Politik Internasional

Penyelesaian batas ZEE Indonesia-Filipina jadi contoh sukses diplomasi damai berbasis hukum laut internasional dan strategi kerja sama maritim bilateral.

Dipublikasikan oleh Afridha Nu’ma Khoiriyah pada 30 April 2025


Pendahuluan

Penyelesaian konflik batas laut selalu menjadi tantangan pelik dalam hubungan antarnegara, terlebih di kawasan strategis seperti Asia Tenggara. Sengketa Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) kerap kali memicu ketegangan, baik dari sisi politik, ekonomi, hingga pertahanan. Dalam konteks ini, keberhasilan Indonesia dan Filipina dalam menyelesaikan delimitasi batas ZEE menjadi contoh penting dari praktik diplomasi maritim yang konstruktif.

Artikel karya Intan Fatona Maharani Putri menganalisis secara mendalam faktor-faktor yang mendorong tercapainya kesepakatan antara Indonesia dan Filipina—sebuah capaian langka dalam sengketa batas laut. Penelitian ini menggabungkan pendekatan hukum internasional, teori hubungan internasional, serta studi kasus diplomasi bilateral dalam menyusun argumen.

Resensi ini akan membedah isi artikel secara kritis, memberi tambahan konteks geopolitik dan ekonomi, serta menyajikannya dalam format yang ramah pembaca umum, tanpa mengorbankan kedalaman analisis.

Latar Belakang: Mengapa ZEE Penting?

Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) adalah wilayah 200 mil laut dari garis pantai yang memberikan hak eksklusif kepada negara pantai atas sumber daya alam, baik hayati maupun non-hayati. Wilayah ini diatur dalam Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) 1982. Dalam praktiknya, delimitasi batas ZEE menjadi rumit ketika dua negara memiliki klaim tumpang tindih, seperti yang terjadi antara Indonesia dan Filipina di Laut Sulawesi dan Laut Filipina.

Selama hampir 20 tahun, kedua negara terlibat dalam negosiasi yang panjang, hingga akhirnya pada 23 Mei 2014 ditandatangani perjanjian delimitasi yang disepakati oleh kedua belah pihak. Hal ini menjadi capaian diplomatik pertama Indonesia dalam menyelesaikan batas ZEE dengan negara tetangga menggunakan prinsip UNCLOS secara penuh.

Tujuan dan Metodologi Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan berikut:

  • Apa saja faktor yang mendorong keberhasilan delimitasi ZEE Indonesia-Filipina?

  • Bagaimana strategi diplomasi kedua negara dalam mencapai konsensus?

  • Apa peran hukum laut internasional dalam proses penyelesaian?

Metode yang digunakan bersifat kualitatif deskriptif dengan pendekatan studi kasus. Penulis mengandalkan sumber-sumber sekunder seperti dokumen hukum, berita resmi, hasil perundingan, dan literatur akademik.

Faktor-Faktor Keberhasilan: Bukan Sekadar Peta dan Garis

Artikel ini menyimpulkan tiga faktor utama yang mendasari keberhasilan penyelesaian batas ZEE antara Indonesia dan Filipina:

1. Komitmen Diplomatik yang Konsisten

Kedua negara menunjukkan niat baik sejak awal negosiasi. Pembentukan Joint Permanent Working Group on Maritime and Ocean Concerns menjadi platform utama komunikasi dan koordinasi teknis. Mereka tidak hanya mengedepankan kepentingan nasional, tetapi juga prinsip keterbukaan dan kerja sama regional.

2. Kepatuhan terhadap Hukum Laut Internasional

UNCLOS menjadi rujukan utama yang dipegang teguh selama negosiasi. Penggunaan prinsip equidistance line (garis sama jarak) dan prinsip relevansi geografis menunjukkan bahwa argumentasi hukum menjadi landasan rasional yang diterima kedua belah pihak.

3. Faktor Eksternal dan Tekanan Regional

Ketegangan di Laut China Selatan, kehadiran kapal asing, serta dorongan dari organisasi seperti ASEAN dan PBB turut mendorong kedua negara untuk segera menyelesaikan konflik batas demi stabilitas kawasan. Selain itu, pergeseran geopolitik yang menekankan pentingnya maritime domain awareness juga mempercepat urgensi penyelesaian.

Studi Kasus: Peta, Fakta, dan Angka

Dalam konteks praktis, batas yang disepakati antara Indonesia dan Filipina mencakup:

  • Sekitar 1.162 km garis batas di perairan Laut Sulawesi dan Laut Filipina.

  • Titik-titik koordinat berdasarkan eleven geographical points yang disepakati dalam perundingan.

Penting dicatat bahwa penyelesaian ini tidak mencakup batas landas kontinen, yang masih dalam proses negosiasi lebih lanjut.

Keberhasilan ini menjadi contoh “soft power diplomacy” yang mengutamakan win-win solution dibandingkan pendekatan koersif atau unilateral.

Perbandingan dengan Sengketa Lain

Sebagai perbandingan, banyak konflik serupa yang belum terselesaikan:

  • Vietnam vs Tiongkok: sengketa Laut China Selatan berlarut-larut karena perbedaan prinsip dasar klaim.

  • Indonesia vs Malaysia: konflik Sipadan-Ligitan baru selesai melalui Mahkamah Internasional (ICJ) pada 2002, namun delimitasi ZEE masih berlangsung.

Dari sini terlihat bahwa keberhasilan Indonesia dan Filipina merupakan anomali positif dalam praktik penyelesaian sengketa batas maritim.

Analisis Tambahan: Diplomasi sebagai Strategi Jangka Panjang

Keberhasilan ini tidak lepas dari konsistensi Indonesia dalam strategi diplomasi maritim, yang juga terlihat dalam kebijakan Poros Maritim Dunia yang dicanangkan sejak era Presiden Joko Widodo. Penyelesaian batas ZEE memberi fondasi penting bagi:

  • Penguatan pertahanan maritim (coastal security)

  • Eksploitasi sumber daya laut secara legal dan efisien

  • Perlindungan terhadap nelayan lokal

  • Peningkatan kerja sama ekonomi dan lingkungan hidup lintas negara

Dari sisi Filipina, keberhasilan ini menjadi modal diplomasi ketika menghadapi Tiongkok dalam konflik Laut China Selatan. Artinya, keduanya memperoleh manfaat politis dan strategis yang berkelanjutan.

Kritik dan Saran

Kelebihan Penelitian:

  • Menggabungkan kajian hukum dan diplomasi secara seimbang.

  • Analisis mendalam tentang peran institusi bilateral.

  • Relevan dengan isu regional dan global.

Ruang Pengembangan:

  • Artikel belum menggali secara detail peran aktor non-negara, seperti nelayan, LSM, dan media.

  • Analisis tidak membahas secara teknis pengaruh delimitasi terhadap ekonomi kelautan.

  • Tidak ada pembahasan spesifik mengenai tahapan teknis survei geospasial yang juga menjadi bagian penting dalam delimitasi.

Relevansi terhadap Isu Global

Penelitian ini sangat relevan untuk:

  • Negara-negara ASEAN yang masih memiliki konflik batas laut.

  • Praktisi hukum dan diplomasi internasional.

  • Mahasiswa hubungan internasional dan kajian keamanan maritim.

  • Pemerintah daerah yang berkepentingan dalam tata kelola perikanan dan sumber daya kelautan.

Di tengah eskalasi ketegangan Laut China Selatan, penelitian ini memberi contoh bahwa diplomasi berbasis hukum tetap relevan dan efektif.

Kesimpulan

Artikel ini berhasil menunjukkan bahwa penyelesaian konflik batas ZEE antara Indonesia dan Filipina merupakan contoh ideal dari diplomasi modern yang rasional, damai, dan berbasis hukum. Proses yang panjang, namun penuh komitmen dan itikad baik, menunjukkan bahwa kerja sama regional bukan hanya slogan, tetapi bisa menjadi kenyataan.

Dengan semakin kompleksnya tantangan geopolitik di Asia Tenggara, keberhasilan ini layak dijadikan model negosiasi perbatasan laut bagi negara lain.

Sumber

Putri, Intan Fatona Maharani. (2024). Faktor Keberhasilan Delimitasi Batas Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) antara Indonesia dan Filipina. Andalas Journal of International Studies (AJIS), Vol. XIII, No. 1, Mei 2024.

Selengkapnya
Penyelesaian batas ZEE Indonesia-Filipina jadi contoh sukses diplomasi damai berbasis hukum laut internasional dan strategi kerja sama maritim bilateral.
page 1 of 1