TRANSFORMASI digital di berbagai sektor telah berkembang dengan sangat masif dan tren ini diperkirakan akan terus berlanjut. Salah satu tren digitalisasi yang sedang marak saat ini adalah kemunculan berbagai jenis aset kripto.
Hingga saat ini, tercatat lebih dari 17 ribu jenis aset kripto di seluruh dunia. Seiring dengan kemajuan teknologi seperti blockchain dan distributed ledger technology (DLT), jumlah tersebut diyakini akan terus bertambah. Dan dana yang mengalir ke aset kripto juga akan terus meningkat dari waktu ke waktu.
Di tengah popularitas yang terus meningkat, regulator di berbagai negara masih menilai aset kripto memiliki banyak aspek negatif yang dapat merugikan konsumen. Misalnya, nilainya sangat fluktuatif dan tidak ada otoritas yang menjamin. Selain itu, sifat anonim dari aset kripto juga rawan disalahgunakan untuk beragam tindak kejahatan. Kita mungkin sering mendengar berbagai serangan siber berbasis ransomware selalu meminta tebusan kepada korban dalam bentuk aset kripto.
Dengan latar belakang itu, bank sentral dari berbagai negara mulai mempertimbangkan untuk menerbitkan mata uang digital, yang sering disebut sebagai central bank digital currency (CBDC). Kehadiran mata uang digital yang diterbitkan langsung oleh lembaga berwenang itu merupakan perwujudan dari tugas dan fungsi untuk menyediakan uang sebagai alat pembayaran yang sah dan tepercaya kepada publik.
CBDC berpotensi memainkan peran vital dalam upaya bank sentral untuk terus menyediakan instrumen pembayaran yang aman dan selaras dengan perkembangan era digital. Dengan CBDC, masyarakat dapat memperoleh akses ke instrumen pembayaran digital yang risk-free karena dijamin langsung oleh regulator. Sama dengan kita menggunakan uang kertas dan logam yang dijamin oleh bank sentral, hanya dalam wujud digital.
Hal tersebut sangat kritikal. Sebab, nominal pembayaran digital terus tumbuh tinggi, khususnya di situasi pandemi seperti saat ini. Rilis terakhir dari Bank Indonesia pada Kamis (10/2) menyebutkan, pada Januari 2022, nilai transaksi uang elektronik (UE) tumbuh 66,65 persen (yoy) mencapai Rp 34,6 triliun dan nilai transaksi digital banking meningkat 62,82 persen (yoy) menjadi Rp 4.314,3 triliun. Dengan pertumbuhan pesat tersebut, kehadiran instrumen pembayaran digital yang aman dan dikelola oleh regulator menjadi suatu kebutuhan.
Kemudian, CBDC juga dapat mendorong peningkatan inklusivitas keuangan yang menjadi tantangan banyak negara berkembang. Dengan adanya CBDC, transaksi masyarakat akan tercatat secara lengkap dan granular. Hal tersebut pada gilirannya dapat membentuk scoring berbasis aktivitas transaksi pembayaran bagi tiap-tiap individu masyakarat. Selanjutnya, scoring yang telah terbentuk dapat dipergunakan sebagai dasar bagi penyaluran pinjaman atau pembiayaan untuk pengembangan kapasitas ekonomi masyarakat lebih lanjut.
Selain kedua hal di atas, masih banyak manfaat lain yang diperoleh dari keberadaan CBDC. Mulai dari dapat menjadi instrumen baru kebijakan moneter jika didesain untuk tujuan tersebut, mempermudah penyaluran bantuan sosial, sampai dengan membantu transaksi antarnegara. Termasuk remitansi dari pekerja migran langsung kepada keluarga di Indonesia.
Namun, sebelum menerbitkan CBDC, penting bagi regulator melakukan penilaian secara cermat, transparan, dan komprehensif. Sehingga dampak dan risiko yang mungkin ditimbulkan oleh penerbitan CBDC dapat dipahami dan dimitigasi dengan baik. Hal ini disebabkan keberadaan CBDC akan sangat memengaruhi stabilitas moneter dan keuangan serta perekonomian secara keseluruhan.
Pada kesempatan ini, penulis ingin menyoroti tiga poin penting yang perlu diperhatikan dalam mempersiapkan kehadiran CBDC sehingga dapat memainkan peran vital di era digital.
Interoperability
Inisiatif CBDC perlu dipersiapkan dan diimplementasikan melalui kerangka kerja sama dan kolaborasi lintas negara. Penting bagi regulator (bank sentral dan otoritas terkait lain) berkolaborasi dan menciptakan interoperabilitas (kemampuan saling ”berbicara” dan saling bertransaksi antar-CBDC) di antara proyek mata uang digital.
Langkah membangun interoperabilitas, antara lain, dapat dilakukan melalui pengembangan standar dan pedoman umum terkait interoperabilitas serta skema interkoneksi dengan berbagai infrastruktur pembayaran yang saat ini telah beroperasi. Hal ini sangat penting agar kehadiran CBDC tidak menjadikan transaksi lintas negara terfragmentasi tetapi justru menjadi pemicu aktivitas keuangan antarnegara yang semakin terintegrasi.
Availability
Di negara maju, akses internet bisa jadi telah tersebar secara merata di seluruh wilayah. Namun demikian, di berbagai negara berkembang, termasuk Indonesia, masih banyak daerah yang belum terjangkau oleh akses internet. Hal ini juga perlu menjadi pertimbangan regulator dalam mendesain aspek teknologi dari CBDC.
CBDC perlu dirancang dan disiapkan sedemikian rupa sehingga tetap dapat digunakan di daerah dengan maupun tanpa akses internet. Salah satu opsi solusi yang dapat diambil adalah CBDC akan ditransaksikan secara online di area yang memiliki akses internet. Sedangkan untuk area yang tidak memiliki konektivitas internet, CBDC akan diproses secara offline.
Novelty
Bergerak lebih jauh dari kehadiran belasan ribu aset kripto, saat ini skema decentralized finance atau DeFi juga tengah berkembang dengan sangat pesat di berbagai negara. Dengan berbasis DLT dan smart contract, DeFI merupakan ”bangunan baru” sistem keuangan yang mereplikasi layanan keuangan konvensional (lending, derivatif, exchange, dan sebagainya) ke dalam ekosistem digital peer-to-peer.
Sebagai perbandingan, jika menggunakan sistem keuangan yang saat ini kita kenal, untuk menabung atau memperoleh pinjaman kita perlu perantara lembaga keuangan (bank atau nonbank). Dengan adanya DeFi, keberadaan lembaga keuangan akan digantikan oleh platform/apps yang bekerja dengan teknologi DLT. Aset kripto yang kita miliki dapat dipinjamkan atau kita dapat meminjam aset kripto, di mana semuanya akan diproses secara otomatis menggunakan smart contract.
The Federal Reserve Bank of St Louis mencatat, dana yang berada dalam DeFi telah mencapai lebih dari USD 10 miliar pada akhir 2021 (naik pesat dari ”hanya” USD 1 juta di awal 2018). Dengan semakin maraknya aktivitas keuangan di dalam ekosistem DeFi, CBDC juga perlu dirancang agar bisa kompatibel dan digunakan dalam ekosistem tersebut. Hal ini dimaksudkan agar pihak berwenang dapat memantau perkembangan DeFi dari dalam ekosistem serta memastikan terjaganya perlindungan konsumen. (*)
Sumber: www.jawapos.com