Kimia hijau
Kimia hijau, yang sering disebut juga sebagai kimia berkelanjutan atau kimia sirkular, merupakan cabang dari kimia dan teknik kimia yang berfokus pada pengembangan produk dan proses yang mengurangi atau bahkan menghilangkan penggunaan serta pembentukan bahan kimia berbahaya. Sementara konsep kimia lingkungan lebih menekankan dampak bahan kimia terhadap pencemaran lingkungan, pendekatan kimia hijau lebih menekankan pada pengurangan penggunaan sumber daya tak terbarukan dan penerapan teknologi untuk mencegah polusi.
Secara spesifik, kimia hijau bertujuan untuk mengurangi dampak negatif kimia terhadap lingkungan dengan mengurangi konsumsi sumber daya alam yang tidak dapat diperbarui dan dengan menggunakan teknologi yang meminimalkan polusi. Pendekatan ini melibatkan desain molekul, bahan, produk, dan proses yang lebih efisien dalam penggunaan sumber daya serta lebih aman bagi lingkungan.
Dengan demikian, visi utama dari kimia ramah lingkungan adalah untuk menciptakan solusi yang menyeluruh dalam berbagai konteks, mencakup aspek desain yang berkelanjutan dan keselamatan dalam penggunaan bahan kimia. Hal ini bertujuan untuk mendorong perkembangan industri dan teknologi yang lebih ramah lingkungan serta mendukung keberlanjutan dan keseimbangan ekologis secara global.
Sejarah
Kimia hijau merupakan hasil dari berbagai konsep dan upaya penelitian yang telah ada sebelumnya, seperti ekonomi atom dan katalisis, yang mulai mendapatkan perhatian luas pada awal tahun 1990-an. Peningkatan kesadaran terhadap masalah pencemaran lingkungan akibat bahan kimia serta keprihatinan atas penipisan sumber daya alam turut mempengaruhi perkembangan kimia hijau. Di Eropa dan Amerika Serikat, perhatian terhadap masalah lingkungan telah membawa perubahan dalam strategi penyelesaian masalah, dengan bergesernya fokus dari regulasi komando dan kontrol serta pengurangan emisi industri secara langsung, menuju upaya pencegahan aktif polusi lingkungan melalui desain teknologi produksi yang inovatif.
Konsep-konsep yang membentuk dasar dari kimia hijau mulai terintegrasi secara lebih menyeluruh pada pertengahan hingga akhir dekade 1990-an, seiring dengan penyebaran penggunaan istilah tersebut yang lebih luas. Istilah "kimia ramah lingkungan" menjadi lebih dominan dibandingkan istilah-istilah lain seperti kimia "bersih" atau "berkelanjutan". Di Amerika Serikat, Badan Perlindungan Lingkungan (EPA) memainkan peran penting dalam pengembangan kimia hijau melalui program-program pencegahan polusi, alokasi dana, dan koordinasi profesional. Pada saat yang sama di Inggris, para peneliti di Universitas York turut berkontribusi dalam pembentukan Jaringan Kimia Hijau dalam Royal Society of Chemistry, serta peluncuran jurnal Green Chemistry.
Prinsip
Pada tahun 1998, Paul Anastas dan John C. Warner, yang saat itu aktif di EPA AS dan Polaroid Corporation, menerbitkan serangkaian prinsip yang bertujuan untuk membimbing praktik kimia yang ramah lingkungan. Kedua belas prinsip ini dirancang untuk menangani berbagai aspek yang terkait dengan dampak produksi bahan kimia terhadap lingkungan dan kesehatan manusia, serta untuk menetapkan prioritas dalam pengembangan teknologi kimia yang ramah lingkungan. Konsep-konsep yang diusulkan dalam prinsip-prinsip ini mencakup berbagai hal, mulai dari desain proses untuk memaksimalkan penggunaan bahan mentah hingga pengurangan limbah, dengan tujuan mengurangi dampak negatif pada lingkungan dan kesehatan manusia.
Prinsip-prinsip tersebut mencakup ide-ide seperti pencegahan polusi sebagai prioritas utama, dengan keyakinan bahwa mencegah terbentuknya limbah lebih baik daripada membersihkan limbah yang sudah terbentuk. Prinsip ekonomi atom menekankan pentingnya memaksimalkan penggunaan semua bahan dalam proses kimia untuk menghasilkan limbah yang lebih sedikit. Selain itu, prinsip-prinsip tersebut mendorong penggunaan bahan kimia yang tidak berbahaya dan ramah lingkungan, serta merancang produk kimia agar seselamat mungkin bagi manusia dan lingkungan.
Aspek lain yang dicakup oleh prinsip-prinsip ini adalah penggunaan bahan pembantu yang lebih aman dan pelarut yang lebih ramah lingkungan, serta desain proses yang efisien dalam penggunaan energi. Prinsip-prinsip tersebut juga mempertimbangkan penggunaan bahan baku terbarukan, mengurangi pembuatan turunan yang tidak diperlukan, dan memanfaatkan katalisis sebagai alternatif yang lebih unggul daripada reagen stoikiometri.
Selain itu, prinsip-prinsip ini mendorong desain produk kimia yang tidak mencemari lingkungan, serta pengembangan metodologi analisis yang memungkinkan pemantauan dan pengendalian polusi secara waktu nyata selama proses berlangsung. Terakhir, prinsip-prinsip tersebut menekankan pemilihan bahan kimia yang inheren lebih aman untuk mencegah kecelakaan seperti ledakan, kebakaran, dan pelepasan yang tidak disengaja.
Tren
Upaya saat ini tidak hanya berfokus pada pengukuran tingkat keberlanjutan suatu proses kimia, tetapi juga memperhitungkan faktor-faktor lain seperti efisiensi hasil bahan kimia, harga komponen reaksi, keamanan dalam penanganan bahan kimia, kebutuhan perangkat keras, profil energi, serta kemudahan pengerjaan dan pemurnian produk. Sebagai contoh dalam studi kuantitatif, reduksi nitrobenzena menjadi anilin diberi skor 64 dari 100 poin, menunjukkan bahwa sintesis tersebut secara keseluruhan dapat diterima, sementara sintesis urea menggunakan HMDS hanya mendapatkan 32 poin dan dianggap sebagai sintesis yang memadai.
Dalam konteks ini, kimia ramah lingkungan menjadi semakin penting sebagai alat evaluasi dampak nanoteknologi terhadap lingkungan. Seiring dengan berkembangnya bahan nano, perlu dipertimbangkan baik dampak lingkungan maupun kesehatan manusia dari produk nanoteknologi itu sendiri maupun dari proses pembuatannya. Meskipun terdapat tren penggunaan material nano dalam berbagai praktik, dampak potensial nanotoksisitas sering kali diabaikan oleh masyarakat. Oleh karena itu, perlu dipertimbangkan aspek-aspek hukum, etika, keselamatan, dan regulasi yang berkaitan dengan bahan nano guna memastikan kelangsungan ekonomi jangka panjangnya.
Contoh
Pelarut hijau merupakan elemen penting dalam berbagai kegiatan manusia, terutama dalam industri cat dan pelapis, yang mencakup 46% penggunaannya. Penggunaan pelarut juga meliputi berbagai aplikasi lain seperti pembersihan, penghilangan lemak, perekat, dan sintesis kimia. Pelarut tradisional seringkali mengandung zat beracun atau klorin, sedangkan pelarut ramah lingkungan cenderung lebih aman bagi kesehatan dan lingkungan serta lebih berkelanjutan. Idealnya, pelarut ramah lingkungan berasal dari sumber daya terbarukan dan dapat terurai menjadi produk yang tidak berbahaya, seringkali berupa produk alami.
Namun, pembuatan pelarut dari biomassa bisa lebih berbahaya bagi lingkungan dibandingkan pembuatan pelarut yang sama dari bahan bakar fosil. Oleh karena itu, penting untuk mempertimbangkan dampak lingkungan dari pembuatan pelarut ketika memilihnya untuk suatu produk atau proses. Selain itu, nasib pelarut setelah digunakan juga perlu dipertimbangkan, terutama dalam hal pengumpulan dan daur ulang pelarut. Penggunaan air sebagai pelarut, meskipun membutuhkan energi untuk pemurnian, mungkin merupakan pilihan yang lebih ramah lingkungan dalam beberapa kasus. Definisi yang komprehensif tentang pelarut ramah lingkungan adalah bahwa pelarut tersebut membuat suatu produk atau proses memiliki dampak lingkungan yang paling kecil sepanjang siklus hidupnya.
Teknik sintetis yang baru atau yang disempurnakan sering kali dapat memberikan peningkatan kinerja lingkungan atau memungkinkan kepatuhan yang lebih baik terhadap prinsip-prinsip kimia ramah lingkungan. Contohnya adalah pengembangan metode metatesis dalam sintesis organik yang dianugerahkan dengan Hadiah Nobel Kimia tahun 2005, yang memberikan kontribusi besar terhadap "produksi yang lebih cerdas" dengan memperhatikan prinsip-prinsip kimia hijau. Terdapat pula penerapan teknik bioteknologi yang menjanjikan dalam mencapai tujuan kimia ramah lingkungan, seperti sintesis bahan kimia proses penting dalam organisme hasil rekayasa genetik. Selain itu, konsep farmasi hijau juga telah diartikulasikan berdasarkan prinsip-prinsip serupa.
Penggunaan karbon dioksida sebagai bahan peniup dalam produksi busa polistiren oleh Dow Chemical pada tahun 1996 adalah salah satu contoh penerapan praktis kimia ramah lingkungan. Karbon dioksida superkritis bekerja sama baiknya dengan bahan peniup tanpa memerlukan bahan berbahaya, sehingga memudahkan proses daur ulang polistiren. Proses ini menghasilkan nol karbon bersih yang dilepaskan ke lingkungan karena CO2 yang digunakan didaur ulang dari industri lain. Selain itu, terdapat pula berbagai contoh penerapan kimia hijau lainnya dalam industri kimia, seperti produksi hidrazin tanpa menghasilkan garam, produksi 1,3-propanediol dari prekursor terbarukan, dan produksi asam suksinat berbasis bio. Semua inovasi ini menunjukkan peran penting kimia ramah lingkungan dalam mendukung pembangunan berkelanjutan.
Disadur dari: en.wikipedia.org