Perkenalan
Kota-kota besar di Indonesia, sama seperti kota-kota lain di dunia, menghadapi urbanisasi besar-besaran akibat migrasi penduduk secara internal, yang dipicu oleh perkembangan ekonomi dan ketersediaan fasilitas yang lebih baik di kota-kota besar 2 serta peluang untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik. 3 Langkah-langkah telah diambil untuk mengurangi jumlah orang yang bermigrasi, seperti program penghubung perkotaan dan pedesaan yang disebutkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2015–2019. 4 Program-program ini bertujuan untuk mengembangkan dan menyediakan lebih banyak fasilitas di desa-desa dan daerah pedesaan; namun demikian, pemerintah tidak dapat menghentikan urbanisasi. Akibatnya penduduk terkonsentrasi di perkotaan dan menimbulkan beberapa permasalahan perkotaan, seperti perumahan yang tidak memadai dan kurangnya lapangan kerja. Khususnya, migran internal yang memiliki sedikit pendidikan dan pengalaman kerja adalah pihak yang paling terkena dampaknya. 5 Tanpa pekerjaan yang layak, tidak ada pilihan lain selain bekerja di sektor informal yang upahnya rendah. Akibatnya, sulit bagi kelompok tersebut untuk mendapatkan perumahan yang layak. Oleh karena itu, permukiman informal dan kawasan kumuh tumbuh di bantaran sungai, rel kereta api, dan kawasan hijau seperti danau atau hutan kota. Permukiman kumuh banyak berkembang di kota-kota besar, seperti Jakarta, Surabaya, dan Surakarta. 6 Pada tahun 2013, Jakarta memiliki kawasan kumuh seluas 905 hektar, yang mencakup 20 persen wilayahnya. 7 Pada tahun 2014, Surakarta memiliki kawasan kumuh seluas 468 hektar yang mencakup 11 persen wilayahnya.
Hak Atas Perumahan dan Kebijakan Perumahan di Indonesia yang Terdesentralisasi
Indonesia mengakui hak asasi manusia terkait perumahan dalam sejumlah peraturan nasional, misalnya dalam Konstitusi dan Undang-Undang Hak Asasi Manusia. Pengakuan tersebut juga dapat ditemukan dalam undang-undang ratifikasi instrumen dan peraturan internasional yang diadopsi oleh kementerian yang membidangi pekerjaan umum dan perumahan, serta urusan sosial.
Konstitusi menjamin hak atas perlindungan keluarga dan harta benda, serta hak untuk hidup sejahtera lahir dan batin, mempunyai tempat tinggal, menikmati lingkungan hidup yang baik dan sehat, serta hak memperoleh pelayanan kesehatan. 17 Undang-undang tersebut tidak menyatakan hak atas perumahan secara langsung namun menetapkan ‘hak untuk bertempat tinggal,’ yang secara harafiah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris sebagai hak atas tempat tinggal, dan yang secara luas dapat diartikan sebagai hak atas tempat berlindung atau rumah. Secara keseluruhan, Pasal 28G(1) dan 28H(1) Konstitusi menyatakan bahwa hak atas perumahan tidak hanya melindungi rumah sebagai bangunan, tetapi juga rumah sebagai rumah dan tempat tinggal, dengan atau tanpa keluarga. Lebih lanjut, UU Hak Asasi Manusia 18 melindungi hak atas tempat tinggal dan hak atas kehidupan yang layak. 19 Selanjutnya, melalui Undang-Undang No. 11/2005 20 Indonesia telah meratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, 21 yang mengakui hak atas perumahan yang layak 22 dan menetapkan kewajiban negara untuk secara bertahap mewujudkan hak-hak yang terkandung di dalamnya.
Praktik Empat Kota tentang Akses terhadap Perumahan Rakyat bagi Orang Luar
Masyarakat bermigrasi dari desa ke kota untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Para migran ini berasal dari seluruh Indonesia dan sebagian besar dari mereka tidak menjadi penduduk resmi di kota tuan rumah. Sebaliknya, mereka tetap mempertahankan status pemukiman di wilayah mereka sebelumnya. Menemukan perumahan yang layak di pasar perumahan merupakan permasalahan yang menantang bagi migran miskin.
Pemerintah baik di tingkat lokal maupun nasional telah membangun lebih banyak perumahan umum untuk mengatasi permasalahan perumahan. Pemerintah pusat cenderung membangun perumahan rakyat sewaan dibandingkan perumahan rakyat dengan hak milik. Sebagai bagian dari strategi pembaruan perkotaan, pengembangan perumahan sewa bertingkat bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat yang tinggal di permukiman informal. Selain itu, perumahan rakyat sewa merupakan salah satu strategi untuk mengatasi masalah ketersediaan lahan di kota-kota besar dan meningkatkan jaminan kepemilikan rumah bagi kelompok masyarakat berpendapatan rendah yang tidak mampu membeli rumah. Kota-kota seperti Jakarta dan Surakarta memperoleh manfaat dari pembangunan perumahan umum sewaan untuk memukimkan kembali masyarakat yang terkena dampak penggusuran atau program pemukiman kembali.
Hak atas Perumahan yang Layak dan Diskriminasi Berdasarkan Tempat Tinggal Terdaftar
Untuk membahas diskriminasi terkait hak atas perumahan, kita harus memahami makna diskriminasi dan kesetaraan. Artikel ini tidak berupaya membahas diskriminasi dan kesetaraan secara umum, namun akan fokus pada pelarangan diskriminasi sebagaimana tercantum dalam hukum ihr, khususnya dalam escr dan sebagaimana diuraikan dalam Komentar Umum dan Pengamatan Penutup yang diadopsi oleh Komite Ekonomi. , Hak Sosial dan Budaya.
Praktik Diskriminatif Tidak Langsung
Sebagaimana dibahas di atas, situasi diskriminasi tidak langsung dapat muncul ketika
- Undang-undang, kebijakan dan praktik yang tampak netral
- Mempunyai dampak yang tidak proporsional terhadap kelompok tertentu
- Tidak ditujukan khusus pada kelompok tertentu. Masing-masing elemen ini akan dianalisis dalam paragraf berikut.
Tampaknya Kebijakan, Tindakan, atau Aturan Netral
Kebijakan untuk memberikan posisi yang lebih istimewa kepada masyarakat yang terdaftar secara lokal telah menjadi praktik umum di Indonesia berdasarkan argumen bahwa jumlah penduduk akan mempengaruhi pengeluaran daerah. Semakin banyak penduduk yang tinggal di suatu daerah, maka semakin besar pula anggaran yang dibutuhkan suatu daerah untuk menyelenggarakan pelayanan publik. Karena asas otonomi fiskal, pemerintah daerah mempunyai kewenangan utama dalam mengelola anggaran penyelenggaraan pemerintahan di wilayahnya berdasarkan prinsip efektifitas dan efisiensi.
Perlakuan Berbeda yang Diijinkan
Meskipun terdapat argumen yang menyatakan bahwa praktik-praktik yang ditemukan di empat kota tersebut merupakan diskriminasi tidak langsung, kita juga harus mempertimbangkan apakah perbedaan perlakuan praktis antara orang luar dan penduduk lokal yang terdaftar masih diperbolehkan berdasarkan hukum hak asasi manusia. Perlu dilakukan penyelidikan mengenai apakah perlakuan berbeda tersebut sah dan dapat dibenarkan berdasarkan batasan umum Pasal 4 escr.
Agar diperbolehkan, perlakuan yang berbeda terhadap hak atas perumahan harus :
- Ditentukan oleh undang-undang hanya sepanjang
- Hal ini sesuai dengan sifat dari hak-hak tersebut dan
- Semata-mata untuk tujuan memajukan kesejahteraan umum dalam masyarakat demokratis
Disadur dari: brill.com