Monopoli Air Bersih di Jakarta: Antara Hak Rakyat dan Praktik Persaingan Usaha

Dipublikasikan oleh Viskha Dwi Marcella Nanda

20 Mei 2025, 10.06

pixabay.com

Air Bersih: Hak Dasar atau Komoditas?

Air bersih adalah kebutuhan mendasar yang tidak bisa digantikan. Namun, di era liberalisasi ekonomi, pengelolaan air mulai bergeser dari tanggung jawab negara menjadi objek bisnis swasta. Inilah yang menjadi pangkal kajian tesis Adi Wibowo (2008) berjudul "Analisis Yuridis Tentang Monopoli Negara Atas Pengelolaan Air Bersih di Wilayah DKI Jakarta Berdasarkan Hukum Persaingan Usaha." Penelitian ini berangkat dari kenyataan bahwa privatisasi air bersih di Jakarta menuai kontroversi dan dinilai bertentangan dengan prinsip keadilan dan akses publik.

Latar Belakang: Negara, Pasar, dan Air Bersih

Mengacu pada Pasal 33 UUD 1945, pengelolaan air termasuk dalam cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak, sehingga seharusnya dikuasai oleh negara. Namun, sejak krisis 1998 dan masuknya skema swasta, Jakarta menjadi contoh konkret bagaimana sektor vital diprivatisasi. Dalam tesis ini, Adi mempertanyakan: apakah pengelolaan air oleh BUMD seperti PAM JAYA dan mitranya melanggar prinsip hukum persaingan usaha?

Kajian Hukum: Monopoli yang Dibenarkan?

Monopoli umumnya dilarang oleh UU No. 5 Tahun 1999. Namun, Pasal 51 memberikan pengecualian untuk monopoli yang dilakukan oleh negara demi kesejahteraan rakyat. Tesis ini menyoroti bahwa pengelolaan air oleh negara bukan hanya sah secara konstitusional, tetapi juga diperlukan untuk mencegah eksploitasi oleh swasta.

Tiga Pilar Analisis:

  1. Landasan Konstitusional: Pasal 33 ayat (2) dan (3) UUD 1945 memperkuat peran negara.
  2. Kepentingan Umum: Air adalah hak dasar, bukan komoditas.
  3. Efisiensi dan Pemerataan: Tujuan monopoli oleh negara adalah distribusi adil dan pelayanan universal.

Studi Kasus: DKI Jakarta dan PAM JAYA

PAM JAYA adalah BUMD milik Pemprov DKI Jakarta yang bekerja sama dengan dua mitra swasta: Palyja (Prancis) dan Aetra (Inggris). Kerja sama ini dimulai tahun 1998 dan berlangsung hingga kini dengan skema konsesi. Namun, praktiknya penuh kritik:

  • Kenaikan tarif air tanpa peningkatan layanan memadai.
  • Akses terbatas bagi warga miskin dan kawasan padat penduduk.
  • Kontrak tidak transparan dan tidak melibatkan publik secara aktif.

Tesis ini menyebut bahwa perjanjian konsesi kerap kali tidak profesional dan berat sebelah, di mana risiko ditanggung negara, sedangkan keuntungan dimiliki swasta.

Data & Statistik: Realita Pelayanan Air

  • Pada tahun 2002, cakupan layanan air perpipaan di perkotaan hanya 33,3%.
  • Di perdesaan bahkan hanya 6,2%.
  • Rata-rata hanya 39% penduduk perkotaan yang dilayani PDAM.

Data ini menunjukkan bahwa liberalisasi tidak otomatis meningkatkan efisiensi atau cakupan layanan.

Kritik terhadap Swastanisasi Air

Studi ini juga mencatat pengalaman negara lain seperti Argentina dan Bolivia yang gagal menjaga akses air setelah diswastakan. Harga naik drastis dan masyarakat miskin semakin tersisih. Dalam konteks Jakarta:

  • Swasta mengejar keuntungan.
  • Negara kehilangan kendali.
  • Masyarakat kehilangan hak.

Privatisasi air memunculkan ketimpangan dan memperparah ketidakadilan struktural.

Privatisasi vs Kepentingan Publik: Jalan Tengah?

Penulis tesis tidak serta merta menolak peran swasta. Yang ditekankan adalah perlunya regulasi yang kuat, transparansi kontrak, dan pembatasan peran swasta hanya sebagai pelaksana teknis, bukan pengendali sistem. Dalam hal ini:

  • Negara tetap menjadi penguasa kebijakan.
  • Swasta hanya membantu implementasi.
  • Keadilan sosial harus menjadi prioritas.

Pendekatan Yuridis Normatif: Metodologi Kritis

Dengan pendekatan yuridis normatif, Adi Wibowo menguji peraturan dan praktik aktual terhadap norma hukum persaingan dan konstitusi. Ia menggunakan data sekunder dari UU, kontrak, dan literatur, serta wawancara primer dengan aktor PAM JAYA dan akademisi. Hasilnya menunjukkan bahwa monopoli negara atas air bersih dibenarkan secara hukum dan dibutuhkan secara sosial.

Kesimpulan: Negara Tidak Boleh Melepas Air ke Pasar Bebas

Tesis ini menyimpulkan bahwa:

  • Monopoli negara atas air bersih sah menurut Pasal 33 UUD 1945 dan Pasal 51 UU No. 5/1999.
  • Pengelolaan air oleh swasta penuh risiko ketidakadilan.
  • Perlu penguatan kelembagaan negara dan partisipasi publik dalam pengelolaan air.

Saran:

  • Transparansi dan akuntabilitas dalam kontrak konsesi.
  • Regulasi yang melindungi hak air sebagai hak dasar manusia.
  • Evaluasi berkala atas kinerja swasta dalam sektor publik.

Sumber:
Wibowo, A. (2008). Analisis Yuridis Tentang Monopoli Negara Atas Pengelolaan Air Bersih di Wilayah DKI Jakarta Berdasarkan Hukum Persaingan Usaha. Tesis Magister Ilmu Hukum, Universitas Indonesia.