Pelestarian daerah aliran sungai (DAS) kerap dikaitkan dengan proyek teknokratis atau kebijakan pemerintah pusat. Namun, studi oleh Norsidi (2016) menunjukkan bahwa masyarakat adat mampu menciptakan sistem konservasi efektif dan berkelanjutan melalui mekanisme sosial dan spiritual, sebagaimana diterapkan dalam tradisi Lubuk Larangan di Desa Lubuk Beringin, Kabupaten Bungo, Jambi.
Apa Itu Lubuk Larangan?
Lubuk Larangan adalah kawasan sungai yang ditetapkan melalui musyawarah adat sebagai wilayah larangan penangkapan ikan. Tradisi ini dimulai sejak tahun 1960-an, berangkat dari pengalaman bencana:
- Kemarau ekstrem 1986–1987 yang membuat sungai kering dan warga kesulitan air minum.
- Banjir besar awal 2000-an yang memusnahkan jembatan dan gagal panen padi.
Berangkat dari krisis tersebut, masyarakat kemudian menyepakati sistem Lubuk Larangan sebagai bentuk proteksi dan kontrol atas ekosistem DAS.
Aturan Adat dan Sanksi Sosial
Lubuk Larangan ditetapkan melalui musyawarah adat yang melibatkan:
- Kepala desa (Rio)
- Tokoh adat, tokoh agama, dan pemuda
- Pemerintah dusun
Aturan utamanya:
- Dilarang menangkap ikan sepanjang DAS pemukiman tanpa izin adat.
- Penangkapan hanya diperbolehkan setahun sekali usai Idul Fitri, dalam acara panen adat.
- Penangkapan harus dilakukan tanpa racun dan setrum, hanya boleh menggunakan jala, pancing, atau alat ramah lingkungan.
Sanksi adat bagi pelanggar:
- Membayar 1 kambing, 20 gantang beras, dan 4 kayu kain.
- Mengucap sumpah adat, yang dipercaya membawa kesialan turun-temurun bagi pelanggar dan keturunannya.
Manfaat Lubuk Larangan: Ekologi, Ekonomi, dan Sosial
1. Ekologis
- Menjaga populasi ikan lokal dan endemik seperti ikan Semah, Barau, Tilan, dan Belido.
- Melindungi fungsi hidrologi sebagai sumber air, MCK, irigasi, hingga habitat satwa liar.
2. Ekonomi
- Panen ikan tahunan menjadi sumber pendapatan kolektif.
- Warga luar desa yang ikut menangkap ikan dikenai retribusi, menambah kas desa.
- Potensi dikembangkan menjadi ekowisata berbasis konservasi.
3. Pembangunan
Dana hasil panen digunakan untuk:
- Renovasi masjid dan madrasah
- Pembangunan jembatan, kantor desa, dan jalan
- Penguatan lembaga adat
Studi Sosial: Modal Budaya dan Komunal
Masyarakat Lubuk Beringin menjunjung tinggi prinsip:
- Gotong-royong
- Musyawarah untuk mufakat
- Adat bersendikan syariat Islam
Kebijakan lingkungan seperti Lubuk Larangan hanya bisa bertahan karena kekuatan sosial dan legitimasi adat yang telah tertanam turun-temurun.
Pendekatan Penelitian: Wawancara Kualitatif
Metode penelitian yang digunakan:
- Wawancara mendalam dengan Kepala Desa, tokoh adat, tokoh agama, dan pengelola.
- Purposive dan snowball sampling untuk mendapatkan informasi hingga titik jenuh.
- Lokasi utama penelitian: Desa Lubuk Beringin, Kecamatan Bathin III Ulu, Kabupaten Bungo.
Pelajaran Penting dan Relevansi Nasional
Praktik Lubuk Larangan menunjukkan bahwa:
- Kearifan lokal dapat menjadi instrumen hukum informal yang efektif.
- Konservasi tidak harus berbasis proyek mahal, tapi bisa dibangun lewat kepercayaan dan partisipasi.
- Pelibatan masyarakat adalah kunci pelestarian sumber daya alam jangka panjang.
Bagi banyak daerah di Indonesia, pendekatan serupa bisa diperluas dan difasilitasi oleh negara sebagai bagian dari strategi pengelolaan sumber daya air yang terintegrasi dan inklusif.
Kesimpulan
Kearifan lokal seperti Lubuk Larangan adalah contoh nyata konservasi berbasis komunitas yang menjembatani antara keberlanjutan ekologi dan kesejahteraan sosial-ekonomi. Dengan tetap memegang adat dan nilai-nilai Islam, masyarakat Desa Lubuk Beringin telah menunjukkan bahwa pelestarian DAS tidak harus datang dari atas, tetapi bisa tumbuh dari bawah—dari masyarakat itu sendiri.
Sistem ini layak dijadikan model kebijakan nasional untuk konservasi DAS, penguatan sosial desa, dan pengembangan ekowisata berbasis tradisi lokal.
Sumber : Norsidi. (2016). Pelestarian Daerah Aliran Sungai Berbasis Kearifan Lokal Lubuk Larangan Desa Lubuk Beringin Kecamatan Bathin III Ulu. Sosial Horizon: Jurnal Pendidikan Sosial, 3(2), 274–284.