Latar Belakang: Ketimpangan Akses Air Masih Terjadi di Pedesaan
Lebih dari 2,1 miliar orang di dunia belum memiliki akses terhadap air minum yang aman. Empat dari lima orang tanpa layanan dasar tinggal di wilayah pedesaan, termasuk di Afrika. Dalam konteks ini, Namibia menempati posisi unik: negara luas, beriklim kering, dengan lebih dari 52% penduduknya tinggal di desa, termasuk 94% di wilayah Ohangwena.
Proyek desentralisasi air berbasis komunitas diperkenalkan sebagai solusi, namun setengah dari titik air yang dibangun tidak berfungsi. Artikel ini mengupas secara mendalam apa yang membuat sistem air komunitas gagal atau berhasil, berdasarkan studi empiris di wilayah Ohangwena.
Studi Kasus Ohangwena: Potret Krisis dan Harapan
Wilayah Ohangwena memiliki 1.232 titik air, tapi hanya 852 yang berfungsi. Sisanya, 380 lebih, tidak operasional karena kegagalan teknis, keuangan, atau kelembagaan. Di beberapa kecamatan, hanya sekitar 20% rumah tangga memiliki akses air bersih. Komunitas terpaksa mengandalkan sungai atau menggali tanah dangkal (omifima) untuk mendapatkan air.
Model Manajemen Komunitas: Prinsip dan Praktik
Namibia mengadopsi pendekatan Community-Based Management (CBM) sejak tahun 1998. Prinsipnya:
- Komunitas ikut serta dalam pengembangan dan pengelolaan sistem air
- Kepemilikan lokal atas fasilitas air
- Kemampuan teknis dan finansial lokal untuk O&M (operasi dan pemeliharaan)
Namun kenyataannya, banyak komunitas tidak diberdayakan secara nyata, minim pelatihan, tanpa insentif, dan jarang diawasi.
Temuan Utama dari Lapangan
1. Kepemimpinan dan Tata Kelola Lemah
Mayoritas Water Point Committee (WPC) tidak menjalankan fungsi seperti mengadakan pertemuan rutin, menyusun aturan, atau mengelola dana. Beberapa komite bahkan sudah bubar.
"Sejak saya terpilih 20 tahun lalu, belum ada pemilihan ulang," — salah satu responden.
2. Partisipasi Masyarakat Masih Rendah
Pengguna tidak terlibat dalam desain, pemilihan teknologi, maupun evaluasi pasca-konstruksi. Akibatnya, tidak ada rasa kepemilikan. Perempuan dan tokoh adat pun sering dikesampingkan.
3. Kurangnya Insentif dan Pelatihan
Tidak ada sistem insentif, baik sosial maupun ekonomi. Anggota komite bekerja sukarela tanpa pelatihan dasar teknis atau administrasi.
4. Monitoring dan Dukungan Pemerintah Lemah
Pasca pembangunan, hampir tidak ada kunjungan teknis untuk memeriksa kualitas air, keuangan, atau operasional.
“Biaya transportasi lebih mahal dari harga air,” — keluhan masyarakat.
Masalah Hukum dan Kebijakan
Meskipun Water Resource Management Act 2013 telah dirancang, namun belum sepenuhnya diberlakukan. Akibatnya:
- Tarif air tidak konsisten
- Peran antar aktor tidak jelas
- Tumpang tindih kewenangan memicu konflik
Perbandingan Internasional: Apa yang Bisa Dipelajari?
Penelitian mendalam ini mengacu pula pada studi di Republik Dominika, Chili, Honduras, dan Afrika Selatan yang menunjukkan:
- Komunitas yang mendapat kunjungan rutin memiliki kinerja lebih baik
- Pendekatan post-construction support jadi kunci keberhasilan layanan air pedesaan
Model Alternatif: Dewan Air Regional Ohangwena
Studi ini merekomendasikan pembentukan Ohangwena Regional Water Board (RWB) dengan anggota lintas sektor: masyarakat, pemimpin adat, teknokrat, dan pemerintah.
Manfaat:
- Jalur komunikasi yang jelas
- Peningkatan penerimaan tarif
- Transparansi dan akuntabilitas
- Dukungan teknis berkelanjutan
Rekomendasi Kebijakan
1. Pemilu Rutin dan Insentif
Komite harus dipilih ulang setiap 3–5 tahun. Diperlukan skema penghargaan (materi atau sosial) untuk menjaga motivasi relawan.
2. Pelatihan Teknis dan Administratif
Program pelatihan wajib sebelum dan sesudah pelantikan anggota WPC.
3. Legalitas dan Harmonisasi Regulasi
Segera aktifkan semua pasal dalam Water Act 2013, khususnya yang menyangkut tarif dan peran regulator.
4. Partisipasi Komprehensif Masyarakat
Masyarakat harus dilibatkan sejak perencanaan awal. Pendekatan satu ukuran untuk semua tidak efektif. Perlu konteks lokal.
Kesimpulan: Kunci Keberlanjutan Ada pada Komitmen Kolektif
Masyarakat tidak bisa dibiarkan sendiri mengelola sistem air yang kompleks tanpa pelatihan, insentif, atau dukungan pemerintah. Model manajemen berbasis komunitas tetap relevan, namun hanya akan berhasil jika:
- Ada kepemimpinan yang kuat
- Ada partisipasi bermakna
- Ada dukungan pasca pembangunan
- Ada sistem hukum dan pengawasan yang aktif
Wilayah Ohangwena menjadi contoh yang sangat berharga bagi negara-negara berkembang lain yang mengandalkan pendekatan serupa. Perubahan bisa terjadi jika peran masyarakat dihargai dan diperkuat dengan struktur yang tepat.
📚 Sumber Asli:
Salom, Nespect dan Prudence Khumalo. Challenges Facing Community Management of Rural Water Supply: The Case of Ohangwena Region, Namibia. African Studies Quarterly, Vol. 21, No. 1, Mei 2022.