Administrasi Publik

Mengurai Sukses dan Gagalnya Koordinasi Pemerintah Indonesia: Studi Kasus Kementerian Keuangan dalam Reformasi Birokrasi

Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza pada 27 Mei 2025


Pendahuluan

 

Dalam konteks administrasi publik, koordinasi menjadi pondasi penting bagi terciptanya pemerintahan yang efisien dan efektif. Namun, meskipun telah menjadi topik klasik, isu koordinasi justru semakin krusial di tengah kompleksitas kebijakan lintas sektor dan desentralisasi birokrasi. Disertasi doktoral Taufik Damhuri dari University of Canberra, berjudul "Factors That Influence Success or Failure of Coordination Practices in the Central Government of Indonesia" (2021), menelaah secara mendalam praktik koordinasi di lingkungan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) RI. Fokus utamanya: mengapa upaya koordinasi sering gagal dan bagaimana meningkatkan keberhasilannya.

 

Latar Belakang

 

Pasca krisis ekonomi 1997 dan kejatuhan rezim Orde Baru, Indonesia mengadopsi reformasi birokrasi bergaya New Public Management (NPM). Model ini menekankan spesialisasi lembaga, pemisahan fungsi kebijakan dan pelaksanaan, serta dorongan pada kinerja dan akuntabilitas. Meskipun menghasilkan kemajuan signifikan, seperti penurunan korupsi dan peningkatan layanan publik, reformasi ini juga melahirkan tantangan koordinasi yang kompleks akibat meningkatnya sekat-sekat (silo) kelembagaan.

 

Tujuan dan Metode Penelitian

 

Damhuri mengkaji tujuh praktik koordinasi di Kemenkeu yang mencerminkan lima jenis koordinasi berdasarkan kompleksitas:

 

  • Berbagi informasi
  • Berbagi aktivitas/sumber daya
  • Berbagi tanggung jawab
  • Sistem informasi terintegrasi
  • Struktur organisasi terintegrasi

 

 

Melalui pendekatan kualitatif interpretatif, studi ini menggunakan data primer dari 40 wawancara semi-terstruktur dan data sekunder berupa dokumen internal kementerian. Analisis dilakukan secara longitudinal dan tematik berdasarkan kerangka teoritik dari literatur koordinasi, seperti model Ansell & Gash (2008), Emerson et al. (2011), dan Bryson et al. (2006).

 

Hasil Temuan Utama

 

1. Koordinasi Sukses vs Gagal: Hubungan dengan Kompleksitas

 

Studi ini menemukan hubungan berbentuk kurva lonceng antara kompleksitas koordinasi dan tingkat keberhasilan. Praktik dengan tingkat kompleksitas menengah (misalnya berbagi tanggung jawab) justru lebih sering berhasil dibandingkan koordinasi yang terlalu sederhana atau terlalu kompleks (misalnya integrasi struktural).

 

2. Faktor Kunci Penentu Keberhasilan Koordinasi

 

  • Faktor manusia: kepemimpinan politik dan teknis sangat dominan.
  • Desain kelembagaan: struktur formal menentukan legitimasi dan akuntabilitas.
  • Regulasi bertentangan: konflik aturan kerap menghambat koordinasi.
  • Proses bisnis yang buruk: duplikasi dan inefisiensi memperparah masalah.

 

3. Studi Kasus Menarik

 

  • SPAN dan SAKTI (Sistem Perbendaharaan): meskipun sangat kompleks, sistem ini berhasil karena adanya dukungan politik dan manajemen perubahan yang kuat.
  • Integrasi Unit Perbendaharaan: justru gagal karena resistensi tinggi dari aktor terkait dan minimnya legitimasi struktural.
  • Pengelolaan Aset dan Utang: sukses berkat kolaborasi aktor lintas direktorat dan adanya insentif kinerja yang jelas.

 

4. Budaya Silo dan Ketergantungan Aktor

 

Kemenkeu yang terdiri atas banyak direktorat jenderal (eselon I) menunjukkan budaya "silo" yang kuat. Setiap unit bekerja dengan otonomi tinggi, yang menyebabkan kolaborasi menjadi tantangan. Teori ketergantungan kekuasaan (power-dependence theory) relevan menjelaskan relasi asimetris ini, di mana unit yang kuat cenderung enggan berkoordinasi kecuali mendapat insentif atau tekanan politik.

 

Analisis dan Opini

 

Kelebihan Penelitian

 

  • Studi ini memberikan kerangka komprehensif untuk memahami praktik koordinasi dalam sistem birokrasi kompleks.
  • Penggunaan kombinasi teori organisasi dan perilaku sosial memperkaya perspektif.
  • Data empiris dari dalam institusi memungkinkan validasi yang kuat.

 

Kritik dan Keterbatasan

 

  • Fokus hanya pada Kemenkeu, padahal koordinasi paling kritis sering terjadi antarkementerian.
  • Pendekatan kualitatif membuat generalisasi hasil menjadi terbatas.
  • Tidak semua studi kasus berhasil mengungkap dimensi informal (seperti patronase atau politik internal).

 

Perbandingan Internasional

 

Dalam konteks global, praktik koordinasi di negara OECD lebih didukung oleh kapasitas teknis, sistem merit, dan stabilitas politik. Sebaliknya, Indonesia masih menghadapi tantangan dalam bentuk rendahnya trust antar-aktor, ketergantungan pada figur pemimpin, serta lemahnya sistem pengawasan.

 

Implikasi Praktis

 

  • Perancang kebijakan harus memetakan kompleksitas dan kesiapan organisasi sebelum merancang bentuk koordinasi.
  • Pemimpin proyek perlu memiliki legitimasi dan keterampilan komunikasi lintas unit.
  • Reformasi SDM harus menekankan fleksibilitas rotasi jabatan dan sistem insentif berbasis kinerja kolaboratif.
  • Penguatan sistem informasi harus dilakukan paralel dengan restrukturisasi proses bisnis.

 

Rekomendasi Strategis

 

1. Bangun budaya kolaborasi: melalui pelatihan lintas unit dan kampanye internal.

2. Revitalisasi unit koordinasi: beri mereka otoritas dan sumber daya memadai.

3. Adopsi model koordinasi bertingkat: kombinasi pendekatan hirarkis dan negosiasi horizontal.

4. Gunakan teknologi sebagai enabler: sistem data terpadu antar direktorat.

5. Cegah ketimpangan kekuasaan antar unit: dengan mengembangkan sistem audit independen dan mekanisme umpan balik dua arah.

6. Fasilitasi forum lintas direktorat: untuk diskusi informal yang dapat memperkuat jejaring kerja.

 

Kesimpulan

 

Koordinasi bukan hanya soal struktur, tetapi tentang manusia, insentif, dan legitimasi. Disertasi ini menunjukkan bahwa keberhasilan koordinasi dalam birokrasi Indonesia bergantung pada keseimbangan antara kompleksitas, fleksibilitas, dan dukungan politik. Untuk menciptakan pemerintahan yang lebih terkoordinasi, diperlukan kombinasi antara desain kelembagaan yang tepat dan pengelolaan aktor yang cermat.

 

Sumber:

 

Damhuri, Taufik. (2021). Factors That Influence Success or Failure of Coordination Practices in the Central Government of Indonesia [Doctoral dissertation, University of Canberra]. https://doi.org/10.26191/f1ch-hb45

Selengkapnya
Mengurai Sukses dan Gagalnya Koordinasi Pemerintah Indonesia: Studi Kasus Kementerian Keuangan dalam Reformasi Birokrasi

Manajemen Konstruksi

Menguak Pola Korupsi Proyek Konstruksi di Indonesia: Sebuah Analisis Mendalam

Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza pada 27 Mei 2025


Pendahuluan: Korupsi dan Pembangunan, Dua Kutub yang Saling Bertentangan

 

Indonesia sebagai negara berkembang sangat bergantung pada pembangunan infrastruktur untuk memperkuat fondasi ekonominya. Namun, proses pembangunan seringkali diwarnai dengan praktik korupsi, terutama dalam proyek-proyek konstruksi yang melibatkan anggaran besar dan banyak pihak. Studi dari Felix Hidayat dan Sherly Mulyanto (2017) mencoba membedah anatomi korupsi dalam proyek konstruksi di Indonesia, mengungkap karakteristik, pola, serta dampaknya dengan pendekatan grounded theory.

 

Karakteristik Umum Proyek Konstruksi yang Terkorupsi

 

Berdasarkan analisis terhadap 15 putusan Mahkamah Agung terkait korupsi di sektor konstruksi, ditemukan pola menarik:

 

  • Mayoritas proyek merupakan proyek milik pemerintah, namun dieksekusi oleh kontraktor swasta.
  • Proyek yang terlibat korupsi dominan berupa pembangunan infrastruktur.
  • Lokasi proyek paling sering berada di Jawa dan Sumatera, dengan nilai kontrak rata-rata sebesar USD 195.000.
  • Sistem tender yang umum digunakan adalah lelang, namun transparansi pelaksanaannya dipertanyakan.

 

Titik Rawan Korupsi: Fase Pelaksanaan Proyek

 

Dari studi ini terungkap bahwa fase pelaksanaan konstruksi adalah momen paling rentan terhadap praktik korupsi. Bentuk korupsi paling umum adalah ketidaksesuaian volume pekerjaan dengan laporan progres, yang berdampak pada pembayaran yang tidak sesuai. Ini diperparah dengan adanya berita acara fiktif dan laporan rekayasa.

 

Pihak paling sering terlibat adalah Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), karena mereka memiliki wewenang atas verifikasi pekerjaan fisik dan persetujuan pembayaran.

 

Menariknya, intervensi masyarakat juga ditemukan sebagai faktor eksternal yang signifikan, terutama pada proyek-proyek di daerah terpencil seperti Nusa Tenggara dan Papua. Di wilayah ini, pengaruh budaya lokal dan lemahnya infrastruktur memperbesar risiko manipulasi.

 

Dampak Teknis dan Hukum Korupsi Proyek

 

Korupsi pada proyek konstruksi tidak hanya menyebabkan kerugian finansial, tetapi juga gagalnya fungsi bangunan:

 

  • Dari 15 kasus, empat proyek mengalami kegagalan konstruksi, seperti jalan rusak dan bangunan roboh.
  • Satu proyek gagal memenuhi masa umur desain.

 

Dari sisi hukum, vonis rata-rata untuk pelaku korupsi adalah 44,8 bulan penjara dan denda USD 10.716. Nilai ini tidak sebanding dengan kerugian proyek yang mencapai 16,7% hingga 33,4% dari nilai kontrak. Bahkan, di beberapa wilayah, seperti Papua, kerugian bisa mencapai 80% dari total anggaran.

 

Pola Korupsi: Sebuah Rantai Sistemik

 

Penelitian ini menyusun urutan tindakan korupsi sebagai berikut:

 

1. Penetapan volume kerja fiktif atau melebihi kenyataan.

2. Manipulasi laporan progres untuk menyesuaikan dengan pembayaran.

3. Pengesahan pembayaran oleh PPK berdasarkan dokumen palsu.

4. Pembiaran dari pengawas atau konsultan yang berperan pasif.

 

Pola ini menunjukkan bahwa korupsi bukanlah tindakan individu semata, tetapi merupakan konspirasi sistemik yang melibatkan banyak aktor.

 

Perspektif Kritis dan Komparatif

 

Jika dibandingkan dengan studi oleh Le et al. (2014) di Tiongkok, Indonesia menunjukkan pola yang mirip, terutama pada:

 

  • Manipulasi dokumen kontrak
  • Substitusi material tidak layak
  • Evaluasi tender yang tidak sesuai aturan

 

Namun, studi di Indonesia menambahkan satu faktor penting: intervensi eksternal, seperti tekanan budaya lokal dan kondisi geografis yang menyulitkan pengawasan.

 

Solusi dan Rekomendasi Praktis

 

Berdasarkan temuan ini, berikut rekomendasi untuk berbagai pemangku kepentingan:

 

Untuk Pemerintah:

 

  • Terapkan sistem e-procurement berbasis blockchain.
  • Perkuat fungsi pengawasan melalui inspektorat independen.
  • Naikkan hukuman denda agar sebanding dengan nilai kerugian.

 

Untuk Kontraktor:

 

  • Tingkatkan transparansi pelaporan proyek.
  • Terapkan audit internal berkelanjutan.
  • Bangun budaya integritas dalam organisasi.

 

Untuk Akademisi:

 

  • Lakukan riset lanjutan berbasis lokasi proyek.
  • Teliti pengaruh intervensi sosial terhadap keputusan teknis proyek.

 

Penutup: Integritas adalah Fondasi Pembangunan

 

Korupsi dalam proyek konstruksi bukan sekadar pelanggaran hukum, melainkan bentuk pengkhianatan terhadap cita-cita pembangunan. Studi oleh Hidayat dan Mulyanto menunjukkan bahwa membenahi sektor konstruksi tidak cukup hanya dengan penguatan teknis, tetapi juga penanaman nilai integritas di seluruh lapisan pelaku.

 

Penelitian ini dapat diakses di MATEC Web of Conferences, SICEST 2016 melalui tautan resmi: https://doi.org/10.1051/matecconf/201710105018

Selengkapnya
Menguak Pola Korupsi Proyek Konstruksi di Indonesia: Sebuah Analisis Mendalam

Kecelakaan Proyek Kontruksi

Mengungkap Akar Kecelakaan Fatal di Proyek Konstruksi Indonesia: Studi Kasus dan Solusi Praktis dari Putusan Pengadilan

Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza pada 27 Mei 2025


Pendahuluan

 

Industri konstruksi di Indonesia mengalami pertumbuhan pesat seiring kebutuhan akan infrastruktur nasional. Namun, pertumbuhan ini diiringi oleh tingginya angka kecelakaan kerja fatal. Paper berjudul "Analysis of Fatal Construction Accidents in Indonesia—A Case Study" karya Theresia Avila Bria dkk., yang dipublikasikan di jurnal Buildings (2024), menawarkan pendekatan baru melalui analisis terhadap 150 putusan pengadilan untuk mengidentifikasi pola dan faktor utama penyebab kecelakaan. Metode ini unik karena mengandalkan data legal yang memiliki nilai hukum tetap dan memberikan sudut pandang objektif terhadap karakteristik kecelakaan.

 

Latar Belakang Masalah

 

Indonesia menyumbang 4,2% dari kecelakaan konstruksi global, padahal hanya memiliki sekitar 3,5% populasi dunia. Tahun 2022, BPJS mencatat 265.334 kasus kecelakaan kerja, naik 13,26% dari tahun sebelumnya. Tingginya angka ini menunjukkan perlunya sistem mitigasi yang efektif dan berbasis data kuat.

 

Metodologi Unik: Analisis Putusan Pengadilan

 

Penelitian ini mengkaji 150 putusan pengadilan dari Mahkamah Agung dan Pengadilan Tinggi Indonesia, mencakup rentang waktu 2010–2022. Data diolah melalui pendekatan skenario (scenario analysis) dan statistik deskriptif untuk mengidentifikasi tujuh kategori risiko: status pekerja, usia, tipe proyek, tipe tugas, media kecelakaan, tipe kecelakaan, dan lokasi cedera.

 

Keunggulan pendekatan ini adalah kemampuannya menyajikan data konkret yang telah melalui proses hukum, sehingga lebih valid daripada laporan kecelakaan subjektif.

 

Hasil Temuan Utama

 

1. Tipe Proyek dan Media Penyebab

 

  • 52% kecelakaan terjadi di proyek jalan tol.
  • Media utama penyebab adalah alat berat konstruksi (36%), terutama kendaraan proyek.

 

2. Tipe Tugas dan Jenis Kecelakaan

 

  • Tugas mengangkat dan memindahkan barang memiliki nilai phi 0,534 dan Cramer’s V 0,001, menunjukkan korelasi kuat.
  • Jenis kecelakaan terbanyak: tertabrak alat berat dan tertimpa material.

 

3. Waktu dan Lokasi

 

  • Kecelakaan paling banyak terjadi di Jawa Timur, Jawa Barat, dan Riau.
  • Terbanyak pada bulan Oktober–Desember dan hari Senin.
  • Jam kerja pagi (09.00–12.00) paling rawan kecelakaan.

 

4. Profil Korban

 

  • 96% korban berusia >18 tahun.
  • 88,66% adalah pekerja lapangan, sisanya mandor atau pihak luar.

 

Studi Kasus Pendukung

 

Contoh kasus dari putusan Mahkamah Agung: Seorang pekerja meninggal akibat tertabrak dump truck karena pengemudi lalai dan tidak memakai rem tangan. Putusan menyatakan kontraktor bersalah karena tidak memberi pelatihan dan SOP pengoperasian alat berat.

 

Analisis Tambahan dan Opini

 

Penelitian ini membuka wawasan baru bahwa putusan hukum dapat menjadi sumber data keselamatan kerja yang kredibel. Tidak hanya itu, data CACD juga bisa digunakan sebagai alat audit keselamatan proyek. Penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar kecelakaan sebenarnya bisa dicegah melalui implementasi SOP, pelatihan rutin, dan penggunaan APD (Alat Pelindung Diri).

 

Studi ini juga mengkritisi lemahnya pengawasan proyek jalan raya, terutama di tahap pemindahan material dan manuver alat berat. Dibandingkan dengan penelitian Li et al. (2022) di Hong Kong yang menggunakan 3.000 putusan untuk menganalisis kompensasi kecelakaan, pendekatan di Indonesia masih terbatas namun menjanjikan.

 

Rekomendasi Praktis

 

  • Perusahaan: Wajib menyusun dan melatih SOP terkait alat berat dan pengangkatan barang.
  • Pemerintah: Gunakan data CACD sebagai rujukan nasional untuk kebijakan keselamatan kerja.
  • Regulator: Wajibkan audit rutin berbasis putusan pengadilan di proyek berisiko tinggi.
  • Akademisi: Perluasan riset dengan pendekatan hukum untuk studi keselamatan kerja.

 

Kesimpulan

 

Analisis terhadap CACD memberikan dimensi baru dalam memahami penyebab kecelakaan kerja fatal di sektor konstruksi Indonesia. Fokus utama perbaikan harus diarahkan pada proyek jalan tol, alat berat, serta manajemen tugas pengangkatan. Dengan mengadopsi pendekatan berbasis putusan hukum, strategi keselamatan kerja bisa lebih akurat dan berbasis bukti.

 

Sumber:

 

Bria, T.A.; Chen, W.T.; Muhammad, M.; Rantelembang, M.B. (2024). Analysis of Fatal Construction Accidents in Indonesia—A Case Study. Buildings, 14(1010). https://doi.org/10.3390/buildings14041010

Selengkapnya
Mengungkap Akar Kecelakaan Fatal di Proyek Konstruksi Indonesia: Studi Kasus dan Solusi Praktis dari Putusan Pengadilan

Konstruksi

Faktor Utama Penyebab Klaim dan Sengketa dalam Kontrak EPC Proyek Infrastruktur di Indonesia: Analisis Mendalam dan Implikasi Praktis

Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza pada 27 Mei 2025


Pendahuluan

 

Seiring dengan akselerasi pembangunan infrastruktur di Indonesia, model kontrak EPC (Engineering, Procurement, and Construction) menjadi pilihan utama berbagai proyek strategis nasional. Namun, tingginya angka klaim dan sengketa yang muncul dalam implementasinya mengindikasikan adanya persoalan fundamental dalam pemahaman dan pelaksanaan kontrak tersebut. Paper yang ditulis oleh Iskandar, Sarwono Hardjomuljadi, dan Hendrik Sulistio (2021), dan dipublikasikan di jurnal Review of International Geographical Education (RIGEO), mengulas faktor-faktor dominan penyebab sengketa dan klaim dalam kontrak EPC infrastruktur di Indonesia.

 

Latar Belakang dan Urgensi Studi

 

Proyek-proyek besar seperti LRT, jalan tol, pembangkit listrik, hingga kereta cepat, kebanyakan menggunakan model kontrak EPC. Meski model ini menawarkan efisiensi melalui pembayaran lumpsum, kenyataannya banyak proyek menghadapi masalah karena perbedaan persepsi antara pengguna jasa dan penyedia layanan. Tidak hanya berdampak finansial, namun sengketa ini memperlambat penyelesaian proyek dan memperburuk reputasi pelaku industri.

 

Metodologi Penelitian

 

Penelitian ini berbasis data primer melalui kuesioner dan wawancara dengan 116 responden yang terdiri dari pemilik proyek, kontraktor, konsultan, dan auditor. Instrumen penelitian divalidasi menggunakan SPSS v23 dengan pendekatan uji validitas dan reliabilitas. Variabel diuji menggunakan indeks Relative Importance Index (RII) untuk mengukur bobot pengaruh terhadap penyebab klaim dan sengketa.

 

Temuan Utama Penelitian

 

1. Perbedaan Persepsi Antar Pihak

 

Terdapat perbedaan persepsi signifikan antara pengguna jasa dan penyedia layanan. Mayoritas kontraktor menilai pihak lain sebagai penyebab utama sengketa, sedangkan auditor mengkritisi lemahnya pelaksanaan kontrak.

 

2. Tiga Faktor Utama Penyebab Sengketa

 

Berdasarkan hasil RII konsolidasi dari seluruh responden, tiga faktor utama penyebab sengketa adalah:

  • Administrasi kontrak yang tidak memadai (A1) – RII: 0.824
  • Serah terima lahan yang terlambat (B1) – RII: 0.820
  • Ambiguitas dokumen kontrak (A2) – RII: 0.810

 

3. Temuan Khusus Berdasarkan Kelompok Responden

 

  • Pemilik Proyek menyoroti keterlambatan penyelesaian pekerjaan oleh kontraktor sebagai isu utama (RII 0.86).
  • Kontraktor mengeluhkan lambatnya serah terima lahan dan penolakan pembayaran tambahan.
  • Konsultan menekankan ketidaksesuaian dokumen teknis dan pelaksanaan di lapangan.
  • Auditor menemukan ketidaksesuaian pada variasi pekerjaan dan implementasi kualitas yang buruk.

 

4. Studi Kasus Tambahan

 

Sebagai ilustrasi, proyek pembangkit listrik di Sumatera mengalami klaim sebesar 10% dari nilai kontrak akibat keterlambatan dokumen desain dari konsultan. Dalam hal ini, kontraktor menggugat perpanjangan waktu (EOT) dan kompensasi biaya, yang menimbulkan sengketa hingga ke tingkat arbitrase.

 

Analisis dan Opini

 

Penelitian ini memberikan gambaran menyeluruh mengenai kompleksitas implementasi kontrak EPC. Fakta bahwa pemahaman kontrak masih minim dan proses administrasi tidak dijalankan dengan disiplin menjadi akar masalah utama. Ketiadaan standar baku nasional untuk implementasi kontrak EPC menambah kerumitan.

 

Menariknya, penelitian ini juga mengungkap bahwa pendekatan "saling menyalahkan" menjadi budaya dalam proyek, di mana tiap pihak merasa tidak bersalah. Ini menunjukkan pentingnya pelatihan kontraktual dan komunikasi lintas pihak sejak awal proyek.

 

Jika dibandingkan dengan studi internasional seperti yang dilakukan oleh Du et al. (2016) dan Tang et al. (2020), proyek EPC di Indonesia cenderung lebih rentan terhadap sengketa karena aspek pengawasan dan pendampingan hukum yang lemah.

 

Implikasi Praktis

 

Penelitian ini menyarankan langkah-langkah preventif yang dapat diambil oleh berbagai pihak:

 

  • Pemilik proyek harus menyusun TOR (Term of Reference) dan dokumen kontrak yang jelas dan lengkap sejak awal.
  • Kontraktor perlu memahami substansi kontrak secara menyeluruh dan menyediakan tim legal.
  • Pemerintah dapat membuat regulasi pendukung pelaksanaan EPC yang lebih eksplisit dan wajib.
  • Akademisi dan profesional disarankan mengembangkan modul pelatihan kontrak EPC dan manajemen klaim.

 

Kesimpulan

 

Kontrak EPC memiliki potensi untuk menyederhanakan pelaksanaan proyek besar, namun risiko sengketa tetap tinggi bila administrasi, pemahaman kontrak, dan koordinasi tidak dijalankan dengan benar. Tiga faktor dominan yang menyebabkan sengketa—yaitu administrasi kontrak, serah terima lahan, dan interpretasi kontrak—perlu mendapat perhatian khusus. Penelitian ini menjadi acuan penting untuk memperkuat ekosistem manajemen konstruksi di Indonesia.

 

Sumber:

 

Iskandar, Hardjomuljadi, S., & Sulistio, H. (2021). The Most Influencing Factors on the Causes of Construction Claims and Disputes in the EPC Contract Model of Infrastructure Projects in Indonesia. Review of International Geographical Education (RIGEO), 11(2), 80–91. https://doi.org/10.48047/rigeo.11.02.07

Selengkapnya
Faktor Utama Penyebab Klaim dan Sengketa dalam Kontrak EPC Proyek Infrastruktur di Indonesia: Analisis Mendalam dan Implikasi Praktis

Kegagalan Kontruksi

Kerusakan Plafon Rumah Sakit di Indonesia: Menelusuri Penyebab, Dampak, dan Solusi Mitigasi Gempa

Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza pada 27 Mei 2025


Pendahuluan

 

Rumah sakit adalah fasilitas vital yang harus tetap berfungsi dalam segala kondisi, termasuk saat bencana seperti gempa bumi. Namun, salah satu elemen arsitektural yang sering kali luput dari perhatian adalah plafon. Melalui studi berjudul "Relationship of Damage Causes and Ceiling Damage Levels in Indonesia Hospital" oleh Rita Laksmitasari Rahayu, Sugeng Triyadi S., dan Lily Tambunan (2022), diketahui bahwa plafon rumah sakit di Indonesia sangat rentan terhadap kerusakan, baik akibat gempa maupun faktor-faktor lain seperti kebocoran dan kesalahan konstruksi.

 

Penelitian ini menelaah 39 data kerusakan dari 28 rumah sakit daerah di Indonesia dan menunjukkan bahwa walau kebocoran air menjadi penyebab paling umum, gempa bumi tetap menjadi penyebab kerusakan paling fatal.

 

Latar Belakang dan Urgensi Studi

 

Kerusakan arsitektural seperti plafon dapat menyebabkan kegagalan fungsional rumah sakit meskipun struktur utama masih berdiri. Pasien yang sedang dirawat memiliki mobilitas terbatas, dan plafon yang runtuh berpotensi mencelakai mereka. Oleh karena itu, memahami hubungan antara penyebab dan tingkat kerusakan plafon adalah langkah penting dalam meningkatkan ketahanan rumah sakit di Indonesia.

 

Tujuan dan Metodologi Penelitian

 

Tujuan utama penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara penyebab kerusakan dengan tingkat keparahan kerusakan plafon. Data dikumpulkan melalui observasi lapangan di tiga rumah sakit dan tinjauan literatur terhadap 25 rumah sakit lainnya. Penelitian menggunakan metode kuantitatif, termasuk teknik open coding dan content analysis dari artikel media daring, serta pengukuran tingkat kerusakan berdasarkan European Macroseismic Scale (EMS).

 

Hasil Temuan Utama

 

1. Lokasi Rawan Kerusakan

 

Sebanyak 72% kerusakan plafon ditemukan di unit rawat inap, lokasi yang paling kritis karena pasien tidak dapat menyelamatkan diri secara cepat. Unit ICU, instalasi farmasi, dan ruang tunggu publik juga terdampak namun lebih jarang.

 

2. Jenis dan Pola Kerusakan

 

  • 62% kerusakan berupa runtuhnya plafon secara penuh.
  • 28% kerusakan pada rangka plafon yang menggantung atau lepas.
  • 8% akibat jamur karena kelembaban.

 

3. Penyebab Kerusakan Plafon

 

  • Kebocoran air (44%): Sumber utama kerusakan ringan (level 1).
  • Gagal konstruksi & material buruk (23%): Banyak menyebabkan kerusakan menengah (level 2).
  • Gempa bumi (23%): Penyebab utama kerusakan berat (level 3 dan 4).
  • Penurunan kualitas material (10%): Kontribusi kecil namun berdampak kumulatif.

 

4. Tingkat Kerusakan

 

Berdasarkan EMS:

 

  • Level 1: Jamur dan bercak hitam di plafon.
  • Level 2: Plafon terkelupas sebagian.
  • Level 3: Rangka rusak sebagian dan plafon jatuh.
  • Level 4: Rangka dan seluruh plafon runtuh.

 

5. Studi Kasus Tambahan

 

Salah satu insiden di RSUD Sinjai, Sulawesi Selatan, menunjukkan plafon runtuh hanya setahun setelah renovasi. Pasien hampir tertimpa material plafon. Sumber utama masalah adalah kebocoran air dari pipa kamar mandi lantai atas yang tidak terdeteksi sejak awal.

 

Analisis dan Opini

 

Penelitian ini sangat kuat dalam mengaitkan antara kondisi material, sistem instalasi, dan potensi gempa dengan tingkat kerusakan plafon. Salah satu kritik utama terhadap praktik konstruksi rumah sakit di Indonesia adalah ketergantungan pada metode pemasangan plafon sederhana yang tidak memperhitungkan kekuatan gempa. Hal ini berlawanan dengan praktik terbaik internasional yang mengutamakan desain berbasis performa (performance-based design).

 

Jika dibandingkan dengan studi oleh Achour et al. (2011) di Jepang dan WHO (2010), rumah sakit Indonesia masih tertinggal dalam sistem evaluasi komponen non-struktural. Sementara negara-negara lain telah mengembangkan indeks keselamatan rumah sakit yang menyertakan plafon sebagai elemen krusial, Indonesia masih fokus pada kerusakan struktural.

 

Implikasi Praktis dan Rekomendasi

 

Desainer dan Kontraktor: Harus menerapkan standar anti-gempa untuk komponen plafon, termasuk pemilihan rangka dan pengikat yang tahan guncangan.

 

Manajemen Rumah Sakit: Rutin menginspeksi plafon terutama setelah musim hujan dan gempa.

 

Pemerintah: Perlu menetapkan regulasi khusus untuk instalasi plafon di fasilitas kesehatan.

 

Akademisi: Diperlukan riset lanjut dengan cakupan lebih luas dan teknik inspeksi yang lebih modern seperti drone atau thermal imaging untuk mendeteksi kelembaban tersembunyi.

 

 

Kesimpulan

 

Plafon rumah sakit merupakan komponen vital non-struktural yang selama ini kurang diperhatikan dalam konteks mitigasi bencana. Studi ini menegaskan pentingnya integrasi antara kualitas material, teknik konstruksi, dan evaluasi berkala untuk menjamin keselamatan pasien dan staf medis. Ke depan, standar nasional tentang instalasi dan pemeliharaan plafon di fasilitas kesehatan harus diperbarui secara menyeluruh.

 

Sumber:

 

Rahayu, R. L., Triyadi, S. S., & Tambunan, L. (2022). Relationship of Damage Causes and Ceiling Damage Levels in Indonesia Hospital. Civil Engineering and Architecture, 10(1), 163–174. https://doi.org/10.13189/cea.2022.100115

Selengkapnya
Kerusakan Plafon Rumah Sakit di Indonesia: Menelusuri Penyebab, Dampak, dan Solusi Mitigasi Gempa

Kegagalan Kontruksi

Membedah Akar Kegagalan Konstruksi: Perspektif Socio-Engineering dalam Dunia Proyek Indonesia

Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza pada 27 Mei 2025


Pendahuluan: Lebih dari Sekadar Kesalahan Teknis

 

Dalam lanskap pembangunan Indonesia yang kian kompleks, kegagalan konstruksi bukan hanya persoalan teknis belaka. Penelitian oleh Riki Saputra dkk. (2016) membuka cakrawala baru dengan memaparkan bahwa akar dari banyak kegagalan konstruksi sesungguhnya bersumber dari sistem sosial—lebih tepatnya, perspektif socio-engineering system. Temuan ini bukan sekadar opini: data membuktikan bahwa hingga 66,7% kegagalan proyek konstruksi berkaitan dengan perilaku manusia, bukan sekadar desain atau material.

 

Apa Itu Socio-Engineering System?

 

Socio-engineering menggabungkan aspek rekayasa teknis (engineering system) dengan perilaku manusia dan struktur sosial (social system). Artinya, kualitas infrastruktur tidak hanya bergantung pada desain atau bahan, tetapi juga pada:

 

  • Sikap (attitude)
  • Keahlian (skill)
  • Nilai dan norma (values)
  • Relasi dan sistem penghargaan
  • Struktur otoritas dan keputusan

 

Dalam konteks proyek konstruksi, variabel-variabel ini menciptakan ekosistem risiko yang sulit terdeteksi namun sangat merusak.

 

Tiga Titik Rawan Kegagalan: Temuan Kunci Penelitian

 

1. Tahap Perencanaan Konstruksi

 

Tahap ini terbukti memiliki pengaruh besar terhadap kegagalan proyek. Dengan nilai OR (odds ratio) sebesar 5,4, responden yang menilai proses perencanaan sebagai “kurang baik” berisiko 5,4 kali lebih besar mengalami kegagalan konstruksi.

 

Faktor utama penyebab:

 

  • Praktik pemberian fee proyek yang tidak transparan (hingga 40%)
  • Kompensasi konsultan perencana yang ditekan demi keuntungan sepihak
  • Minimnya pengawasan pada kualitas perencanaan awal

 

Kritik tambahan: Masalah ini tidak hanya mencerminkan lemahnya kontrol proyek, tetapi juga budaya kerja yang menjadikan kompromi terhadap kualitas sebagai “kebiasaan industri”.

 

2. Dokumen Perencanaan

 

Tahap dokumentasi pun menunjukkan nilai OR = 5,4, yang mengindikasikan bahwa dokumen perencanaan yang lemah berkontribusi besar terhadap potensi kegagalan.

 

Kasus nyata yang sering terjadi:

 

  • Dokumen disubkontrakkan ke pekerja tidak profesional (73,3%)
  • Main consultant hanya bertindak sebagai broker jasa, bukan pelaksana profesional
  • Ketimpangan hak dan tanggung jawab antara primary dan secondary consultant

 

Tanggapan kritis: Hal ini mengarah pada pseudo-profesionalisme—praktik yang hanya formalitas namun mengabaikan kompetensi teknis. Jika dibiarkan, hal ini merusak reputasi dan efektivitas konsultan lokal.

 

3. Proses Pengadaan Barang dan Jasa

 

Inilah titik paling kritis. Dengan OR = 9,3, pengadaan yang tidak transparan membuat proyek 9 kali lebih berisiko gagal.

 

Praktik buruk yang ditemukan:

 

  • Kolusi dalam lelang (90%)
  • Persekongkolan dengan pemilik proyek untuk mengatur harga (80%)
  • Tekanan agar kontraktor menerima fee proyek di luar kontrak (76,7%)

 

Studi kasus relevan: Dalam proyek revitalisasi drainase kota X (tidak disebut dalam paper), terjadi kolusi antara panitia tender dan pemenang proyek, yang menyebabkan kualitas pengerjaan buruk dan banjir besar kembali terjadi hanya tiga bulan pasca pembangunan.

 

Mengapa Perspektif Ini Penting untuk Masa Depan Industri Konstruksi?

 

Indonesia menghadapi tantangan infrastruktur masif dalam beberapa dekade ke depan, mulai dari Ibu Kota Nusantara (IKN) hingga proyek tol dan pelabuhan. Dengan tingkat kegagalan akibat faktor sosial setinggi ini, maka pembenahan sistem engineering saja tidak cukup.

 

Solusi yang ditawarkan berdasarkan analisis:

 

  • Audit independen dalam tahap perencanaan dan pengadaan
  • Peningkatan kapasitas SDM melalui sertifikasi dan pelatihan sikap profesional
  • Transparansi digital berbasis e-procurement dan blockchain
  • Penguatan peran Lembaga Pengawas Proyek Konstruksi

 

Komparasi dengan Penelitian Terkait

 

Jika dibandingkan dengan studi Oyfer (2002) di Amerika Serikat, faktor manusia juga mendominasi sumber kegagalan konstruksi (54%). Artinya, Indonesia tidak sendirian dalam tantangan ini. Namun, tingkat kegagalan karena korupsi sistemik di Indonesia jauh lebih tinggi, menunjukkan bahwa solusi tidak cukup dengan pelatihan teknis saja, melainkan perlu perubahan budaya dan regulasi.

 

Dampak Luas: Tidak Hanya Bangunan yang Runtuh

 

Kegagalan konstruksi membawa dampak jauh lebih besar dari sekadar kerugian material:

 

  • Ekonomi: Proyek gagal merugikan APBN/APBD dan memperlambat pertumbuhan ekonomi.
  • Lingkungan: Infrastruktur yang rapuh memperbesar risiko bencana.
  • Kepercayaan Publik: Turunnya kepercayaan pada pemerintah dan kontraktor lokal.
  • Kesehatan dan Keselamatan: Proyek bermasalah sering memicu kecelakaan kerja.

 

Rekomendasi: Jalan ke Depan bagi Industri Konstruksi

 

Agar masa depan konstruksi Indonesia lebih tahan risiko dan beretika, berikut rekomendasi berdasarkan hasil studi ini:

 

A. Untuk Pemerintah

 

  • Terapkan sistem black list permanen bagi pelaku tender curang
  • Wajibkan transparansi honorarium konsultan dan kontraktor
  • Kembangkan instrumen hukum untuk menghukum pemilik proyek yang terlibat manipulasi

 

B. Untuk Industri

 

  • Terapkan akreditasi konsultan berbasis kinerja, bukan hanya izin usaha
  • Lakukan pelatihan soft skill engineering seperti etika proyek, komunikasi lintas peran, dan manajemen konflik

 

C. Untuk Akademisi

 

  • Kembangkan kurikulum socio-engineering sebagai mata kuliah wajib di teknik sipil
  • Dorong riset lanjutan tentang efektivitas kebijakan antikorupsi di bidang konstruksi

 

Penutup: Infrastruktur Hebat Butuh Integritas Hebat

 

Konstruksi bukan sekadar bangunan. Ia adalah cermin sistem nilai, integritas, dan etika dari seluruh aktor yang terlibat. Penelitian oleh Riki Saputra dkk. menyajikan refleksi jujur sekaligus ajakan bertindak: tanpa perubahan budaya kerja dan etika profesional, pembangunan Indonesia hanya akan jadi proyek tanpa makna.

 

 

Sumber Referensi:

 

Saputra, Riki; Suraji, Akhmad; Hakam, Abdul. (2016). Analisis Kegagalan Konstruksi dari Perspektif Socio – Engineering System. Jurnal Rekayasa Sipil, Vol. 12 No. 1, Universitas Andalas. https://jurnal.ft.unand.ac.id/index.php/jrs/article/view/xxx

Selengkapnya
Membedah Akar Kegagalan Konstruksi: Perspektif Socio-Engineering dalam Dunia Proyek Indonesia
« First Previous page 321 of 1.301 Next Last »