Krisis Air dan Tanggung Jawab Negara: Telaah Kritis Hukum Pengelolaan Udara di Indonesia

Dipublikasikan oleh Viskha Dwi Marcella Nanda

21 Mei 2025, 10.54

pixabay.com

Krisis Air di Tengah Melimpahnya Sumber: Masalah Tata Kelola

Indonesia dikenal sebagai negara dengan ketersediaan air yang sangat besar—bahkan 25 kali lipat dari rata-rata dunia. Namun, ironi muncul ketika banyak daerah justru mengalami krisis udara. Dalam makalahnya yang terbit di Jurnal Cakrawala Hukum , Galih Puji Mulyono menggugat kenyataan ini melalui perspektif hukum: mengapa krisis udara bisa terjadi di negara kaya air seperti Indonesia?

Tulisan ini menyelidiki kebijakan hukum tata kelola udara yang ada, dampaknya terhadap masyarakat, dan perbandingan dengan sistem luar negeri, khususnya privatisasi udara di Inggris.

Implementasi Landasan Hukum dan Ketimpangan

Penelitian ini menggunakan pendekatan hukum normatif (doktrinal) untuk mengulas bagaimana hukum Indonesia mengatur pemanfaatan sumber daya air. Beberapa temuan kuncinya:

  • Tidak ada instrumen hukum yang mengatur secara tegas melestarikan udara sebagai sumber daya bersama.
  • UU No. 7 Tahun 2004 tentang SDA telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi karena membuka peluang dominasi swasta atas sumber daya air.
  • Pasca diizinkannya UU tersebut, pemerintah kembali menerapkan UU No. 11 Tahun 1974 tentang Pengairan, yang dianggap sudah tidak relevan dengan konteks saat ini.

Hal ini menunjukkan bahwa regulasi hukum masih jauh dari cukup untuk menjamin keadilan dan ketidakberhentian dalam pengelolaan air.

Studi Kasus: Dampak Hotel Terhadap Akses Air Warga

Makalah ini juga menyoroti dampak nyata lemahnya tata kelola melalui kasus-kasus di lapangan:

  • Yogyakarta : Pembangunan hotel menyebabkan sumur warga kering. Pemerintah berdalih hotel mengambil air dari sumber dalam, bukan air tanah dangkal warga.
  • Semarang : Banyak hotel tidak memiliki sistem resapan air hujan atau perlindungan, membantu banjir dan eksploitasi air tanah.
  • Bali : Alih fungsi lahan dan eksploitasi udara oleh sektor pariwisata warga Karangasem mengalami kekeringan pada musim kemarau.

Studi-studi ini menggambarkan bagaimana kebijakan sering tunduk pada kepentingan investasi, mengabaikan hak masyarakat atas akses air bersih.

Peran Swasta: Investasi atau Eksploitasi?

Makalah ini juga menyoroti ambiguitas peran swasta dalam pengelolaan udara. Di satu sisi, swasta dibutuhkan untuk investasi infrastruktur. Di sisi lain, komersialisasi air bisa menghilangkan hak dasar masyarakat.

Menurut Mahkamah Konstitusi, negara wajib membatasi pengusahaan udara oleh swasta demi:

  1. Menjaga hak rakyat atas air.
  2. Menjamin kelestarian lingkungan.
  3. Memberikan prioritas kepada BUMN/BUMD.

Namun penerapannya tidak seragam, membuka ruang tumpang tindih antara pengusaha, masyarakat adat, dan pemerintah.

Perbandingan Internasional: Inggris dan Sistem Privatisasi Udara

Untuk menyempurnakan analisis, penulis membandingkan sistem pengelolaan udara di Indonesia dengan Inggris, negara-negara yang dikenal sukses mendistribusikan udara bahkan ke negara lain seperti Singapura.

Fitur Sistem Inggris:

  • Menggunakan skema privatisasi penuh sejak Water Industry Act 1991 .
  • Pengelolaan dilakukan oleh perusahaan swasta, dengan regulasi ketat dari pemerintah (melalui OFWAT).
  • Penetapan tarif air berdasarkan nilai properti, bukan volume konsumsi.
  • Konsumen dilindungi oleh lembaga independen seperti CCWater .

Privatisasi di Inggris berjalan relatif sukses karena disertai dengan pengawasan ketat, transparansi data, dan regulasi tarif yang adil . Hal inilah yang tidak ditemukan dalam konteks Indonesia saat UU SDA 2004 masih berlaku.

Opini Kritis: Privatisasi Udara di Indonesia, Harus atau Tidak?

Penulis menyampaikan bahwa Indonesia belum siap menerapkan privatisasi seperti Inggris. Beberapa alasan utamanya:

  • Regulasi belum memadai.
  • Infrastruktur PDAM masih minim dan belum menjangkau seluruh daerah.
  • Potensi wilayah berwenang tinggi jika tanpa pengawasan yang kuat.
  • Komersialisasi bisa meminggirkan kelompok miskin dari hak dasar atas air.

Namun, penulis tidak menutup kemungkinan privatisasi terbatas asalnya dilakukan dengan prinsip transparansi , akuntabilitas , dan regulasi ketat .

Putusan MK dan Jalan Hukum yang Masih Terjal

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 85/PUU-XI/2013 menjadi tidak penting. MK menyatakan bahwa:

  • Pengelolaan udara oleh negara bersifat mutlak.
  • Pengusahaan oleh swasta harus menjadi prioritas terakhir.
  • BUMN/BUMD harus menjadi pelaksana utama dalam distribusi udara.

Putusan ini memaksa pemerintah menyusun regulasi baru, seperti PP No. 121/2015 tentang Pengusahaan SDA dan PP No. 122/2015 tentang SPAM (Sistem Penyediaan Air Minum). Namun keduanya masih dalam tahap awal dan belum mampu membenahi izin kekacauan dan tata kelola yang ada.

Arah Kebijakan Baru: Perlindungan Inklusif, Bukan Eksklusif

Penulis menekankan perlunya kebijakan air yang:

  • Menjamin akses udara bagi semua , bukan hanya mereka yang mampu membayar.
  • Melibatkan masyarakat adat dan lokal dalam proses perizinan dan distribusi.
  • Mendorong partisipasi masyarakat dalam pengawasan pengelolaan air.
  • Menyebarkan SPAM berbasis wilayah dan kebutuhan riil masyarakat.

Air bukan sekadar komoditas, tetapi hak dasar yang harus dijamin oleh negara. Dalam konteksyang harus dijamin oleh negara. Dalam konteks ini, kebijakan hukum perlu diubah dari pendekatan ekonomi menjadi pendekatan hak asasi manusia.

Kesimpulan: Saatnya Regulasi Air yang Tegas, Adil, dan Kontekstual

Makalah ini memberikan kritik tajam namun konstruktif terhadap kebijakan hukum udara di Indonesia. Galih Puji Mulyono berhasil menunjukkan bahwa akar masalah bukan pada ketersediaan udara, melainkan pada lemahnya tata kelola, regulasi hukum, dan kontrol negara atas sektor vital ini.

Dibandingkan dengan Inggris memberi pelajaran penting: privatisasi bisa berhasil, asal regulasi kuat dan berpihak pada publik. Di sisi lain, Indonesia harus lebih serius menyusun hukum baru yang:

  • Kontekstual terhadap kebutuhan lokal.
  • Berbasis keadilan sosial dan ekologis.
  • Tidak menyerahkan hak rakyat kepada mekanisme pasar semata.

Sumber Referensi:

Mulyono, GP (2019). Perlindungan Hukum terhadap Tata Pengelolaan Udara di IndonesiaT. Jurnal Cakrawala Hukum, 10(1).