Bukan hal yang baru jika membicarakan permasalahan dalam perkembangan pendidikan khususnya di Indonesia. Sering dibicarakan, namun belum diketahui secara pasti di mana sekarang. Kita dapat dengan jelas memposisikan posisi perkembangan industri. Ya, industri berada pada titik 4.0 hingga tahun 2022. Pertanyaan besarnya, pada titik manakah kedudukan pendidikan?
Saat ini kita hanya bisa berspekulasi pada jenjang pendidikan apa. Sambil menebak-nebak juga terdapat berbagai permasalahan mengenai pendidikan khususnya di Indonesia. Mungkin akan lebih banyak permasalahan dibandingkan hal-hal positif yang membuat kita asal-asalan menempatkan pendidikan Indonesia di poin 2.0 atau bahkan masih 1.0.
Selama ini pendidikan Indonesia selalu terbentur pada pertanyaan: Sistem atau kurikulum manakah yang terbaik untuk diterapkan? Buang-buang waktu memikirkan hal ini jika tidak ada saluran yang jelas untuk mencapai sistem pendidikan yang ideal. Ibarat tujuan dalam strategi pemasaran adalah melakukan pembelian oleh pelanggan, maka ada tahapan yang harus dipenuhi terlebih dahulu yaitu terkait dengan kesadaran, minat, keinginan, dan tindakan. Lalu, jika tujuan dalam pendidikan merupakan sistem yang ideal, maka tahapan apa yang harus dipenuhi terlebih dahulu? Dua di antaranya menurut saya adalah: tercapainya tujuan pendidikan dan sumber daya manusia yang kompeten!
Mengenai tujuan pendidikan, memiliki definisi yang murni adalah suatu keharusan! Tujuan pendidikan harus mampu melahirkan manusia yang mandiri, mempercepat kemajuan kesadaran manusia sehingga dapat berfungsi dalam masyarakat [1] [2]. Manusia yang otonom berarti mampu mengarungi kehidupan secara utuh. Namun yang terjadi saat ini adalah pendidikan hanya membekali individu untuk mengarungi dunia kerja. Ini seperti sekolah bukan belajar! Pendidikan yang telah kehilangan fungsi utamanya [3].
Bahkan pada titik pemahaman tujuan pendidikan yang paling mendasar, yaitu untuk memperoleh dan berbagi pengetahuan, terjadi praktik ketidakadilan yang mengakar. Lihat saja filter penerimaan guru, apakah guru atau dosen, khususnya lembaga swasta. Mereka hanya menerima guru yang seagama. Jika agamanya sama, maka mereka akan memilih guru yang ideologinya sama dan memahami gaya ideologi lembaganya.
Kedua, terkait sumber daya manusia. Pengawasan terhadap guru dalam mengajar perlu dilakukan, hal ini dapat meningkatkan kualitas guru. Juga tidak akan efektif jika supervisi hanya dilakukan dua kali dalam satu semester atau supervisi terjadwal. Lakukan pengawasan semaksimal mungkin, setiap hari jika diperlukan. Pembentukan tim pengawas di masing-masing lembaga mungkin bisa memberikan dampak positif.
Selain itu, kesejahteraan guru perlu menjadi perhatian lebih lanjut. Selama bertahun-tahun bahkan puluhan tahun, label pahlawan tanpa tanda jasa telah melekat pada profesi guru. Label tersebut justru mereduksi fungsi pembangunan bangsa dan memberi kesan merendahkan profesi guru. Mereka tidak boleh menambah pekerjaan di luar mengajar untuk menafkahi keluarga atau menjadi pekerja sementara selama puluhan tahun dengan gaji yang hanya cukup untuk menutupi biaya perjalanan.
Guru hendaknya diberikan penghargaan agar generasi milenial terpelajar lebih termotivasi untuk menjadi guru yang mencerdaskan kehidupan bangsa dibandingkan memilih bekerja di perbankan agar komposisi guru diisi dengan sumber daya manusia yang berkualitas. Peningkatan kesejahteraan guru setidaknya menghindarkan kita dari kegagalan dalam pelayanan yang mereka berikan.
Disadur dari: suryajayaraka.medium.com