Indonesia, sebagai negara kepulauan yang luas, memiliki lahan yang melimpah dan sumber daya alam yang beragam. Aset-aset ini telah berperan penting dalam mendorong pertumbuhan dan ketahanan ekonomi, mendorong Indonesia ke statusnya saat ini sebagai negara dengan ekonomi terbesar ke-16 di dunia.
Saat ini, dengan presiden terpilih Prabowo Subianto dan wakilnya Gibran Rakabuming Raka sedang mempersiapkan kabinetnya untuk mengambil alih pemerintahan pada 20 Oktober mendatang, ini merupakan saat yang tepat untuk meninjau kembali struktur pemerintahan Presiden Joko 'Jokowi' Widodo dan meninjau kembali kebijakan, peraturan, serta lembaga-lembaganya yang telah mengelola lahan dan sumber daya alam dalam satu dekade terakhir.
Meskipun Prabowo telah berjanji untuk melanjutkan kebijakan-kebijakan ekonomi utama Jokowi, pemerintah baru perlu mengambil pelajaran dari tantangan-tantangan kompleks dan ekses-ekses tata kelola lahan dan sumber daya alam yang terjadi dalam sepuluh tahun terakhir. Tantangan yang paling menonjol adalah tumpang tindihnya peraturan dan institusi, meningkatnya gelombang konflik lahan dengan masyarakat adat, deforestasi, penambangan ilegal dan praktik-praktik ekstraksi sumber daya alam yang sembrono.
Saat ini terdapat berbagai kementerian dan lembaga pemerintah pusat yang ditugaskan untuk mengatur dan mengelola lahan dan sumber daya alam.
Pengelolaan lahan dan perencanaan tata ruang pada dasarnya dikelola oleh dua lembaga nasional: Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) yang diberi mandat untuk mengelola semua lahan di luar kawasan hutan dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang bertanggung jawab untuk mengawasi hutan dan lahan di dalam kawasan yang berstatus hutan.
Semua lahan di Indonesia masuk ke dalam salah satu dari dua kelompok. Kelompok pertama adalah kawasan hutan dengan luas sekitar 124 juta hektar, yang merupakan dua pertiga dari luas daratan Indonesia. Kawasan hutan berada di bawah administrasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Kawasan hutan tersebut dibagi lagi berdasarkan fungsinya, yaitu hutan produksi seluas 69 juta ha, hutan lindung seluas 29,5 juta ha, kawasan konservasi seluas 27,5 juta ha, hutan produksi tetap seluas 35 juta ha, dan hutan produksi yang dapat dikonversi untuk tujuan lain seluas 20 juta ha.
Kelompok lahan kedua adalah kawasan non-hutan untuk penggunaan lain seluas 64 juta ha atau sekitar sepertiga dari luas daratan Indonesia dan berada di bawah administrasi Badan Pertanahan Nasional.
Pelajaran terbesar dari tata kelola lahan selama satu dekade terakhir adalah banyaknya konflik dan sengketa lahan antara berbagai pihak akibat kewenangan yang terlalu besar dari KLHK yang menguasai sekitar 63 persen dari luas daratan dan kurangnya koordinasi antara KLHK dan BPN.
Begitu dominan dan menyeluruhnya kewenangan KLHK dalam tata kelola hutan dan lahan, sehingga sering kali KLHK mengeluarkan peraturan kontroversial yang bertentangan dengan kementerian lain dan menghambat pengembangan sumber daya alam seperti perkebunan tanaman industri dan konsesi pertambangan.
Jutaan hektar konsesi lahan berlisensi untuk perkebunan masih terbengkalai karena konflik atau perselisihan dengan aturan yang dikeluarkan oleh KLHK.
Yang membuat masalah ini semakin parah adalah bahwa KLHK menolak untuk memperbarui peta penggunaan lahan secara substansial dan dengan keras kepala menggunakan peta kawasan hutan yang sudah berumur puluhan tahun, sehingga menghambat penyesuaian yang diperlukan untuk memenuhi perubahan permintaan penggunaan lahan untuk sumber daya alam dan pembangunan infrastruktur.
Dan dengan dukungan penuh dari Presiden Jokowi dan tanpa adanya checks and balances, KLHK terus bertindak sebagai kementerian super. Akibatnya, kementerian-kementerian lain yang berwenang mengatur sumber daya alam negara, termasuk Kementerian Pertanian, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, dan bahkan Badan Pertanahan Nasional, tidak berdaya ketika berhadapan dengan konflik penggunaan lahan melawan KLHK.
Mengingat urgensi dari masalah ini, sangat penting bagi pemerintah baru, yang saat ini sedang mempersiapkan kabinet kerjanya, untuk menyelaraskan kembali wewenang dan fungsi KLHK dengan Badan Pertanahan Nasional dan kementerian-kementerian terkait dalam rangka memfasilitasi pembangunan sumber daya alam yang lebih lancar dan berkelanjutan sesuai dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan.
Kewenangan atas semua hal yang berkaitan dengan tanah harus dipercayakan kepada satu kementerian, yaitu Kementerian Agraria dan Tata Ruang dan Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN). Kementerian ini harus bertanggung jawab untuk mengelola semua peruntukan penggunaan lahan dan perencanaan tata ruang untuk semua daratan, termasuk kawasan hutan dan non-hutan. Oleh karena itu, KLHK harus melepaskan kewenangannya dalam mengelola tata guna lahan dan tata ruang hutan.
KLHK harus diubah menjadi Kementerian Perubahan Iklim dan Konservasi Lingkungan, dengan tanggung jawab utama untuk konservasi, pengelolaan, dan perlindungan yang efektif atas tanah, air, dan keanekaragaman hayati di kawasan konservasi dan perlindungan hutan yang telah ditetapkan.
KLHK juga ditugaskan untuk memimpin upaya-upaya dalam memonetisasi kekayaan stok karbon dan upaya-upaya konservasi melalui perdagangan karbon, serta implementasi aksi-aksi perubahan iklim untuk memenuhi target pengurangan emisi gas rumah kaca.
Kabinet baru perlu memiliki portofolio baru, yaitu Menteri Sumber Daya Alam Terbarukan dan Komoditas yang memiliki kewenangan dalam mengatur dan mengelola hutan tanaman industri, termasuk kelapa sawit, karet, hutan tanaman industri, dan energi terbarukan.
Jika dianggap perlu untuk memperlancar koordinasi birokrasi antar kementerian, kewenangan Kementerian Sumber Daya Alam Terbarukan dan Komoditas sebagai salah satu kementerian kabinet tingkat pertama untuk memimpin upaya koordinasi antar sektor, sinkronisasi kebijakan dan program yang berkaitan dengan komoditas strategis, khususnya kelapa sawit.
Mengingat pentingnya kelapa sawit bagi perekonomian negara dan tantangan berat yang dihadapi oleh komoditas ini, sangat penting bagi presiden yang baru untuk membentuk Badan Pengelola Industri Kelapa Sawit yang baru di bawah naungan kementerian ini dengan tanggung jawab yang luas untuk memajukan industri kelapa sawit yang berkelanjutan dan terintegrasi dari hulu ke hilir.
Diharapkan dengan adanya kementerian dan portofolio yang lebih ramping di bidang pertanahan dan sumber daya alam, termasuk manajemen tunggal yang lebih ramping dalam hal tata ruang dan tata guna lahan, badan yang berfokus pada perubahan iklim dan konservasi lingkungan, serta tata kelola yang lebih ramping dalam hal sumber daya alam dan komoditas yang dapat diperbaharui, pemerintahan yang baru dapat memitigasi konflik pertanahan serta mengoptimalkan keuntungan sosio-ekonomi dari sumber daya alam dan komoditas yang dapat diperbaharui di Indonesia.
Disadur: palmoilmagazine.com