Studi Gender dan Budaya

Membaca Ulang Peta Kesehatan Reproduktif Dunia: Tantangan, Ketimpangan, dan Arah Perbaikan

Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 25 November 2025


Kesehatan reproduktif global terus menjadi barometer penting bagi kualitas pembangunan manusia. Ia merekam capaian dan kegagalan negara—dari risiko kematian ibu hingga kemampuan perempuan mengakses layanan kesehatan yang mereka butuhkan. Data terbaru dalam laporan kondisi populasi dunia menunjukkan bahwa kemajuan terjadi di berbagai wilayah, namun ketimpangan tetap besar. Ada negara yang telah mendekati cakupan layanan ideal, sementara yang lain masih berjuang dengan hambatan struktural yang bertahun-tahun mengakar.

Melihat keseluruhan polanya, kesehatan seksual dan reproduktif bukan hanya persoalan medis. Ia berkaitan dengan kebijakan, tingkat pendidikan, norma sosial, hingga ketangguhan sistem kesehatan. Mengurai indikator-indikator ini membantu kita memahami di mana dunia berada—dan apa yang masih harus dibenahi.

Kematian Ibu: Jurang yang Masih Lebar

Kematian ibu merupakan indikator paling sensitif terhadap kualitas layanan kesehatan. Negara-negara berpendapatan tinggi memiliki rasio kematian yang sangat rendah, sering kali mendekati satu digit. Namun di beberapa kawasan Afrika Sub-Sahara, angka tersebut masih mencapai ratusan per 100.000 kelahiran hidup.

Selisih yang begitu tajam menunjukkan bahwa akses terhadap tenaga kesehatan terampil masih sangat tidak merata. Wilayah dengan fasilitas kesehatan terbatas, jarak layanan yang jauh, serta biaya persalinan yang tinggi menjadi tempat paling berisiko bagi perempuan. Angka-angka ini menegaskan bahwa keselamatan perempuan saat melahirkan masih sangat dipengaruhi kondisi sosial-ekonomi dan stabilitas negara.

 

Akses Tenaga Kesehatan Terampil dan Ragam Tantangannya

Di banyak negara maju, hampir seluruh persalinan ditangani oleh tenaga kesehatan terlatih. Namun di negara-negara dengan infrastruktur lemah, tingkat cakupan ini bisa jatuh jauh di bawah standar. Ketimpangan tersebut mengungkap persoalan lain: fasilitas yang tidak merata antara kota dan daerah, kurangnya pendidikan tenaga medis, hingga minimnya anggaran kesehatan.

Lebih jauh lagi, pandemi global beberapa tahun lalu memperburuk situasi, terutama di negara-negara yang belum memiliki sistem kesehatan yang kuat. Kemampuan negara untuk mempertahankan atau memperluas cakupan layanan kini menjadi tantangan besar.

Infeksi Baru HIV: Gambaran Ketahanan Kesehatan Publik

Indikator jumlah infeksi baru HIV memberikan gambaran lain tentang kesehatan masyarakat. Banyak negara telah menunjukkan penurunan signifikan berkat kampanye pencegahan, akses obat antiretroviral, dan penguatan edukasi. Namun di negara dengan epidemi yang masih tinggi, tantangan tetap besar: stigma, kesenjangan gender, serta keterbatasan layanan konseling dan tes HIV.

Angka infeksi baru yang tinggi di beberapa wilayah membuktikan bahwa pendekatan kesehatan masyarakat tidak dapat berhenti pada upaya medis semata—pendidikan seksual dan kebijakan sosial masih memainkan peran penting dalam pencegahan.

 

Kontrasepsi dan Kebutuhan yang Tidak Terpenuhi

Penggunaan kontrasepsi modern telah meningkat secara global, tetapi tetap tidak merata. Di negara-negara tertentu, tingkat penggunaan masih rendah meskipun kebutuhan tinggi. Hal ini memperlihatkan bahwa hambatan bukan hanya soal ketersediaan alat kontrasepsi, tetapi juga terkait norma budaya, ketidaksetaraan gender, dan pembatasan hukum.

Kebutuhan kontrasepsi yang tidak terpenuhi menjadi indikator yang sangat penting. Ia menunjukkan berapa banyak perempuan yang ingin menunda atau mencegah kehamilan tetapi tidak memiliki akses atau kebebasan untuk melakukannya. Di wilayah tertentu, angka ini masih sangat tinggi—menandakan adanya celah besar dalam sistem perlindungan hak reproduksi.

Payung Hukum dan Regulasi: Fondasi yang Belum Kuat

Ketika berbicara tentang akses ke layanan kesehatan reproduktif, kerangka hukum memegang peran utama. Beberapa negara memiliki regulasi menyeluruh yang menjamin akses perempuan terhadap layanan kesehatan, edukasi seksual, dan informasi. Namun banyak negara lain masih memiliki hukum yang melemahkan hak perempuan, membatasi pelayanan tertentu, atau mengabaikan pendidikan reproduksi sepenuhnya.

Indikator regulasi ini memperlihatkan seberapa siap sebuah negara menghargai hak reproduktif sebagai bagian dari hak asasi manusia.

Cakupan Universal Health Coverage: Cermin Ketangguhan Sistem Kesehatan

Indeks cakupan layanan kesehatan universal (UHC) memberikan gambaran menyeluruh mengenai sejauh mana negara mampu menyediakan layanan penting. Negara dengan indeks UHC tinggi cenderung memiliki kualitas layanan ibu dan anak yang lebih baik, cakupan imunisasi luas, serta sistem pembiayaan kesehatan yang tidak membebani warganya.

Sebaliknya, indeks yang rendah menunjukkan bahwa masyarakat sangat rentan terhadap biaya kesehatan yang tidak terduga, serta tidak mendapatkan layanan esensial yang mereka butuhkan. Ketimpangan antarnegara dan antarkawasan menggambarkan pekerjaan rumah besar dalam memperkuat sistem kesehatan global.

 

Indikator Gender: Ketimpangan yang Masih Membentuk Akses Kesehatan

Laporan indikator juga menampilkan data tentang pernikahan anak, mutilasi genital perempuan, kekerasan pasangan intim, serta kemampuan perempuan membuat keputusan tentang kesehatan tubuhnya sendiri. Semua indikator ini sangat terkait dengan hasil kesehatan reproduktif.

Di wilayah dengan tingkat kekerasan berbasis gender tinggi, perempuan lebih rentan mengalami kehamilan tidak diinginkan, keterlambatan perawatan medis, dan terbatasnya akses terhadap kontrasepsi. Sementara itu, angka pendaftaran pendidikan perempuan yang lebih baik biasanya berhubungan dengan peningkatan kesehatan reproduktif generasi berikutnya. Semua faktor ini saling berhubungan, membentuk siklus yang menentukan masa depan populasi.

 

Menghubungkan Data dengan Arah Kebijakan

Indikator-indikator ini bukan sekadar angka. Mereka adalah gambaran nyata tentang kualitas hidup perempuan dan keluarga di seluruh dunia. Data tersebut memberi arah untuk penyusunan kebijakan: memperluas akses layanan kesehatan, memperkuat perlindungan hukum, meningkatkan pendidikan seksual, serta membangun sistem kesehatan yang tangguh.

Ketika indikator sosial dan kesehatan ini diperbaiki secara bersamaan, negara dapat bergerak menuju perkembangan demografis yang berkelanjutan dan masyarakat yang lebih sejahtera.

 

Daftar Pustaka

State of World Population 2025 – Indicators: Sexual and Reproductive Health; Gender, Rights and Human Capital; Demographic Indicators.

 

Selengkapnya
Membaca Ulang Peta Kesehatan Reproduktif Dunia: Tantangan, Ketimpangan, dan Arah Perbaikan

Studi Gender dan Budaya

Membangun Reproductive Agency di Tengah Dinamika Kependudukan Global

Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 21 November 2025


Tantangan demografi global saat ini tidak lagi berdiri pada satu kutub—baik kekhawatiran terhadap angka kelahiran yang menurun maupun kecemasan mengenai pertumbuhan populasi yang dianggap tak terkendali. Di balik dinamika itu, terdapat isu yang lebih fundamental: kemampuan setiap individu untuk menentukan kehidupan reproduksinya secara bebas, aman, dan bermartabat. Inilah konsep yang semakin penting: reproductive agency.

Transisi Demografi dan Kekacauan Narasi Global

Seiring menurunnya tingkat fertilitas di berbagai negara, banyak pemerintah merespons dengan nada alarmis—seakan penurunan kelahiran identik dengan runtuhnya ekonomi atau “bunuh diri demografis”. Namun di sisi lain, sebagian negara masih khawatir akan pertumbuhan penduduk yang cepat. Pendekatan yang terpolarisasi seperti ini membuat upaya kebijakan menjadi parsial, sekaligus menutupi kenyataan bahwa di semua negara—baik berfertilitas tinggi maupun rendah—masih terdapat tingginya angka kehamilan tidak direncanakan serta keinginan memiliki anak yang belum terpenuhi Kondisi ini menunjukkan bahwa persoalannya bukan sekadar jumlah kelahiran, tetapi lingkungan sosial, ekonomi, dan kebijakan yang belum mampu memberi ruang bagi setiap orang untuk mencapai tujuan reproduktifnya.

Kebutuhan Mengubah Cara Kita Mengukur Fertilitas

Banyak negara masih terpaku pada angka “2,1” sebagai tingkat pengganti populasi. Padahal angka tersebut hanya berlaku pada kondisi yang sangat spesifik: tanpa migrasi, mortalitas rendah, dan rasio jenis kelamin seimbang. Faktanya, banyak negara dengan tingkat fertilitas di bawah 2,1 justru tetap mengalami pertumbuhan populasi karena migrasi masuk.

Lebih jauh, ukuran fertilitas konvensional sering gagal menangkap realitas hidup perempuan—seperti pergeseran waktu melahirkan, bukan perubahan jumlah anak sepanjang hidup. Ini menuntut penggunaan ukuran baru yang lebih kontekstual dan lebih berorientasi individu, bukan sekadar angka agregat negara

Kebijakan yang Lebih Adil dan Inklusif

Masih banyak negara yang menerapkan kebijakan reproduksi secara sempit: mendorong atau menekan kelahiran berdasarkan target populasi. Padahal, kebijakan semacam ini berisiko besar menggerus hak dan martabat warganya.

Kebijakan yang diperlukan justru harus:

1. Menjamin akses kesehatan reproduksi untuk semua

Mulai dari layanan kontrasepsi, perawatan kehamilan, persalinan aman, hingga penanganan infertilitas. Banyak hambatan masih bertahan: batasan usia, kebutuhan izin pasangan/orangtua, hingga larangan tertentu terhadap prosedur medis. Semua ini membatasi pilihan reproduktif terutama bagi kelompok rentan

.2. Menyediakan pendidikan seksual komprehensif

Informasi kesehatan seksual yang akurat makin tergerus oleh disinformasi. Padahal pendidikan seksual membantu remaja memahami peluang, risiko, dan hak reproduktif mereka sejak dini.

3. Memperkuat keamanan sosial dan ekonomi keluarga

Biaya pengasuhan, jam kerja yang panjang, kurangnya cuti ayah, dan budaya kerja yang keras sering menjadi penyebab orang menunda atau bahkan menghindari punya anak. Kebijakan sosial dan tenaga kerja harus menyesuaikan ritme kehidupan modern, bukan memaksakan pola lama pada generasi muda.

4. Menghapus kekerasan berbasis gender

Kekerasan dalam rumah tangga dan pemaksaan seksual berkontribusi besar pada kehamilan tidak diinginkan, rendahnya penggunaan kontrasepsi, dan trauma jangka panjang. Ini adalah hambatan langsung bagi reproductive agency.

Perubahan Norma Sosial: Kunci yang Tak Bisa Diabaikan

Bahkan kebijakan terbaik sulit bekerja tanpa perubahan norma sosial. Beban pengasuhan yang timpang masih menjadi alasan utama sebagian perempuan membatasi jumlah anak. Di sisi lain, banyak laki-laki ingin terlibat lebih banyak dalam pengasuhan namun menghadapi tekanan norma maskulinitas tradisional.

Upaya untuk menggeser norma ini—mulai dari pendidikan kesetaraan sejak kecil, role model laki-laki yang suportif, hingga kampanye publik yang menormalisasi pembagian peran—merupakan komponen penting dalam memperluas ruang kebebasan reproduksi.

Mengukur Reproductive Agency: Langkah Masa Depan

Banyak indikator global saat ini lebih fokus pada perilaku (misalnya penggunaan kontrasepsi), bukan pada kebebasan dalam membuat keputusan. Padahal data menunjukkan bahwa pembatasan terhadap agency terjadi pada laki-laki dan perempuan, termasuk tekanan untuk memiliki anak atau tekanan untuk mencegahnya, serta ketidakmampuan menolak hubungan seksual yang tidak diinginkan. Angka prevalensi ini cukup tinggi di banyak negara, menunjukkan urgensi pendekatan baru dalam pengukuran dan kebijakan reproduksi

 

Daftar Pustaka

State of World Population 2025 – Chapter 4: Reproductive Agency and Demographic Futures.

 

 

Selengkapnya
Membangun Reproductive Agency di Tengah Dinamika Kependudukan Global

Studi Gender dan Budaya

Mencari Jalan Menuju Kesetaraan Gender yang Menghasilkan Manfaat bagi Semua

Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 21 November 2025


Tiga dekade setelah Deklarasi Beijing menegaskan bahwa hak perempuan adalah hak asasi manusia, dunia telah bergerak maju dalam memperluas ruang hidup perempuan. Perubahan terlihat dari meluasnya norma yang menolak kekerasan berbasis gender hingga meningkatnya partisipasi perempuan dalam politik. Namun di saat yang sama, kemajuan ini tidak berdiri kokoh—ia rapuh, mudah berbalik, dan kini menghadapi tantangan baru dari pergeseran sosial, tekanan ekonomi, serta gerakan anti-gender yang semakin kuat.

Kesetaraan gender tidak pernah bekerja sendirian. Ia membentuk dan dibentuk oleh keputusan reproduksi, hubungan keluarga, kondisi kerja, dinamika pasangan, hingga cara sebuah masyarakat melihat nilai dari anak. Karena itu, memahami realitas gender hari ini berarti menyelami bagaimana orang membangun keluarga, bekerja, merawat, dan merayakan atau menunda peran sebagai orang tua. Semua ini saling berkaitan membentuk masa depan populasi dunia.

Transformasi Norma, Kemajuan yang Masih Rapuh

Beberapa indikator menunjukkan perubahan sikap global: lebih sedikit orang yang menganggap kekerasan pasangan sebagai hal yang dapat dibenarkan, lebih banyak negara memiliki undang-undang yang melindungi perempuan, dan representasi perempuan di parlemen meningkat secara signifikan. Di banyak negara, generasi yang lebih muda membawa pandangan yang lebih egaliter dibanding generasi sebelumnya.

Namun di balik tren progresif tersebut, stagnasi terlihat. Bias gender masih sangat tinggi, bahkan meningkat di beberapa negara. Akses perempuan terhadap otonomi tubuh tidak merata, dan sebagian mengalami kemunduran. Di titik inilah gerakan anti-gender muncul, menyerang hak-hak seksual dan reproduksi, serta mengintimidasi pembela hak perempuan.

Kemajuan yang ada tampak besar, namun fondasinya rapuh. Dalam kondisi tertentu, tekanan sosial dan politik dapat menggeser arah kebijakan, dan perubahan menuju kesetaraan dapat berjalan lebih lambat dibanding perubahan sosial yang terjadi.

Keinginan Memiliki Anak dan Tekanan Gender

Faktor gender memengaruhi cara orang memandang reproduksi. Di banyak negara, pria cenderung menginginkan lebih banyak anak dibanding perempuan. Perbedaan ini bukan sekadar angka—ia mencerminkan tekanan sosial, harapan keluarga, serta makna simbolik anak bagi masing-masing gender.

Di beberapa wilayah, seperti Asia Selatan dan Timur, preferensi terhadap anak laki-laki tetap kuat. Dampaknya tidak kecil: dalam kasus ekstrem, preferensi ini bisa memengaruhi rasio jenis kelamin populasi; dalam kasus lain, keluarga terus “mencoba lagi” hingga mendapatkan anak laki-laki, sehingga jumlah anak menjadi lebih besar daripada yang sebenarnya mereka inginkan.

Keinginan memiliki anak juga berubah mengikuti fase hidup. Ketika ekonomi membaik, sebagian orang membuka kemungkinan menambah anak; ketika kesehatan atau hubungan menurun, rencana pun berubah. Di hampir semua negara, faktor ekonomi tetap menjadi penentu besar.

Ketimpangan Peran di Rumah dan Tempat Kerja

Meski perempuan telah memasuki ruang publik dalam jumlah besar—berpendidikan tinggi, bekerja, berpolitik—ranah domestik masih sangat timpang. Perempuan melakukan pekerjaan perawatan dan pekerjaan rumah tangga jauh lebih banyak daripada laki-laki. Bagi banyak perempuan, hal ini menciptakan beban ganda: bekerja penuh waktu sekaligus bertanggung jawab atas rumah.

Perubahan-perubahan kecil memang terjadi. Di beberapa negara, laki-laki mulai terlibat lebih banyak dalam pengasuhan. Namun laporan global menunjukkan bahwa keterlibatan tersebut masih terbatas pada aktivitas ringan, bukan pada tugas perawatan rutin yang melelahkan. Bahkan persepsi antara laki-laki dan perempuan mengenai “bagi tugas secara adil” berbeda jauh—lebih banyak laki-laki yang merasa sudah berbagi adil dibanding perempuan yang merasakannya.

Karena itulah banyak perempuan memilih menunda atau mengurangi jumlah anak untuk menjaga keseimbangan hidup dan karier. Sementara itu, laki-laki lebih jarang menyesuaikan pekerjaan dengan kebutuhan keluarga.

Intensitas Pengasuhan Modern dan Tekanan yang Meningkat

Pengasuhan kini jauh lebih intens dibanding generasi sebelumnya. Waktu yang dihabiskan orang tua bersama anak meningkat, tuntutan pendidikan lebih tinggi, dan ekspektasi terhadap peran orang tua makin besar.

Meski menyenangkan, pengasuhan modern melelahkan. Banyak keluarga menjalani pengasuhan tanpa dukungan, dan beban itu tidak hanya dirasakan ibu—ayah juga merasakannya. Namun, perempuan tetap menjadi kelompok yang paling terdampak, terutama jika layanan pendukung seperti penitipan anak tidak tersedia atau terlalu mahal.

Ketegangan antara harapan sosial dan kenyataan ekonomi inilah yang kemudian memengaruhi keputusan untuk memiliki anak, atau memilih tidak menambah jumlah anak.

Struktur Keluarga dan Dinamika yang Membentuk Keputusan Reproduktif

Keluarga inti, keluarga besar, keluarga poligami, hingga keluarga campuran memiliki pengaruh berbeda terhadap keputusan reproduksi.

Keluarga inti membuat peran pengasuhan terpusat pada orang tua, sehingga kecenderungan “sedikit anak tetapi investasi besar” menjadi umum. Sebaliknya, keluarga besar dapat mendorong angka kelahiran lebih tinggi karena tugas pengasuhan terbagi.

Dalam keluarga poligami, keinginan memiliki anak bisa lebih tinggi, terutama pada konteks budaya yang memberi status lebih bagi keluarga besar. Sementara itu, keluarga campuran yang terbentuk dari pernikahan ulang terkadang mendorong keinginan memiliki anak dengan pasangan baru.

Kebijakan yang baik harus mengakui keragaman bentuk keluarga, karena keragaman inilah yang menciptakan kebutuhan berbeda dalam hal dukungan pengasuhan dan layanan sosial.

Menunda Pasangan, Tingkat Kesendirian, dan Dampaknya pada Fertilitas

Tren global menunjukkan peningkatan jumlah orang yang hidup sendiri, menunda pernikahan, atau tidak menemukan pasangan jangka panjang. Di beberapa negara, perkawinan masih menjadi prasyarat untuk memiliki anak, sehingga penurunan angka pernikahan memengaruhi angka kelahiran.

Fenomena ini tidak dapat dijelaskan hanya dengan “pilihan pribadi”. Banyak orang sebenarnya ingin menikah, tetapi tidak menemukan pasangan yang sesuai. Faktor ekonomi berperan penting: orang yang berpenghasilan rendah atau berpendidikan rendah lebih sulit mendapatkan pasangan. Di sisi lain, perubahan sikap gender pada perempuan berjalan lebih cepat dibanding laki-laki, sehingga terjadi ketidakselarasan nilai dalam hubungan.

Ketika ketimpangan gender tetap tinggi, hubungan menjadi lebih sulit terbentuk. Namun ketika kesetaraan meningkat, penelitian menunjukkan bahwa laki-laki berpendapatan rendah justru memiliki peluang lebih besar untuk bermitra—menandakan bahwa nilai pasangan tidak hanya bergantung pada kemampuan ekonomi.

 

Daftar Pustaka

State of World Population 2025 – Gender Equality and Dividends for All (Chapter 3).

Selengkapnya
Mencari Jalan Menuju Kesetaraan Gender yang Menghasilkan Manfaat bagi Semua

Studi Gender dan Budaya

Membuka Peluang Kebijakan untuk Memenuhi Aspirasi Reproduktif Masyarakat

Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 21 November 2025


Di berbagai negara, isu reproduksi sering dibahas dari sudut pandang angka kelahiran, proyeksi populasi, dan kekhawatiran tentang masa depan tenaga kerja. Namun di balik diskusi demografis tersebut terdapat persoalan yang jauh lebih personal: banyak orang, di hampir semua konteks sosial dan ekonomi, tidak dapat mewujudkan jumlah anak yang mereka inginkan. Sebagian memiliki anak pada waktu yang tidak direncanakan, sementara sebagian lainnya justru tidak bisa memiliki anak ketika mereka siap. Kesenjangan antara keinginan dan kenyataan inilah yang menjadi inti persoalan—sebuah celah yang tampak di setiap negara, baik yang berfertilitas rendah maupun tinggi.

Perjalanan reproduksi manusia tidak pernah berdiri sendiri. Ia dipengaruhi oleh kesehatan, kondisi ekonomi, ketersediaan perumahan, budaya, bahkan dinamika pasar tenaga kerja. Karena itulah kebijakan apa pun yang ingin mendukung keluarga dan reproduksi harus dimulai dari pemahaman yang lebih dalam tentang apa yang sebenarnya dihadapi masyarakat.

Keinginan Reproduktif yang Tidak Terpenuhi

Survei global menunjukkan adanya perbedaan signifikan antara jumlah anak yang ideal dengan jumlah yang pada akhirnya dimiliki atau diperkirakan akan dimiliki seseorang

Ada individu yang berharap memiliki lebih banyak anak tetapi terhalang oleh kesehatan, ekonomi, atau tekanan sosial. Ada pula yang justru memiliki anak lebih banyak dari keinginan awal karena keterbatasan dalam mencegah kehamilan.

Menariknya, sebagian orang mengalami kedua hal sekaligus: pernah memiliki kehamilan yang tidak direncanakan, tetapi juga pernah berada pada kondisi ketika mereka ingin memiliki anak namun terhalang situasi hidup. Hal ini menunjukkan bahwa reproduksi bukanlah persoalan jumlah semata, tetapi tentang waktu, kesiapan, keamanan, dan kapasitas seseorang dalam menghadapi konsekuensinya.

Tantangan Kesehatan yang Membentuk Pengalaman Reproduktif

Kualitas layanan kesehatan reproduksi sangat memengaruhi cara orang memandang masa depan keluarga mereka. Pengalaman buruk dalam persalinan, keterbatasan layanan kontrasepsi, atau minimnya fasilitas kesehatan ibu membuat banyak orang menunda atau bahkan mengurangi rencana memiliki anak.

Selain itu, infertilitas menjadi isu besar yang sering kali luput dari pembahasan karena dianggap hanya terjadi pada kelompok tertentu. Padahal, satu dari enam orang diperkirakan akan menghadapi kesulitan memiliki anak sepanjang hidupnya. Untuk sebagian besar, masalah ini dapat diatasi dengan teknologi reproduksi berbantu. Namun biaya yang tinggi, keterbatasan layanan, serta ketimpangan akses membuat harapan banyak pasangan tetap tidak terpenuhi.

Pada saat yang sama, meningkatnya usia rata-rata orang memiliki anak memberikan kelebihan—stabilitas finansial, pengalaman hidup yang lebih matang—namun juga membawa risiko biologis yang lebih besar. Banyak orang tidak menyadari batas usia kesuburan, sehingga baru mencari bantuan ketika peluang alami sudah menurun.

Ekonomi sebagai Penggerak Besar Keputusan Kelahiran

Kondisi ekonomi menjadi alasan utama di berbagai negara ketika seseorang menunda atau mengurangi rencana memiliki anak. Ketidakstabilan pekerjaan, biaya hidup yang tinggi, sulitnya membeli atau menyewa rumah, serta kurangnya jaminan pendapatan membuat banyak orang tidak merasa aman untuk membangun keluarga.

Selain itu, biaya membesarkan anak terus meningkat. Di banyak wilayah, layanan seperti pendidikan, kesehatan, transportasi, dan konsumsi anak merupakan komponen pengeluaran yang paling membebani keluarga muda. Tidak mengherankan jika pikiran tentang masa depan ekonomi menjadi faktor dominan dalam keputusan reproduksi.

Pengasuhan dan Beban Kerja yang Tidak Merata

Peran perempuan dalam pengasuhan masih jauh lebih besar dibanding pria, bahkan ketika keduanya bekerja penuh waktu. Ketidakseimbangan ini menciptakan beban emosional dan fisik yang besar bagi perempuan, sehingga memengaruhi pilihan mereka untuk memiliki anak tambahan.

Ketersediaan layanan penitipan anak berkualitas terbukti mampu meningkatkan partisipasi perempuan dalam angkatan kerja sekaligus membantu mereka mempertimbangkan memiliki anak. Namun layanan ini masih sangat terbatas, terutama di negara berpendapatan rendah dan menengah. Di banyak tempat, kakek-nenek berperan besar dalam pengasuhan, tetapi hal ini sering menjadi beban tambahan bagi generasi yang lebih tua.

Kebijakan cuti orang tua yang tidak setara juga memperlebar jurang ini. Ketika cuti bagi ayah sangat singkat atau tidak dibayar, beban pengasuhan kembali jatuh ke ibu, memperkuat norma gender yang menghambat partisipasi perempuan dalam pekerjaan.

Masa Transisi Menuju Dewasa yang Makin Panjang

Bagi generasi muda, masa transisi menuju kemandirian—memiliki pekerjaan tetap, rumah sendiri, dan pasangan stabil—cenderung terjadi pada usia yang lebih tua. Banyak yang belum siap secara finansial hingga melewati masa puncak biologis kesuburan. Hal ini menciptakan kesenjangan besar antara kapan seseorang ingin menjadi orang tua dan kapan mereka merasa mampu.

Biaya rumah, terutama di perkotaan, menjadi penghalang utama. Kesempatan kerja yang terbatas dan upah yang tidak cukup membuat anak muda kesulitan merencanakan masa depan, termasuk rencana memiliki keluarga.

Menciptakan Kebijakan yang Memberi Ruang untuk Pilihan

Kebijakan untuk mendukung masyarakat dalam mewujudkan aspirasi reproduktifnya harus mencakup lebih dari sekadar layanan kesehatan. Diperlukan reformasi yang menyentuh dunia kerja, kebijakan pengasuhan, akses perumahan, dan program pengurangan ketimpangan gender.

Tujuan besar yang ingin dicapai adalah memberi ruang bagi setiap orang untuk menjalani pilihan reproduksi mereka secara bebas, aman, dan bermartabat—baik itu memiliki anak lebih banyak, lebih sedikit, atau tidak memiliki anak sama sekali.

Ketika kebijakan disusun berdasarkan kebutuhan nyata masyarakat, bukan sekadar angka statistik, maka terbuka kesempatan besar bagi negara untuk membangun masyarakat yang lebih stabil, sehat, dan berkeadilan.

 

Daftar Pustaka

State of World Population 2025 — Opening a Policy Window of Opportunity.

Selengkapnya
Membuka Peluang Kebijakan untuk Memenuhi Aspirasi Reproduktif Masyarakat

Studi Gender dan Budaya

Mengapa Dunia Mengalami Krisis Reproduktif: Memahami Penurunan Kelahiran dari Perspektif Manusia

Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 21 November 2025


Mengapa Dunia Mengalami Krisis Reproduktif: Memahami Penurunan Kelahiran dari Perspektif Manusia

Di banyak negara, angka kelahiran terus menurun dan kekhawatiran akan penuaan penduduk menjadi tema besar diskusi publik. Namun ketika memperhatikan lebih dalam, penurunan kelahiran bukan sekadar fenomena demografis atau persoalan statistik. Krisis ini muncul dari sesuatu yang jauh lebih manusiawi: ketidakmampuan individu mewujudkan kehidupan keluarga seperti yang mereka inginkan.

Selama beberapa dekade terakhir, perubahan sosial dan ekonomi begitu cepat sehingga aspirasi pribadi, kemampuan finansial, dan ruang hidup emosional tidak bergerak seirama. Banyak orang yang ingin memiliki anak tidak bisa memulainya, sementara sebagian lainnya memiliki anak pada kondisi yang tidak direncanakan. Ketimpangan antara keinginan dan kenyataan inilah yang membentuk krisis reproduktif global.

Perubahan Populasi yang Sudah Diprediksi, Tetapi Tidak Dipersiapkan

Lompatan besar jumlah penduduk di abad ke-20 disebabkan oleh membaiknya kesehatan, menurunnya kematian bayi, dan peningkatan usia harapan hidup. Namun sejak awal abad ke-21, pola tersebut bergerak ke arah berlawanan. Fertilitas global turun secara konsisten, dan banyak negara kini mengalami stagnasi populasi atau bahkan penurunan.

Sebenarnya arah ini telah diprediksi sejak lama. Para demografer sudah memperingatkan bahwa penurunan kelahiran adalah bagian alami dari transisi pembangunan. Tantangan yang lebih relevan adalah bagaimana masyarakat dan pemerintah menyiapkan sistem sosial agar mampu mengakomodasi perubahan ini. Sayangnya, inilah yang sering luput diperhatikan.

Daripada mempersiapkan kebijakan jangka panjang, banyak negara justru terjebak dalam ketakutan tentang “kekurangan populasi” tanpa membahas akar persoalan. Akibatnya, muncul jarak besar antara angka yang diharapkan negara dan kondisi nyata masyarakat yang hidup dalam ketidakpastian ekonomi dan sosial.

Ketidaksesuaian antara Keinginan dan Kesempatan

Penurunan kelahiran bukan karena masyarakat tidak ingin punya anak. Di berbagai survei, mayoritas orang masih memiliki keinginan untuk membangun keluarga. Namun keinginan itu sering kali berbenturan dengan tantangan nyata.

Banyak individu yang sebenarnya berencana memiliki satu atau dua anak tambahan, tetapi tidak mampu melakukannya. Ada pula yang justru memiliki anak lebih banyak dari yang mereka inginkan karena keterbatasan akses terhadap layanan kesehatan reproduksi atau perencanaan keluarga.

Jika ditarik ke tingkat individu, krisis ini adalah gambaran tentang tidak sejalannya kemampuan dengan aspirasi.

Hambatan Ekonomi yang Mengendalikan Pilihan Reproduksi

Realitas ekonomi menjadi salah satu faktor paling berpengaruh dalam keputusan memiliki anak. Biaya hidup yang meningkat, harga perumahan yang sulit dijangkau, ketidakpastian pekerjaan, serta beban keuangan jangka panjang membuat banyak orang menunda rencana keluarga.

Tidak sedikit pasangan muda yang merasa belum “siap secara finansial”, meskipun keinginan tersebut sudah ada. Di negara-negara berpendapatan tinggi maupun menengah, biaya membesarkan anak telah tumbuh jauh lebih cepat daripada kenaikan pendapatan. Kondisi ini menciptakan jurang antara kemampuan dan harapan.

Bahkan mereka yang memiliki pendapatan stabil pun seringkali ragu melangkah karena khawatir tidak mampu memberikan lingkungan yang layak bagi anak di masa depan.

Kesehatan Reproduksi dan Kendala Medis yang Semakin Terlihat

Selain faktor ekonomi, kondisi kesehatan juga menjadi penghalang besar. Banyak individu menghadapi masalah kesuburan, tetapi layanan kesehatan reproduksi modern tidak selalu mudah diakses, baik secara geografis maupun finansial. Ketimpangan akses layanan medis membuat sebagian kelompok masyarakat harus berjuang lebih keras untuk sekadar mendapatkan kesempatan memiliki anak.

Di beberapa wilayah, ketidaktahuan akan pentingnya pemeriksaan kesuburan atau stigma terhadap pengobatan reproduksi memperburuk situasi. Semakin banyak orang yang baru menyadari masalah kesuburan di usia yang lebih tua, ketika kesempatan biologis semakin sempit.

Lingkungan Sosial yang Tidak Stabil

Keputusan membangun keluarga tidak lepas dari persepsi tentang masa depan. Ketika orang merasa dunia sedang berada dalam situasi yang tidak menentu—baik karena konflik, ketidakpastian ekonomi, perubahan iklim, maupun tekanan sosial—keputusan untuk memiliki anak sering tertunda.

Fenomena ini tidak hanya terjadi di negara berkembang. Banyak warga di negara maju pun menempatkan kekhawatiran terhadap masa depan sebagai alasan utama mengurangi jumlah anak. Ini menunjukkan bahwa krisis reproduktif bukan sekadar persoalan sumber daya, tetapi juga tentang rasa aman dan keyakinan terhadap kehidupan jangka panjang.

Beban Gender yang Tidak Seimbang

Pembagian tanggung jawab dalam rumah tangga memainkan peran penting dalam keputusan reproduksi. Di sebagian besar budaya, perempuan masih menanggung porsi terbesar pekerjaan domestik dan pengasuhan, bahkan ketika mereka juga bekerja penuh waktu.

Ketidakseimbangan ini membuat banyak perempuan merasa tidak siap untuk memiliki anak tambahan, meskipun secara emosional menginginkannya. Sementara itu, laki-laki seringkali tidak menyadari beban yang dirasakan pasangan mereka. Ketidakselarasan persepsi ini menjadi salah satu faktor tersulit untuk dipecahkan karena berkaitan dengan budaya dan norma sosial yang mengakar.

Ketidakhadiran Pasangan yang Cocok

Di beberapa negara, terutama di perkotaan, meningkatnya jumlah orang dewasa yang tidak memiliki pasangan menjadi hambatan tersendiri. Bukan karena mereka tidak ingin memiliki keluarga, tetapi karena tidak menemukan pasangan yang dirasa sesuai dari segi emosional, finansial, atau komitmen jangka panjang.

Fenomena ini terjadi seiring perubahan gaya hidup, mobilitas tinggi, serta meningkatnya standar dalam memilih pasangan. Akhirnya, banyak orang memasuki usia reproduktif yang matang tanpa pasangan, sehingga keinginan memiliki anak sulit diwujudkan.

Selengkapnya
Mengapa Dunia Mengalami Krisis Reproduktif: Memahami Penurunan Kelahiran dari Perspektif Manusia

Studi Gender dan Budaya

Warisan, Gender, dan Perubahan Sosial: Studi Antargenerasi dalam Masyarakat Pedesaan Bali

Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 10 September 2025


Pendahuluan: Memahami Warisan Lewat Kacamata Gender

Distribusi warisan dalam masyarakat tradisional seringkali menjadi refleksi dari struktur sosial, relasi kekuasaan, dan norma budaya yang mengakar. Dalam konteks Bali, distribusi properti tidak semata menyangkuy kepemilikan harta, tetapi juga melibatkan makna simbolik dan posisi gender dalam keluarga. Artikel "Gender and the Intergenerational Transmission of Property in Rural Bali" karya Ida Ayu Grhamtika Saitya menyoroti kompleksitas pembagian warisan di masyarakat pedesaan Bali, sekaligus mengungkap bagaimana perubahan sosial memengaruhi norma-norma tradisional dalam pembagian hak kepemilikan.

Struktur Sosial Bali dan Sistem Patrilineal (H2)

Norma Tradisional: Warisan untuk Anak Laki-laki (H3)

Dalam sistem kekerabatan patrilineal yang dominan di Bali, anak laki-laki secara tradisional dianggap sebagai pewaris utama. Hal ini berakar pada konsep bahwa laki-laki akan tetap tinggal di rumah asal dan menjaga pura keluarga, sementara perempuan akan "keluar" dari keluarga saat menikah. Dalam praktiknya:

  • Anak laki-laki menerima tanah warisan dan rumah adat.

  • Anak perempuan hanya mendapatkan "pembekalan" berupa barang bergerak saat menikah.

Posisi Perempuan dalam Tradisi Bali (H3)

Perempuan tidak diharapkan untuk menjadi ahli waris penuh, bahkan ketika mereka secara ekonomi berkontribusi dalam keluarga. Konsepsi bahwa perempuan adalah "tamu" dalam keluarga asal memperkuat eksklusi mereka dari hak kepemilikan penuh.

Perubahan Sosial dan Negosiasi Gender (H2)

Modernisasi dan Mobilitas Sosial (H3)

Penelitian Saitya mengungkap bahwa urbanisasi dan pendidikan mendorong perubahan cara pandang masyarakat terhadap gender dan warisan. Dalam keluarga yang memiliki lebih dari satu anak perempuan, muncul praktik kompromi:

  • Warisan dibagi merata antara anak laki-laki dan perempuan.

  • Anak perempuan diberikan tanah sebagai bentuk investasi masa depan.

Studi Kasus: Negosiasi dalam Pembagian Tanah (H3)

Salah satu informan perempuan berhasil mendapatkan sebidang tanah dari orang tuanya sebagai bentuk pengakuan atas kontribusinya selama merawat orang tua. Ini menjadi bukti bahwa:

  • Norma patriarkal tidak lagi mutlak.

  • Ada ruang negosiasi dalam keluarga berbasis dialog.

Ketimpangan Hak dan Praktik Hukum (H2)

Peran Hukum Adat vs Hukum Nasional (H3)

Hukum adat Bali cenderung memperkuat sistem patriarkal, sementara hukum nasional Indonesia membuka peluang kesetaraan gender. Namun dalam praktik:

  • Hukum adat masih dominan dalam penyelesaian sengketa warisan.

  • Perempuan yang menggugat hak warisan sering dianggap menyalahi norma.

Ketegangan antara Norma dan Realitas (H3)

Beberapa perempuan memilih tidak menuntut hak waris demi menjaga harmoni keluarga, meskipun mereka secara hukum berhak. Di sisi lain, keluarga yang lebih terbuka cenderung menerapkan prinsip keadilan berbasis kebutuhan dan kontribusi.

Analisis Teoritis dan Implikasi Sosial (H2)

Perspektif Feminisme dan Struktur Kekuasaan (H3)

Penelitian ini menggunakan lensa teori gender dan feminisme untuk membedah:

  • Bagaimana struktur kekuasaan dibentuk melalui warisan.

  • Peran perempuan yang dibatasi oleh norma tradisional dan simbolik.

Dampak pada Emansipasi Perempuan Bali (H3)

Dengan meningkatnya pendidikan dan kesadaran hukum, perempuan Bali mulai:

  • Menegosiasikan haknya secara aktif.

  • Mengembangkan strategi hukum maupun sosial untuk mengakses properti.

Rekomendasi dan Relevansi Praktis (H2)

Bagi Pemerintah dan Aparat Desa:

  • Perlu edukasi hukum waris berbasis gender.

  • Pelatihan mediasi konflik keluarga berbasis kesetaraan.

Bagi Aktivis dan Akademisi:

  • Dorongan untuk mendokumentasikan praktik alternatif yang lebih setara.

  • Membuat model kebijakan lokal yang menyelaraskan adat dan hukum nasional.

Kesimpulan: Menuju Sistem Waris yang Lebih Inklusif (H2)

Penelitian ini membuka ruang diskusi kritis tentang bagaimana perubahan sosial dan kesadaran gender mempengaruhi distribusi warisan. Meskipun sistem adat masih kuat, terdapat tanda-tanda perubahan menuju praktik yang lebih inklusif dan adil bagi perempuan. Perubahan ini harus didukung oleh pendidikan, kebijakan, dan kesadaran kolektif agar transmisi properti di masa depan tidak lagi timpang berdasarkan gender.

Sumber

Saitya, Ida Ayu Grhamtika. (2022). Gender and the Intergenerational Transmission of Property in Rural Bali.

Selengkapnya
Warisan, Gender, dan Perubahan Sosial: Studi Antargenerasi dalam Masyarakat Pedesaan Bali
page 1 of 1