Pendahuluan: Kenapa Perlu Mengukur Risiko Kegagalan Terowongan?
Dalam dunia konstruksi bawah tanah modern, terowongan menjadi salah satu struktur yang paling kompleks dan berisiko tinggi. Paper berjudul Revised Comparison of Tunnel Collapse Frequencies and Tunnel Failure Probabilities karya Spyridis dan Proske (2021) membedah kesenjangan antara perhitungan probabilitas kegagalan terowongan dan data runtuh sebenarnya yang telah diamati secara global.
Fokus utamanya adalah membandingkan nilai probabilitas kegagalan yang dihitung secara teoritis dengan frekuensi keruntuhan nyata. Hasilnya cukup mengejutkan—perhitungan teoritis cenderung berlebihan (konservatif), namun tetap tidak selalu sesuai dengan kenyataan.
Realita di Lapangan: Runtuhnya Terowongan Lebih Sering Terjadi Saat Konstruksi
Dari 321 kasus runtuh yang dikaji, 92% terjadi saat masa konstruksi—naik dari 80% dalam studi sebelumnya. Artinya, meskipun kita sering mendengar keruntuhan saat operasi, faktanya sebagian besar terjadi ketika terowongan masih dibangun. Hanya sekitar 8% dari total keruntuhan terjadi saat terowongan sudah beroperasi.
Jumlah Terowongan Dunia dan Perkembangannya
- Perkiraan jumlah total terowongan di dunia: >125.000 unit
- Rata-rata panjang terowongan jalan: 1.120 meter
- Rata-rata panjang terowongan rel: 1.060 meter
- China menyumbang hampir 50% dari pasar konstruksi terowongan global
Pertumbuhan ini juga didorong oleh proyek infrastruktur besar seperti Belt and Road Initiative dan pengembangan sistem metro di kota besar Asia.
Penyebab Dominan Runtuhnya Terowongan
Penelitian mengungkap bahwa faktor penyebab utama keruntuhan adalah kegagalan saat penggalian atau pendukung awal, bukan bencana alam seperti gempa atau banjir.
Beberapa penyebab lainnya termasuk:
- Kesalahan desain atau eksekusi teknik
- Ketidakpastian pada kondisi geologi lokal
- Kecelakaan kendaraan dan kebakaran di dalam terowongan
Meskipun kebakaran menjadi sorotan besar di beberapa dekade terakhir, insiden ini hanya menyumbang sebagian kecil dari total runtuh.
Studi Kasus: Ledakan Statistik di Tahun 2000-an
Puncak runtuhnya terowongan tercatat terjadi antara 1994–2003 dengan insiden besar seperti:
- Metro Munich (1994)
- Great Belt Link (1995)
- Heathrow Airport dan Los Angeles Metro (1994–1995)
Sebagai respons, pada tahun 2003 diterbitkan Joint Code of Practice for Risk Management of Tunnel Works oleh British Tunneling Society, yang menjadi standar internasional untuk mitigasi risiko.
Gap Besar antara Probabilitas yang Dihitung dan Fakta Lapangan
Penelitian ini membandingkan 31 perhitungan probabilitas kegagalan dengan frekuensi runtuh sebenarnya. Hasilnya:
- Probabilitas kegagalan hasil simulasi (Monte Carlo dan β index) rata-rata 10⁻² hingga 10⁻³ per tahun
- Fakta di lapangan menunjukkan keruntuhan nyata jauh lebih rendah dari hasil simulasi
Artinya, perhitungan cenderung terlalu konservatif. Tapi sekaligus menunjukkan bahwa banyak perhitungan belum mampu menangkap faktor risiko dunia nyata secara akurat.
Tingkat Kegagalan Berdasarkan Jenis Terowongan (Data 1999–2004):
- Jalan: 0,013 per km
- Rel: 0,012 per km
- Air/limbah: 0,009 per km
Nilai ini setara dengan kemungkinan runtuh sekitar 1 kali setiap 77–111 tahun per km, tergantung jenisnya. Namun kembali lagi, nilai ini hanya batas bawah karena tidak semua kasus dilaporkan ke publik.
Masalah Validitas dan Underreporting
Banyak runtuhnya terowongan tidak dilaporkan oleh kontraktor maupun pemilik proyek. Di samping itu, tidak ada standar internasional dalam pelaporan jenis kerusakan, sehingga perbandingan menjadi sulit.
Selain itu, perhitungan teoritis dari berbagai literatur juga bervariasi hingga enam urutan magnitudo, menunjukkan bahwa metode dan asumsi input sangat mempengaruhi hasil.
Pentingnya Klasifikasi dan Desain Spesifik Terowongan
Tidak seperti jembatan atau bendungan, terowongan memiliki variasi besar dalam bentuk, metode konstruksi, dan kondisi geologi. Hal ini membuat estimasi kegagalan jadi lebih sulit.
Faktor-faktor pembeda utama:
- Jenis kegunaan (jalan, rel, air)
- Metode konstruksi (TBM, cut-and-cover, manual)
- Jenis lapisan tanah (batuan keras vs tanah lunak)
- Sistem penopang (lining, anchors, sprayed concrete)
Dengan demikian, standar keamanan dan estimasi risiko harus disesuaikan berdasarkan jenis dan lokasi proyek.
Kritik Terhadap Praktik Perhitungan Konvensional
Para penulis berargumen bahwa perlu ada pembaruan sistem target probabilitas kegagalan, terutama untuk masa konstruksi yang lebih berisiko.
Penyesuaian nilai target diperlukan agar desain lebih efisien tanpa mengorbankan keselamatan, khususnya di negara berkembang yang mengandalkan standar dari negara maju tanpa menyesuaikan kondisi lokal.
Kesimpulan dan Rekomendasi Praktis
- Mayoritas runtuh terjadi saat konstruksi, bukan saat operasi.
- Perhitungan probabilistik saat ini terlalu konservatif, dan tidak mewakili frekuensi nyata di lapangan.
- Perlu pendekatan berbasis data empiris untuk menyempurnakan sistem desain risiko terowongan.
- Underreporting dan variasi desain menjadi tantangan dalam membuat prediksi yang akurat.
- Standarisasi internasional untuk pelaporan dan desain sangat dibutuhkan untuk memperbaiki akurasi dan keamanan.
Sumber Artikel : Spyridis, P., & Proske, D. (2021). Revised Comparison of Tunnel Collapse Frequencies and Tunnel Failure Probabilities. ASCE-ASME Journal of Risk and Uncertainty in Engineering Systems, Part A: Civil Engineering, 7(2), 04021004.