Transformasi Akses Air Minum di Era SDG
Bangladesh sering dipuji sebagai kisah sukses dalam memperluas akses air minum ke masyarakat pedesaan. Namun, di balik statistik capaian Millennium Development Goals (MDGs), terdapat dinamika baru yang kini menjadi tantangan utama di era Sustainable Development Goals (SDGs): pergeseran tanggung jawab penyediaan air minum dari negara ke individu dan rumah tangga. Paper “Risky responsibilities for rural drinking water institutions: The case of unregulated self-supply in Bangladesh” karya Alex Fischer dkk. (2020) membedah secara kritis fenomena pertumbuhan pesat self-supply—yakni sumur bor dan pompa air yang didanai dan dikelola sendiri oleh rumah tangga—beserta implikasi sosial, ekonomi, dan kelembagaannya.
Artikel ini merangkum temuan utama paper tersebut, menyoroti studi kasus di Matlab dan Khulna, serta mengaitkan dengan tren global, tantangan regulasi, dan pelajaran bagi negara berkembang lain, termasuk Indonesia.
Latar Belakang: Dari Infrastruktur Publik ke Self-Supply
Evolusi Kebijakan dan Infrastruktur
Pada dekade 1970–1980-an, pemerintah Bangladesh bersama donor internasional membangun ratusan ribu sumur bor dangkal (shallow tubewell) sebagai respons terhadap epidemi kolera dan kontaminasi air permukaan. Namun, sejak 1990-an, terjadi desentralisasi dan liberalisasi pasar, sehingga pemasangan sumur bor mulai didominasi sektor swasta informal dan rumah tangga.
Data menunjukkan, antara 2012–2017, untuk setiap satu titik air publik yang dibangun pemerintah, terdapat 45 sumur bor baru yang dipasang secara privat. Akibatnya, jumlah infrastruktur air nasional lebih dari dua kali lipat sejak 2006. Rasio rumah tangga per sumur bor menurun drastis dari 57 pada 1982 menjadi kurang dari 2 pada 2017—menandakan hampir setiap rumah kini memiliki sumur sendiri. Penurunan harga riil sumur bor privat hingga 70% sejak 1982 turut mendorong tren ini.
Studi Kasus: Matlab dan Khulna—Dinamika Self-Supply di Lapangan
Matlab: Lonjakan Sumur Bor Privat
- Populasi studi: 25.617 jiwa di 6.036 rumah tangga, tersebar di 10 desa.
- Jumlah titik air (2017): 3.830, dengan 3.734 digunakan untuk kebutuhan domestik.
- Dominasi privat: 95% sumur dangkal dan 72% sumur dalam dibiayai dan dikelola swasta.
- Motivasi investasi: 94% rumah tangga memilih sumur privat demi kenyamanan akses pribadi, bukan karena kekhawatiran kualitas air.
Pertumbuhan sumur bor tetap eksponensial bahkan setelah krisis arsenik di awal 2000-an dan program pengujian massal. Pada 2017, dua pertiga sumur dangkal hanya dipakai satu rumah tangga, dan 90% sumur baru dipakai maksimal tiga rumah tangga—menandakan pergeseran dari model kolektif ke individual.
Khulna: Tantangan Salinitas dan Diversifikasi Sumber
- Populasi studi: 34.639 jiwa, 2.805 sumur bor, 19 pond sand filter.
- Pertumbuhan pesat: Jumlah sumur bor di Khulna meningkat empat kali lipat dalam satu dekade terakhir.
- Diversifikasi: Selain sumur bor, masyarakat juga mengandalkan air hujan, filter pasir, dan vendor air karena masalah salinitas tinggi.
- Kualitas air: Sepertiga sumur yang digunakan untuk minum melebihi ambang batas salinitas nasional (1.500 µS/cm).
Angka-Angka Penting: Skala, Investasi, dan Pola Konsumsi
- Estimasi nasional (2017): 11,5–18,4 juta sumur bor di seluruh Bangladesh, dengan 8–15% saja yang dibiayai publik.
- Investasi rumah tangga (2018): USD 177,6–253 juta untuk pemasangan dan pemeliharaan sumur bor baru.
- Kontribusi ke sektor WASH: Investasi privat pada sumur bor mencapai 65% dari total belanja rumah tangga di sektor air dan sanitasi nasional.
- Biaya pemasangan: Harga riil sumur bor privat turun dari USD 444 (1980) ke USD 125 (2017); biaya publik turun dari USD 444 ke USD 275.
- Biaya operasional: Rata-rata USD 4,5–7,5 per tahun per sumur, tergantung usia infrastruktur.
Risiko dan Tantangan: Dari Kesehatan hingga Tata Kelola
1. Kesehatan dan Kualitas Air
- Arsenik: Setelah program pengujian massal selesai pada 2006, sembilan juta sumur baru dipasang tanpa pengujian kualitas air.
- Salinitas: Di wilayah pesisir, banyak sumur privat tidak layak konsumsi karena kandungan garam tinggi.
- Minim pengujian: Hanya 1–3% biaya pemasangan sumur yang diperlukan untuk tes kualitas air, namun hampir tidak ada rumah tangga yang melakukannya.
2. Tata Kelola dan Regulasi
- Sumur privat di luar regulasi: Tidak ada kewajiban izin, pengujian, atau pelaporan bagi sumur privat.
- Pemerintah kehilangan kontrol: Tanggung jawab pengelolaan risiko air kini berpindah ke individu, bukan lagi kolektif atau negara.
- Data nasional bias: Sistem monitoring pemerintah hanya menghitung infrastruktur publik, sehingga paparan risiko air tidak aman di level populasi terabaikan.
3. Ekonomi dan Ketimpangan
- Akses makin merata: Standar deviasi rasio rumah tangga per sumur antar desa menurun dari 1,63 (2005) ke 0,38 (2017), menandakan distribusi akses makin setara.
- Tapi... Desa termiskin justru mengalami lonjakan pemasangan sumur, yang bisa menambah beban ekonomi dan risiko kesehatan jika kualitas air buruk.
Analisis dan Tinjauan Kritis
Keberhasilan dan Dilema Self-Supply
- Keberhasilan: Self-supply mempercepat capaian akses air, mengurangi ketergantungan pada negara dan donor, serta meningkatkan kenyamanan rumah tangga.
- Dilema: Keberhasilan ini dibayar mahal dengan meningkatnya risiko kesehatan (arsenik, salinitas), hilangnya mekanisme kolektif pengelolaan risiko, dan lemahnya sistem monitoring.
Perbandingan dengan Negara Lain
- AS dan Eropa Timur: Sistem sumur privat juga lazim, tapi regulasi dan pengujian kualitas air lebih ketat, meski masih ada celah.
- Afrika dan Asia: Self-supply makin diakui sebagai solusi alternatif, tapi tantangan kualitas air dan ketahanan infrastruktur serupa Bangladesh.
Peluang dan Rekomendasi
- Blended finance: Pemerintah dapat memanfaatkan investasi privat melalui skema pembiayaan campuran, insentif pengujian air, dan sertifikasi sumur aman.
- Regulasi progresif: Sertifikasi tukang bor, pelaporan sumur baru, dan integrasi data privat ke sistem nasional bisa jadi langkah awal.
- Edukasi dan inovasi: Dorong rumah tangga untuk menguji air secara rutin lewat subsidi alat tes murah atau layanan keliling.
Implikasi untuk Kebijakan dan Industri
- Pemerintah: Harus berperan sebagai regulator risiko, bukan sekadar penyedia infrastruktur. Reformasi kebijakan air minum perlu mengatur peran, insentif, dan tanggung jawab semua aktor.
- Industri: Pasar sumur bor dan alat tes air bisa berkembang pesat jika didukung regulasi dan edukasi.
- Masyarakat: Perlu edukasi tentang pentingnya kualitas air, bukan hanya akses fisik.
Keterkaitan dengan Tren Global dan SDGs
Fenomena self-supply di Bangladesh menjadi cermin tantangan global dalam mencapai SDG 6.1 (air minum aman dan terjangkau untuk semua). Banyak negara kini menghadapi dilema serupa: bagaimana mengelola pertumbuhan infrastruktur privat tanpa mengorbankan kualitas dan keamanan air? Bangladesh memberi pelajaran penting bahwa keberhasilan akses harus diimbangi dengan tata kelola risiko dan regulasi yang adaptif.
Penutup: Menuju Tata Kelola Air Minum yang Berbasis Risiko
Studi Fischer dkk. menegaskan bahwa capaian akses air minum di Bangladesh tidak lepas dari investasi privat rumah tangga, namun keberlanjutan dan keamanan layanan sangat bergantung pada reformasi kelembagaan dan regulasi. Menuju SDG, pendekatan berbasis risiko—bukan sekadar infrastruktur—harus menjadi arus utama. Pemerintah dan masyarakat perlu berkolaborasi untuk memastikan bahwa setiap sumur yang dibangun benar-benar memberikan air yang aman, bukan sekadar menambah angka statistik.
Sumber asli:
Alex Fischer, Rob Hope, Achut Manandhar, Sonia Hoque, Tim Foster, Adnan Hakim, Md. Sirajul Islam, David Bradley. (2020). Risky responsibilities for rural drinking water institutions: The case of unregulated self-supply in Bangladesh. Global Environmental Change, 65, 102152.