Perundungan: Membedah Bentuk, Upaya, dan Pencegahan

Dipublikasikan oleh Kania Zulia Ganda Putri

08 Mei 2024, 06.45

Sumber: www.ums.ac.id

Betapa sakit hati Dewi manakala mendengar maraknya kasus perundungan pelajar di Tanah Air. Psikolog di Student Mental Health and Wellbeing Support (SMHWS), Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) itu mengecam aksi perundung menindas para korban yang tak berdaya. “Betul-betul memprihatinkan. Perundungan itu tidak memandang usia, gender, bahkan tempat. Bisa di mana-mana,” kata Dewi Setyaningrum, S.Psi., M.Psi., Psikolog.

Perundungan atau bullying adalah tindakan yang dilakukan seseorang atau kelompok untuk menyerang pihak-pihak tertentu karena adanya ketidakseimbangan kekuatan antara pelaku dengan korban. Musababnya, perundung atau pelaku bullying merasa dirinya lebih kuat dan berkuasa sehingga bisa menindas korban yang dianggap lemah.

Dewi mengatakan ada dua jenis perundungan, yaitu perundungan fisik dan nonfisik. Perundungan fisik adalah perundungan yang melibatkan kontak fisik dan dilakukan dengan memukul, menggigit, menendang, hingga mencakar. Sedangkan perundungan nonfisik biasanya dilakukan secara verbal maupun nonverbal.

Perundungan verbal adalah bentuk bullying melalui lisan seperti mengejek, mengolok-olok, mengancam, menghina, hingga memaki. Sedangkan, perundungan nonverbal biasanya berupa pengabaian, diasingkan, dikucilkan dari kelompoknya, hingga mendapat perlakuan diskriminatif.

Perundungan juga merambah jagat maya sehingga membuka peluang pem-bully-an oleh orang asing yang tidak mengenal korban. “Sekarang juga ada istilahnya cyber bullying atau perundungan dunia maya. Pelaku menyalahgunakan platform internet, SMS, WhatsApp, maupun layanan surel sebagai media untuk melakukan perundungan. Biasanya dilakukan untuk mempermalukan atau membuat citra buruk orang lain,” terang Dewi.

Kasus perundungan jamak dialami para pelajar SD hingga SMA di Indonesia. Meskipun tak jarang kasus perundungan juga dialami oleh mahasiswa hingga para pekerja, kasus perundungan di tingkat pendidikan dasar hingga menengah masih menduduki peringkat teratas.

Temuan Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) yang dihimpun dari Republika menyebutkan, sepanjang tahun 2023, terjadi 30 kasus perundungan di Tanah Air. Angka ini meningkat dari tahun 2022 yang berjumlah 23 kasus. FSGI menyebutkan 80% kasus terjadi pada institusi pendidikan di bawah Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek). Sedang sebanyak 20% kasus terjadi pada sekolah di bawah naungan Kementerian Agama. Laporan tersebut juga menyebutkan 50% kasus perundungan terjadi pada jenjang SMP/sederajat, 30% pada jenjang SD/sederajat, dan 10% masing-masing pada jenjang SMA dan SMK. 

Lima tahun sebelum laporan tersebut rilis, Dana Anak Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNICEF) pernah melakukan riset jenis kasus perundungan yang marak terjadi di Indonesia. Laporan tahun 2018 itu menyebutkan ada enam jenis tindakan bullying yang kerap dialami pelajar Indonesia, yakni: barang diambil/dirusak, diejek, disebar rumor tak baik, dikucilkan, dipukul/disuruh-suruh, hingga diancam. UNICEF mencatat 41% pelajar Indonesia usia 15 tahun pernah mengalami bullying alias perundungan beberapa kali dalam sebulan.

Dewi melihat kasus perundungan bak gunung es di lautan. Kasus perundungan yang terungkap ke publik hanya sebagian kecil dari kenyataan di lapangan. Psikolog SMHWS UMS itu meyakini ada banyak kasus perundungan lain yang tidak terungkap ke publik. “Dari atas terlihat sedikit (kasusnya) padahal sebenarnya sangat banyak. Hanya saja belum terungkap ke publik,” jelasnya.

Trauma di sisa hayat

Pelaku perundungan boleh jadi berpuas hati atas tindak tanduknya membabat habis harga diri korban. Padahal, apa yang dialami korban tidak akan pernah sebanding dengan apa yang dilakukan perundung. Perasaan trauma yang berkecamuk di alam pikiran korban akan terus hidup merentang masa di sisa hayatnya. 

Dewi menguraikan dampak apa saja yang dihadapi para korban perundungan, mulai dari dampak ringan hingga berat. Korban perundungan akan mengalami rasa kurang percaya diri, kurang bersemangat, hingga merasa harga diri rendah. Korban juga bisa mengalami masalah psikologis seperti kecemasan, gangguan psikosomatis, gangguan traumatis, dan gangguan psikologis lainnya.

“Ada kekhawatiran jika korban tidak segera ditangani, maka di masa depan ada risiko korban akan menjadi pelaku perundungan,” ungkap Dewi khawatir. 

Salah satu dampak berat korban perundungan adalah gangguan psikotik, sebuah gangguan psikologis yang mempengaruhi pikiran penderitanya. Gangguan ini meliputi waham, halusinasi, hingga perilaku kacau yang bisa mengganggu keseharian korban. Dampak buruk lain adalah depresi yang jika tidak segera ditangani akan berujung pada percobaan bunuh diri. 

“Korban perundungan juga berisiko mengalami depresi dan bunuh diri jika tidak segera tertangani. Bisa juga korban memiliki kecenderungan untuk menyakiti dirinya atau self harm,” sambung Dewi.

Korban harus bangkit

Bangkit dari keterpurukan adalah langkah awal yang bisa dilakukan korban. Menurut Dewi, jika korban “mampu”, korban dapat mengupayakan untuk mulai tampil percaya diri. Ia menyarankan saat korban berinteraksi dengan pelaku, korban harus memberikan respons yang asertif.

“Korban harus menunjukkan diri sebagai orang yang kuat tanpa harus membalas pelaku dengan kekerasan. Jangan memberi respons dengan penuh emosi yang menunjukkan bahwa korban tidak mau dijadikan korban,” jelas dia. 

Jika korban ternyata tidak mampu untuk mengupayakan hal tersebut, Konselor SMHWS UMS itu merekomendasikan korban untuk mengkomunikasikan perundungan yang dialami kepada orang yang dapat dipercaya. 

“Apabila perundungan terjadi di lingkungan formal seperti sekolah atau kantor, kasus tersebut bisa dilaporkan ke pihak yang berwenang seperti bagian SDM atau guru bimbingan konseling. Bisa juga ke layanan psikologi jika sudah ada,” imbuh Dewi.

Saat kondisi psikis korban terus memburuk dan mulai mengganggu rutinitasnya, Dewi mengatakan korban harus segera mencari bantuan profesional. Pertolongan para profesional akan membantu proses pemulihan dan mengatasi masalah psikologis korban.

Di sisi lain, Dewi menggarisbawahi pentingnya memberikan pendampingan psikologis pada pelaku. Sebab, ada kecenderungan pelaku memiliki masalah psikologis sehingga membuat pelaku melakukan perundungan. “Korban perundungan bisa jadi akan menjadi pelaku perundungan jika tidak tertangani dengan tepat. Sehingga bisa saja pelaku sebetulnya korban perundungan yang mengalami gangguan mental atau psikologis,” lanjutnya.

Langkah konkret hentikan perundungan

Langkah konkret memberantas perundungan harus dilakukan segera. Dewi berpendapat kepekaan terhadap perubahan perilaku seseorang yang terindikasi mendapatkan perundungan harus digalakkan. Hal ini penting sebagai langkah awal untuk mencegah berbagai dampak buruk seperti yang diuraikan sebelumnya. Antara lain yang perlu dilakukan adalah:

  1. Pondasi awal di dalam keluarga. Salah satu penyebab bullying adalah pola asuh yang dilakukan orang tua. Pola asuh sangat berpengaruh terhadap apa yang dilakukan anak di lingkungan pertemanan. Orang tua dan keluarga harus membangun komunikasi yang baik dengan anak serta menjadi panutan yang baik bagi anak.
  2. Deteksi dini perundungan. Saat perundungan terdeteksi lebih awal, maka pertolongan dapat dilakukan lebih awal sehingga mencegah berbagai kemungkinan terburuk akibat perundungan. Deteksi dini bisa dilakukan menggunakan Olweus Bullying Questionnaire (OBQ) dengan mencermati perubahan perilaku yang muncul tidak seperti biasanya.
  3. Orang tua dan guru harus peka terhadap setiap perilaku anak. Jangan sampai menganggap remeh perlakuan orang lain yang sebetulnya adalah perundungan.
  4. Galakkan program pencegahan anti perundungan dan menetapkan hukuman pada pelaku. Menurut Dewi, pemangku kepentingan harus menciptakan kultur sekolah yang sehat serta perlu adanya identifikasi faktor internal dan eksternal penyebab terjadinya perundungan.

Langkah konkret juga dilakukan UMS dengan menghadirkan SMHWS sebagai layanan konseling gratis bagi mahasiswa UMS. Kehadiran SMHWS memberikan daya dukung psikologis dan mental mahasiswa UMS sehingga mahasiswa dapat melanjutkan aktivitasnya tanpa terganggu permasalahan psikologis yang mendera. SMHWS buka setiap hari Senin sampai Jumat pukul 08.00 - 14.00 WIB. “Jangan ragu datang ke profesional  apabila memang memiliki masalah yang kita sendiri sudah tidak sanggup mengatasi sendiri,” kata Dewi.

Dewi tidak menampik jika perundungan masih terus ada meski sosialisasi terkait perundungan telah dilakukan di berbagai tempat. Ia menyebut pemangku kebijakan sebetulnya sudah melakukan berbagai langkah untuk mencegah perundungan. “Memang sudah dilakukan. Hanya saja hasilnya memang belum maksimal ya. Ini harus jadi PR bersama,” tutup Dewi mengakhiri pembicaraan. 

Disadur dari: www.ums.ac.id