Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat

Prakarsa Keuangan Swasta: Ir. Solusi Yusuf Hariagung untuk Kekurangan Perumahan Saat Ini

Dipublikasikan oleh Kania Zulia Ganda Putri pada 19 April 2024


Sebuah disertasi doktoral oleh Ir. Moch. Yusuf Hariagung, M.M., M.T., inspektur di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat yang baru saja meraih gelar doktor di bidang Teknik Sipil dari Fakultas Teknik Universitas Indonesia (FTUI), berusaha untuk mengatasi kurangnya perumahan yang tersedia bagi sebagian besar penduduk Indonesia yang terus meningkat. Disertasinya berjudul "Pengembangan Kelembagaan dalam Pengadaan Perumahan bagi Pekerja Berpenghasilan Tidak Tetap di Daerah Perkotaan di Indonesia melalui Pembentukan Unit Pusat Inisiatif Pembiayaan Swasta (Private Finance Initiative/PFI) dalam Upaya Pengurangan Backlog Perumahan" (catatan TL: judul bahasa Inggris yang diberikan di atas adalah terjemahan yang dibuat oleh penerjemah dari judul yang diberikan dalam versi bahasa Indonesia artikel ini, dan oleh karena itu tidak mencerminkan terjemahan bahasa Inggris yang sama yang diberikan dalam makalah oleh penulis aslinya [yaitu Dr. Yusuf]).

"Kurangnya perumahan yang layak huni juga berkontribusi terhadap perluasan kawasan kumuh di perkotaan. Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) hanya mampu memenuhi 30% atau sekitar 400.000 unit per tahun dari kebutuhan perumahan rakyat. Jumlah ini masih jauh dari kebutuhan rumah di Indonesia yang mencapai 1,46 juta unit per tahun. Untuk mengatasi hal tersebut, diperlukan alternatif pendanaan untuk penyediaan infrastruktur perumahan dari badan atau badan usaha swasta. Salah satu skema pendanaan alternatif tersebut adalah Private Finance Initiative."

Tren global pertumbuhan eksponensial yang cepat yang tidak disertai dengan pasokan perumahan yang stabil telah menjadi penyebab backlog perumahan, yang didefinisikan sebagai selisih antara jumlah perumahan yang tersedia dan jumlah keluarga yang telah mendapatkan perumahan (backlog perumahan, oleh karena itu, mengindikasikan adanya keluarga yang tidak memiliki tempat tinggal, yaitu kekurangan perumahan), di banyak negara termasuk Indonesia, negara terbesar keempat di dunia berdasarkan jumlah penduduk. Pada tahun 2020, angka backlog di Indonesia telah mencapai angka yang cukup tinggi, yaitu 13,7 juta unit. Jumlah ini akan terus meningkat karena populasi Indonesia diperkirakan akan meningkat menjadi 305 juta jiwa pada tahun 2035, meningkat 30 juta jiwa dari angka saat ini (2022) sekitar 275 juta jiwa. Proyeksi peningkatan ini sebagian dapat dikaitkan dengan fenomena demografis yang dikenal sebagai dividen demografis (lebih dikenal di Indonesia sebagai bonus demografis), sebuah 'ledakan' yang disebabkan oleh pergeseran piramida usia. Singkatnya, akan ada lebih banyak penduduk usia kerja (definisi UNPFA: 15-64 tahun) dibandingkan dengan mereka yang terlalu muda atau terlalu tua untuk bekerja.

sumber: www.ui.ac.id

Dividen demografi dikenal sebagai bonus karena peningkatan populasi usia kerja, dalam situasi yang tepat, dapat menjadi 'uluran tangan' tambahan bagi suatu negara, menyediakan tenaga kerja yang lebih banyak, namun dalam situasi yang kurang optimal, mereka justru dapat menjadi korban dari kurangnya lapangan kerja dan perumahan. Selain pengangguran, masalah dalam pengadaan dan penyediaan perumahan juga diperkirakan akan terjadi karena sebagian besar dari 30 juta penduduk Indonesia diperkirakan terdiri dari para pekerja dan pencari kerja yang a) berpenghasilan tidak tetap dan b) berkontribusi besar terhadap laju urbanisasi yang terus meningkat. Pada tahun 2020, 56,7% penduduk Indonesia tinggal di daerah perkotaan. Sebanyak 60,93% di antaranya adalah pekerja di sektor informal yang memiliki pendapatan tidak tetap. Penghasilan tidak tetap mereka dapat menjadi penghalang untuk mendapatkan kredit perumahan atau pinjaman dari lembaga keuangan (bank, dll.), sehingga membuat mereka berisiko menjadi tunawisma. Inilah masalah yang ingin diatasi oleh proposal Yusuf.

Dalam skema Yusuf, Inisiatif Pembiayaan Swasta (PFI), yang dianggapnya sebagai model kelembagaan yang efektif, akan diadopsi dan diintegrasikan ke dalam sistem pemerintahan sebagai "unit pusat PFI" yang akan meningkatkan efektivitas dan efisiensi birokrasi Indonesia. Kehadiran unit pusat dalam struktur PFI merupakan solusi yang memungkinkan integrasi proses birokrasi investasi infrastruktur di Indonesia yang saat ini sangat panjang dan membosankan.

"Unit pusat PFI yang diusulkan akan memiliki beberapa fungsi, yaitu memfasilitasi perolehan dokumen perencanaan proyek, jaminan proyek, dukungan pemerintah untuk proyek-proyek, koordinasi dalam dukungan pemerintah [pusat] untuk pemerintah daerah, bantuan dalam proses pengadaan untuk badan-badan swasta, dan koordinasi antara para pemangku kepentingan dan calon investor."

Ir. Yusuf berpendapat bahwa rumah susun sewa adalah jenis perumahan yang jauh lebih cocok untuk mereka yang berpenghasilan tidak tetap daripada rumah tapak. Akomodasi semacam itu menghindari risiko kegagalan pembayaran [dari pihak penyewa atau penjamin], karena kehadiran PFI sebagai penjamin meningkatkan bankabilitas penyewa, sehingga memungkinkan mereka untuk mendapatkan kredit perumahan. Skema ini, sebuah bentuk pembiayaan kreatif, mengalihkan risiko dari pemerintah ke badan atau bisnis swasta dan memangkas durasi perencanaan dengan meningkatkan efektivitas pelaksanaan proyek.

Penyediaan rumah susun yang dapat disewa melalui badan-badan PFI diharapkan dapat menyediakan 200.000 unit per tahun, yang berarti peningkatan 33,4% dalam pengadaan perumahan, dengan peningkatan 30% dalam investasi dari sektor swasta. Faktor penentu keberhasilan pengadaan perumahan bagi masyarakat perkotaan yang berpenghasilan tidak tetap terletak pada efektivitas fasilitas yang dikelola oleh pemerintah daerah, meskipun rumah susun tersebut dibangun di bawah naungan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.

Heri Hermansyah, ST, M.Eng, IPU, selaku dekan Fakultas Teknik, yang memimpin sidang pemberian gelar doktor kepada Ir. Moch. Yusuf Hariagung, mengatakan hal ini tentang proposal yang diajukan oleh Yusuf: "Kami berharap pemerintah dapat menggunakan PFI untuk mendorong sektor swasta untuk menginvestasikan dana pada proyek-proyek yang menjanjikan tingkat pengembalian yang baik. Sektor swasta, seperti yang kita ketahui, masih memainkan peran yang sangat minim dalam pengadaan perumahan di Indonesia. PFI telah berhasil diadopsi di Inggris dan Australia untuk mengatasi kekurangan perumahan di kedua negara tersebut."

sumber: www.ui.ac.id

Yusuf berhasil meraih gelar doktor dengan predikat cumlaude dalam ujian promosi yang diselenggarakan di Fakultas Teknik Universitas Indonesia, Selasa (22/3), dan menjadi doktor ke-449 yang diluluskan oleh Fakultas Teknik UI. Bertindak sebagai Ketua Sidang adalah Prof. Heri Hermansyah, S.T., M.Eng., IPU, sedangkan Promotor dan Kopromotor adalah Prof. Yusuf Latief, M.T. dan Dr. Achmad Jaka Santos Adiwijaya, S.H., L.L.M.. Tim Penguji terdiri dari Ayomi Dita Rarasati, S.T., M.T., Ph.D., Dr. Herry Trisaputra Zuna, S.E., M.T., Ir. Akhmad Suraji, M.T., Ph.D., IPM, Fadhilah Muslim, S.T., M.Sc., Ph.D., DIC dan Leni Sagita Riantini, S.T., M.T., Ph.D.

Disadur dari: www.ui.ac.id

 

 

Selengkapnya
Prakarsa Keuangan Swasta: Ir. Solusi Yusuf Hariagung untuk Kekurangan Perumahan Saat Ini

Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat

Public Housing Rumah Susun Perkotaan Solusi Hidup Terjangkau Di Tengah Kota Bagi Masyarakat Indonesia Di Masa Depan

Dipublikasikan oleh Kania Zulia Ganda Putri pada 18 April 2024


Saat ini, lebih dari setengah (55%) populasi Indonesia hidup di perkotaan. Di tahun 2045, diperkirakan bahwa populasi penduduk perkotaan akan meningkat 63,8 juta dari tahun 2015 dimana 67,1% nya tinggal di perkotaan (Badan Pusat Statistik, 2019). Angka tersebut menjadikan Indonesia, dibandingkan negara-negara di dunia, menempati urutan ke-4 sebagai negara dengan penduduk perkotaan tertinggi. Perkembangan penduduk perkotaan yang cepat di lahan yang semakin terbatas berimplikasi pada urgensi sistem penyediaan perumahan dan akses infrastruktur dasar yang tepat.

Namun, pada kenyataannya, kota-kota di Indonesia memiliki kapasitas terbatas dalam penyediaan pelayanan infrastruktur dasar dan perumahan layak bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Tingginya harga lahan dan rumah menyebabkan masyarakat harus tinggal di pinggiran kota tanpa akses transportasi publik yang memadai untuk berangkat ke tempat kerja. Akhirnya, banyak yang harus rela menempuh commuting time lebih dari 1 jam akibat kemacetan lalu lintas yang tidak dapat dihindari.

Kondisi fisik bangunan pun tidak menunjukan hal yang cukup baik. Menurut hasil pengolahan Susenas Tahun 2019, saat ini terdapat 15,5 juta (38,9%) rumah tangga perkotaan yang tinggal di unit rumah dengan kondisi di bawah standar yang mayoritas disebabkan oleh kondisi air bersih dan sanitasi. Selain itu, 3,9 juta rumah tangga perkotaan di Indonesia, terutama di Provinsi Jawa Barat, DKI Jakarta, Jawa Timur, Banten, dan Jawa Tengah masih harus bersesakan tinggal di hunian yang berukuran tidak memadai padahal disana merupakan tempat dimana kawasan metropolitan terbesar di Indonesia berada. Kepadatan hunian sendiri bukan merupakan hal yang bisa diabaikan. Tingginya interaksi antar manusia di dalam hunian yang tidak layak akan beresiko terhadap cepatnya penyebaran penyakit yang menular akibat interaksi antar manusia seperti TBC atau Covid-19.

 Di tengah lahan perkotaan yang semakin terbatas sedangkan kebutuhan akan rumah layak juga terus meningkat, maka pilihan untuk meningkatkan kepadatan penduduk dalam satu wilayah ke dalam bentuk hunian vertikal, baik high rise atau pun low rise, menjadi satu-satunya cara dalam mengatasi kepadatan hunian sekaligus meningkatkan supply perumahan layak terjangkau bagi masyarakat. Mempertimbangkan hal tersebut, Pemerintah Indonesia dalam RPJMN 2020-2024 mendorong upaya peremajaan kota secara inklusif melalui konsolidasi tanah dalam rangka mewujudkan kota yang inklusif dan layak huni. Salah satu upaya yang akan dilakukan adalah dengan mengembangkan public housing berupa Rumah Susun Perkotaan, yang dicanangkan sebagai major project Tahun 2020-2024.

Tidak ada definisi pasti mengenai public housing karena setiap negara memiliki makna yang berbeda mengenainya. Namun, rata-rata seluruhnya memiliki latar belakang yang sama yaitu kebutuhan akan rumah yang layak dan terjangkau bagi masyarakat yang sulit mengaksesnya dari sektor privat, seperti masyarakat berpendapatan rendah. Definisi di Asia sendiri bervariasi, ada yang berupa perumahan sewa dan milik yang disediakan dan didanai langsung oleh pemerintah (Hong Kong dan Singapura) atau disediakan berupa rumah sewa yang dibangun dan dikelola melalui subsidi pemerintah untuk rumah tangga berpenghasilan rendah (China, Korea Selatan, Taiwan, dan Jepang). Indonesia cenderung untuk menggunakan definisi public housing rumah susun perkotaan berupa apartemen transit yang mendukung implementasi sistem karir perumahan (sewa ke milik), bisa disediakan oleh pemerintah maupun swasta, namu dikelola oleh lembaga yang dibentuk pemerintah untuk mengelolanya, termasuk memastikan kesesuaian target sasaran dan berjalannya sistem karir perumahan (housing career system).

Jehansyah Siregar, seorang pakar arsitektur dan perumahan di Indonesia menyebutkan bahwa Public housing dapat menjadi salah satu solusi praktis bagi penyediaan hunian layak skala besar di perkotaan, di tengah keterbatasan lahan, serta dapat menjangkau lapisan masyarakat menengah ke bawah. Public housing juga dapat menjadi bagian dalam penataan kota yang lebih komprehensif, baik dalam konteks urban renewal atau peremajaan, relokasi permukiman, atau pembangunan kota dan kawasan baru. Namun, hal yang terpenting adalah public housing menjadi salah satu bentuk perwujudan kehadiran negara dalam penyediaan rumah untuk seluruh rakyat, sebagai strategi pembangunan kota yang berkelanjutan.

Mungkinkah membangun hunian vertikal di kota-kota besar Indonesia? Hasil penelitian Van den Ouden, “The Vertical Village: Jakarta Impian (A Dream for Jakarta) Tahun 2016 yang dikutip oleh RUJAK Centre of Urban Studies menunjukan bahwa kepadatan penduduk kota-kota di Indonesia seperti DKI Jakarta masih berada di bawah negara lain seperti Singapura atau Hongkong. Penelitian tersebut juga menunjukan bahwa dengan kondisi kepadatan di Indonesia, jika kota seperti DKI Jakarta ingin membangun seluruh permukiman kota dengan kepadatan seperti Singapura dengan Koefisien Lantai Bangunan (KLB) 8 atau Hong Kong dengan KLB 15, maka hanya akan membutuhkan luas seperduabelas hingga seperempat luas Jakarta untuk menampung kepadatan penduduk eksisting. Artinya, upaya mengatasi kepadatan penduduk sekaligus meningkatkan supply akan perumahan terjangkau di perkotaan melalui public housing rumah susun perkotaan sangat mungkin dilakukan, namun diperlukan kreativitas dalam mencari potensi-potensi lahan/pembiayaan yang dapat dimanfaatkan. Contohnya kerjasama dengan masyarakat pemilik lahan, revitalisasi rusun-rusun perkotaan eksisting yang sudah mengalami penurunan fungsi dan kualitas, menjadikan pembangunan public housing rumah susun perkotaan sebagai bagian dari konsolidasi tanah permukiman padat, atau memanfaatkan kewajiban hunian berimbang bagi pengembang.

Pembangunan rumah susun sendiri bukan merupakan hal baru, baik di Indonesia maupun luar negeri. Di luar negeri, kesuksesan beberapa negara seperti Singapura, Korea Selatan, dan Hongkong dalam pembangunan rumah susun berkepadatan tinggi bisa dijadikan gambaran positif dari implementasi kebijakan dalam praktek di lapangan. Sedangkan di Indonesia, Sejak tahun 1981, Pemerintah telah memulai pembangunan Rumah Susun misalnya di Kawasan Tanah Abang DKI Jakarta. Pembangunan tersebut ditujukan untuk mengurai kepadatan penduduk di DKI Jakarta yang semakin bertambah dari tahun ke tahun. Namun, berbeda dengan negara di Asia lainnya seperti Korea dan Singapura, pembangunan rumah susun di Indonesia tidak berkembang pesat seperti yang diharapkan. Stok untuk Rusunawa yang ada tidak dapat memenuhi kebutuhan akan rumah sewa. Stok Rusunawa hanya sekitar 27.965 unit yang mana hanya memenuhi kurang lebih 5,2% kebutuhan di Kawasan Metropolitan. Angka tersebut belum memperhitungkan kebutuhan rumah sewa untuk rumah tangga yang saat ini menumpang, yang terdampak relokasi, dan peningkatan kebutuhan akan rumah sewa per tahun.

Pengembangan public housing ke depan diharapkan dapat menjadi bagian dalam penataan kota yang lebih komprehensif dalam konteks urban renewal, juga dapat secara bertahap mengatasi persoalan-persoalan penyediaan rumah terjangkau di perkotaan dengan pengelolaan yang lebih mumpuni, terutama dalam memastikan berjalannya housing career system perumahan, dimana masyarakat dapat secara bertahap menghuni rumah sesuai kebutuhan dari sewa sampai milik. Oleh karena itu, hal yang akan dibangun adalah konsep apartemen transit sebagai pilihan hunian yang layak dan terjangkau dengan lokasi yang strategis di perkotaan atau dekat dengan simpul transportasi dan pusat kegiatan. Konsep transit diimplementasikan dengan masyarakat menghuni apartemen transit yang tersedia sambil menabung untuk dapat membeli hunian milik. Setelah 3 – 5 tahun menghuni apartemen transit dan menabung, masyarakat kemudian mengakses fasilitas pembiayaan perumahan seperti KPR atau produk pembiayaan lainnya sehingga lama kemanaan masyarakat dapat menempati hunian milik sendiri sesuai dengan kebutuhan rumah tangganya. Dalam memastikan berjalannya hal-hal tersebut, tentunya dibutuhkan sistem pengelolaan yang lebih mapan. Hal inilah yang akan membedakan proyek pembangunan rumah susun yang akan dilakukan dengan major project Public Housing.

Sistem hunian vertikal saat ini, walaupun masih banyak menyisakan permasalahan, namun pemenuhannya adalah keniscayaan. Di masa pandemi ini, kita semakin disadarkan pentingnya peningkatan akses setiap lapisan masyarakat terhadap hunian layak dan aman yang terjangkau. Oleh karena itu, penyediaan rumah layak dan aman yang terjangkau melalui penyediaan public housing rumah susun perkotaan ini menjadi suatu kewajiban yang harus kita perjuangkan bersama.

Sumber: www.nawasis.org

Selengkapnya
Public Housing Rumah Susun Perkotaan Solusi Hidup Terjangkau Di Tengah Kota Bagi Masyarakat Indonesia Di Masa Depan

Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat

Tantangan Penyediaan Perumahan Terjangkau di Perkotaan Indonesia

Dipublikasikan oleh Kania Zulia Ganda Putri pada 18 April 2024


Latar Belakang Perlunya Pengembangan Public Housing di Indonesia

Indonesia menempati urutan ke-4 sebagai negara yang memiliki penduduk perkotaan tertinggi di dunia. Saat ini, lebih dari separuh (55 persen) penduduk Indonesia bertempat tinggal di perkotaan dan diperkirakan akan terus meningkat menjadi sekitar 67,1 persen pada tahun 2045. Fakta tersebut memberikan implikasi pada urgensi pe rlunya sistem penyediaan perumahan yang terjangkau oleh masyarakat agar dapat bertempat tinggal yang layak di perkotaan. Akan tetapi, kondisi saat ini menunjukan hal yang berlawasanan. Pertama, saat ini hampir 40% rumah tangga perkotaan masih menempati rumah yang tidak layak huni. Kedua, harga rumah juga semakin tidak terjangkau, tidak sebanding dengan kenaikan pendapatan masyarakat sehingga menyebabkan masyarakat harus tinggal di pinggiran kota tanpa terlayani akses transportasi publik yang memadai. 

Akibatnya, banyak orang yang harus rela menempuh commuting time lebih dari 1 jam ke tempat kerja dan mengalami kemacetan lalu lintas. Ketiga, rumah sewa memiliki pasar yang cukup besar namun rumah sewa di perkotaan dengan harga terjangkau sulit diperoleh. Kenyataan di atas seakan memaksa masyarakat untuk melakukan trade off untuk memiliki rumah sendiri namun perlu menanggung transportation cost yang cukup besar. Pada sisi yang lain, untuk tinggal di lokasi yang dekat dengan pekerjaan di kota harus dihadapkan dengan besarnya harga jual/sewa rumah yang harus dibayar. Lebih jauh lagi, sebagian yang lain memilih untuk menempati permukiman padat dan kumuh namun lebih dekat ke lokasi pekerjaan dengan biaya sewa yang murah. Pemerintah Indonesia kemudian dalam RPJMN 2020-2024 mendorong berkembangnya penyediaan hunian vertikal di perkotaan terutama metropolitan sebagai major project bidang perumahan yang dikenal dengan Program Satu Juta Rumah Susun dalam Kerangka Public Housing.

Pemerintah mendorong penyedian 500 ribu rumah susun sewa dan 500 ribu rumah susun milik selama kurun waktu lima tahun ke depan. Inisiatif tersebut perlu disambut karena masyarakat perkotaan akan diberikan pilihan berdasarkan sistem karir perumahan yang akan dilalui sesuai perkembangan ukuran keluarga dan maturity lainnya seperti besarnya penghasilan. Sebagai contoh, bagi mereka yang baru lulus kuliah, belum menikah dan mulai bekerja di kota tentunya pada tahap awal lebih memerlukan hunian sewa dengan ukuran kecil. Namun, seiring berjalannya waktu maka kebutuhan akan hunian lebih besar serta upaya untuk memiliki rumah sendiri menjadi cita-cita masyarakat.

Sejarah pengembangan di Asia

Praktek penyediaan public housing bukan merupakan hal baru. Dilatarbelakangi oleh pemenuhan perumahan pasca Perang Dunia II, negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan Inggris sudah memulai pembangunan public housing sejak tahun 1940 dan Jepang memulainya sejak tahun 1950. Dahulu public housing di negara-negara tersebut dibangun bagi para tentara yang baru kembali dari medan perang atau orang-orang yang kehilangan rumahnya pasca perang dunia. Semakin lama, tujuan tersebut bertranformasi untuk memenuhi kebutuhan keluarga menengah ke bawah yang tidak mampu menjangkau rumah layak.

Hongkong

Sejak kisaran tahun 1930, Hong Kong menghadapi migrasi pengungsi besar-besaran dari Mainland China dan menyebabkan kekurangan supply rumah yang sangat besar. Dampaknya, permukiman kumuh tumbuh dengan cepat. Pemerintah Hong Kong di tahun 1935 sudah berencana membangun rumah murah secara masif untuk memenuhi kebutuhan rumah tersebut, namun dikarenakan adanya guncangan ekonomi, rencana tersebut tidak terlaksana. Akan tetapi, momentum perubahan datang saat terjadinya kebakaran besar di kawasan permukiman padat Shep Kip Mei tahun 1953 dan menyebabkan 50.000 keluarga mendadak kehilangan rumah. Pemerintah Hong Kong menangkap hal tersebut sebagai kesempatan untuk melakukan penataan dengan memperkenalkan konsep “rumah bertingkat” yang kemudian dikenal sebagai istilah Public Housing. Tahun 1954, public housing pertama di kawasan Shep Kip Mei selesai dibangun dan siap dihuni. Sejak saat itu, pembangunan public housing di Hong Kong kemudian terus berkembang dengan pesat.

Public Housing Shep Kip Mei Beberapa Tahun setelah Pembangunan (1956)

Sumber: www.nawasis.org

Kin Ming Estate Tahun 2003 yang Menampung 22.000 Jiwa

Sumber: www.nawasis.org

Singapura

Singapura mulai gencar membangun public housing di tahun 1960 dengan diawali oleh pembentukan Housing Development Board (HDB), sebuah statutory board di bawah Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional Singapura dengan fokus menyediakan hunian terjangkau berupa public housing. Empat tahun setelah HDB berdiri, Singapura berhasil membangun 31.317 basic functional unit public housing bagi warganya sehingga kemudian mendorong pemerintah Singapura untuk mengkombinasikan penyediaan public housing tersebut dengan berbagai skema pembiayaan perumahan seperti Home Ownership Scheme. Bahkan kemudian di tahun 1968, Pemerintah Singapura kemudian mengizinkan pemanfaatan Central Provident Fund (CPF) untuk pembayaran uang muka dan cicilan rumah selain untuk tabungan pensiun dan kesehatan. Pada akhirnya, dengan berbagai skema dan fasilitas pembiayaan yang ditawarkan, membuat saat ini public housing menjadi rumah bagi 80% warga Singapura, dimana 90% diantaranya berstatus pemilik.

Berkembangnya pasar public housing di Singapura juga menjadikan bunga cicilan kepemilikan public housing juga sangat terjangkau, yaitu hanya sebesar 2,6% dan akhirnya memicu kompetisi pasar rumah murah dimana commercial banks juga berlomba-lomba untuk menyediakan produk cicilan rumah dengan bunga setara HDB. Berkembangnya pasar public housing di Singapura menjadikannya sebagai alat kontrol politik, ekonomi, dan sosial yang besar oleh pemerintah.

Komplek Public Housing di Singapore

Sumber: www.nawasis.org

Korea Selatan

Korea Selatan memulai mengembangkan public housing di tahun 1988, bertepatan dengan persiapan olimpiade di Seoul. Pada saat itu, pembangunan public housing dilaksanakan sebagai bagian dari penanganan permukiman kumuh yang dianggap dapat mencoreng wajah Korea Selatan di mata dunia. Pada awalnya, pemerintah juga membangun di atas lahan-lahan milik pemerintah. Untuk mengatasi keterbatasan lahan dan pendanaan serta permintaan yang semakin besar, pada tahun 1990 pemerintah melalui Korea Housing Authority kemudian mendorong penyediaan public housing melalui pihak swasta dengan memberikan berbagi insentif. Selain itu, pemerintah juga membeli apartemen-apartemen tua dan melakukan renovasi untuk kemudian disewakan/dijual kepada masyarakat berpendapatan rendah. Model pembangunan tersebut berlangsung hingga saat ini.

Kawasan Public Housing di Area Yeouido-dong, Seoul

Sumber: www.nawasis.org

Perjalanan Pengembangan Public Housing di Indonesia

Di Indonesia, sSejak tahun 1981, Pemerintah telah memulai pembangunan Rumah Susun pertama di kawasan Tanah Abang, Jakarta Pusat. Pembangunan tersebut ditujukan untuk mengurai kepadatan penduduk di DKI Jakarta yang semakin bertambah dari tahun ke tahun. Upaya tersebut terus berlanjut sampai puncaknya pada tahun 2006 dimana pemerintah mengagas program pembangunan hunian vertikal secara besar-besaran melalui Program Seribu Tower. Untuk mendukung program tersebut, pemerintah menetapkan Keputusan Presiden (Kepres) Nomor 22 Tahun 2006 tentang Tim Koordinasi Percepatan Pembangunan Rumah Susun di Kawasan Perkotaan. Pada saat itu dikenalkan konsep Rumah Susun Sederhana Milik (Rusunami) secara masif dengan pilot project di 10 kota metropolitan.

Berbeda dengan negara di Asia lainnya seperti Korea dan Singapura, pembangunan rumah susun di Indonesia tidak berkembang pesat seperti yang diharapkan. Program Seribu Tower tersebut nyatanya tidak berjalan sejak tahun 2013 akibat berbagai faktor, seperti tidak berjalannya berbagai insentif yang diperlukan oleh pengembang (misal: percepatan perizinan, PSU, keringanan BPHTB, penyediaan kredit konstruksi, dll), tingginya harga lahan di lokasi strategis sedangkan lahan yang disediakan pemerintah sebagian besar tidak berstatus clean and clear, dll, sedangkan harga jual dibatasi oleh pemerintah. Hal tersebut pada akhirnya membuat pengembang menaikan harga jual serta konsep Rusunami berubah perlahan dan berganti menjadi Apartemen Sederhana Milik (Anami).

Seperti halnya dengan Rusunami, program Rusunawa juga tidak berkembang pesat. Data menunjukan bahwa stok Rusunawa saat ini hanya sekitar 27.965 unit atau hanya memenuhi kurang lebih 5,2% kebutuhan di Kawasan Metropolitan. Angka tersebut belum memperhitungkan kebutuhan rumah sewa untuk rumah tangga yang saat ini menumpang, yang terdampak relokasi, dan peningkatan kebutuhan akan rumah sewa per tahun.

Prinsip Pengembangan Public Housing

Merujuk pada pengalaman dari negara lain, dapat disimpulkan bahwa keberhasilan pengembangan public housing didasari oleh prinsip sebagai berikut:

  • Pentingnya kerangka pengembangan public housing yang komprehensif dari hulu ke hilir. Penyediaan hunian perkotaan tidak hanya terkait dengan aspek konstruksi dan penyediaan lahan namun juga memerlukan kerangka yang komprehensif dari hulu sampai hilir. Pengalaman di Hong Kong, Singapura, dan Korea Selatan menunjukan pentingnya hal tersebut dengan membentuk suatu lembaga khusus yang berperan dalam penyediaan hingga pengelolaan public housing. Pengalaman Singapura juga menunjukan bahwa selain meningkatkan sisi supply, integrasi dengan sisi demand/pembiayaan perumahan juga memegang peranan penting dalam keberhasilan pembagunan public housing, terutama dalam memastikan masyarakat dapat mengaksesnya dengan harga yang terjangkau.
  • Keberhasilan pembangunan public housing tidak ditentukan dari berapa jumlah rumah susun yang dibangun, tetapi juga bagaimana dikelola dengan sistem yang professional untuk melayani berbagai keragaman preferensi masyarakat beserta segala dinamikanya. Masyarakat dapat secara bertahap menempati hunian sesuai perubahan kebutuhan dan tingkat kesejahteraannya.
  • Public housing tidak hanya dipandang sebagai proyek konstruksi perumahan semata, melainkan juga sebagai suatu cara untuk menumbuhkan rasa persatuan antar ras, etnis, dan budaya. Contohnya, Singapura melakukan penyesuaian desain dan aturan kepenghunian sehingga public housing menjadi tempat membaurnya berbagai ras etnis dan juga budaya. Public housing tentu dapat juga ditujukan untuk meningkatkan rasa nasionalisme masyarakat terhadap negaranya karena di sanalah mereka secara de facto merasa aman di rumahnya masing-masing dan menganggap negara hadir bersama mereka. Bagaimana mencintai negaranya, jika masyarakat tidak memiliki hunian yang layak untuk dijaga dan dipertahankan.

Konsep Public Housing yang Akan Dikembangkan

Dengan demikian, salah satu yang perlu dikembangkan ke depan adalah konsep apartemen transit (sewa) yang terhubung dengan sistem penyediaan hunian milik serta terlayani sistem transportasi publik. Konsep transit diimplementasikan agar masyarakat menghuni rumah susun/apartemen sewa yang tersedia sambil menyiapkan diri untuk dapat membeli hunian milik sendiri ke depan. Setelah sekitar 5 tahun menghuni apartemen transit, masyarakat kemudian dapat mengakses fasilitas pembiayaan perumahan seperti Kredit Pemilikan Rumah (KPR).

Untuk mendukung sistem pengelolaan yang optimal, Pemerintah akan mendorong pembentukan Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) sebagai titik awal mewujudkan pengelolaan yang lebih profesional. BLUD akan mendukung pencapaian output yang optimum tanpa mencari keuntungan serta meningkatkan layanan dan produkfitas dalam keterbatasan dana dengan meningkatkan kewirausahaan pemerintah.

Ilustrasi Konsep Apartemen Transit untuk Mendukung Housing Career System

Sumber: www.nawasis.org

Peluang Pendanaan Public Housing

  • APBN/APBD – umumnya hanya dapat digunakan untuk pembangunan rumah susun sewa. Pembangunan rumah susun dengan sumber pendanaan APBN/APBD telah banyak digunakan dalam sejarah pengembangan rumah susun bertahun-tahun sebelumnya. Meskipun pengalaman pembangunan rumah susun melalui skema pemandaatan APBN/APBD masih mengalami banyak persoalan dari segi pengelolaan, namun beberapa pemerintah daerah telah memiliki pengelolaan yang cukup baik sebagai titik awal pengembangan public housing ke depan, salah satunya yaitu Provinsi Jawa Barat
  • Peningkatan peran pendanaan swasta/badan usaha, Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU) – merupakan salah satu potensi pendanaan yang diperoleh dengan mendorong investasi pihak badan usaha untuk pembangunan public housing, baik sewa maupun milik. Inisiasi pembangunan public housing melalui skema pendanaan ini sedang dimulai melalui proyek pembangunan Rumah Susun Cisaranten Kota Bandung yang berdiri di atas lahan milik Pemerintah. Dalam mendorong investasi pihak badan usaha dalam pembangunan public housing, konsep pengembangan yang menarik menjadi faktor kunci. Pengembangan kawasan dengan pola mixed-use (komersial dan residensial) serta campuran antara hunian sewa dan milik akan berpotensi meningkatkan minat pihak badan usaha.
  • Masyarakat – memberdayakan masyarakat penyedia rumah sewa, dengan berbagai insentif/fasilitasi bantuan dari pemerintah seperti bantuan peningkatan kualitas hunian sewa atau housing voucher bagi penghuni sebagai bentuk subsidi tarif sewa juga merupakan salah satu alternatif pendanaan yang dapat dilakukan untuk mendorong public housing

Sumber: www.nawasis.org

Selengkapnya
Tantangan Penyediaan Perumahan Terjangkau di Perkotaan Indonesia

Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat

Indonesia: Membawa Semangat Perdamaian melalui Hidro-Diplomasi di World Water Forum ke-10

Dipublikasikan oleh Kania Zulia Ganda Putri pada 18 April 2024


Indonesia akan membawa semangat perdamaian dalam diplomasi air atau hidro-diplomasi dalam perhelatan akbar World Water Forum ke-10 yang akan berlangsung di Bali pada 18-25 Mei 2024. Dialog yang akan diinisiasi Indonesia dalam forum tersebut akan menjunjung tinggi martabat dan memberikan solusi terhadap tantangan air.

Hal ini disampaikan oleh Staf Ahli Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Bidang Sumber Daya Air, Firdaus Ali, dalam konferensi pers virtual FMB9 Road to 10th World Water Forum, Kamis (28/3/2024). Ia menekankan pentingnya memanfaatkan air sebagai sumber kemakmuran bersama, bukan sebagai pemicu konflik. "Menyelesaikan masalah terkait air tidak boleh mengorbankan sumber daya yang tersedia," tambahnya. 

"Metode diplomasi akan dieksplorasi oleh para pakar hidro-diplomasi. Berbagai bentuk filosofi air akan diadopsi sebagai semangat diplomasi Indonesia dalam menyelesaikan isu-isu terkait air. Kami juga mendorong agar diplomasi dibarengi dengan kolaborasi untuk mencegah konflik dan mitigasi bencana," jelasnya.

Selain membawa semangat perdamaian, World Water Forum ke-10 ini juga akan menjadi pertemuan air terbesar dalam sejarah pasca pandemi Covid-19. Indonesia juga menjadi negara ketiga di Asia yang menjadi tuan rumah, setelah Jepang dan Korea Selatan. 

Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa Indonesia juga menghadapi banyak tantangan dalam mempersiapkan acara ini, termasuk waktu persiapan yang terbatas, hanya sekitar dua tahun, di tengah meningkatnya kekhawatiran global atas dampak perubahan iklim dan pemulihan dan pertumbuhan ekonomi global paska pandemi. 

"World Water Forum ke-10 di Bali merupakan pertemuan monumental untuk mentransformasikan seluruh kebijakan, semangat, dan antusiasme, agar kita bersama-sama menyongsong masa depan, menjadikan air sebagai sumber kehidupan dan perdamaian, bukan sebaliknya menjadi sumber konflik dan bencana," ujar Firdaus. 

World Water Forum ke-10 akan menyajikan 290 sesi/acara paralel yang terdiri dari 230 sesi politik, regional, dan tematik, serta 60 acara sampingan. Terdapat enam sub-tema dalam proses tematik, empat isu regional, dan lima tingkat proses politik. 

"Kami juga mendorong partisipasi generasi muda dalam forum ini untuk membawa perspektif baru dan segar serta berdiskusi, berkolaborasi dan mencari solusi atas tantangan air saat ini dan masa depan," kata Firdaus.

Disadur dari: worldwaterforum.org

Selengkapnya
Indonesia: Membawa Semangat Perdamaian melalui Hidro-Diplomasi di World Water Forum ke-10

Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat

Tiga perubahan kebijakan untuk meringankan krisis hunian kelas menengah Indonesia

Dipublikasikan oleh Kania Zulia Ganda Putri pada 18 April 2024


Keterjangkauan perumahan dengan cepat menjadi krisis di sebagian besar wilayah metropolitan di dunia. Orang-orang di negara maju seperti Kanada dan Amerika Serikat telah merasakan beban kenaikan harga rumah. Hal ini mempengaruhi semua orang dari berbagai latar belakang ekonomi, termasuk kelas menengah ke atas. Kisahnya tidak berbeda di negara dengan populasi terbesar keempat di dunia ini. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa 28 dari 62 responden yang diambil secara acak, atau 45%, melaporkan bahwa mereka terbebani oleh biaya perumahan seperti cicilan rumah dan utilitas. Perumahan yang terjangkau sangat penting bagi pertumbuhan ekonomi negara.

Pendapatan dan Beban Biaya. Tafridj, 2021

​​​​​​Sumber: theconversation.com

Perumahan di Jakarta sangat mahal sehingga 80% dari responden tinggal di rumah sewa jangka pendek.

Lokasi Perumahan dan Status Kepemilikan. Tafridj, 2021

Sumber: theconversation.com

Perumahan yang terjangkau sangat penting bagi pertumbuhan ekonomi bangsa. Laporan Bank Dunia tahun 2020 menunjukkan bahwa kelas menengah di Indonesia menyumbang 50% dari total konsumsi nasional. Rata-rata setiap orang menghabiskan Rp 1,2-6 juta (US$85 hingga US$424) per bulan - termasuk untuk perumahan. Meningkatnya biaya terkait perumahan dapat melukai daya beli kelas menengah, yang dapat membahayakan pertumbuhan ekonomi Indonesia. Oleh karena itu, saya menyarankan tiga perubahan kebijakan untuk mengatasi krisis perumahan kelas menengah yang akan datang.

Pertama, memperkuat peran pemerintah secara kolektif untuk mengatur penawaran dan permintaan perumahan.

Tata kelola kolektif Jabodetabek, yang terdiri dari kota Bogor, Depok, Bekasi di Jawa Barat dan Tangerang di Banten, sebagai sebuah konurbasi atau penggabungan beberapa wilayah perkotaan yang saling berdekatan sangatlah penting. Wilayah Bogor, Depok dan Tangerang telah berperan sebagai pendukung kegiatan ekonomi Jakarta, namun konsolidasi perencanaan pemukiman perkotaan belum menjadi salah satu program prioritas. Pemerintah daerah di wilayah Jabodetabek harus memahami bahwa kepentingan pembangunan perkotaan masing-masing daerah terlalu bergantung satu sama lain untuk diatur secara independen. Daerah-daerah lain harus memikul sebagian beban backlog perumahan di Jakarta.

Meskipun peran pengembang swasta sangat penting, pemerintah daerah harus membuat kebijakan yang lebih baik untuk memastikan pembangunan yang berkelanjutan. Kebijakan-kebijakan ini dapat mencakup pengawasan yang lebih ketat terhadap pembangunan perumahan sosial dan perencanaan penggunaan lahan. Di London, pemerintah kotanya memperkuat sistem perencanaan dengan menciptakan perumahan yang lebih terjangkau dan mendorong skema bangun-sewa sehingga separuh rumah di London dapat dijangkau oleh semua kalangan. Selain itu, kita belum memiliki diskusi yang cukup tentang perencanaan jangka panjang untuk kota. Solusi untuk krisis perumahan harus dimulai dari sana.

Seorang pekerja menyelesaikan pembangunan proyek perumahan di Jakarta Utara

Sumber: theconversation.com

Kedua, Jakarta harus mempertimbangkan untuk melegitimasi skema perumahan sewa pribadi.

Fakta bahwa 80% dari responden yang tinggal di Jakarta merupakan penghuni rumah sewa jangka pendek seharusnya menjadi indikasi perlunya pemerintah menyusun kebijakan mengenai rumah sewa. Saat ini, meskipun ada peraturan untuk rumah sewa publik atau pemerintah, baik pemerintah pusat maupun pemerintah Jakarta tidak memiliki kebijakan tentang rumah sewa pribadi. Selain belum adanya peraturan mengenai rumah sewa, masih ada stigma yang tersebar luas bahwa menyewa rumah adalah membuang-buang uang. Inilah sebabnya mengapa orang lebih memilih untuk tinggal 40-50 km dari tempat kerja mereka, menghabiskan uang, waktu dan energi untuk perjalanan pulang pergi, daripada menyewa rumah yang lebih dekat dengan tempat kerja. Meski sulit untuk mengubah stigma ini, setidaknya yang dapat dilakukan pemerintah adalah membuat kebijakan yang akan melembagakan dan memformalkan rumah sewa. Hal ini berhasil di Singapura, yang mewajibkan registrasi pemilik dan penyewa dan memiliki peraturan terpisah untuk hunian tapak dan non-tapak. 

Peraturan ini memastikan keamanan hukum bagi penyewa dan menempatkan sewa sebagai pilihan hunian yang layak. Kebijakan sewa rumah jangka panjang bukanlah hal yang langka di banyak kota besar di seluruh dunia. Pusat-pusat metropolitan seperti London, New York, Amsterdam dan Singapura menghadapi masalah kelebihan penduduk dan terbatasnya pilihan hunian permanen, sehingga mereka menerapkan kebijakan dan peraturan untuk memastikan legitimasi dan keamanan skema sewa. Di Jakarta, kamar kos dan rumah sewa berdiri begitu saja tanpa izin dan peraturan yang memadai. Hal ini membuat para penyewa dan penghuni kos berada dalam bahaya eksploitasi oleh pelaku usaha yang beritikad buruk. Kondisi ini juga memperburuk stigma bahwa rumah sewa bersifat sementara dan tidak diminati.

Pemandangan udara dari sebuah kompleks perumahan di Jakarta Utara.

Sumber: theconversation.com

Ketiga, pemerintah harus menyediakan lebih banyak pasokan perumahan berbiaya menengah melalui kemitraan pemerintah-swasta dan menciptakan skema pembiayaan yang ditargetkan untuk kelas menengah.

Pemerintah harus mengambil kendali yang lebih baik atas harga pasar perumahan dengan membangun lebih banyak unit rumah berbiaya menengah dan memperluas batas harga untuk mencakup calon pembeli berpenghasilan menengah. Program subsidi perumahan dan perumahan publik saat ini didedikasikan untuk mereka yang memiliki gaji bulanan tidak lebih dari Rp 8 juta (US$567), sehingga tidak termasuk masyarakat kelas menengah Indonesia. Meroketnya harga rumah disebabkan oleh tingginya permintaan dan sangat rendahnya suplai perumahan yang terjangkau di area-area yang diinginkan. Inflasi harga rumah di Jakarta telah menyebar ke daerah-daerah lain. Dalam waktu dekat, tinggal di Tangerang atau Bogor tidak akan lagi terjangkau bagi banyak orang, kecuali jika pemerintah mengambil kendali atas kebijakan pembangunan perumahan dan peraturan penggunaan lahan.

Disadur dari: theconversation.com

 

Selengkapnya
Tiga perubahan kebijakan untuk meringankan krisis hunian kelas menengah Indonesia

Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat

Membangun Jakarta sebagai Kota Global

Dipublikasikan oleh Kania Zulia Ganda Putri pada 18 April 2024


Pada tahun 2024, Jakarta akan mengalami transformasi yang signifikan. Jakarta tidak akan lagi berstatus sebagai Daerah Khusus Ibukota (DKI). Berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara, ibu kota Indonesia akan beralih menjadi Ibu Kota Negara (IKN). Sebagai konsekuensinya, Jakarta yang telah lama berperan sebagai ibu kota dan menerapkan ekosistem smart city akan mengalami perubahan peruntukan menjadi Daerah Khusus Ibukota (DKJ) dan mengambil peran sebagai kota global.
Terlepas dari perubahan ini, Jakarta akan terus berfungsi sebagai kota pintar, dengan memanfaatkan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) dan membina sinergi di antara para pemangku kepentingan. Namun, inisiatif kota pintar ini akan lebih selaras dengan visi dan misi Jakarta untuk mencapai status kota global.
Hal ini mendorong kami untuk mengeksplorasi apa yang mendefinisikan sebuah kota global dan langkah-langkah yang telah diambil Jakarta, khususnya melalui Jakarta Smart City, untuk memposisikan diri sebagai kota pintar di panggung global.

Mengapa Jakarta adalah Kota Global?

Sebuah pertanyaan muncul: Mengapa Jakarta dianggap sebagai kota global? Laporan berjudul "Membangun Jakarta sebagai Kota Cerdas Berskala Global", yang diterbitkan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Provinsi DKI Jakarta, menjelaskan konsep ini. Menurut laporan tersebut, kota global memainkan peran penting dalam mengintegrasikan ekonomi transnasional, yang berfungsi sebagai simpul utama dalam jaringan ekonomi dunia. Kota ini memiliki kapasitas untuk menarik modal, barang, sumber daya manusia, ide, dan informasi dalam skala global.

Beberapa faktor berkontribusi terhadap potensi transformasi Jakarta menjadi kota global. Pada tahun 2022, Jakarta memiliki populasi sebesar 10,7 juta jiwa, setara dengan 3,9% populasi nasional. Sebanyak 71,27% penduduknya berada dalam kelompok usia produktif, dengan total 7.613.510 jiwa. Selain itu, Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Jakarta mencapai Rp 3.200 triliun, yang terdiri dari 16,6% dari total PDRB nasional. Kontribusi PDRB tertinggi dirinci sebagai berikut:

  • Jasa Keuangan dan Asuransi 10,78%
  • Konstruksi 10,81%
  • Industri Pengolahan 11,72%
  • Informasi dan Komunikasi 13,42%
  • Perdagangan Besar dan Eceran 15,75%

Setelah mengamati peta yang disediakan di bawah ini, terlihat jelas bahwa sebagian besar wilayah Jakarta merupakan wilayah dengan pengembangan mixed-use. Hal ini menandakan integrasi ruang hunian, perkantoran, pusat perbelanjaan, dan berbagai fungsi perkotaan di dalam area tertentu di kota ini. Penggabungan berbagai sektor ini di suatu wilayah tertentu berkontribusi pada meningkatnya aglomerasi penduduk Jakarta.

Fenomena ini semakin diperkuat dengan penggambaran aktivitas manusia yang semakin meningkat pada malam hari, seperti yang ditunjukkan oleh Peta Cahaya Malam Hari. Pergerakan manusia yang ramai pada malam hari menggarisbawahi sifat dinamis dan dinamis dari ruang kota Jakarta, yang menekankan keampuhan pengembangan kawasan terpadu dalam menciptakan komunitas yang hidup dan saling terhubung.

Langkah-langkah Jakarta dalam Mewujudkan Kota Global

Jakarta memiliki banyak potensi untuk menjadi kota global. Namun, apa saja upaya yang telah dilakukan pemerintah untuk mewujudkannya? Sebelum mengetahui upaya yang telah dilakukan Jakarta untuk menjadi kota global, Smartcitizen perlu mengetahui hal-hal apa saja yang perlu dimiliki oleh sebuah kota global.

Merujuk pada Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi DKI Jakarta, terdapat enam indikator kota global, yaitu sektor ekonomi yang mapan dan terkoneksi secara global, kapasitas riset dan inovasi yang baik dan berkesinambungan, tempat tinggal yang nyaman, nilai budaya yang menarik untuk dikunjungi, lingkungan yang bersih dan nyaman serta berkelanjutan, dan terkoneksi secara intra dan antar kota.

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah melakukan berbagai upaya untuk memenuhi setiap karakteristik kota global tersebut. Berikut ini adalah penjabarannya.

Sektor ekonomi yang mapan dan terhubung secara global

Untuk menciptakan sektor ekonomi yang mapan dan terhubung secara global, sebuah kota harus memiliki 500 perusahaan terbaik di dunia. Untuk mencapai hal ini, Jakarta sedang mengembangkan ekosistem startup digital. Salah satu caranya adalah dengan membangun sinergi dengan para startup dalam mengembangkan layanan publik digital. Melalui hackathon Hack4ID, misalnya, para startup dengan inovasi berbasis TIK berkumpul untuk bertukar pikiran dan dipandu oleh para ahli, sehingga mereka dapat menciptakan inovasi untuk membantu warga Jakarta memecahkan masalah industri. Dalam program ini, para pendiri startup juga dapat berjejaring dengan sesama pendiri, investor, dan pejabat pemerintah. Selanjutnya, para startup ini akan mengikuti program inkubator yang akan membantu perkembangan mereka.

Selain berusaha untuk memiliki 500 perusahaan terbaik di dunia dengan mengembangkan ekosistem startup, Jakarta juga berusaha untuk memenuhi indikator kota global dengan memiliki tenaga kerja yang terampil. Jakarta Smart City berperan dalam hal ini dengan mengadakan JSC Hands On Workshop, Data Science Trainee, dan JSC Goes to School. Kegiatan-kegiatan ini membekali talenta muda dengan keterampilan digital dan mempersiapkan mereka untuk memasuki industri. Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi, dan Energi Provinsi DKI Jakarta memiliki program JakNaker, untuk membekali generasi muda dengan pelatihan kerja dan portal untuk mencari pekerjaan. Situs JakNaker juga telah diintegrasikan ke dalam aplikasi JAKI (Jakarta Kini), sebagai bentuk mewujudkan tenaga kerja terampil di Jakarta.

Kapasitas penelitian dan inovasi yang baik dan berkesinambungan

Untuk dapat meningkatkan kapasitas riset dan inovasi, Jakarta perlu membuktikan keunggulan kinerja akademik dengan menerbitkan jurnal ilmiah. Hal ini dilakukan Jakarta Smart City dengan merilis laman Journal of Future Cities di website Jakarta Smart City. Halaman ini berisi esai kota pintar terbaru dari JSC, termasuk yang diterbitkan di jurnal terindeks Q1 dan konferensi bergengsi seperti IEEE International Smart Cities Conference (ISC2).

Tak hanya itu, publikasi karya ilmiah di jurnal internasional juga bertujuan untuk menarik perhatian mahasiswa dan peneliti internasional, sehingga Jakarta dapat meningkatkan kapasitas penelitiannya. Selain itu juga dilakukan penyambutan kunjungan negara lain ke Future City Hub, sehingga mahasiswa dan peneliti dari luar negeri dapat mempelajari ekosistem smart city di Jakarta dan produk-produknya. Jakarta Smart City juga sering mengikuti pameran berskala internasional seperti Tech in Asia dan Indonesia International Smart City Expo & Forum, untuk menarik perhatian para pakar dari negara lain.

Kemudahan penelitian dan pengembangan menjadi nilai penting agar kapasitas penelitian dan inovasi suatu kota dapat baik dan berkesinambungan. Untuk itu Pemprov DKI Jakarta juga memiliki situs Jakarta Open Data yang memuat data seluruh Satuan dan Satuan Kerja di lingkungan Pemprov DKI Jakarta. Hal serupa juga dilakukan Jakarta Smart City dengan menghadirkan dashboard open data terkait banjir, penanggulangan kemiskinan, wilayah wilayah/kelurahan, stunting, Respon Cepat Masyarakat, Peta Jakarta Terkini, Kelas Gabungan, dan Data Kota.

Nyaman untuk Dihuni

Kota global juga perlu menjadi tempat tinggal yang nyaman bagi warganya dari berbagai sektor. Pertama, kota-kota global perlu menyediakan fasilitas kesehatan yang memadai dan mudah diakses. Pemprov DKI Jakarta berupaya mewujudkannya melalui program JakSehat yang memberikan layanan kesehatan digital seperti antri fasilitas kesehatan secara online, konsultasi kesehatan jiwa, serta pemeriksaan stok dan donor darah di PMI. Untuk memudahkan akses masyarakat terhadap JakSehat, Jakarta Smart City mengintegrasikan layanan JakSehat ke JAKI melalui fitur Jakarta Sehat. Selain itu, terdapat juga dashboard stunting yang dikembangkan oleh Jakarta Smart City sehingga warga dapat mengetahui jumlah balita dan Posyandu (Pos Pelayanan Kesehatan Terpadu) yang mengalami masalah gizi, sebaran data masalah gizi di tingkat kota/kabupaten, kategori kondisi balita, dan data visualisasi lainnya terkait stunting.

Kedua, perlu adanya fasilitas pendidikan yang memadai dan berkualitas baik di kota global. Untuk itu, Jakarta Smart City menyediakan layanan Wi-Fi gratis melalui JAKI di taman kota, kawasan pemukiman padat penduduk, dan ruang publik lainnya. Layanan Wi-Fi gratis ini dapat dimanfaatkan mahasiswa untuk belajar mandiri serta mengembangkan minat dan bakatnya. Fasilitas pendidikan yang memadai di Jakarta juga didukung oleh kegiatan JSC Goes to School dari Jakarta Smart City hingga sekolah-sekolah di Jakarta. Melalui kegiatan ini, tim Jakarta Smart City memberikan pengetahuan dan ide kepada siswa terkait pekerjaan di industri digital yang dapat dijadikan referensi setelah lulus sekolah.

Ketiga, perumahan yang layak dan terjangkau, pasokan air bersih, dan listrik yang memadai juga perlu dipertimbangkan oleh kota-kota global. Pemprov DKI Jakarta melalui Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman memiliki program Sirukim yang mencakup hal tersebut. Program ini menawarkan layanan perumahan online, seperti mendaftar tinggal di rumah susun sewa (rusunawa) di Jakarta. Jakarta Smart City juga telah mengintegrasikan aplikasi ini ke dalam JAKI, sehingga memudahkan masyarakat dalam mengaksesnya.

Keempat, Jakarta juga perlu menjamin keamanan kota. Oleh karena itu, Jakarta Smart City menyediakan fitur Kontak Darurat di aplikasi JAKI. Fitur ini berisi informasi nomor darurat yang perlu diketahui dan dihubungi warga jika mengalami keadaan darurat. Penghuni juga dapat menghubungi nomor darurat langsung dari fitur ini. Serupa namun tak sama, ada juga integrasi aplikasi Jakarta Aman di JAKI yang menyediakan layanan panggilan bantuan saat darurat.

Kelima, kota global yang nyaman untuk ditinggali perlu memberikan akses informasi kepada warganya. Jakarta Smart City mewujudkan hal tersebut melalui aplikasi JAKI. Beberapa fitur di JAKI memungkinkan masyarakat mendapatkan informasi terakurat seputar Jakarta melalui fitur Berita. Ada juga fitur Jakarta Current Map yang berisi informasi koordinat ruang publik di Jakarta untuk membantu warga menjelajahi kota.

3 Poin Inti Perkembangan Kota Global Jakarta

Seluruh indikator kota global dipenuhi oleh Jakarta. Namun dalam pengembangan kota global, Pemprov DKI Jakarta fokus pada tiga poin inti, yaitu sebagai berikut.

  • Livability: mencakup aspek perumahan hingga kesehatan bagi penghuninya;
  • Lingkungan Hidup: mencakup fasilitas pengolahan limbah, sanitasi dan air limbah;
  • Aksesibilitas: mencakup aspek perkembangan transportasi umum dan jaringan jalan.

Untuk mencapai ketiga poin tersebut, Pemprov DKI Jakarta melakukan pengembangan kawasan perkotaan melalui Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi DKI Jakarta Tahun 2023-2043. Upaya pengembangan tata kota akan semakin intensif hingga tahun 2043, ketika Jakarta diproyeksikan tidak lagi menjadi ibu kota negara dan sepenuhnya menjadi kota global.

Disadur dari: smartcity.jakarta.go.id

Selengkapnya
Membangun Jakarta sebagai Kota Global
« First Previous page 30 of 52 Next Last »