Mengurai Risiko Konstruksi Pipa Air Bersih Jakarta: Strategi Mitigasi Efektif dengan House of Risk

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah

13 Mei 2025, 08.49

freepik.com

Risiko dalam Konstruksi Perpipaan: Masalah Sistemik di Balik Layanan Air Bersih

Pembangunan infrastruktur air bersih bukan hanya tentang pengadaan pipa atau pengecoran beton. Ia melibatkan kompleksitas teknis, logistik, hingga sosial yang sarat risiko. Di Jakarta, proyek konstruksi jaringan pipa air bersih oleh PDAM Pam Jaya dan PT PAM Lyonnaise Jaya (Palyja) menjadi contoh nyata bagaimana risiko yang tidak tertangani bisa mengancam keselamatan kerja, biaya proyek, dan bahkan distribusi air bagi jutaan warga.

Dalam studi yang dilakukan Safruddin MJ dan Sawarni Hasibuan, pendekatan manajemen risiko berbasis House of Risk (HOR) digunakan untuk mengidentifikasi dan memitigasi risiko dalam proyek konstruksi utilitas piping dan pekerjaan sipil. Kajian ini tidak hanya menyuguhkan identifikasi teknis, tetapi juga memberi peta strategis aksi mitigasi yang sangat relevan bagi industri konstruksi perkotaan di Indonesia.

Proyek Konstruksi Palyja: Antara Target Distribusi dan Kenyataan Lapangan

PT PAM Lyonnaise Jaya (Palyja), mitra PAM Jaya, bertanggung jawab atas layanan air perpipaan di wilayah Jakarta Barat. Target utamanya adalah memperluas akses dan meningkatkan mutu layanan air bersih. Namun, fakta di lapangan menunjukkan banyak proyek pemipaan mengalami keterlambatan, pembengkakan biaya, dan bahkan gagal memenuhi target operasional karena risiko-risiko yang tidak dimitigasi sejak awal.

Menurut RPJMN 2015–2019, dari Rp 451,3 triliun total pasar konstruksi nasional, sekitar 65% disumbang oleh sektor pekerjaan sipil seperti konstruksi jalan dan pemipaan. Namun, hanya Rp 33,899 triliun yang dialokasikan untuk infrastruktur air minum dari APBN, sehingga efisiensi dan manajemen risiko menjadi kunci.

Metodologi: Strategi HOR dalam Empat Tahap

Penelitian ini dibagi ke dalam empat fase sistematis:

  1. Identifikasi Awal: Observasi dan wawancara dilakukan untuk mengidentifikasi potensi risiko dan penyebabnya dalam setiap tahap konstruksi.
  2. Pengumpulan Data: Melibatkan 60 responden (project manager, engineer, supervisor) dengan teknik FGD, kuesioner, dan studi lapangan.
  3. Pengolahan Data: Penilaian severity (dampak) dan occurance (frekuensi kejadian) menghasilkan nilai ARP (Aggregate Risk Priority).
  4. Strategi Mitigasi (HOR Fase 2): Mengembangkan dan memprioritaskan aksi mitigasi berdasarkan efektivitas dan kesulitan implementasi.

Hasil Identifikasi: 60 Risiko dan 38 Agen Risiko

Risiko Paling Dominan

Dari 120 kejadian awal, disaring menjadi 60 risk event utama, antara lain:

  • Terlambatnya pengadaan material (kode E10, E65)
  • Ketidaksesuaian alat dengan kebutuhan lapangan (E7, E39)
  • Kehilangan alat dan material (E6, E21, E66)
  • Keterlambatan karena faktor eksternal seperti hujan deras dan banjir (E56, E57)

Contohnya, terlambatnya pekerjaan karena banyaknya utilitas eksisting di lokasi pekerjaan (E59) diberi nilai severity tinggi, karena berpotensi menunda seluruh rantai kerja.

Agen Risiko Tertinggi (Top 5)

Melalui prinsip Pareto 80/20, diidentifikasi lima agen risiko prioritas:

  1. Tidak adanya jaminan mutu (Quality Assurance) – ARP: 1470
  2. Tidak ada quality control (QC) – ARP: 1440
  3. Kesalahan pemilihan kontraktor – ARP: 1315
  4. Kurangnya kualifikasi pelaksana proyek – ARP: 1240
  5. Terlambatnya pasokan material – ARP: 1176

Lima agen risiko ini saja menyumbang lebih dari 30% potensi risiko total proyek.

Studi Kasus: Keterlambatan Proyek dan Dampaknya

Ketika pasokan material utama dan pelengkap terlambat (seperti pada agen risiko A13), dampaknya tidak hanya sekadar waktu, tetapi juga:

  • Penurunan efisiensi kerja di lapangan
  • Overlapping aktivitas akibat penumpukan pekerjaan
  • Gagalnya target penjualan air bersih
  • Tidak tercapainya CAPEX dan OPEX perusahaan
  • Tingkat kehilangan air (NRW) tidak menurun sesuai target

Selain itu, gangguan eksternal seperti protes warga, cuaca buruk, dan birokrasi izin menambah kompleksitas pelaksanaan proyek, mengingat jaringan pipa dibangun di bawah jalan-jalan padat dan permukiman padat penduduk.

Strategi Mitigasi: Dari ISO ke Pelatihan Berkelanjutan

Berdasarkan analisis House of Risk fase 2, dirumuskan 38 strategi mitigasi risiko, dengan lima strategi prioritas sebagai berikut:

  1. Membentuk tim QA/QC independen atau kolaboratif – nilai ETDk tertinggi: 5944
  2. Melakukan tindakan perbaikan (Corrective Action) – nilai ETDk: 4524
  3. Pengujian sesuai ketentuan teknis dan standar industri – ETDk: 4320
  4. Melaksanakan sertifikasi ISO 9001:2015 – ETDk: 3064,5
  5. Pelatihan rutin prosedur dan standar teknis – ETDk: 3720

Setiap strategi ini dirancang berdasarkan efektivitas pengurangan risiko, derajat kesulitan implementasi, dan dampaknya terhadap kinerja proyek secara menyeluruh.

Opini Kritis dan Relevansi Industri

Penelitian ini sangat kuat dalam dua hal: metodologi HOR yang terstruktur dan keberanian memasukkan faktor-faktor human error dan manajemen mutu sebagai pusat perhatian. Sayangnya, tidak banyak penelitian risiko konstruksi yang sedetail ini mengurai risiko pada utilitas air bersih secara spesifik.

Namun, satu kekurangan utama adalah minimnya data kuantitatif dari aspek keuangan (seperti rasio keterlambatan terhadap nilai proyek) yang bisa memperkuat narasi risiko menjadi lebih ekonomis. Juga, kurangnya integrasi teknologi informasi (misalnya penggunaan BIM atau IoT) dalam pendekatan mitigasi menjadi peluang penelitian selanjutnya.

Pembelajaran untuk Proyek Lain di Indonesia

Model ini sangat aplikatif untuk proyek sejenis di kota-kota lain seperti Surabaya, Medan, atau Makassar, yang juga sedang membangun jaringan air bersih dan sanitasi. Di tengah tuntutan pemerintah pusat terhadap penurunan Non-Revenue Water (NRW) nasional hingga 20% dan peningkatan akses air bersih mencapai 100% pada 2030 (Sustainable Development Goal 6), mitigasi risiko menjadi fondasi penting.

Rekomendasi Praktis dari Studi Ini

Bagi Anda yang bergerak di bidang konstruksi sipil, manajemen proyek, atau pengadaan air bersih, berikut beberapa poin strategis:

  • Sertifikasi ISO bukan formalitas: Gunakan sebagai alat untuk menata kembali sistem mutu dan dokumentasi proyek.
  • Jadikan Quality Control sebagai fungsi proaktif, bukan hanya pemeriksa akhir pekerjaan.
  • Terapkan pemilihan kontraktor berbasis performa dan bukan hanya harga penawaran terendah.
  • Investasikan dalam pelatihan pekerja lapangan dan supervisor tentang SOP teknis, terutama dalam teknik penyambungan, pengujian tekanan, dan penanganan alat berat.
  • Gunakan dashboard digital risiko untuk pemantauan ARP secara real-time.

Penutup: Risiko yang Dikelola, Proyek yang Berhasil

Penelitian ini menegaskan bahwa kesuksesan proyek tidak hanya bergantung pada teknologi dan pendanaan, tetapi juga pada bagaimana risiko dipahami dan dimitigasi secara sistematis. Dengan model seperti House of Risk, perusahaan konstruksi, operator utilitas, dan pemerintah daerah memiliki alat yang tepat untuk mengendalikan risiko sejak perencanaan hingga penutupan proyek.

Pada akhirnya, risiko tidak harus menjadi penghalang, melainkan bisa menjadi panduan untuk menciptakan sistem kerja yang lebih cerdas, efisien, dan andai menuju layanan air bersih yang layak dan berkelanjutan untuk semua.

Referensi Asli:

Safruddin MJ & Sawarni Hasibuan. Strategi Mitigasi Risiko Proyek Konstruksi Utilitas Piping dan Pekerjaan Sipil: Studi Kasus PDAM Jakarta. Operations Excellence, Volume 12, Nomor 1, 2020, halaman 74–87.