SocioHydrology dan Diplomasi Air Menyatukan Ilmu dan Politik dalam Pengelolaan Sungai Lintas Negara

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati

04 Juli 2025, 11.29

pixabay.com

Di dunia yang semakin terdampak oleh perubahan iklim dan pertumbuhan populasi, sungai lintas negara menjadi titik panas bagi konflik dan kerja sama antarnegara. Terdapat 310 sungai lintas batas di dunia, dan banyak di antaranya menjadi sumber ketegangan karena dianggap sebagai zerosum game—di mana keuntungan satu pihak berarti kerugian pihak lain. Artikel oleh Wei et al. (2021) menawarkan sebuah kerangka sociohydrology yang mengintegrasikan proses sosial yang lambat dan tersembunyi ke dalam model hidrologiekonomi yang sudah ada, untuk mengungkap mekanisme di balik konflik dan kerja sama ini.

 Mengapa Pendekatan Multidisiplin Diperlukan?

Konflik dan kerja sama dalam pengelolaan sungai lintas negara tidak bisa dijelaskan hanya dari satu disiplin. Artikel ini mengulas kontribusi dari berbagai bidang:

  •  Hidrologi: Menyediakan dasar biofisik untuk memahami dampak perubahan aliran air.
  •  Ekonomi Neoklasik: Menjelaskan perilaku kerja sama berdasarkan manfaat ekonomi.
  •  Ekonomi Institusional: Menyoroti pentingnya kapasitas kelembagaan dan perjanjian hukum.
  •  Psikologi Sosial & Sosiologi Budaya: Mengungkap motivasi sosial dan nilainilai kolektif.
  •  Ilmu Politik & Hubungan Internasional: Menjelaskan dinamika kekuasaan dan diplomasi air.

Namun, integrasi antardisiplin ini masih lemah. Sebagian besar model hanya menggabungkan hidrologi dan ekonomi, sementara dimensi sosial dan politik masih belum terwakili secara eksplisit.

 Kerangka SocioHydrology: Menyatukan Proses Cepat dan Lambat

Wei et al. mengusulkan kerangka yang membagi proses menjadi dua:

 🔹 Proses Cepat 

  •  Perubahan manajemen air (misalnya operasi bendungan) 
  •  Manfaat langsung: ekonomi, ekologi, politik 
  •  Status kerja sama (variabel biner: 0 atau 1)

 🔹 Proses Lambat 

 Willingness to cooperate (variabel kontinu: 0–1) 

 Dipengaruhi oleh:

  •    Motivasi sosial (proself vs prosocial)
  •    Status kekuasaan (lokasi geografis & kekuatan politik)
  •    Kapasitas kelembagaan (kemampuan adaptif terhadap perubahan)

Kerangka ini memungkinkan analisis umpan balik antara perubahan sosial dan hidrologi, serta menjadikan kerja sama sebagai proses dinamis, bukan sekadar status tetap.

 Studi Kasus: Columbia, Mekong, dan Nile

 🏞️ Columbia River (AS–Kanada) 

  •  Tahap I (1948): Banjir besar memicu kerja sama. 
  •  Tahap II (1964): Columbia River Treaty ditandatangani, AS membayar $64,4 juta untuk penyimpanan air di Kanada. 
  •  Tahap III (1990–sekarang): Perubahan sosial dan lingkungan (hak suku, konservasi ikan) memicu renegosiasi. 
  •  Konflik baru muncul karena persepsi ketidakadilan dalam pembagian manfaat listrik dan ekologi.

 🌊 Mekong River (6 negara Asia Tenggara) 

  •  Tahap I (1999–2003): Kerja sama awal melalui Mekong River Commission. 
  •  Tahap II (2004–2005): Kekeringan memicu konflik. 
  •  Tahap III (2006–2009): China berbagi data hidrologi. 
  •  Tahap IV (2010–2016): Pembangunan bendungan besar oleh China dan Laos memicu degradasi ekologi di Vietnam. 
  •  Tahap V (2017–sekarang): China mulai mempertimbangkan manfaat diplomatik, meningkatkan willingness to cooperate.

 🌍 Nile River (11 negara Afrika) 

  •  Tahap I (1956–1989): Perjanjian bilateral antara Mesir dan Sudan, Ethiopia terpinggirkan. 
  •  Tahap II (1989–1998): Ethiopia mulai menuntut hak atas air. 
  •  Tahap III (1999–2010): Inisiatif Nile Basin dan CFA gagal karena ketimpangan kekuasaan. 
  •  Tahap IV (2011–sekarang): Ethiopia membangun Grand Ethiopian Renaissance Dam (GERD), Sudan bergeser mendukung Ethiopia, Mesir menolak.

 Analisis Variabel Kunci dari Studi Kasus

  •  Columbia: Kerja sama tinggi, motivasi sosial homogen, kapasitas kelembagaan kuat.
  •  Mekong: Fluktuatif, motivasi sosial beragam, kekuatan politik tidak seimbang.
  •  Nile: Kerja sama rendah, konflik kuat, kapasitas kelembagaan lemah.

Kerangka ini memungkinkan analisis perbandingan antar sungai dan membantu mengidentifikasi mode kerja sama yang bisa direplikasi.

 Tantangan dan Peluang Implementasi

 ⚠️ Tantangan:

  •  Sulitnya mengukur variabel sosial seperti motivasi dan reputasi politik.
  •  Keterbatasan data sosial jangka panjang.
  •  Kompleksitas sistem adaptif yang nonlinear dan multiskala.

 💡 Peluang:

  •  Pemanfaatan big data dan analisis media untuk melacak evolusi nilai sosial.
  •  Penggunaan content coding untuk mengkuantifikasi narasi sosial.
  •  Integrasi data kualitatif ke dalam model hidrologi melalui pendekatan campuran.

 Kesimpulan: Diplomasi Air yang Berbasis Sistem

Kerangka sociohydrology yang ditawarkan oleh Wei et al. membuka jalan bagi pendekatan yang lebih holistik dan adaptif dalam pengelolaan sungai lintas negara. Dengan menjadikan kerja sama sebagai proses dinamis yang dipengaruhi oleh motivasi sosial, kekuasaan, dan kapasitas kelembagaan, kita bisa memahami mengapa kerja sama berhasil di satu tempat dan gagal di tempat lain.

Di era krisis iklim dan geopolitik yang kompleks, pendekatan ini bukan hanya relevan, tapi mendesak. Sungai bukan sekadar aliran air, tapi juga aliran nilai, kekuasaan, dan harapan.

Sumber Asli Artikel: 

Wei, Y., Wei, J., Li, G., Wu, S., Yu, D., Tian, F., & Sivapalan, M. (2021). A sociohydrologic framework for understanding conflict and cooperation in transboundary rivers. Hydrology and Earth System Sciences Discussions. https://doi.org/10.5194/hess2021522