Manajemen Sumber Daya Manusia dan Organisasi
Dipublikasikan oleh Hansel pada 15 September 2025
I. Pengantar: Mengapa Ini Bukan Sekadar Proyek Bangunan Biasa?
Industri konstruksi adalah salah satu pilar utama yang menopang pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Sektor ini secara strategis menyumbang sekitar 7-8% dari Produk Domestik Bruto (PDB) dan menyediakan lapangan kerja bagi lebih dari 5% populasi. Namun, di balik angka-angka makro ini, tersembunyi tantangan mendasar yang sering luput dari perhatian: masalah kualitas sumber daya manusia (SDM) dan kinerja di tingkat proyek.
Tingkat kompetensi pekerja konstruksi di Indonesia, sebagaimana disorot oleh data dari sebuah artikel TEMPO.COM yang dikutip dalam penelitian ini, masih menjadi isu krusial. Pada tahun 2011, dari 5,7 juta pekerja konstruksi, hanya 10% yang dikategorikan terampil. Sisanya, 30% cukup terampil dan 60% tergolong tidak terampil. Kesenjangan ini menciptakan pertanyaan besar bagi para pelaku industri: bagaimana perusahaan dapat mendorong kinerja terbaik dari para pekerjanya di tengah kondisi yang ada? 1
Sebuah penelitian yang diterbitkan di IOSR Journal of Business and Management oleh Parman, dkk., menyoroti hal ini dengan studi kasus di perusahaan jasa konstruksi di Kota Parepare. Penelitian ini bertujuan untuk menguji dampak kompetensi, kompensasi, disiplin kerja, dan lingkungan kerja terhadap kepuasan dan kinerja karyawan. Hasilnya tidak hanya menawarkan jawaban, tetapi juga membalikkan beberapa asumsi manajemen yang telah lama dipegang. 1
Temuan ini menunjukkan bahwa keberhasilan sebuah proyek tidak semata-mata bergantung pada modal atau aset fisik, melainkan pada kemampuan manajerial untuk mengelola dan mengembangkan aset terpenting mereka: manusia. 1
II. Mengapa Ruang Kerja yang Nyaman Justru Kurang Berarti?
Dalam dunia manajemen modern, khususnya di industri berbasis pengetahuan, lingkungan kerja yang kondusif sering dianggap sebagai kunci utama untuk meningkatkan kepuasan dan kinerja. Perusahaan berlomba-lomba menyediakan fasilitas terbaik, mulai dari ruang istirahat yang nyaman, pencahayaan yang optimal, hingga pendingin ruangan yang memadai. Namun, penelitian di Parepare ini justru mematahkan asumsi tersebut dengan sebuah temuan yang mengejutkan.
Studi ini menemukan bahwa lingkungan kerja yang kondusif justru berbanding terbalik dengan kepuasan dan kinerja karyawan. Baik secara langsung maupun tidak langsung, dampak dari lingkungan yang "nyaman" ini justru negatif dan tidak signifikan terhadap kinerja. Para peneliti menafsirkan fenomena ini sebagai indikasi bahwa karyawan merasa lingkungan fisik yang kondusif bukanlah faktor penentu utama untuk menghasilkan kepuasan kerja atau kinerja yang baik. 1
Temuan ini sangat kontraintuitif dan menantang teori manajemen konvensional. Bayangkan sebuah perusahaan yang menghabiskan jutaan rupiah untuk memasang AC dan memperbaiki fasilitas fisik di lokasi proyek. Menurut temuan ini, investasi tersebut memiliki efek yang sama minimnya dengan membeli cat mewah untuk meningkatkan efisiensi bahan bakar mobil. Itu adalah investasi yang salah sasaran, karena faktor pendorong yang sesungguhnya berada di area yang berbeda.
Analisis mendalam terhadap temuan ini menyiratkan bahwa bagi para pekerja di sektor konstruksi, yang sebagian besar pekerjaannya bersifat fisik dan task-oriented, motivasi utama mereka mungkin tidak didasarkan pada kenyamanan fisik. Sebaliknya, mereka mungkin lebih termotivasi oleh faktor-faktor yang lebih instrumental dan terukur, seperti kejelasan tugas, upah, dan jaminan pekerjaan. Perbedaan budaya kerja ini menjadi pelajaran penting bagi manajer yang mencoba mengadopsi model manajemen ala Silicon Valley ke konteks industri yang jauh berbeda.
III. Ternyata, Ini Resep Utama Kepuasan Karyawan Konstruksi
Jika lingkungan kerja yang nyaman tidak signifikan, lalu apa yang sebenarnya membuat karyawan konstruksi merasa puas? Penelitian ini memberikan jawaban yang lugas dan berfokus pada dua faktor kunci yang memiliki dampak positif dan signifikan.
Menariknya, meskipun kompensasi sering dianggap sebagai faktor pemicu utama, penelitian ini menemukan bahwa kompensasi memiliki pengaruh positif, namun tidak signifikan, terhadap kepuasan kerja. 1 Hal ini memunculkan sebuah paradoks: uang memang penting, tetapi bukan hal yang paling utama dalam memberikan kepuasan. Temuan ini selaras dengan teori dua faktor Herzberg yang membedakan antara "faktor higienis" (seperti gaji, yang dapat mencegah ketidakpuasan) dan "faktor motivator" (seperti pengakuan dan pencapaian, yang mendorong kepuasan). Dalam konteks ini, kompensasi mungkin dianggap sebagai hak dasar yang harus dipenuhi, bukan sebagai sumber kebahagiaan jangka panjang.
IV. Jalan Menuju Kinerja Puncak: Rantai Kausalitas yang Kompleks
Berbeda dengan faktor-faktor yang memengaruhi kepuasan, penelitian ini menemukan bahwa untuk meningkatkan kinerja karyawan, perusahaan perlu memaksimalkan kompensasi dan menekankan disiplin kerja yang tinggi. Ini adalah paradoks yang membutuhkan pemahaman lebih mendalam. Kompensasi yang tidak signifikan untuk kepuasan, ternyata memiliki peran sentral sebagai pemicu kinerja. 1
Namun, temuan paling revolusioner dari studi ini terletak pada pemahaman mengenai peran kompetensi. Studi ini membuktikan bahwa kompetensi yang baik tidak memiliki dampak yang signifikan secara langsung terhadap kinerja. Sebaliknya, kompetensi hanya akan berdampak secara nyata pada peningkatan kinerja jika karyawan tersebut telah merasa puas terlebih dahulu dengan pekerjaannya. 1
Ini membentuk sebuah rantai kausalitas yang kompleks: Kompetensi -> Kepuasan Kerja -> Kinerja.
Logika di balik temuan ini sangatlah fundamental. Bayangkan seorang insinyur konstruksi yang sangat terampil dan cerdas (memiliki kompetensi tinggi). Namun, jika ia bekerja di lingkungan yang membuatnya tidak bahagia—mungkin karena tidak ada pengakuan, sistem yang tidak adil, atau kurangnya struktur—ia mungkin tidak akan termotivasi untuk mengerahkan kemampuan terbaiknya. Ia akan bekerja seadanya. Namun, begitu ia merasa puas dan dihargai, maka semua bakat dan pengetahuannya (kompetensi) akan "terbebaskan" dan berdampak penuh pada kinerja perusahaan.
Temuan ini disebut sebagai novelty atau kebaruan dari penelitian, karena ia menyoroti bahwa investasi pada soft skill dan faktor-faktor yang memicu kepuasan kerja adalah prasyarat penting untuk mendapatkan hasil maksimal dari hard skill atau kompetensi teknis karyawan.
V. Membedah Angka: Validasi Ilmiah di Balik Narasi
Kisah dan temuan yang menarik ini tidak hanya sekadar narasi; semuanya didukung oleh analisis statistik yang ketat. Para peneliti menggunakan metode pemodelan persamaan struktural atau Structural Equation Model (SEM) untuk menguji hubungan antara variabel-variabel tersebut. SEM memungkinkan para peneliti untuk menguji kompleksitas hubungan dan memastikan model yang mereka bangun benar-benar cocok dengan data lapangan.
Tabel di bawah ini merangkum hasil uji kecocokan model (Goodness of Fit) akhir yang dilakukan oleh para peneliti. Angka-angka ini adalah "tulang punggung" ilmiah dari penelitian, yang membuktikan bahwa temuan yang dijelaskan di atas bukanlah klaim tanpa dasar.
Validasi Ilmiah: Mengukur Keterkaitan Model Penelitian
Hasil uji Goodness of Fit menunjukkan bahwa secara umum model yang dibangun peneliti memiliki tingkat kecocokan yang baik dengan data lapangan. Nilai Chi-square sebesar 207,923 dinilai memadai karena semakin kecil nilainya semakin baik, sementara probabilitas sebesar 0,056 telah melampaui batas minimum 0,05 sehingga dapat dikatakan signifikan. Indeks CMIN/DF juga sangat baik, yaitu sebesar 1,175, jauh di bawah ambang batas 2,00.
Selanjutnya, beberapa indikator lain turut memperkuat kesimpulan tersebut. Nilai RMR tercatat 0,043 yang masih dalam kriteria ≤0,05, menandakan kesalahan residual yang rendah. Indeks kecocokan model seperti NFI (0,952), CFI (0,992), TLI (0,990), IFI (0,993), dan RFI (0,937) semuanya berada di atas standar minimum yang disyaratkan, sehingga menunjukkan konsistensi yang sangat baik. Namun, pada indikator GFI (0,899) dan AGFI (0,856), hasil yang diperoleh masih sedikit di bawah batas ideal ≥0,90 sehingga dikategorikan sebagai marginal. Meski demikian, indikator RMSEA sebesar 0,034 yang jauh di bawah standar maksimum 0,08 memperkuat bukti bahwa model sangat sesuai dengan data.
Secara keseluruhan, dari 12 kriteria yang digunakan, sembilan berhasil terpenuhi sepenuhnya dan dua lainnya berada pada kategori marginal. Temuan ini menegaskan bahwa model penelitian memiliki kecocokan yang sangat baik dan dapat diandalkan. Artinya, hubungan kausal yang dirancang peneliti—termasuk efek tidak langsung dari kompetensi serta pengaruh negatif dari lingkungan kerja—dapat dipertanggungjawabkan secara statistik. Hal ini sekaligus memberikan legitimasi yang kuat pada kesimpulan dan rekomendasi yang dihasilkan penelitian.
VI. Opini dan Kritik Realistis: Batasan dan Tantangan di Balik Temuan
Meskipun temuan ini sangat kuat, penting untuk menempatkannya dalam konteks yang tepat. Studi ini dilakukan secara spesifik di perusahaan jasa konstruksi di Kota Parepare. Keterbatasan ini bisa jadi mengecilkan dampak secara umum, karena dinamika tenaga kerja dan budaya kerja di daerah lain di Indonesia mungkin berbeda. Tidak bijak untuk langsung menggeneralisasi temuan ini ke seluruh industri konstruksi nasional tanpa validasi lebih lanjut. 1
Namun, keterbatasan ini justru memberikan pelajaran yang berharga. Temuan ini menantang para manajer untuk tidak sekadar mengandalkan "cetak biru" manajemen dari buku teks, melainkan untuk memahami dinamika spesifik dan prioritas unik dari tenaga kerja mereka di lapangan. Ini adalah sebuah pengingat bahwa strategi manajemen SDM harus selalu disesuaikan dengan konteks lokal.
Bahkan para peneliti sendiri mengakui bahwa meskipun temuan mereka menunjukkan lingkungan kerja yang kondusif berdampak negatif, secara teori, lingkungan yang baik tetap penting untuk mendukung aktivitas kerja. Oleh karena itu, mereka tetap menyarankan perusahaan untuk memperhatikan faktor lingkungan kerja, meskipun hal itu tidak secara langsung memicu kepuasan dan kinerja. 1 Ini menunjukkan pandangan yang seimbang dan mengakui bahwa realitas praktis bisa lebih kompleks dari hasil statistik semata.
VII. Dampak Jangka Panjang: Mengubah Wajah Industri Konstruksi Indonesia
Penelitian ini menawarkan sebuah cetak biru yang berharga bagi perusahaan konstruksi yang ingin bertahan dan unggul di tengah persaingan ketat. Daripada berinvestasi pada hal-hal yang tidak berdampak signifikan, perusahaan seharusnya mengalihkan fokus dan anggarannya ke faktor-faktor yang terbukti efektif.
Jika perusahaan konstruksi di Parepare—dan di Indonesia secara lebih luas—menerapkan temuan ini, mereka dapat:
Dengan strategi yang terfokus pada kompetensi, disiplin, dan kepuasan karyawan, perusahaan dapat secara signifikan meningkatkan produktivitas dan kualitas proyek. Jika diterapkan secara konsisten, temuan ini berpotensi untuk meningkatkan efisiensi operasional, mengurangi biaya, dan mempercepat penyelesaian proyek dengan kualitas yang lebih baik dalam waktu lima tahun. Ini adalah sebuah model yang layak untuk direplikasi di seluruh sektor konstruksi Indonesia.
Sumber Artikel:
PARMAN, P., Nujum, S., & Su'un, M. (2022). Effect of Competence, Compensation, Discipline of Work, Work Environment Satisfaction and Performance of Employees in Constructionin the City of Pare-Pare. IOSR Journal of Business and Management (IOSR-JBM), 22(2), 53-63.
Manajemen Sumber Daya Manusia dan Organisasi
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 15 Juli 2025
Mengapa Standarisasi Kompetensi Nasional (SKKNI) Menjadi Kunci Daya Saing SDM?
Di tengah persaingan global dan revolusi industri 4.0, kualitas sumber daya manusia (SDM) menjadi penentu utama daya saing bangsa. Indonesia, dengan bonus demografi dan ekonomi yang terus tumbuh, menghadapi tantangan besar: bagaimana memastikan lulusan pendidikan dan pelatihan benar-benar siap kerja? Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) hadir sebagai jawaban strategis untuk memastikan link and match antara kebutuhan industri dan output pendidikan, sekaligus mengakselerasi pengembangan SDM unggul.
Artikel ini membedah secara kritis temuan utama, studi kasus, dan angka-angka penting dari laporan World Bank (2020) “Competency Standards as a Tool for Human Capital Development: Assessment of their Development and Introduction into TVET and Certification in Indonesia”. Resensi ini juga mengaitkan implementasi SKKNI dengan tren industri, tantangan di lapangan, dan rekomendasi strategis untuk masa depan pendidikan vokasi serta pelatihan kerja di Indonesia.
Latar Belakang: SKKNI dalam Konteks Transformasi SDM Indonesia
Regulasi dan Kerangka Hukum
SKKNI dan KKNI: Apa Bedanya?
Proses Pengembangan SKKNI: Tantangan dan Realitas
Tahapan Kunci Pengembangan SKKNI
Temuan Utama
Studi Kasus: Implementasi SKKNI di Berbagai Sektor
1. Sektor Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM)
2. Sektor Komunikasi dan Informatika
3. Sektor Pariwisata
4. Sektor Industri
5. Sektor Kesehatan
Studi Lapangan: Implementasi SKKNI di TVET (Pendidikan dan Pelatihan Vokasi)
Profil TVET Indonesia
Temuan Kunci
Tantangan Implementasi
Studi Kasus Praktik Baik: Kolaborasi TVET dan Industri
Analisis Kritis: Keberhasilan, Tantangan, dan Pembelajaran
Keberhasilan
Tantangan
Komparasi dengan Negara Lain
Rekomendasi Strategis untuk Transformasi SKKNI dan TVET Indonesia
1. Percepat Pengembangan dan Review SKKNI
2. Perkuat Peran Komite Standar Kompetensi
3. Harmonisasi Regulasi dan Sinergi Antar Kementerian
4. Penguatan Infrastruktur dan SDM TVET
5. Transformasi Sertifikasi: Dari Supply-Driven ke Demand-Driven
6. Digitalisasi dan Inovasi
Opini dan Kritik: SKKNI, Momentum Perubahan atau Sekadar Administrasi?
SKKNI adalah fondasi penting untuk membangun SDM Indonesia yang kompeten dan siap bersaing. Namun, tanpa komitmen kuat untuk mempercepat pengembangan, merevisi, dan mengadopsi SKKNI secara masif di pendidikan, pelatihan, dan industri, standar ini berisiko menjadi sekadar dokumen administratif. Transformasi nyata hanya akan terjadi jika ada sinergi lintas sektor, partisipasi aktif industri, dan investasi berkelanjutan pada infrastruktur serta SDM pengajar.
Kritik utama terhadap implementasi saat ini adalah lambatnya proses review dan minimnya keterlibatan industri. Selain itu, sertifikasi yang masih didominasi lembaga pendidikan membuat pengakuan industri terhadap sertifikat kompetensi rendah. Indonesia perlu belajar dari praktik baik Australia dan UK, di mana industri menjadi motor penggerak utama pengembangan standar kompetensi.
Tren Masa Depan: Kompetensi Adaptif untuk Dunia Kerja Dinamis
Kesimpulan: SKKNI sebagai Pilar Transformasi SDM Indonesia
SKKNI telah menempatkan Indonesia pada jalur yang benar untuk membangun SDM kompeten dan adaptif. Namun, tantangan implementasi, harmonisasi, dan relevansi harus segera diatasi. Dengan percepatan pengembangan, kolaborasi industri, dan inovasi digital, SKKNI dapat menjadi katalis utama menuju SDM unggul, berdaya saing global, dan siap menghadapi tantangan masa depan.
Sumber
World Bank. (2020). Competency Standards as a Tool for Human Capital Development: Assessment of their Development and Introduction into TVET and Certification in Indonesia.
Manajemen Sumber Daya Manusia dan Organisasi
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 03 Juli 2025
Mengapa KKNI Penting untuk Indonesia di Era Global?
Di tengah arus globalisasi, mobilitas tenaga kerja, dan persaingan ekonomi yang semakin ketat, Indonesia menghadapi tantangan besar dalam memastikan kualitas dan relevansi sumber daya manusianya. Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) hadir sebagai solusi strategis untuk menjawab kebutuhan tersebut. Artikel ini mengulas secara mendalam hasil studi “Support to the Development of the Indonesian Qualification Framework” yang diterbitkan oleh ACDP, menyoroti data, studi kasus, serta relevansinya dengan tren global dan kebutuhan industri.
KKNI: Fondasi Standar Kompetensi Nasional
Apa Itu KKNI?
KKNI adalah sistem level kualifikasi nasional yang mengintegrasikan hasil pendidikan formal, non-formal, informal, dan pengalaman kerja ke dalam sembilan jenjang kualifikasi. Setiap level mendeskripsikan capaian pembelajaran (learning outcomes) yang meliputi pengetahuan, keterampilan, dan sikap kerja, serta tingkat otonomi dan tanggung jawab.
Tujuan Utama KKNI
Studi Kasus: Implementasi KKNI di Tiga Sektor Prioritas
Studi ACDP memilih tiga sektor pilot—keperawatan, akuntansi, dan pariwisata—karena ketiganya menjadi prioritas nasional, memiliki dampak luas, dan relevan dengan integrasi ekonomi ASEAN.
1. Sektor Keperawatan: Menjawab Tantangan Kesenjangan Kompetensi
Fakta & Angka
Studi Kasus: RPL untuk Perawat
Pemerintah mewajibkan minimal D3 untuk praktik keperawatan (UU No. 38/2014). Untuk mengatasi backlog, RPL diimplementasikan agar pengalaman kerja perawat diakui sebagai kredit akademik. Proses ini melibatkan asesmen portofolio, uji kompetensi, dan pelatihan tambahan jika diperlukan.
Hasil Uji Kompetensi Nasional (Juni 2015):
Analisis
RPL terbukti efektif mempercepat upgrading kualifikasi tanpa harus mengulang pendidikan dari awal. Namun, tantangan utama adalah kapasitas asesmen, standarisasi proses, dan pengawasan mutu.
2. Sektor Akuntansi: Harmonisasi Kualifikasi dan Kebutuhan Industri
Fakta & Angka
Studi Kasus: Sinkronisasi Kompetensi
Diskusi dengan pelaku industri (misal: Ernst & Young) menunjukkan bahwa di lapangan, hanya lulusan D3 dan S1 yang diakui untuk entry level. Kompetensi utama yang dibutuhkan:
Temuan:
Analisis
KKNI mendorong penyusunan learning outcomes yang lebih relevan dan terukur. Namun, perlu sinergi lebih erat antara penyelenggara pendidikan dan dunia usaha agar lulusan benar-benar siap kerja.
3. Sektor Pariwisata: Menyambut Integrasi ASEAN
Fakta & Angka
Studi Kasus: Mapping Kompetensi dan Learning Outcomes
FGD menghasilkan penyederhanaan 41 jenis program menjadi 15, serta pemetaan learning outcomes dengan standar ASEAN. Contoh: D3 Tour and Travel Operations dan D4 Tour and Travel Business mampu mencakup 75–62 unit kompetensi dari 155 yang disyaratkan ASEAN.
Analisis
KKNI memperkuat daya saing tenaga kerja pariwisata Indonesia di pasar regional. Namun, tantangan utama adalah harmonisasi nomenklatur, kurikulum, dan penguatan sistem QA.
Angka-Angka Kunci Implementasi KKNI
RPL: Pengakuan Pembelajaran Sebelumnya sebagai Kunci Mobilitas
Apa Itu RPL?
Recognition of Prior Learning (RPL) adalah mekanisme pengakuan kompetensi yang diperoleh melalui pengalaman kerja, pelatihan non-formal, atau informal, sehingga dapat dikonversi menjadi kredit akademik atau sertifikasi profesi.
Studi Kasus RPL di Indonesia
Tantangan Implementasi RPL
Benchmarking Internasional: Belajar dari Negara Lain
Irlandia
Hong Kong
Pelajaran untuk Indonesia
Analisis Kritis: Kelebihan, Tantangan, dan Rekomendasi
Kelebihan KKNI
Tantangan Implementasi
Rekomendasi Strategis
Hubungan dengan Tren Industri dan Masa Depan
Kesimpulan: KKNI sebagai Pilar SDM Unggul dan Daya Saing Nasional
Transformasi KKNI bukan sekadar reformasi administratif, melainkan fondasi strategis untuk membangun SDM Indonesia yang kompeten, adaptif, dan diakui secara global. Studi kasus di keperawatan, akuntansi, dan pariwisata membuktikan bahwa KKNI mampu menjembatani kesenjangan antara pendidikan dan kebutuhan industri, sekaligus membuka peluang mobilitas dan pengakuan lintas negara. Namun, keberhasilan implementasi sangat bergantung pada sinergi lintas sektor, penguatan QA, dan komitmen semua pemangku kepentingan.
Sumber asli:
Support to the Development of the Indonesian Qualification Framework. The Education Sector Analytical And Capacity Development Partnership (ACDP), 2016.
Manajemen Sumber Daya Manusia dan Organisasi
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 03 Juli 2025
Mengapa Kompetensi dan Pengalaman Kerja Menjadi Kunci Daya Saing Perusahaan?
Di era persaingan bisnis yang semakin ketat, perusahaan dituntut untuk terus meningkatkan kinerja karyawan agar mampu bertahan dan berkembang. Dua faktor yang sering disebut sebagai penentu utama kinerja adalah pengalaman kerja dan kompetensi. Namun, seberapa besar pengaruh kedua faktor ini terhadap kinerja karyawan secara nyata? Artikel ini merangkum temuan riset Dominik Tulasi dan Varisa Avila Theresia (2021) yang mengupas hubungan antara pengalaman kerja, kompetensi, dan kinerja di PT. Usaha Bersama Bangun Persada, serta membandingkannya dengan tren di industri nasional.
Latar Belakang: Sumber Daya Manusia sebagai Aset Utama
SDM merupakan motor penggerak utama dalam perusahaan. Tanpa SDM yang berkualitas, seluruh sumber daya lain tidak akan berkembang optimal. Oleh sebab itu, perusahaan perlu memahami faktor-faktor yang dapat meningkatkan kinerja karyawan. Menurut Mangkunegara (2016), kinerja adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai karyawan dalam menjalankan tugas sesuai tanggung jawab. Sementara Edison (2016) menekankan bahwa kinerja adalah hasil proses yang diukur dalam periode tertentu berdasarkan standar yang telah ditetapkan.
Dalam konteks PT. Usaha Bersama Bangun Persada, perusahaan ini bergerak sebagai distributor alat teknik dan hidrolik di Jakarta, dengan 40 karyawan yang terbagi dalam bidang manajemen, keuangan, dan distribusi. Penilaian kinerja dilakukan dengan memberikan kepercayaan dan tanggung jawab sesuai job description masing-masing karyawan.
Definisi dan Dimensi: Pengalaman Kerja dan Kompetensi
Pengalaman kerja adalah pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan yang diperoleh karyawan dari pekerjaan sebelumnya. Semakin lama pengalaman kerja, semakin tinggi pula tingkat keahlian dan pemahaman tugas. Pengalaman juga membentuk kemampuan analisis, efisiensi waktu, serta keberanian menghadapi risiko.
Kompetensi adalah karakter dasar yang menunjukkan cara seseorang berpikir, bersikap, dan bertindak dalam berbagai situasi. Kompetensi mencakup pengetahuan, keterampilan, sikap, dan nilai-nilai yang mendasari perilaku kerja. Menurut Wibowo (2016), kompetensi merupakan kemampuan melaksanakan tugas berdasarkan skill dan pengetahuan yang didukung oleh sikap kerja profesional.
Metodologi Penelitian: Survei Kuantitatif dan Uji Statistik
Penelitian ini menggunakan metode survei dengan kuesioner, melibatkan seluruh karyawan PT. Usaha Bersama Bangun Persada (total 40 orang). Instrumen diuji validitas dan reliabilitasnya menggunakan Alpha Cronbach. Analisis data dilakukan dengan regresi linier berganda, uji F (simultan), dan uji t (parsial). Pengolahan data menggunakan SPSS 24.
Hasil Penelitian: Angka-Angka Kunci dan Temuan Utama
1. Pengaruh Pengalaman Kerja terhadap Kinerja Karyawan
Hasil ini menunjukkan bahwa pengalaman kerja berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja karyawan. Semakin lama dan beragam pengalaman kerja, semakin baik kinerja yang ditunjukkan karyawan123.
2. Pengaruh Kompetensi terhadap Kinerja Karyawan
Kompetensi juga terbukti berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja. Karyawan dengan pengetahuan, keterampilan, dan sikap kerja yang baik cenderung lebih produktif dan mampu menyelesaikan tugas dengan standar tinggi123.
3. Pengaruh Simultan Pengalaman Kerja dan Kompetensi
Secara bersama-sama, pengalaman kerja dan kompetensi memberikan pengaruh signifikan terhadap kinerja karyawan. Artinya, kedua faktor ini saling melengkapi dan memperkuat satu sama lain dalam mendorong produktivitas123.
4. Kontribusi Pengaruh (Koefisien Determinasi R²)
Artinya, 47% variasi kinerja karyawan dapat dijelaskan oleh pengalaman kerja dan kompetensi. Sisanya (53%) dipengaruhi faktor lain seperti motivasi, lingkungan kerja, kepemimpinan, dan kompensasi yang tidak diteliti dalam studi ini123.
Studi Kasus: Praktik di PT. Usaha Bersama Bangun Persada
Mayoritas karyawan di perusahaan ini memiliki masa kerja 3-5 tahun. Pengalaman kerja yang cukup membantu mereka memahami tugas lebih cepat dan efisien. Karyawan yang berpengalaman juga mampu membimbing rekan baru dan menggunakan peralatan kerja dengan lebih baik, sehingga keterlambatan produksi dapat diminimalisir.
Dari sisi kompetensi, karyawan dengan latar belakang pendidikan dan pelatihan yang baik menunjukkan sikap kerja positif, mampu menganalisis masalah, dan menawarkan solusi inovatif. Hal ini mempercepat penyelesaian masalah di lapangan dan meningkatkan kualitas layanan kepada pelanggan.
Diskusi: Analisis Kritis dan Perbandingan dengan Studi Lain
Hasil penelitian ini sejalan dengan temuan di perusahaan lain, seperti PT. Perkebunan Nusantara II Tanjung Garbus Pagar Merbau dan PT. Waletindo Setia Persada, yang juga menunjukkan bahwa pengalaman kerja dan kompetensi berpengaruh signifikan terhadap kinerja. Studi di PT. Perkebunan Nusantara II menemukan nilai Fhitung 8,185 > Ftabel 2,31, dengan kontribusi pengaruh sekitar 49%456. Sementara di PT. Waletindo Setia Persada, pengaruh kompetensi dan pelatihan terhadap kinerja mencapai 45,2%5.
Namun, kontribusi kedua faktor ini tidak mencapai 100%. Artinya, perusahaan juga perlu memperhatikan faktor lain seperti motivasi, lingkungan kerja, sistem penghargaan, dan kepemimpinan untuk mengoptimalkan kinerja karyawan.
Implikasi Praktis: Rekomendasi untuk Industri
Tantangan dan Peluang
Meskipun pengalaman kerja dan kompetensi terbukti penting, perusahaan perlu waspada terhadap risiko stagnasi jika hanya mengandalkan pengalaman tanpa inovasi. Kompetensi pun harus terus diperbarui agar relevan dengan perkembangan teknologi dan kebutuhan pasar. Selain itu, perusahaan perlu menciptakan budaya belajar yang mendorong karyawan untuk terus meningkatkan diri.
Kesimpulan: Kinerja Optimal Butuh Sinergi Pengalaman dan Kompetensi
Penelitian di PT. Usaha Bersama Bangun Persada menegaskan bahwa pengalaman kerja dan kompetensi adalah dua pilar utama yang menentukan kinerja karyawan. Keduanya saling melengkapi: pengalaman memperkuat pemahaman tugas dan efisiensi, sementara kompetensi memastikan kualitas dan inovasi dalam bekerja. Namun, untuk mencapai kinerja puncak, perusahaan juga harus memperhatikan faktor lain di luar dua variabel ini. Investasi pada pengembangan SDM secara holistik adalah kunci daya saing jangka panjang.
Sumber artikel:
Dominik Tulasi, Varisa Avila Theresia. (2021). The Influence of Work Experience and Competence on Employee’s Performance (A case study: Usaha Bersama Bangun Persada Ltd.). Jurnal Kewirausahaan, Akuntansi, Manajemen TRI BISNIS, Vol 3, No 1, 2021, hlm. 98–121.
Manajemen Sumber Daya Manusia dan Organisasi
Dipublikasikan oleh Anisa pada 29 April 2025
Rekrutmen internal atau mobilitas internal adalah suatu proses di mana kandidat dipilih dari tenaga kerja yang sudah ada untuk mengambil pekerjaan baru di organisasi yang sama, mungkin sebagai promosi, pengembangan karir, atau untuk memenuhi kebutuhan organisasi yang spesifik. Keuntungannya melibatkan keakraban organisasi dengan karyawan dan kompetensi yang terungkap dalam pekerjaan saat ini, serta kepercayaan terhadap karyawan tersebut. Metodenya dapat lebih cepat dan lebih hemat biaya dibandingkan merekrut eksternal.
Banyak perusahaan lebih memilih merekrut atau mempromosikan karyawan secara internal daripada mencari calon di pasar tenaga kerja umum. Setelah melakukan pencarian yang menggabungkan proses internal dan eksternal, perusahaan seringkali memilih merekrut kandidat internal karena biaya yang lebih rendah dan pengetahuan sebelumnya tentang efektivitas mereka. Rekrutmen internal juga dapat mendorong pengembangan keterampilan dan pengetahuan karena karyawan cenderung mengharapkan karier yang lebih panjang di perusahaan. Namun, promosi karyawan juga bisa meninggalkan kekosongan yang perlu diisi.
Di sisi lain, mencari kandidat eksternal adalah pilihan lain dalam rekrutmen. Ini membawa ide dan pandangan segar ke perusahaan, membuka lebih banyak kemungkinan untuk kelompok pelamar, dan tergantung pada kondisi ekonomi dan pasar kerja. Untuk mempublikasikan lowongan pekerjaan kepada calon kandidat, perusahaan sering mengiklankannya melalui berbagai media, termasuk surat kabar lokal, jurnal, dan online.
Program referensi karyawan adalah sistem di mana karyawan yang sudah ada merekomendasikan calon potensial, dan jika kandidat tersebut dipekerjakan, karyawan yang merekomendasikan menerima bonus tunai.
Perusahaan niche fokus pada membangun hubungan berkelanjutan dengan kandidat, karena kandidat yang sama dapat ditempatkan berkali-kali sepanjang karier mereka. Rekrutmen sosial menggunakan media sosial untuk menarik pelamar, dan rekrutmen seluler adalah strategi yang menggunakan teknologi seluler untuk menarik, melibatkan, dan mengonversi calon kandidat.
Beberapa perekrut menerima pembayaran dari pencari kerja, yang membantu mereka menemukan pekerjaan, tetapi ini ilegal di beberapa negara. Beberapa perekrut menyebut diri mereka sebagai "pemasar pribadi" daripada perekrut. Penggunaan alat analisis keputusan multi-kriteria seperti proses hirarki analitik memberikan keuntungan tambahan dengan membantu perekrut membuat keputusan saat ada beberapa kriteria yang beragam atau ketika pelamar kurang memiliki pengalaman sebelumnya, misalnya, perekrutan lulusan baru.
Pemberi kerja dapat kembali merekrut kandidat yang sebelumnya ditolak atau merekrut dari kalangan mantan karyawan untuk meningkatkan peluang mendapatkan kandidat berkualitas.
Disadur dari https://en.wikipedia.org/wiki/Recruitment
Manajemen Sumber Daya Manusia dan Organisasi
Dipublikasikan oleh Anisa pada 29 April 2025
Manajemen penghargaan adalah upaya merumuskan dan menerapkan strategi serta kebijakan untuk memberikan penghargaan kepada individu secara adil, setara, dan konsisten sesuai dengan kontribusi mereka bagi organisasi.
Dalam dunia manajemen penghargaan, analisis dan pengendalian remunerasi, kompensasi, dan segala bentuk tunjangan karyawan menjadi fokus utama. Manajemen penghargaan bertujuan untuk menciptakan dan mengoperasikan struktur penghargaan yang efisien untuk suatu organisasi. Struktur penghargaan ini biasanya mencakup kebijakan dan praktik pembayaran, administrasi gaji, total penghargaan, upah minimum, gaji eksekutif, dan penghargaan tim.
Manajemen penghargaan berurusan dengan proses, kebijakan, dan strategi yang diperlukan untuk memastikan bahwa kontribusi karyawan terhadap bisnis diakui dengan berbagai cara. Tujuan dari manajemen penghargaan adalah memberikan penghargaan kepada karyawan secara adil, setara, dan konsisten sejalan dengan nilai individu-individu tersebut bagi organisasi. Sistem penghargaan hadir untuk memotivasi karyawan agar bekerja menuju pencapaian tujuan strategis yang ditetapkan oleh perusahaan dan untuk menyelaraskan tindakan karyawan dengan budaya, tujuan, dan keyakinan yang ingin dipegang oleh bisnis atau organisasi tersebut. Penting untuk dicatat bahwa manajemen penghargaan tidak hanya berfokus pada gaji dan tunjangan karyawan, melainkan juga pada penghargaan non-finansial seperti pengakuan, pelatihan, pengembangan, dan peningkatan tanggung jawab pekerjaan. Pada intinya, Manajemen Penghargaan adalah alat yang menggunakan berbagai jenis Motivasi Karyawan untuk menyelaraskan tujuan strategis dan budaya seorang karyawan atau kelompok karyawan dengan target taktis yang ditetapkan oleh suatu bisnis atau organisasi.
Dalam konteks ini, Kerr (1995) menyoroti bagaimana Manajemen Penghargaan sebenarnya merupakan konsep yang mudah dipahami secara teoritis, tetapi aplikasinya dalam praktik sering menghasilkan hasil yang berbeda. Sebagai contoh, perusahaan sering kali menciptakan Sistem Penghargaan dengan harapan memberikan penghargaan kepada perilaku tertentu, tetapi akhirnya malah memberikan penghargaan kepada perilaku lain. Dalam hal ini, penting untuk memperhatikan kesalahan umum dalam manajemen, seperti memberikan kenaikan prestasi tahunan kepada semua karyawan tanpa membedakan prestasi luar biasa, di atas rata-rata, atau kurang baik. Güngör (2011) juga mengeksplorasi Sistem Manajemen Penghargaan dan aplikasinya dalam organisasi. Sistem ini mencakup proses, praktik, dan kebijakan organisasi yang berkaitan dengan kontribusi atau kemampuan karyawan. Penerapan sistem ini menghasilkan berbagai jenis penghargaan sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan. Studi tentang kinerja karyawan menunjukkan hubungan positif dan signifikan antara Sistem Manajemen Penghargaan dan kinerja karyawan. Dengan demikian, manajemen penghargaan menjadi kunci untuk membentuk budaya kerja yang memotivasi dan memberdayakan karyawan.
Teori motivasi
Teori proses dan isi adalah dua kategori yang menjadi dasar teori motivasi. Motivasi karyawan dapat didefinisikan secara luas sebagai kapasitas untuk mengubah perilaku dan insentif untuk mengambil tindakan menuju suatu tujuan. Sementara teori proses berfokus pada cara berbagai atribut pribadi memengaruhi dan mengganggu perilaku manusia, teori konten bertujuan untuk mengidentifikasi dan mengevaluasi elemen yang mendorong individu untuk bekerja lebih baik dan efektif. Teori proses lebih mementingkan imbalan intrinsik seperti rasa hormat dan pengakuan yang akan membantu meningkatkan kepercayaan diri karyawan di tempat kerja dan meningkatkan kepuasan kerja dibandingkan teori konten dengan imbalan ekstrinsik seperti bonus yang berwujud dan akan membantu memperbaiki keadaan fisiologis karyawan.
Hierarki Kebutuhan Maslow adalah teori konten yang terkenal, sedangkan teori ekuitas adalah teori proses yang terkenal. Meskipun beberapa teori motivasi yang paling terkenal berasal dari bidang psikologi, teori motivasi memberikan landasan teoritis untuk manajemen penghargaan. Saya yakin, yang pertama dan paling terkenal berasal dari karya Abraham Maslow. Hierarki kebutuhan Maslow menggambarkan sebuah piramida dengan beberapa tingkatan, dimulai dengan kebutuhan fisiologis paling dasar (makanan, air, tempat tinggal, dan seks) dan naik ke kebutuhan aktualisasi diri (moralitas dan kreativitas) di puncak. Dari bawah hingga atas, Maslow mengamati bahwa persyaratan ini dipenuhi satu per satu. Sumber daya yang diperoleh dari pekerjaan termasuk dalam kategori “kebutuhan rasa aman” (tingkat 2), dan pengakuan di tempat kerja dapat memuaskan keinginan akan “harga diri” (tingkat 4), serta perasaan “memiliki” (tingkat 3).
Pertama kali diterbitkan pada tahun 1959, teori motivator-higiene Frederick Herzberg menyatakan bahwa kepuasan dan ketidakpuasan kerja ditentukan oleh dua faktor yang berbeda dan keduanya harus diukur secara independen dan bukan sebagai ujung yang berlawanan dari kontinum yang sama. Faktor kebersihan dan faktor motivasi merupakan dua kelompok variabel. Dalam pandangan Herzberg, penghargaan hanya berfungsi untuk menjaga agar orang tidak merasa tidak puas; motivasi sejati datang dari kerja itu sendiri, dari menyelesaikan tugas.
Menurut teori ekspektasi, kita memilih tindakan kita tergantung pada seberapa diinginkan kita yakin akan hasil dari tindakan tersebut. Victor Vroom adalah orang yang paling menonjol menggunakannya dalam lingkungan profesional. Ia bertujuan untuk mengetahui hubungan perkalian antara kinerja, motivasi, dan kemampuan, yang dinyatakan sebagai berikut: kinerja = motivasi x kemampuan. Strategi semacam ini mempunyai beberapa manfaat, terutama bagi pengusaha yang mungkin memfokuskan upaya motivasi mereka dan mengharapkan keuntungan finansial yang dapat diukur. Karena didasarkan pada proses kognitif, teori ini bergantung pada bagaimana pekerja melihat imbalan. Praktik manajemen insentif masih dipengaruhi oleh ketiga gagasan tersebut dan variasinya, yang telah banyak diteliti.
Disadur dari: