Gas bumi dapat menjadi salah satu sumber daya yang dapat digunakan untuk menjembatani transisi energi di Indonesia. Namun, pengembangan sektor ini terhambat oleh regulasi dan infrastruktur yang belum memadai. Padahal, penggunaan gas untuk energi terbarukan semakin krusial karena banyak negara tengah memperebutkannya.
Chairman Indonesian Gas Society Aris Mulya Azof menjelaskan, gas merupakan salah satu sumber energi untuk mendukung ketahanan energi nasional dan menjembatani transisi energi yang dilakukan pemerintah. Emisi pembakaran gas bumi dinilai lebih rendah ketimbang bahan bakar minyak dan batubara sehingga dapat mempercepat target penurunan gas rumah kaca Indonesia, yaitu sebesar 29 persen di tahun 2030. Jika dibandingkan dengan minyak bumi, emisi pembakaran gas bumi lebih rendah sekitar 20 gram CO2e/MJ (ekuivalen karbon dioksida per megajoule), sedangkan dibandingkan batubara lebih rendah sekitar 43 gram CO2e/MJ.
Aktivitas pekerja di Pembangkit Listrik Tenaga Gas dan Uap (PLTGU) Jawa 2 yang dikelola oleh PT Indonesia Power di Ancol, Jakarta, Rabu (3/2/2021).
”Apalagi kita memiliki cadangan gas commercially proven 43,57 triliun kaki kubik dan di tahun 2020 mampu memproduksi gas sebesar 2.4 juta kaki kubik,” jelasnya di Jakarta, Kamis (16/3/2023). Berdasarkan hal tersebut pula, gas masih dapat dimanfaatkan selama proses transisi menuju energi terbarukan yang diprediksi akan mulai getol dilakukan tahun 2030. Gas juga bisa menjadi jembatan untuk menyiasati masih tingginya biaya investasi di bidang renewable energy.
Meskipun begitu, utilisasi gas di Indonesia belum berjalan dengan optimal karena masih minimnya dukungan infrastruktur, khususnya terkait jaringan pipa, terminal, serta pabrik untuk likuifikasi dan regasifikasi gas. Adapun total kebutuhan belanja modal (capex) untuk pembangunan infrastruktur gas bumi nasional adalah sebesar Rp 1,2 miliar setiap tahunnya. Untuk mendorong hal tersebut, pemerintah perlu menciptakan iklim usaha yang baik untuk menarik investasi dapat masuk.
Walaupun begitu, Aris menambahkan, investor dinilai belum tertarik masuk karena regulasi harga, salah satunya terkait penetapan harga gas bumi tertentu (HGBT), yang kini ditetapkan sebesar 6 dollar AS per juta metrik british thermal unit (MMBTU) oleh pemerintah. Di sektor hulu, harga tersebut dinilai tidak sesuai dengan kondisi keekonomian gas sehingga perlu ada koreksi. ”Harapannya bisa dikoreksi menjadi lebih tinggi,” jelasnya.
Di sektor hilir, kebijakan HGBT juga dinilai belum efektif memberikan manfaat bagi tujuh industri penerima manfaat program ini. Padahal, program ini diharapkan bisa mendorong pertumbuhan di tujuh industri yaitu, petrokimia, oleokimia, pupuk, baja, kimia, keramik, kaca, dan sarung tangan karet. Hal tersebut tecermin dari realisasi investasi di sektor tersebut.Berdasarkan data Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat tahun 2022, realisasi investasi di sektor tersebut turun dari tahun 2020 di angka Rp 120 triliun, menjadi sebesar Rp 93 triliun di tahun 2021. Meski demikian, penerimaan pajak dari tujuh sektor tersebut tetap naik dari Rp 13 triliun di tahun 2020, menjadi Rp 15 triliun pada tahun 2021.
”Kita harapannya dievaluasi karena dampaknya membebani hulu dan pencapaian di hilir tidak sesuai target,” ujarnya. Selama ini, jaringan pipa di Indonesia mayoritas berada di area Sumatera dan Jawa, bahkan itu pun masih belum terkoneksi di beberapa bagian. Pemerintah berencana untuk memperpanjang jaringan yang ada, salah satunya Dumai-Sei Mangke di Sumatera dan Cirebon-Semarang di Jawa.
Di luar daerah tersebut, khususnya Indonesia timur, pemerintah berencana membangun terminal gas bumi cair (LNG) skala kecil dan fasilitas produksinya (LNG Plant). Hal ini dipengaruhi faktor geografis seperti kedalaman laut dan jauhnya jarak antardaerah yang membuat pembangunan akan diarahkan kepada infrastruktur nonpipa. Ada beberapa daerah yang rencananya menjadi sasaran, seperti di Bintuni, Papua dan Masela, Maluku, serta beberapa terminal skala kecil di Bali dan Nusa Tenggara. ”Harus ada aksesibilitas dan koneksi infrastruktur agar pemanfaatannya optimal,” jelasnya.
Tidak hanya harga
HGBT perlu dievaluasi mengingat faktor pertumbuhan di sektor hulu dan hilir tidak melulu ditentukan tinggi-rendahnya harga gas. Direktur Eksekutif Indonesia Petroleum Association Meity Wajong menerangkan, kondisi kerja di setiap lapangan minyak dan gas bumi di Indonesia berbeda-beda, khususnya terkait faktor geografis, distribusi, dan lainnya. Hal tersebut menyebabkan tentu adanya perbedaan dalam sisi biaya operasional.
Untuk itu, ia berharap adanya kebijakan penyesuaian harga yang lebih proporsional terhadap penentuan harga. Selain itu, pembenahan regulasi diperlukan karena investasi ke sektor tidak terbarukan diprediksikan menurun karena investor lebih tertarik ke sektor energi terbarukan. ”Dengan berkurangnya porsi investasi di energi fosil, investor sekarang benar-benar mempertimbangkan di mana mereka akan berinvestasi,” ucapnya. Dalam mengembangkan sektor gas bumi dari hulu-hilir, pemerintah perlu memperhatikan faktor lain agar tidak terpaku kepada permasalahan harga saja. Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro menerangkan, harga gas bumi bukan satu-satunya variabel penentu pertumbuhan di sektor hilir.
Terdapat 15 variabel lainnya yang juga harus dilihat oleh pemerintah, salah satunya tentang kemampuan daya saing industri. Indonesia harus jeli melihat peluang pemanfaatan gas untuk transisi energi karena banyak negara masih mengandalkan sumber daya ini untuk menyokong pembangunan energi terbarukannya. ”Amerika Serikat, Jerman, Rusia, China, dan Australia akan mengakselerasi penggunaan gas. Hal itu membuat persaingan memperebutkan gas bumi akan sangat besar di kemudian hari, apalagi Indonesia masih impor, kita harus optimalkan gas bumi kita,” jelasnya.
Sumber: www.kompas.id