Manajemen Risiko
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 13 Mei 2025
Mengapa Risiko Proyek Konstruksi Harus Dikelola Sejak Awal?
Proyek konstruksi, terlebih yang dibiayai oleh APBD atau dana publik, bukan sekadar urusan teknis antara kontraktor dan arsitek. Ia menyangkut kepentingan publik yang lebih luas: transparansi anggaran, efisiensi waktu pelaksanaan, dan mutu bangunan jangka panjang. Artikel ini membedah bagaimana risiko dalam proyek pembangunan Kantor Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Samarinda dapat diidentifikasi dan dikelola melalui metode Severity Index (Sevecindex).
Metode ini menjadi sorotan karena kemampuannya menyederhanakan proses identifikasi dan pemeringkatan risiko secara kuantitatif, yang selama ini sering dianggap rumit dan tidak aplikatif oleh pelaku lapangan. Dengan studi kasus nyata dan data lapangan konkret, artikel ini membuktikan bahwa risiko bukan hanya bisa diukur, tetapi juga ditanggulangi secara sistematis.
Studi Kasus: Pembangunan Kantor DLH Samarinda
Proyek yang diteliti adalah pembangunan gedung vertikal lima lantai milik Dinas Lingkungan Hidup Kota Samarinda. Proyek ini memiliki:
Dengan kompleksitas pekerjaan yang tinggi, lokasi di tengah kota, serta tekanan anggaran publik, proyek ini menghadirkan berbagai risiko nyata, terutama terhadap waktu pelaksanaan dan biaya proyek.
Metodologi: Severity Index (Sevecindex)
Sevecindex adalah metode kuantitatif berbasis skala yang menghitung tingkat keparahan suatu risiko berdasarkan dua dimensi:
Setiap variabel risiko dinilai oleh 10 responden ahli proyek (manajer proyek, site engineer, pelaksana, surveyor), kemudian diolah dengan rumus SI = (∑ aᵢ · xᵢ)/(4∑ xᵢ), di mana nilai akhir dikategorikan ke dalam: sangat jarang, jarang, cukup, sering, dan sangat sering.
Hasil Temuan: 30 Risiko Utama yang Relevan
Penelitian ini awalnya mengidentifikasi 32 risiko potensial, namun dua di antaranya dinyatakan tidak relevan, yaitu:
Dari 30 risiko yang tersisa, dikelompokkan berdasarkan aspek frekuensi dan dampaknya terhadap dua dimensi utama proyek: waktu dan biaya.
Risiko Dominan terhadap Waktu
Lima risiko utama yang berdampak besar pada waktu pelaksanaan proyek, dikategorikan sebagai risiko sedang hingga tinggi:
Risiko Dominan terhadap Biaya
Sementara itu, terdapat tiga risiko utama yang berpengaruh secara langsung pada pembengkakan anggaran:
Penanganan Risiko: Rekomendasi Strategis dari Lapangan
1. Mitigasi terhadap Cuaca Ekstrem
2. Mitigasi terhadap Kenaikan Harga Material
3. Mitigasi terhadap Risiko SDM
Kritik dan Komparasi dengan Penelitian Sebelumnya
Studi ini unggul karena:
Namun, artikel ini masih bisa dikembangkan lebih lanjut, terutama:
Sebagai pembanding, penelitian oleh Fitria (2017) pada proyek Tunjungan Plaza 6 menggunakan pendekatan probabilistik berbasis AHP dan menunjukkan bahwa risiko mutu justru menjadi faktor yang sering diabaikan padahal berdampak besar pada citra dan operasional bangunan.
Relevansi dengan Tantangan Konstruksi di Indonesia
Risiko seperti cuaca, SDM, perubahan desain, dan fluktuasi harga material adalah problem klasik yang masih relevan hingga saat ini. Terlebih lagi, dalam konteks proyek pemerintah yang biasanya:
Oleh karena itu, penerapan metode Sevecindex bisa menjadi tools yang efektif untuk diterapkan lebih luas dalam proyek-proyek APBD/APBN lain.
Manfaat Sevecindex untuk Praktisi Lapangan
Bagi pelaksana proyek atau kontraktor yang tidak terbiasa dengan metode analisis risiko yang kompleks, Sevecindex menawarkan keunggulan sebagai:
Dengan hanya 30 variabel utama dan hasil analisis berbasis frekuensi serta dampak, manajer proyek dapat segera menyusun langkah mitigasi tanpa perlu tools mahal atau software kompleks.
Kesimpulan: Risiko Tak Dapat Dihilangkan, Tapi Bisa Dikelola
Penelitian ini membuktikan bahwa risiko dalam proyek konstruksi pemerintah tidak bisa dianggap remeh. Cuaca, alat, tenaga kerja, dan dinamika desain dapat mengganggu jalannya proyek secara signifikan. Namun, dengan pendekatan yang sistematis seperti Sevecindex, risiko-risiko tersebut bisa diidentifikasi sejak awal dan ditangani secara terstruktur.
Ke depan, pendekatan ini dapat dikombinasikan dengan digitalisasi manajemen proyek, agar pengendalian risiko menjadi bagian dari rutinitas, bukan hanya tindakan reaktif. Dengan demikian, proyek-proyek publik bisa lebih transparan, tepat waktu, dan memberi manfaat maksimal bagi masyarakat.
Referensi Asli :
Maslina, Muhammad Kurnia, Nike Agustiyana, dan Hikmah Maya Sari. Analisis Risiko Proyek Menggunakan Metode Sevecindex Pada Proyek Pembangunan Kantor Lingkungan Samarinda. Jurnal TRANSUKMA, Vol. 5 No. 1, Desember 2022, hlm. 18–26
Manajemen Risiko
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 13 Mei 2025
Risiko dalam Konstruksi Perpipaan: Masalah Sistemik di Balik Layanan Air Bersih
Pembangunan infrastruktur air bersih bukan hanya tentang pengadaan pipa atau pengecoran beton. Ia melibatkan kompleksitas teknis, logistik, hingga sosial yang sarat risiko. Di Jakarta, proyek konstruksi jaringan pipa air bersih oleh PDAM Pam Jaya dan PT PAM Lyonnaise Jaya (Palyja) menjadi contoh nyata bagaimana risiko yang tidak tertangani bisa mengancam keselamatan kerja, biaya proyek, dan bahkan distribusi air bagi jutaan warga.
Dalam studi yang dilakukan Safruddin MJ dan Sawarni Hasibuan, pendekatan manajemen risiko berbasis House of Risk (HOR) digunakan untuk mengidentifikasi dan memitigasi risiko dalam proyek konstruksi utilitas piping dan pekerjaan sipil. Kajian ini tidak hanya menyuguhkan identifikasi teknis, tetapi juga memberi peta strategis aksi mitigasi yang sangat relevan bagi industri konstruksi perkotaan di Indonesia.
Proyek Konstruksi Palyja: Antara Target Distribusi dan Kenyataan Lapangan
PT PAM Lyonnaise Jaya (Palyja), mitra PAM Jaya, bertanggung jawab atas layanan air perpipaan di wilayah Jakarta Barat. Target utamanya adalah memperluas akses dan meningkatkan mutu layanan air bersih. Namun, fakta di lapangan menunjukkan banyak proyek pemipaan mengalami keterlambatan, pembengkakan biaya, dan bahkan gagal memenuhi target operasional karena risiko-risiko yang tidak dimitigasi sejak awal.
Menurut RPJMN 2015–2019, dari Rp 451,3 triliun total pasar konstruksi nasional, sekitar 65% disumbang oleh sektor pekerjaan sipil seperti konstruksi jalan dan pemipaan. Namun, hanya Rp 33,899 triliun yang dialokasikan untuk infrastruktur air minum dari APBN, sehingga efisiensi dan manajemen risiko menjadi kunci.
Metodologi: Strategi HOR dalam Empat Tahap
Penelitian ini dibagi ke dalam empat fase sistematis:
Hasil Identifikasi: 60 Risiko dan 38 Agen Risiko
Risiko Paling Dominan
Dari 120 kejadian awal, disaring menjadi 60 risk event utama, antara lain:
Contohnya, terlambatnya pekerjaan karena banyaknya utilitas eksisting di lokasi pekerjaan (E59) diberi nilai severity tinggi, karena berpotensi menunda seluruh rantai kerja.
Agen Risiko Tertinggi (Top 5)
Melalui prinsip Pareto 80/20, diidentifikasi lima agen risiko prioritas:
Lima agen risiko ini saja menyumbang lebih dari 30% potensi risiko total proyek.
Studi Kasus: Keterlambatan Proyek dan Dampaknya
Ketika pasokan material utama dan pelengkap terlambat (seperti pada agen risiko A13), dampaknya tidak hanya sekadar waktu, tetapi juga:
Selain itu, gangguan eksternal seperti protes warga, cuaca buruk, dan birokrasi izin menambah kompleksitas pelaksanaan proyek, mengingat jaringan pipa dibangun di bawah jalan-jalan padat dan permukiman padat penduduk.
Strategi Mitigasi: Dari ISO ke Pelatihan Berkelanjutan
Berdasarkan analisis House of Risk fase 2, dirumuskan 38 strategi mitigasi risiko, dengan lima strategi prioritas sebagai berikut:
Setiap strategi ini dirancang berdasarkan efektivitas pengurangan risiko, derajat kesulitan implementasi, dan dampaknya terhadap kinerja proyek secara menyeluruh.
Opini Kritis dan Relevansi Industri
Penelitian ini sangat kuat dalam dua hal: metodologi HOR yang terstruktur dan keberanian memasukkan faktor-faktor human error dan manajemen mutu sebagai pusat perhatian. Sayangnya, tidak banyak penelitian risiko konstruksi yang sedetail ini mengurai risiko pada utilitas air bersih secara spesifik.
Namun, satu kekurangan utama adalah minimnya data kuantitatif dari aspek keuangan (seperti rasio keterlambatan terhadap nilai proyek) yang bisa memperkuat narasi risiko menjadi lebih ekonomis. Juga, kurangnya integrasi teknologi informasi (misalnya penggunaan BIM atau IoT) dalam pendekatan mitigasi menjadi peluang penelitian selanjutnya.
Pembelajaran untuk Proyek Lain di Indonesia
Model ini sangat aplikatif untuk proyek sejenis di kota-kota lain seperti Surabaya, Medan, atau Makassar, yang juga sedang membangun jaringan air bersih dan sanitasi. Di tengah tuntutan pemerintah pusat terhadap penurunan Non-Revenue Water (NRW) nasional hingga 20% dan peningkatan akses air bersih mencapai 100% pada 2030 (Sustainable Development Goal 6), mitigasi risiko menjadi fondasi penting.
Rekomendasi Praktis dari Studi Ini
Bagi Anda yang bergerak di bidang konstruksi sipil, manajemen proyek, atau pengadaan air bersih, berikut beberapa poin strategis:
Penutup: Risiko yang Dikelola, Proyek yang Berhasil
Penelitian ini menegaskan bahwa kesuksesan proyek tidak hanya bergantung pada teknologi dan pendanaan, tetapi juga pada bagaimana risiko dipahami dan dimitigasi secara sistematis. Dengan model seperti House of Risk, perusahaan konstruksi, operator utilitas, dan pemerintah daerah memiliki alat yang tepat untuk mengendalikan risiko sejak perencanaan hingga penutupan proyek.
Pada akhirnya, risiko tidak harus menjadi penghalang, melainkan bisa menjadi panduan untuk menciptakan sistem kerja yang lebih cerdas, efisien, dan andai menuju layanan air bersih yang layak dan berkelanjutan untuk semua.
Referensi Asli:
Safruddin MJ & Sawarni Hasibuan. Strategi Mitigasi Risiko Proyek Konstruksi Utilitas Piping dan Pekerjaan Sipil: Studi Kasus PDAM Jakarta. Operations Excellence, Volume 12, Nomor 1, 2020, halaman 74–87.
Manajemen Risiko
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 13 Mei 2025
Industri konstruksi menjadi tulang punggung pembangunan infrastruktur nasional, namun ironisnya juga tercatat sebagai salah satu sektor paling berisiko dari segi keselamatan kerja. Dengan lingkungan kerja yang dinamis, waktu pengerjaan yang ketat, dan jumlah tenaga kerja dalam skala besar, proyek konstruksi sangat rentan terhadap kecelakaan yang dapat mengakibatkan luka serius bahkan kematian.
Dalam konteks ini, artikel yang ditulis oleh para peneliti dari Universitas Mercu Buana ini menyuguhkan sebuah kajian literatur sistematis terhadap risiko keselamatan kerja dalam proyek konstruksi. Studi ini mengulas jurnal dari lebih dari 20 negara berbeda, serta menggali bagaimana manajemen risiko dapat diterapkan untuk mengurangi angka kecelakaan kerja dan kerugian proyek.
Risiko di Balik Pengerjaan: Dimensi Masalah yang Kompleks
Penelitian ini menyimpulkan bahwa risiko dalam proyek konstruksi dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori utama:
Fakta Global: Ketidakselamatan adalah Masalah Lintas Negara
Data dari United States Bureau of Labor Statistics (2016) menunjukkan bahwa sebanyak 937 pekerja tewas dalam proyek konstruksi, meningkat dari 899 orang pada tahun 2014. Hal ini menggarisbawahi bahwa kecelakaan kerja bukan masalah sepele, dan terus menjadi perhatian di seluruh dunia.
Berbagai negara memiliki fokus yang berbeda terhadap jenis risiko. Sebagai contoh:
Studi Kasus Lokal: Gedung Bertingkat dan Perumahan di Indonesia
Beberapa studi dalam negeri yang dikaji dalam artikel ini memperlihatkan realita proyek konstruksi di Indonesia:
1. Proyek Gedung Bertingkat (Nurlela & Suprapto, 2010)
Identifikasi risiko utama di proyek ini mencakup kurangnya komunikasi dengan pemilik proyek (owner), yang berdampak pada deviasi waktu dan biaya. Solusi yang ditemukan adalah peningkatan keterlibatan owner dalam proses komunikasi sejak tahap awal proyek.
2. Proyek Kabupaten Jembrana (Norken et al., 2012)
Ditemukan 71 jenis risiko di proyek konstruksi pemerintah. Yang paling dominan adalah keterlambatan progres karena lemahnya manajemen keuangan kontraktor. Ada pula muatan politis yang memengaruhi pengambilan keputusan.
3. Proyek Perumahan di Minahasa Utara (Rumimper et al., 2015)
Penelitian ini mengidentifikasi 10 aspek risiko dengan mayoritas termasuk kategori high risk, menunjukkan rendahnya kesiapan kontraktor perumahan dalam manajemen risiko proyek.
Risiko Keselamatan: Kelalaian Masih Mendominasi
Faktor risiko keselamatan yang paling sering ditemukan dalam berbagai literatur adalah:
Sebagai contoh, pada proyek pembangunan Universitas Ciputra (Widianto & Huda, 2019), risiko tertinggi adalah perubahan desain di tengah jalan, arus kas tidak stabil, serta pekerja yang tidak menggunakan alat keselamatan kerja, yang semuanya berkontribusi pada meningkatnya potensi kecelakaan.
Metode Identifikasi Risiko: Dari Kualitatif ke Kuantitatif
Penulis menelusuri berbagai pendekatan yang digunakan untuk mengidentifikasi dan mengevaluasi risiko keselamatan:
Sebagai contoh, metode Fuzzy TOPSIS (Karimiazari et al., 2011) di Iran mampu mengembangkan sistem evaluasi risiko yang fleksibel dan kontekstual sesuai kompleksitas proyek konstruksi.
Mitigasi Risiko: Solusi Sistemik, Bukan Parsial
Penanganan risiko keselamatan kerja tidak cukup hanya dengan memasang spanduk K3 atau memberi pelatihan sekali waktu. Diperlukan sistem mitigasi terstruktur, antara lain:
Salah satu praktik terbaik adalah penerapan konsep zero accident dalam proyek jalan tol Cisumdawu (Devi et al., 2018), di mana penerapan inspeksi harian dan pelibatan seluruh pekerja dalam sistem asuransi berhasil menekan angka kecelakaan hingga nol selama proyek berlangsung.
Tanggung Jawab Kolektif: Siapa Bertanggung Jawab atas Risiko?
Hasil review menunjukkan variasi dalam alokasi tanggung jawab:
Namun, banyak jurnal yang mencatat bahwa alokasi risiko belum selalu disepakati secara eksplisit, menyebabkan kebingungan ketika risiko benar-benar terjadi. Inilah pentingnya kontrak konstruksi mencantumkan klausul pengalihan risiko yang adil dan jelas (Rastogi, 2016).
Tantangan Implementasi: Dari Teori ke Praktik
Meskipun telah banyak pendekatan akademik dan metodologi risiko dikembangkan, implementasi di lapangan masih menghadapi hambatan:
Untuk itu, dibutuhkan reformasi budaya organisasi di sektor konstruksi, dengan menekankan pentingnya keselamatan sebagai nilai inti, bukan sekadar kewajiban administratif.
Rekomendasi Strategis
Berdasarkan temuan artikel, berikut adalah beberapa langkah strategis yang direkomendasikan:
Penutup: Mengamankan Proyek, Menyelamatkan Nyawa
Keselamatan kerja dalam proyek konstruksi bukan hanya soal kepatuhan hukum atau efisiensi biaya. Ini adalah tentang nyawa manusia. Dengan mengidentifikasi risiko secara sistematis dan menerapkan manajemen risiko yang berkelanjutan, kita bisa mengubah proyek-proyek konstruksi dari zona bahaya menjadi tempat kerja yang aman, produktif, dan bermartabat.
Artikel ini menunjukkan bahwa keselamatan bukan semata persoalan teknis, melainkan perpaduan antara manajemen, budaya, dan kepemimpinan. Semoga praktik terbaik dan wawasan dari studi ini dapat menjadi titik balik bagi transformasi keselamatan kerja di sektor konstruksi Indonesia.
Referensi Asli:
Sutikno, Yanuar Kurniawan, Duden Dodi Hartono, Humiras Hardi Purba. Identifikasi Risiko Keselamatan Pada Proyek Konstruksi: Kajian Literatur. Jurnal Teknologi dan Manajemen, Vol. 19 No. 2 (2021): 67–76. ISSN: 1693-2285. DOI: 10.52330/jtm.v19i2.28.
Manajemen Risiko
Dipublikasikan oleh Anisa pada 08 Mei 2025
Dalam dunia konstruksi infrastruktur, risiko sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari setiap tahapan proyek. Namun, pandemi Covid-19 membuka mata banyak pihak akan satu kategori risiko yang selama ini luput dari perhatian: unknown unknowns—risiko yang tidak hanya tak terduga, tapi juga tidak diketahui keberadaannya sebelum benar-benar terjadi. Tulisan ini mengupas tuntas bagaimana risiko jenis ini menjadi pemicu disrupsi besar dalam proyek-proyek konstruksi, serta bagaimana industri bisa belajar darinya untuk menghadapi ketidakpastian di masa depan.
Apa Itu Unknown Unknowns dan Mengapa Berbahaya?
Istilah unknown unknowns pertama kali dipopulerkan oleh Donald Rumsfeld (2002), dan sejak itu menjadi konsep penting dalam manajemen risiko. Risiko ini tidak termasuk dalam perencanaan karena:
Tidak pernah terjadi sebelumnya.
Tidak terbayangkan oleh pihak manapun.
Tidak ada data historis sebagai referensi.
Contohnya? Pandemi Covid-19 adalah manifestasi paling nyata dari unknown unknowns dalam sejarah konstruksi modern.
Klasifikasi Risiko Berdasarkan Pengetahuan
Menurut kerangka quadrants of knowledge, risiko diklasifikasikan sebagai:
Known Known: Sudah diketahui dan terukur, misalnya kenaikan harga material.
Known Unknown: Risiko yang disadari tetapi dampaknya belum bisa dipastikan, seperti kemungkinan keterlambatan proyek.
Unknown Known: Informasi diketahui oleh pihak tertentu namun tidak dibagikan.
Unknown Unknown: Risiko tak terduga yang belum pernah dialami sebelumnya.
Studi Kasus Pandemi Covid-19: Disrupsi Masif di Proyek Infrastruktur
Paper ini menjadikan pandemi sebagai contoh nyata betapa besarnya dampak unknown unknowns. Selama tahun 2020–2021, Indonesia mengalami keterlambatan proyek, gangguan rantai pasok, kelangkaan tenaga kerja, serta lonjakan biaya konstruksi.
Data Penting Dampak Pandemi
Pemotongan anggaran Kementerian PUPR: Rp 44,5 triliun dari total Rp 120 triliun dialihkan untuk penanganan Covid-19.
Biaya konstruksi di Jakarta: Mencapai USD 689/m² atau hampir Rp 10 juta per meter persegi.
Pertumbuhan industri konstruksi 2021: Hanya 2,7% menurut Fitch Solutions.
Ketika proyek tidak bisa berjalan karena PSBB, atau ketika pekerja dan material tidak bisa masuk lokasi, produktivitas proyek pun jatuh bebas.
Bagaimana Unknown Unknowns Memicu Disrupsi?
Menurut Society of Construction Law Delay and Disruption Protocol (2017), disrupsi adalah gangguan terhadap metode kerja normal kontraktor yang menyebabkan turunnya efisiensi. Unknown unknowns menyebabkan disrupsi karena:
Tidak ada mitigasi yang disiapkan.
Menimbulkan efek domino di lapangan.
Mengganggu urutan kerja dan koordinasi.
Menurunkan semangat kerja dan produktivitas tenaga kerja.
Disrupsi Diindikasikan oleh:
Pekerjaan terputus-putus.
Penumpukan pekerja.
Supervisi terganggu.
Komunikasi lemah.
Perlu overtime yang mahal.
Tantangan Utama: Mengubah Unknown Unknowns Menjadi Known Risks
Meskipun mustahil memprediksi semua unknown unknowns, tujuan utama manajemen risiko modern adalah:
Mendokumentasikan pengalaman masa lalu.
Mengubah risiko yang tidak diketahui menjadi risiko yang bisa diantisipasi.
Menyiapkan protokol respon cepat terhadap kejadian luar dugaan.
Proyek ke depan harus mengandalkan dokumentasi masa lalu agar kejadian luar biasa seperti pandemi tak lagi membuat proyek lumpuh total.
Strategi Menghadapi Unknown Unknowns di Masa Depan
Penulis menawarkan pendekatan manajemen risiko kolaboratif yang bisa digunakan untuk merespons kejadian tak terduga:
1. Dokumentasi & Pembelajaran Berkelanjutan
Setiap disrupsi harus dicatat, agar proyek mendatang bisa belajar dari pengalaman sebelumnya.
2. Joint Risk Analysis
Kolaborasi antara kontraktor, pemilik proyek, dan konsultan untuk berbagi informasi risiko tersembunyi.
3. Manajemen Proyek Transparan
Transparansi mutlak dibutuhkan agar semua pihak memiliki pemahaman yang sama soal risiko.
4. Penyesuaian Kontrak
Kontrak proyek harus lebih fleksibel untuk mengantisipasi force majeure yang tak terduga.
Opini Kritis dan Nilai Tambah
Apresiasi terhadap Kontribusi Ilmiah
Paper ini berhasil mengangkat isu yang selama ini jarang dibahas dalam konteks proyek konstruksi Indonesia. Dengan pendekatan yang reflektif dan empiris, tulisan ini memaksa kita untuk berpikir di luar kerangka manajemen risiko konvensional.
Kritik Terhadap Kurangnya Studi Komparatif
Akan lebih kuat bila penulis membandingkan pengalaman Indonesia dengan negara lain, seperti Singapura atau Jepang, yang memiliki sistem manajemen risiko lebih matang.
Potensi Integrasi Teknologi
Teknologi seperti BIM 5D, AI untuk simulasi skenario, dan dashboard risiko real-time bisa menjadi solusi untuk memetakan unknown unknowns lebih cepat dan efisien.
Implikasi Praktis Bagi Dunia Konstruksi
Pemerintah: Harus membuat kebijakan tanggap darurat yang bisa diaktifkan dalam hitungan hari.
Kontraktor: Wajib membangun sistem manajemen risiko yang adaptif dan tidak hanya mengandalkan data historis.
Akademisi: Didorong melakukan penelitian lanjutan untuk membangun kerangka identifikasi risiko non-tradisional.
Kesimpulan – Siapkah Kita untuk Risiko yang Tak Terduga?
Pandemi Covid-19 mengingatkan kita bahwa tidak semua risiko bisa diprediksi. Ke depan, proyek konstruksi harus siap menghadapi berbagai ketidakpastian dengan sistem yang lebih tangguh, kolaboratif, dan berbasis pengalaman nyata.
Mengubah unknown unknowns menjadi known unknowns adalah tantangan terbesar dalam dunia konstruksi abad ini. Dan langkah awalnya adalah menerima bahwa ketidaktahuan adalah bagian dari proses, bukan musuh yang harus dihindari.
Sumber Artikel
Paper yang diulas berjudul:
“Belajar dari Masa Pandemi Covid-19: Unknown-Unknowns sebagai Sumber Risiko Tidak Teridentifikasi dan Penyebab Disrupsi Proyek Konstruksi Infrastruktur”
Penulis: Puti Farida Marzuki
Dipublikasikan dalam Prosiding KoNTekS ke-15 (2021)
Dapat diakses melalui prosiding resmi Unika Soegijapranata atau website Konteks bila tersedia DOI.
Manajemen Risiko
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 08 Mei 2025
Menelusuri Konsep Risiko: Definisi, Dimensi, dan Aplikasinya
Artikel ini membuka diskusi dengan mendefinisikan risiko sebagai kemungkinan terjadinya suatu peristiwa yang berpotensi mengganggu pencapaian tujuan organisasi. Dalam konteks sektor publik, risiko tidak hanya berkutat pada aspek keuangan, tetapi juga menyangkut dimensi sosial, politik, dan teknologis. Penulis mengadopsi pendekatan Althaus (2005) yang membagi pemahaman risiko berdasarkan berbagai disiplin ilmu, seperti logika (risiko sebagai fenomena kalkulatif), ekonomi (risiko sebagai peluang dan ancaman terhadap nilai), hingga sosiologi (risiko sebagai konstruksi sosial).
Penting untuk dicatat bahwa artikel ini membedakan risiko dan ketidakpastian. Risiko mengacu pada probabilitas yang dapat dikuantifikasi, sedangkan ketidakpastian sering kali tidak dapat diukur dan sulit diprediksi. Distingsi ini penting karena pengelolaan keduanya membutuhkan pendekatan yang berbeda dalam kebijakan publik.
Studi Kasus: Risiko Korupsi dan Dampaknya pada Belanja Publik
Salah satu bagian paling mencolok dari artikel ini adalah sorotan terhadap risiko korupsi dalam pengadaan barang dan jasa publik. Berdasarkan data OECD, belanja publik untuk pengadaan barang dan jasa mencakup 13–20% dari PDB, dengan nilai sekitar USD 9,5 triliun per tahun. Namun, 20–25% dari anggaran ini—setara dengan USD 2 triliun—diperkirakan hilang akibat praktik korupsi.
Sebagai contoh konkret, artikel ini mengutip laporan OECD tahun 2021 yang mencatat lonjakan pengeluaran pemerintah untuk pengadaan publik selama pandemi COVID-19. Di 22 negara OECD-UE, proporsinya meningkat dari 13,7% PDB (2019) menjadi 14,9% (2020), memperbesar eksposur terhadap penyalahgunaan wewenang dan manipulasi tender. Risiko ini menjadi sangat tinggi dalam proyek infrastruktur besar atau pembelian di sektor pertahanan, di mana kompleksitas teknis dan minimnya transparansi menciptakan ruang untuk kolusi dan penyalahgunaan.
Evolusi Standar Internasional dan Implikasi Praktisnya
Perkembangan teori manajemen risiko di sektor publik tidak bisa dilepaskan dari peran standar internasional seperti ISO 31000 dan COSO II. Penulis menyoroti bagaimana ISO 31000 menekankan pentingnya konteks organisasi dan umpan balik berkelanjutan dalam siklus manajemen risiko. Lima tahapan inti—identifikasi, penilaian, pengendalian, pembiayaan, dan pemantauan risiko—harus disesuaikan dengan budaya dan struktur organisasi publik.
Sementara COSO melihat manajemen risiko sebagai proses yang melibatkan seluruh entitas organisasi, dari dewan pengarah hingga staf paling bawah. Hal ini mendukung paradigma Enterprise Risk Management (ERM) yang kini mulai diadopsi di berbagai pemerintahan, seperti Kanada dan Selandia Baru, sebagai upaya membangun tata kelola berbasis akuntabilitas dan efisiensi layanan publik.
Klasifikasi Risiko dalam Konteks Publik
Artikel ini memperluas kerangka klasifikasi risiko yang relevan untuk sektor publik ke dalam dua kategori utama: risiko strategis dan operasional. Risiko strategis mencakup risiko politik, sosial, teknologi, ekonomi, dan lingkungan. Misalnya, perubahan undang-undang (seperti perlindungan data atau hak asasi manusia) bisa memengaruhi kinerja operasional lembaga secara signifikan.
Di sisi lain, risiko operasional muncul dari aktivitas harian, seperti risiko hukum (pelanggaran regulasi), risiko fisik (kecelakaan kerja), risiko kontraktual (gagalnya rekanan), serta risiko teknologi akibat ketergantungan pada sistem informasi. Dalam kerangka ini, pejabat pelayanan publik seperti polisi, dokter, atau pegawai sosial menjadi garda terdepan yang harus peka terhadap potensi risiko di lapangan.
Penulis juga mengutip pendekatan Fone dan Young (2005) yang membedakan antara “social risk” (seperti bencana, epidemi, atau migrasi massal) dan “organizational risk” (seperti kebangkrutan lembaga, litigasi hukum, atau kegagalan kebijakan).
Perbandingan Manajemen Risiko di Sektor Publik dan Swasta
Artikel ini menyoroti perbedaan fundamental antara pendekatan sektor publik dan swasta terhadap manajemen risiko. Sektor swasta cenderung berorientasi pada keuntungan dan menggunakan metrik seperti “risk-adjusted return on capital.” Sebaliknya, sektor publik memiliki mandat pelayanan sosial dan akuntabilitas publik yang lebih luas.
Sebagai contoh, perusahaan swasta bisa menutup unit bisnis yang tidak menguntungkan, sementara instansi pemerintah harus tetap menyediakan layanan penting meski tidak menghasilkan keuntungan. Perubahan rezim politik pun dapat langsung memengaruhi arah kebijakan dan alokasi sumber daya.
Namun, tantangan terbesar sektor publik adalah fragmentasi pendekatan, di mana manajemen risiko belum sepenuhnya terintegrasi ke dalam strategi organisasi. Banyak lembaga pemerintah mengelola risiko secara terpisah dan ad hoc, tanpa koordinasi lintas departemen, yang menyebabkan inkonsistensi dalam pengambilan keputusan dan rendahnya efektivitas pengendalian risiko.
Integrasi Manajemen Risiko dalam Budaya Organisasi Publik
Penulis menegaskan bahwa manajemen risiko tidak boleh dianggap sebagai tanggung jawab individu atau unit tertentu. Sebaliknya, pendekatan ini harus melekat dalam seluruh struktur organisasi, mulai dari strategi hingga pelaksanaan. Pendekatan ERM memungkinkan organisasi publik untuk memetakan skenario risiko, merancang respons yang proporsional, dan menilai implikasi keuangan dari keputusan yang diambil.
Langkah-langkah yang disarankan mencakup identifikasi misi organisasi, analisis risiko, kontrol dan mitigasi risiko, evaluasi finansial, serta implementasi berkelanjutan dengan sistem pelaporan yang kuat. Selain itu, strategi penanganan risiko seperti risk avoidance, risk reduction, dan risk transfer juga dibahas secara komprehensif.
Isu dan Tantangan Implementasi
Kendati teori manajemen risiko telah mapan, implementasinya di sektor publik masih menghadapi berbagai tantangan. Salah satunya adalah “lack of integration,” yakni ketika pengelolaan risiko tidak menyatu dengan sistem pengambilan keputusan atau hanya dijalankan sebagai kewajiban administratif.
Selain itu, masih terdapat miskonsepsi bahwa manajemen risiko identik dengan kepatuhan, bukan alat strategis untuk meningkatkan kinerja organisasi. Ketidakharmonisan komunikasi antara tingkatan manajerial dan operasional juga menjadi penghambat utama efektivitas.
Tantangan lainnya adalah tekanan politik, perubahan cepat dalam teknologi dan regulasi, serta menurunnya kepercayaan publik terhadap institusi negara pasca krisis keuangan global. Di sinilah pentingnya pendekatan berbasis data dan sistematis agar risiko tidak hanya dihindari tetapi juga dimitigasi dengan perencanaan kontinjensi yang matang.
Kesimpulan dan Rekomendasi
Melalui artikel ini, Bentahar dan Rifai berhasil membangun kerangka teoritis yang kuat mengenai pentingnya manajemen risiko dalam sektor publik. Mereka menggarisbawahi bahwa risiko bukanlah sekadar ancaman, tetapi juga peluang untuk berinovasi dan meningkatkan nilai layanan publik.
Implikasi praktis dari artikel ini sangat luas, mulai dari reformasi pengadaan barang dan jasa, penguatan fungsi audit internal, hingga penerapan manajemen risiko terpadu di semua lini birokrasi. Dalam konteks globalisasi, digitalisasi, dan krisis multidimensi, sektor publik tidak lagi bisa menunda adopsi sistem pengelolaan risiko yang profesional dan terintegrasi.
Bagi negara-negara berkembang seperti Maroko (fokus konteks penulis), penguatan kapasitas institusi publik dalam mengenali dan mengelola risiko merupakan prasyarat untuk mencapai good governance, mengurangi korupsi, dan memperkuat kepercayaan warga terhadap negara.
Akhirnya, artikel ini menjadi kontribusi penting dalam literatur manajemen publik, khususnya dalam memperluas pemahaman teoritis dan aplikatif terhadap tantangan manajemen risiko di sektor yang kompleks, politis, dan serba dinamis.
Sumber Artikel dalam Bahasa Asli:
Bentahar Abdelrhani & Rifai Adnan. (2022). Risk and Risk Management in the Public Sector: A Theoretical Contribution. Journal of Economics, Finance and Management Studies, Vol. 5 Issue 09, September 2022, Hal. 2492–2506. DOI: 10.47191/jefms/v5-i9-03.
Manajemen Risiko
Dipublikasikan oleh Anisa pada 05 Mei 2025
Pendahuluan: Kompleksitas Proyek Design and Build di Indonesia
Model proyek design and build (D&B) semakin populer di industri konstruksi Indonesia karena efisiensi waktu dan biaya yang ditawarkannya. Namun, kompleksitas dan integrasi antara desain serta pelaksanaan membuat model ini sarat risiko. Paper karya Muhammad Farhan Ramadhan mengkaji secara komprehensif jenis-jenis risiko yang sering terjadi pada proyek D&B di Indonesia dan menawarkan strategi pengelolaan berbasis analisis kuantitatif.
Latar Belakang dan Fokus Penelitian
Proyek D&B di Indonesia mengalami peningkatan pesat, seiring dengan perkembangan infrastruktur dan tuntutan efisiensi. Metode ini menyatukan tanggung jawab desain dan konstruksi pada satu entitas kontraktor, sehingga mempercepat proses dan mengurangi konflik. Namun, model ini juga memunculkan tantangan risiko yang unik: dari ketidakjelasan spesifikasi awal, potensi perbedaan persepsi, hingga perubahan desain mendadak saat proyek berjalan.
Penelitian ini bertujuan untuk:
Mengidentifikasi risiko signifikan dalam proyek D&B di Indonesia.
Mengukur probabilitas dan dampaknya.
Menyusun strategi mitigasi berdasarkan analisis data lapangan.
Metodologi: Survei, Analisis Risiko, dan Matriks Evaluasi
Penulis menggunakan pendekatan kuantitatif dengan metode survei yang disebarkan kepada para profesional di bidang konstruksi (konsultan, kontraktor, pemilik proyek). Kuesioner dirancang untuk mengukur persepsi terhadap:
Kemungkinan terjadinya risiko (probability).
Dampak risiko terhadap proyek (impact).
Tingkat signifikansi risiko (risk significance).
Masing-masing risiko kemudian dipetakan dalam matriks probabilitas-dampak untuk mengidentifikasi prioritas pengelolaan.
Responden:
Sebanyak 48 profesional konstruksi di Indonesia, terdiri dari:
40% dari perusahaan kontraktor.
33% dari konsultan pengawas atau perencana.
27% dari pemilik proyek (owner representative).
Temuan Utama: 10 Risiko Paling Signifikan dalam Proyek D&B
Dari hasil analisis, 10 risiko teratas dalam proyek D&B di Indonesia berdasarkan risk significance adalah:
Perubahan desain selama konstruksi.
Ketidaksesuaian antara desain dan kebutuhan di lapangan.
Ketidakjelasan lingkup pekerjaan di awal.
Kurangnya koordinasi antara tim desain dan konstruksi.
Kurangnya pengalaman kontraktor dalam proyek D&B.
Keterlambatan pengambilan keputusan oleh owner.
Kegagalan dalam memahami kebutuhan pengguna akhir.
Kesalahan dalam estimasi biaya proyek.
Ketidaksesuaian antara jadwal desain dan jadwal konstruksi.
Ketidaktepatan waktu dalam penyediaan material.
Sebagian besar risiko tersebut bersumber dari komunikasi yang buruk dan kurangnya perencanaan terpadu antara desain dan konstruksi—dua aspek yang dalam model D&B seharusnya saling menguatkan.
Studi Kasus dan Konteks Industri di Indonesia
Dalam konteks Indonesia, banyak proyek D&B dikerjakan oleh perusahaan yang belum terbiasa mengelola aspek desain secara komprehensif. Misalnya, pada pembangunan jalan tol atau fasilitas publik (seperti LRT Jakarta), sering ditemukan perubahan desain di tengah jalan akibat ketidakjelasan dokumen awal atau perbedaan interpretasi antarpihak. Hal ini menyebabkan penundaan dan pembengkakan biaya, dua masalah klasik dalam proyek D&B.
Contoh konkret bisa dilihat pada proyek pembangunan RSUD di beberapa daerah yang menggunakan skema D&B, namun mengalami revisi gambar kerja di tahap konstruksi karena kurangnya koordinasi awal antara desainer dan eksekutor.
Strategi Mitigasi: Membangun Sistem Manajemen Risiko Proaktif
Penelitian ini tidak hanya mengidentifikasi risiko, tetapi juga menyusun strategi mitigasi yang relevan, antara lain:
Kick-off meeting yang menyeluruh antara tim desain dan konstruksi sejak awal proyek.
Dokumentasi kebutuhan pengguna akhir secara detail, termasuk skenario penggunaan bangunan.
Review desain berkala yang melibatkan semua stakeholder, termasuk kontraktor lapangan.
Pelatihan dan sertifikasi kontraktor untuk proyek D&B agar memahami alur kerja desain.
Kontrak berbasis risiko (risk-based contract) dengan klausul fleksibilitas namun terkendali.
Strategi ini sangat relevan dengan praktik internasional, di mana proyek D&B sukses biasanya didukung oleh manajemen risiko yang terstruktur dan kolaboratif.
Perbandingan dengan Studi Sebelumnya
Menariknya, temuan Ramadhan selaras dengan riset internasional, seperti oleh Molenaar et al. (2000) dan Ling et al. (2004), yang juga menempatkan risiko desain sebagai titik kritis dalam proyek D&B. Namun, kontribusi unik dari penelitian ini adalah fokusnya pada konteks Indonesia yang masih berkembang dan cenderung kurang memiliki standar komunikasi yang kuat dalam proyek konstruksi terpadu.
Sementara di negara-negara maju sudah ada software kolaboratif seperti BIM (Building Information Modeling) yang terintegrasi dalam proyek D&B, di Indonesia implementasinya masih sangat terbatas. Ini memperkuat argumen bahwa manajemen risiko di sini harus difokuskan pada soft skill seperti komunikasi, pengambilan keputusan, dan penyusunan kebutuhan awal proyek.
Implikasi Praktis dan Rekomendasi
Penelitian ini memberikan panduan nyata bagi pelaku industri konstruksi di Indonesia:
Owner harus lebih aktif dalam menyampaikan ekspektasi secara jelas sejak awal.
Kontraktor perlu meningkatkan kapabilitas desain internal, bukan hanya mengandalkan subkontraktor.
Konsultan perencana dan pengawas wajib menjembatani komunikasi antara tim desain dan lapangan.
Lebih jauh lagi, pemerintah dan asosiasi konstruksi dapat mendorong standar kompetensi khusus untuk proyek D&B, serta mewajibkan penyusunan dokumen design brief yang lengkap.
Kritik dan Saran Pengembangan
Meskipun metode survei memberikan gambaran umum, penelitian ini bisa lebih tajam jika disertai dengan studi kasus kualitatif dari proyek nyata, lengkap dengan data waktu, biaya, dan hasil. Pendekatan mixed-method akan memberikan nuansa yang lebih dalam, terutama pada aspek sosial dan organisasi yang tidak tergambar lewat angka saja.
Selain itu, penggunaan software seperti Monte Carlo Simulation atau FMEA (Failure Mode and Effect Analysis) bisa memperkuat analisis risiko secara teknis dan prediktif.
Penutup: Membangun Proyek D&B yang Tangguh
Proyek design and build menjanjikan efisiensi, namun di sisi lain, kompleksitas dan ketidakpastian harus dikelola dengan sistematis. Penelitian ini menjadi kontribusi penting dalam mengisi kekosongan literatur lokal tentang risiko proyek D&B di Indonesia, dan menyodorkan solusi yang praktis serta kontekstual.
Bagi pelaku industri, ini adalah pengingat bahwa keberhasilan proyek tidak hanya bergantung pada desain hebat atau teknologi mutakhir, tetapi juga pada kemampuan memahami dan mengelola risiko sejak awal.
Sumber:
Ramadhan, M.F. (2024). Risk Management on Design and Build Construction Project in Indonesia. Universitas Indonesia.
[DOI dan akses resmi akan ditambahkan bila tersedia dari jurnal publikasi]