Keterbatasan lahan untuk permukiman di kota-kota besar di Indonesia merupakan isu yang sudah tidak asing lagi bagi masyarakat. Permasalahan tersebut diperparah oleh urbanisasi yang tidak terkendali dan tingginya populasi masyarakat yang tinggal di perkotaan. Saat ini, Indonesia menempati posisi ke-4 sebagai negara dengan jumlah penduduk perkotaan tertinggi di dunia. Lebih dari separuh (55%) penduduk menghuni perkotaan, dan diproyeksikan akan terus meningkat hingga sekitar 67,1 % pada tahun 2045. Peningkatan jumlah penduduk di perkotaan tidak diimbangi dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Berdasarkan pernyataan Paulus Totok Lusida, Ketua Umum DPP Real Estate Indonesia (REI), dalam republika.co.id (2023), tercatat pangsa pasar MBR sebanyak 65% berasal dari pekerja informal. Harga lahan yang semakin meningkat menyebabkan masyarakat, khususnya Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR), kesulitan untuk memperoleh rumah. Akibatnya, terjadi peningkatan pada luas area permukiman kumuh dan angka kebutuhan rumah (backlog) yang saat ini diperkirakan telah mencapai 12,7 juta. Ini mengindikasikan perlunya penyediaan hunian layak yang terjangkau oleh masyarakat, terutama bagi MBR. Penyediaan dengan sistem public housing menjadi salah satu cara dalam mengatasi permasalahan ini.
Public housing atau rumah publik merupakan sistem kepemilikan rumah yang bangunan dan tanahnya dikelola oleh pemerintah, yang dibangun untuk tujuan penyediaan hunian yang terjangkau (Paramita, 2022). Public housing sendiri dapat didirikan menjadi beberapa bentuk untuk menyesuaikan dengan kebutuhan masyarakat yang berbeda-beda, seperti rumah susun dengan berbagai ukuran dan rumah tapak. Dalam pelaksanaannya, sistem public housing juga dapat menerapkan sistem karier merumah (housing career system). Sistem karier merumah adalah rangkaian tahapan tempat tinggal yang dihuni oleh seseorang sepanjang hidup yang dipengaruhi oleh dua faktor utama, yakni faktor ekonomi dan pendidikan (Caritra, 2018). Melalui karier merumah pemerintah dapat memetakan kebutuhan masyarakat dan menyediakan beragam public housing yang sesuai dengan kebutuhannya. Akan tetapi, saat ini pemerintah di Indonesia hanya menyediakan public housing dalam bentuk rumah susun sehingga belum mengakomodasi kebutuhan serta budaya masyarakat Indonesia yang majemuk.
Sejak tahun 1981, pemerintah Indonesia telah membangun rumah susun untuk mengatasi masalah perumahan. Program ini mencapai puncaknya pada 2006 dengan Program Seribu Tower. Akan tetapi, pada 2013, Program Seribu Tower menghadapi berbagai masalah, termasuk insentif pengembang, harga lahan tinggi, dan masalah status lahan. Akibatnya, harga jual dinaikkan, dan Rusunami berubah menjadi Apartemen Sederhana Milik (Anami). Terlebih lagi, program Rusunawa juga belum berkembang pesat, dengan stok unit yang jauh untuk memenuhi kebutuhan di kawasan metropolitan. Tanpa memperkirakan kebutuhan rumah sewa yang terus meningkat, hanya terdapat sekitar 5,2% kebutuhan perumahan di kawasan tersebut yang dipenuhi oleh Rusunawa.
Sebagai perbandingan, pemerintah dapat berkaca pada Singapura sebagai negara dengan program public housing yang dianggap paling sukses di dunia. Pemerintah Singapura mendirikan HDB (Housing Development Board) yang ditujukan khusus untuk memetakan pembangunan perumahan oleh pemerintah sebagai respons terkait permasalahan rumah kumuh di Singapura. Tiga tahun sejak didirikan, HDB berhasil mendirikan public housing dengan tipe flat sebanyak lebih dari 31.000 flat. Luasan rumah susun/flat/apartemen yang disediakan pun jenisnya beragam untuk menyesuaikan berbagai kebutuhan penduduk Singapura yang majemuk sehingga dapat mudah dijangkau.
Dilansir dari beberapa sumber, terdapat beberapa faktor yang menjadi hambatan dalam penerapan public housing di Indonesia yakni, penyediaan public housing masih tidak umum bagi sebagian besar masyarakat, kecuali yang tinggal di perkotaan yang sudah sangat maju (Kompasiana, 2022), peraturan yang berlaku untuk public housing masih bersifat umum, pembangunan perumahan yang cenderung mengedepankan motif bisnis daripada memenuhi kebutuhan hunian layak bagi masyarakat, urgensi terkait efektivitas peruntukan bank tanah, tidak terdapat lembaga khusus untuk pembangunan perumahan, tanah di Indonesia tidak dikuasai oleh negara dan hanya berorientasi market mechanism saja, serta maintenance terhadap public housing belum dilakukan oleh pemerintah. Selain itu, biaya untuk menyewa public housing di perkotaan juga masih terbilang cukup mahal bagi masyarakat berpenghasilan rendah yaitu rata-rata Rp 11,2 juta per meter persegi (Cnbcindonesia, 2020).
Berdasarkan beberapa uraian tersebut, dapat diketahui bahwa program public housing di Indonesia sudah dilaksanakan hanya saja belum optimal. Masih terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan dalam penyediaan program public housing di Indonesia. Ke depannya, pengembangan public housing diharapkan dapat secara bertahap mengatasi persoalan-persoalan penyediaan hunian di perkotaan, sehingga masyarakat dapat menghuni rumah yang layak huni dan terjangkau.
Sumber: perkim.id