Pendidikan Digital & Teknologi Informasi
Dipublikasikan oleh Timothy Rumoko pada 17 Oktober 2025
Latar Belakang Teoretis
Di tengah pergeseran global menuju digitalisasi pendidikan, institusi dihadapkan pada tantangan untuk secara efektif mengintegrasikan teknologi guna meningkatkan hasil belajar. Karya Jerson E. Rodriguez dan Jocelyn V. Madredeo yang berjudul, "Use Of Learning Management System (Moodle) To Enhance The Performance And Engagement In Computer Systems Servicing NCII Of Grade 12 Students," secara langsung menjawab tantangan ini dalam konteks pendidikan kejuruan yang spesifik. Latar belakang masalah yang diangkat adalah kebutuhan untuk memahami secara empiris bagaimana platform Learning Management System (LMS) seperti Moodle dapat memfasilitasi pemahaman yang lebih baik dan mendorong keterlibatan yang lebih dalam di kalangan siswa kelas 12 yang mengambil program sertifikasi teknis.
Kerangka teoretis penelitian ini berpusat pada dua variabel hasil utama: kinerja (performance), yang diukur melalui hasil tes dan tugas praktik, dan keterlibatan (engagement), yang secara komprehensif dipecah menjadi tiga dimensi—perilaku, emosional, dan kognitif. Dengan demikian, hipotesis implisit yang mendasari studi ini adalah bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara penggunaan Moodle dengan peningkatan kinerja dan keterlibatan siswa. Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk menentukan secara kuantitatif pengaruh penggunaan Moodle terhadap kedua variabel hasil tersebut.
Metodologi dan Kebaruan
Penelitian ini mengadopsi metode kuantitatif dengan desain penelitian quasi-eksperimental. Pendekatan ini, meskipun tidak melibatkan randomisasi penuh, memungkinkan perbandingan yang terstruktur antara kondisi sebelum dan sesudah intervensi. Studi ini dilaksanakan dalam tiga fase yang jelas: (1) Fase pra-implementasi, yang mencakup pemberian pra-tes; (2) Fase implementasi, di mana Moodle digunakan sebagai platform pembelajaran utama; dan (3) Fase pasca-implementasi, yang melibatkan pengumpulan data mengenai kinerja dan persepsi siswa.
Populasi penelitian adalah siswa kelas 12 di Laguna State Polytechnic University, San Pablo City Campus. Pengumpulan data dilakukan melalui serangkaian instrumen, termasuk pra-tes, penilaian tugas kinerja (performance task), dan kuesioner yang dirancang untuk mengukur persepsi siswa terhadap berbagai aspek Moodle (seperti aksesibilitas dan konten) serta tingkat keterlibatan mereka. Analisis data yang digunakan mencakup statistik deskriptif (rata-rata dan standar deviasi) dan analisis korelasional untuk menguji hubungan antar variabel.
Kebaruan dari karya ini terletak pada aplikasinya yang spesifik dan berbasis bukti dalam konteks pendidikan vokasi di negara berkembang. Dengan secara sistematis mengukur dampak dari sebuah intervensi LMS pada program sertifikasi teknis, penelitian ini memberikan sebuah studi kasus yang berharga mengenai efektivitas pedagogi digital di luar ranah akademis murni.
Temuan Utama dengan Kontekstualisasi
Analisis data kuantitatif menghasilkan serangkaian temuan yang secara konsisten mendukung hipotesis penelitian.
Persepsi Positif terhadap Moodle: Data dari kuesioner menunjukkan bahwa siswa memiliki persepsi yang sangat positif terhadap Moodle. Aspek-aspek seperti aksesibilitas (misalnya, materi tersedia kapan saja) dan konten (misalnya, konten relevan dan terorganisir dengan baik) secara konsisten menerima skor rata-rata yang tinggi, dengan interpretasi verbal "Sangat Setuju."
Peningkatan Kinerja Akademik: Perbandingan antara hasil pra-tes dengan skor tugas kinerja pasca-implementasi menunjukkan adanya peningkatan yang signifikan. Tabel 10 secara spesifik menyoroti bahwa skor tugas kinerja siswa menunjukkan "tingkat pencapaian yang tinggi," yang mengindikasikan bahwa intervensi Moodle berhasil meningkatkan penguasaan materi dan keterampilan praktis siswa.
Tingkat Keterlibatan yang Tinggi: Penelitian ini menemukan tingkat keterlibatan yang tinggi di ketiga dimensi. Rata-rata skor untuk keterlibatan perilaku (misalnya, "Saya berpartisipasi aktif dalam diskusi"), keterlibatan emosional (misalnya, "Saya merasa menjadi bagian dari komunitas belajar"), dan keterlibatan kognitif (misalnya, "Saya mencoba menghubungkan apa yang saya pelajari dengan pengalaman saya") semuanya berada dalam kategori "Sangat Setuju." Temuan ini menunjukkan bahwa Moodle berhasil menciptakan lingkungan belajar yang menarik dan memotivasi.
Hubungan Signifikan antara Persepsi dan Keterlibatan: Temuan yang paling krusial adalah hasil analisis korelasional. Ditemukan adanya korelasi yang signifikan secara statistik pada level 0.01 antara variabel-variabel persepsi terhadap Moodle (aksesibilitas dan konten) dengan ketiga dimensi keterlibatan (perilaku, emosional, dan kognitif). Berdasarkan temuan ini, hipotesis nol ditolak, yang secara empiris mengonfirmasi bahwa persepsi positif terhadap fungsionalitas LMS secara langsung berhubungan dengan tingkat keterlibatan siswa yang lebih tinggi.
Keterbatasan dan Refleksi Kritis
Meskipun menyajikan temuan yang kuat, penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan yang melekat pada desainnya. Pertama, sebagai sebuah studi quasi-eksperimental tanpa kelompok kontrol, sulit untuk secara definitif mengatribusikan semua peningkatan kinerja semata-mata pada penggunaan Moodle, karena faktor-faktor lain (seperti kematangan siswa seiring waktu) mungkin juga berperan.
Secara kritis, ketergantungan pada data kuesioner untuk mengukur keterlibatan berarti bahwa hasil ini didasarkan pada persepsi yang dilaporkan sendiri (self-reported data) oleh siswa, yang mungkin tidak selalu mencerminkan perilaku aktual secara sempurna.
Implikasi Ilmiah di Masa Depan
Secara praktis, implikasi dari penelitian ini sangat jelas dan dapat ditindaklanjuti. Ia memberikan justifikasi berbasis bukti yang kuat bagi para pendidik dan administrator di institusi pendidikan vokasi untuk mengadopsi dan berinvestasi dalam platform LMS seperti Moodle. Temuan ini secara spesifik menyoroti pentingnya memastikan bahwa konten yang disajikan relevan dan platformnya mudah diakses untuk memaksimalkan keterlibatan siswa.
Untuk penelitian di masa depan, karya ini membuka beberapa jalan. Studi replikasi dengan menggunakan desain eksperimental penuh yang mencakup kelompok kontrol akan sangat berharga untuk memperkuat klaim kausalitas. Selain itu, penelitian kualitatif melalui wawancara atau kelompok diskusi terfokus dapat memberikan pemahaman yang lebih kaya mengenai mengapa dan bagaimana fitur-fitur spesifik Moodle berkontribusi pada peningkatan keterlibatan dan kinerja, sehingga memungkinkan pengembangan praktik terbaik yang lebih bernuansa.
Sumber
Rodriguez, J. E., & Madredeo, J. V. (2025). Use Of Learning Management System (Moodle) To Enhance The Performance And Engagement In Computer Systems Servicing NCII Of Grade 12 Students. International Journal of Research Publication and Reviews, 6(6), 2649-2666.
Pendidikan Digital & Teknologi Informasi
Dipublikasikan oleh Timothy Rumoko pada 15 September 2025
Latar Belakang Teoretis
Penelitian ini berakar pada sebuah masalah praktis yang dihadapi oleh universitas modern: bagaimana cara mengintegrasikan sumber daya dari MOOCs ke dalam lingkungan LMS yang sudah ada secara efektif. Para penulis mengidentifikasi bahwa model desain untuk integrasi semacam ini bukanlah sekadar platform teknis, melainkan sebuah lingkungan yang kompleks yang harus mempertimbangkan berbagai komponen teknologi dan kebutuhan pemangku kepentingan (dosen dan mahasiswa). Kegagalan dalam memahami faktor-faktor yang mendorong penerimaan teknologi ini dapat berujung pada adopsi yang rendah dan investasi yang sia-sia.
Untuk mengatasi masalah ini, kerangka teoretis yang diusung oleh studi ini adalah sebuah model hibrida yang inovatif, yang menggabungkan dua teori adopsi teknologi yang telah mapan: Technology Acceptance Model (TAM) dan Task-Technology Fit (TTF). TAM, yang merupakan model yang paling dominan dan prediktif dalam literatur, berfokus pada bagaimana persepsi kegunaan (Perceived Usefulness) dan persepsi kemudahan penggunaan (Perceived Ease of Use) mempengaruhi niat untuk mengadopsi sebuah teknologi. Namun, penulis berargumen bahwa TAM saja tidak cukup. Oleh karena itu, mereka mengintegrasikannya dengan model TTF, yang menambahkan dimensi kesesuaian antara karakteristik tugas (Task Characteristics) dan karakteristik teknologi (Technology Characteristics) sebagai prediktor utama. Dengan demikian, hipotesis yang diajukan adalah bahwa faktor-faktor dari kedua model ini—karakteristik tugas, karakteristik teknologi, kesesuaian tugas-teknologi, persepsi kemudahan penggunaan, dan persepsi kegunaan—secara signifikan mempengaruhi niat untuk mengadopsi model integrasi LMS-MOOC yang diusulkan.
Metodologi dan Kebaruan
Penelitian ini mengadopsi metode kuantitatif dengan pendekatan survei untuk menguji model konseptual yang telah dirumuskan. Pengumpulan data dilakukan melalui kuesioner yang disebar kepada para pemangku kepentingan, termasuk mahasiswa, dosen, dan ahli rekayasa perangkat lunak.
Untuk menganalisis data, penulis menggunakan teknik statistik Structural Equation Modeling (SEM), yang memungkinkan pengujian simultan terhadap hubungan kausal yang kompleks antar berbagai variabel laten (konstruk). Proses metodologisnya mencakup evaluasi model pengukuran (measurement model) untuk memastikan validitas dan reliabilitas instrumen, diikuti oleh evaluasi model struktural (structural model) untuk menguji hipotesis penelitian.
Kebaruan dari karya ini tidak terletak pada pengembangan teori baru dari awal, melainkan pada sintesis dan aplikasinya yang spesifik. Dengan menggabungkan TAM dan TTF untuk mengevaluasi sebuah artefak desain perangkat lunak dalam konteks pendidikan tinggi, penelitian ini memberikan sebuah kerangka kerja yang lebih komprehensif dan bernuansa dibandingkan studi-studi yang hanya mengandalkan satu model saja. Selain itu, pendekatan yang melibatkan para pemangku kepentingan sejak tahap elisitasi kebutuhan hingga evaluasi akhir menunjukkan sebuah praktik rekayasa perangkat lunak yang berpusat pada pengguna.
Temuan Utama dengan Kontekstualisasi
Analisis data kuantitatif menghasilkan serangkaian temuan yang memberikan wawasan mendalam mengenai dinamika adopsi model integrasi ini.
Pengaruh Konstruk TTF: Ditemukan bahwa baik Karakteristik Tugas maupun Karakteristik Teknologi memiliki pengaruh yang signifikan terhadap Kesesuaian Tugas-Teknologi (TTF). Hal ini mengonfirmasi validitas inti dari model TTF dalam konteks ini, menunjukkan bahwa persepsi mengenai seberapa baik teknologi tersebut cocok untuk tugas-tugas pembelajaran sangat bergantung pada fitur-fitur spesifik dari teknologi dan sifat dari tugas itu sendiri.
Peran Sentral Persepsi Kegunaan (Perceived Usefulness): Sejalan dengan banyak studi TAM sebelumnya, Persepsi Kegunaan ditemukan memiliki pengaruh yang positif dan signifikan secara statistik terhadap Niat untuk Mengadopsi model tersebut. Ini menegaskan bahwa faktor terpenting yang mendorong penerimaan adalah keyakinan pengguna bahwa sistem tersebut akan benar-benar membantu mereka meningkatkan kinerja belajar atau mengajar.
Temuan Kontra-Intuitif: Insignifikansi Kemudahan Penggunaan: Salah satu temuan yang paling menarik dan bertentangan dengan model TAM klasik adalah bahwa hubungan antara Persepsi Kemudahan Penggunaan dengan Niat untuk Mengadopsi ditemukan negatif dan tidak signifikan secara statistik.
Secara kontekstual, temuan ini sangat signifikan. Ia menyiratkan bahwa dalam konteks pendidikan tinggi, di mana para pengguna (dosen dan mahasiswa) sangat termotivasi oleh hasil, kemudahan penggunaan sebuah sistem menjadi faktor sekunder. Selama sebuah alat terbukti sangat berguna dan efektif dalam mendukung proses pembelajaran, para pengguna bersedia untuk mengatasi kurva belajar atau antarmuka yang kurang intuitif. Sebaliknya, sistem yang mudah digunakan namun tidak menawarkan nilai tambah yang jelas kemungkinan besar akan diabaikan.
Keterbatasan dan Refleksi Kritis
Meskipun menyajikan analisis yang kuat, penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan yang perlu dipertimbangkan. Pertama, sebagai sebuah studi yang kemungkinan besar dilakukan dalam konteks geografis dan institusional yang spesifik, generalisasi temuannya ke lingkungan pendidikan lain harus dilakukan dengan hati-hati. Kedua, ketergantungan pada data survei berarti bahwa hasil yang diperoleh didasarkan pada persepsi dan niat, bukan pada perilaku adopsi aktual dalam jangka panjang.
Secara kritis, temuan mengenai insignifikansi kemudahan penggunaan merupakan hasil yang provokatif yang menuntut eksplorasi lebih lanjut. Penelitian kualitatif di masa depan dapat menggali lebih dalam untuk memahami mengapa faktor ini tidak menjadi pendorong utama dalam konteks ini, apakah karena tingkat literasi digital yang tinggi di kalangan responden, atau karena sifat tugas yang begitu menantang sehingga manfaat fungsional jauh lebih diutamakan daripada kemudahan interaksi.
Implikasi Ilmiah di Masa Depan
Secara praktis, implikasi dari penelitian ini sangat jelas bagi para pengembang perangkat lunak pendidikan dan administrator universitas. Pesan utamanya adalah: prioritaskan fungsionalitas dan kegunaan di atas segalanya. Dalam merancang dan memilih sistem integrasi, fokus utama harus diberikan pada fitur-fitur yang secara langsung mendukung tujuan pedagogis dan meningkatkan efektivitas pembelajaran.
Untuk penelitian di masa depan, karya ini membuka beberapa jalan. Studi replikasi di berbagai negara dan jenis institusi akan sangat berharga untuk menguji kekokohan model hibrida TAM-TTF ini. Selain itu, penelitian longitudinal yang melacak adopsi aktual dari waktu ke waktu dapat memberikan validasi yang lebih kuat terhadap hubungan antara niat dan perilaku. Terakhir, investigasi lebih lanjut mengenai faktor-faktor yang memoderasi hubungan antara kemudahan penggunaan dan niat adopsi (misalnya, pengalaman teknologi sebelumnya atau kompleksitas tugas) akan menjadi kontribusi yang signifikan bagi literatur.
Sumber
Rugube, T. T., & Govender, D. (2022). Evaluation of a Software Model for Integrating Learning Management Systems and Massive Open Online Courses. International Journal of Innovative Research and Scientific Studies, 5(3), 170-183.
Pendidikan Digital & Teknologi Informasi
Dipublikasikan oleh Afridha Nu’ma Khoiriyah pada 20 Mei 2025
Pendahuluan
Ketimpangan distribusi guru merupakan masalah krusial dalam pemerataan pendidikan di Indonesia. Artikel karya Priambodo dan Prasetyo mengangkat isu ini melalui pendekatan teknologi berbasis data spasial dan algoritma clustering K-Means. Penelitian ini berfokus pada Provinsi Banten sebagai studi kasus, menggunakan sistem informasi geografis (SIG) untuk memetakan dan menganalisis konsentrasi guru.
Dalam era transformasi digital, pemanfaatan data spasial untuk perencanaan kebijakan pendidikan bukan hanya inovatif, melainkan mendesak. Artikel ini menjadi contoh konkret bagaimana data science dan kebijakan publik bisa bersinergi untuk mengatasi persoalan sistemik dalam pendidikan.
Tujuan dan Signifikansi Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
Mengidentifikasi pola distribusi guru di Provinsi Banten.
Mengklasifikasikan wilayah berdasarkan kepadatan jumlah guru menggunakan algoritma K-Means.
Memberikan rekomendasi kebijakan pemerataan guru yang berbasis bukti (evidence-based policy).
Pendekatan ini sangat penting mengingat distribusi guru yang tidak merata bisa berdampak langsung terhadap kualitas pembelajaran. Ketimpangan itu seringkali muncul antara wilayah urban dan rural, serta antara sekolah negeri dan swasta.
Metode Penelitian
a. K-Means untuk Klasterisasi Spasial
Algoritma K-Means digunakan untuk mengelompokkan data sebaran guru ke dalam beberapa klaster berdasarkan kemiripan atribut. Peneliti menetapkan jumlah klaster (k) = 3, yaitu:
Wilayah dengan jumlah guru tinggi.
Wilayah dengan jumlah guru sedang.
Wilayah dengan jumlah guru rendah.
b. Data & Tools yang Digunakan
Data utama: Jumlah guru SD, SMP, dan SMA per kabupaten/kota di Provinsi Banten (tahun 2015).
Koordinat spasial: Menggunakan sistem koordinat geografis pada level kabupaten/kota.
Perangkat lunak: QGIS untuk pemetaan spasial, dan Weka untuk penerapan K-Means clustering.
Kombinasi SIG dan data mining ini memperlihatkan efisiensi pendekatan kuantitatif dalam kajian pendidikan.
Temuan Utama dan Analisis Data
Klaster Hasil K-Means:
Klaster 1 (Tinggi): Kota Tangerang Selatan dan Kota Tangerang – memiliki kepadatan guru yang jauh lebih tinggi, kemungkinan besar karena jumlah penduduk dan institusi pendidikan lebih padat.
Klaster 2 (Sedang): Kabupaten Serang, Kota Cilegon – mencerminkan area transisi antara urban dan rural dengan penyebaran guru yang relatif stabil.
Klaster 3 (Rendah): Kabupaten Pandeglang, Kabupaten Lebak – wilayah pedalaman yang secara geografis terpencil dan cenderung mengalami kekurangan tenaga pengajar.
Analisis Visual Peta
Peta hasil klasterisasi memberikan visualisasi yang jelas tentang ketimpangan penyebaran guru. Misalnya, Kabupaten Lebak tampak “dingin” dalam peta, menunjukkan konsentrasi guru yang sangat rendah. Ini memperkuat argumen bahwa wilayah ini butuh intervensi kebijakan afirmatif.
Studi Kasus
Data menunjukkan bahwa perbandingan jumlah guru per siswa sangat timpang. Jika Kota Tangerang Selatan memiliki 1 guru untuk setiap 20 siswa, Kabupaten Lebak bisa mencapai 1 guru untuk setiap 50 siswa.
Hal ini berdampak pada:
Tingginya beban kerja guru di wilayah terpencil.
Minimnya pembelajaran berbasis diferensiasi di sekolah pinggiran.
Kesulitan implementasi kurikulum merdeka karena keterbatasan sumber daya manusia.
Nilai Tambah
Penggunaan algoritma K-Means sebagai instrumen analitik dalam perencanaan pendidikan merupakan langkah maju yang relevan dengan revolusi industri 4.0. Jika diperluas ke tingkat provinsi lain atau nasional, model ini bisa menjadi dashboard perencanaan kebutuhan guru secara dinamis.
Rekomendasi Penguatan Model:
Tambah variabel demografis: Usia guru, status PNS atau honorer, rasio siswa per guru.
Integrasi temporal: Analisis data multiyear untuk melihat tren distribusi.
Pemetaan berbasis kecamatan: Untuk detil spasial yang lebih tinggi.
Kelebihan dan Kelemahan Penelitian
Kelebihan:
Inovatif: Integrasi SIG dan machine learning dalam pemetaan pendidikan.
Visualisasi kuat: Peta spasial memberi dampak komunikasi kebijakan yang efektif.
Metodologi kuantitatif valid: K-Means adalah metode unsupervised learning yang solid untuk eksplorasi data spasial.
Kelemahan:
Resolusi data terbatas: Level kabupaten/kota tidak cukup detail untuk intervensi spesifik.
Aspek kualitas guru tidak dibahas: Jumlah guru belum tentu mencerminkan mutu pengajaran.
Tidak membahas alokasi anggaran daerah: Faktor fiskal dan perencanaan daerah bisa jadi penghambat distribusi guru.
Perbandingan dengan Penelitian Sebelumnya
Penelitian ini sejalan dengan studi seperti yang dilakukan oleh Andalas et al. (2020) di Sumatera Barat yang juga menggunakan pendekatan spasial dalam distribusi guru. Namun, pendekatan K-Means memberi keunggulan dalam otomatisasi dan objektivitas pemetaan klaster. Berbeda dengan pendekatan subjective scoring atau kualitatif yang lebih banyak digunakan sebelumnya.
Relevansi Terhadap Tantangan Nasional
Kesenjangan distribusi guru merupakan persoalan yang sangat relevan dengan agenda reformasi pendidikan nasional. Terutama dalam konteks:
Implementasi Kurikulum Merdeka.
Penguatan sekolah inklusif dan pengembangan daerah tertinggal.
Target SDG’s poin 4 tentang pemerataan pendidikan berkualitas.
Dengan pendekatan semacam ini, pemerintah pusat dan daerah dapat menetapkan skema rotasi guru, insentif penempatan di daerah terpencil, hingga seleksi CPNS yang berbasis kebutuhan spasial.
Kesimpulan
Paper ini menunjukkan bahwa integrasi antara data spasial dan data science seperti K-Means clustering sangat relevan untuk menjawab tantangan pendidikan di Indonesia. Penyebaran guru yang tidak merata di Provinsi Banten adalah cerminan dari isu nasional yang lebih luas. Dengan pemetaan berbasis bukti, pemerintah dapat menyusun kebijakan yang lebih tepat sasaran.
Penggunaan SIG dan K-Means dalam konteks ini tidak hanya memperkuat kapasitas analitik perencanaan pendidikan, tapi juga membuka ruang kolaborasi antara ahli teknologi, pendidik, dan pengambil kebijakan. Ke depan, riset semacam ini perlu diadopsi lebih luas dan dikembangkan dengan resolusi spasial yang lebih tinggi untuk mencapai keadilan pendidikan yang sesungguhnya.
Sumber
Yohanes Aji Priambodo & Sri Yulianto Joko Prasetyo.
Pemetaan Penyebaran Guru di Provinsi Banten dengan Menggunakan Metode Spatial Clustering K-Means (Studi kasus: Wilayah Provinsi Banten).
Jurnal Ilmiah Informatika Komputer, Universitas Amikom Yogyakarta.