebah, dapat dijelaskan melalui mekanisme evolusi yang menekankan keberhasilan reproduksi sebanyak mungkin individu, atau mengapa, di antara hewan yang hidup dalam kelompok kecil seperti tupai, seseorang akan mempertaruhkan nyawanya sendiri untuk menyelamatkan anggota kelompok lainnya. Perilaku ini mungkin merupakan contoh altruisme. Tentu saja, tidak semua perilaku bersifat altruistik, seperti yang ditunjukkan oleh tabel di bawah ini. Misalnya, perilaku balas dendam pada satu titik diklaim telah diamati secara eksklusif pada Homo sapiens. Namun, spesies lain telah dilaporkan pendendam termasuk simpanse, serta laporan anekdot dari unta pendendam.

Empat Pertanyaan Tinbergen

Pada tahun 1963, Nikolaas Tinbergen menerbitkan sebuah makalah berjudul 'On the aims and methods of ethology', yang meletakkan dasar bagaimana melakukan penelitian di bidang perilaku hewan yang terbilang baru. Kontribusi abadi dari makalah ini adalah bahwa di dalamnya Tinbergen merumuskan empat pendekatan yang berbeda, meskipun agak saling terkait, untuk mempelajari perilaku hewan, atau empat jenis pertanyaan berbeda yang dapat kita ajukan tentang perilaku yang diamati.

Fungsi (Adaptasi)

Mengapa hewan melakukan perilaku tersebut? Bagaimana caranya perilaku tersebut mempengaruhi kebugaran hewan (dalam hal kesintasan dan reproduksi)?

Contoh:

  • Merawat anakan akan meningkatkan peluang kesintasan mereka.
  • Migrasi ke habitat yang lebih hangat atau kaya sumberdaya.
  • Kabur atau menghindari perhatian predator.

Evolusi (Filogeni)

Bagaimana perilaku tersebut berkembang? Bagaimana seleksi alam merubah perilaku tersebut selama masa evolusinya? Biasanya jawaban pertanyaan ini dicari dengan melakukan perbandingan dengan spesies yang berkerabat dekat dengan hewan tersebut.

Contoh:

  • Bagaimana kemampuan terbang burung berkembang dari yang sekedar meluncur pada masa dinosaurus?
  • Bagaimana mata vertebrata dan sefalopoda berkembang secara konvergen, di mana pendahulunya memiliki titik buta dan yang terkini tidak?

Penyebab (Mekanisme)

  • Apa yang menyebabkan perilaku tersebut dilakukan? Stimulus atau mekanisme fisiologi apa yang menyebabkan perilaku tersebut terjadi?

Contoh:

  • Perilaku display pada pejantan beberapa jenis burung terjadi karena kadar testosteron yang berubah disebabkan perubahan durasi panjang hari. (Peranan feromon atau hormon).
  • Bayangan bergerak membuat ragworms masuk kembali ke lubang mereka.

Perkembangan (Ontogeni)

Bagaimana perilaku berkembang selama kehidupan? Dalam hal apa pengalaman dan pembelajaran mempengaruhi perilaku tersebut?

Contoh:

  • Bagaimana cara berpacaran beberapa jenis burung berkembang seiring usia mereka?
  • Bagaimana para hewan pemangsa memahami cara menghindari racun dan mangsa berbahaya berdasarkan pengalaman mereka?

Keempat pertanyaan tersebut dipahami melalui dua pendekatan yang berbeda. Pertanyaan (1) dan (2) memberikan pembahasan yang pamungkas atau bersifat evolusioner. Mereka memberikan jawaban dengan sudut pandang yang luas untuk membahas mengapa sebuah perilaku berkembang. Pertanyaan (3) dan (4) cenderung memberikan pembahasan yang taktis. Mereka memberikan jawaban berdasarkan mekanisme langsung atas mengapa hewan tersebut melakukannya. Untuk mendapatkan pemahaman penuh apa pengorbanan, manfaat, dan kendala yang telah membentuk perilaku tertentu, kedua pendekatan jawaban harus didapatkan.

Catatan

  • Sering ada ketaksepadanan antara pandangan manusia dan organisme yang sedang diamatinya. Sebagai gantinya, para etologis sering mencapai seluruhnya kembali ke epistemologi untuk memberi mereka peralatan untuk memperkirakan dan menghindari kesalahan penafsiran data.

Sumber: https://id.wikipedia.org/

Selengkapnya
Mengenal Apa itu Etologi
« First Previous page 655 of 1.161 Next Last »