Keselamatan Kerja

Membangun Budaya Keselamatan Konstruksi Berbasis Teknologi dan Perilaku: Strategi Menuju Zero Accident di Indonesia

Dipublikasikan oleh Marioe Tri Wardhana pada 09 Oktober 2025


Mengapa Temuan Ini Penting untuk Kebijakan

Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) di sektor konstruksi telah lama menjadi perhatian utama, mengingat industri ini menyumbang salah satu tingkat kecelakaan kerja tertinggi di dunia. Dalam konteks Indonesia, di mana proyek infrastruktur nasional terus berkembang, penerapan sistem K3 yang kuat bukan hanya kewajiban hukum, melainkan kebutuhan strategis untuk menjaga produktivitas, efisiensi, dan keberlanjutan industri.

Artikel Teknologi Canggih dalam K3 Konstruksi: Solusi Inovatif untuk Menekan Kecelakaan di Lokasi Proyek menyoroti pentingnya integrasi teknologi seperti sensor digital, IoT, dan analitik data untuk mendeteksi potensi bahaya secara dini. Pendekatan ini memungkinkan pengawasan real-time terhadap aktivitas di lapangan, memastikan bahwa pekerja selalu berada dalam zona aman.

Selain aspek teknologi, dimensi perilaku pekerja juga sangat menentukan. Kursus Behavior Based Safety (Keselamatan Kerja Berdasarkan Perilaku) menjelaskan bahwa 80% kecelakaan konstruksi berasal dari perilaku tidak aman yang bisa dicegah dengan pendekatan berbasis perilaku (Behavior-Based Safety). Dengan demikian, kebijakan keselamatan nasional perlu menggabungkan dua pilar utama: teknologi pengawasan dan perubahan perilaku pekerja.

Kebijakan publik yang efektif dalam konteks ini harus memosisikan K3 bukan sebagai kewajiban administratif, tetapi sebagai investasi jangka panjang untuk mengurangi biaya proyek, meningkatkan moral pekerja, dan memperkuat reputasi industri konstruksi Indonesia di mata dunia.

Implementasi di Lapangan: Dampak, Hambatan, dan Peluang

Implementasi sistem keselamatan berbasis teknologi dan perilaku mulai menunjukkan hasil positif di berbagai proyek di Asia Tenggara. Studi lapangan menunjukkan bahwa penerapan sensor deteksi jatuh, penggunaan helm pintar, serta sistem pelatihan berbasis Virtual Reality (VR) mampu menurunkan kecelakaan hingga 35–40%.

Indonesia telah mulai menerapkan langkah-langkah ini pada proyek besar seperti pembangunan jalan tol Trans-Jawa dan proyek IKN (Ibu Kota Nusantara). Namun, di lapangan masih banyak hambatan yang perlu diatasi:

  1. Keterbatasan SDM dan Literasi Digital:
    Banyak tenaga kerja belum terbiasa dengan sistem digital pelaporan K3. Pelatihan adaptif dan berkelanjutan masih terbatas, terutama di kontraktor kecil.

  2. Keterbatasan Pendanaan untuk Inovasi Teknologi:
    Adopsi alat digital seperti wearable sensor atau VR simulator masih dianggap mahal. Kontraktor kecil sulit menjangkau teknologi ini tanpa dukungan pembiayaan.

  3. Budaya Kerja yang Belum Disiplin:
    Keselamatan masih dianggap sebagai hambatan produktivitas. Padahal, data menunjukkan bahwa setiap kecelakaan berat dapat menyebabkan kerugian waktu hingga 20% dari total jam kerja proyek.

Meski demikian, peluang transformasi terbuka lebar. Artikel Meningkatkan Kinerja Proyek Konstruksi dengan Penerapan SMK3 Berstandar ISO 45001 di Bali menunjukkan bahwa perusahaan konstruksi yang menerapkan Sistem Manajemen K3 (SMK3) secara konsisten mengalami peningkatan produktivitas hingga 25% dan penurunan klaim asuransi kecelakaan hingga 40%.

Dengan sinergi antara pemerintah, lembaga pendidikan, dan industri, digitalisasi dan budaya keselamatan dapat berjalan beriringan menuju industri konstruksi yang tangguh dan aman.

Rekomendasi Kebijakan Praktis

Untuk memperkuat penerapan budaya K3 konstruksi yang tangguh dan berbasis teknologi, kebijakan nasional dapat diarahkan pada lima langkah strategis berikut:

  1. Integrasi Teknologi Digital dalam Kebijakan K3 Nasional
    Pemerintah perlu mewajibkan penggunaan sistem pemantauan digital (IoT dan BIM Safety Module) di proyek berskala besar. Hal ini dapat menjadi bagian dari evaluasi tender pemerintah.

  2. Program Pelatihan dan Sertifikasi Adaptif Berbasis Teknologi
    Kursus seperti Behavior Based Safety (Keselamatan Kerja Berdasarkan Perilaku) dan Pelatihan Teknologi K3 Konstruksi Digital harus diwajibkan bagi pengawas proyek dan manajer K3 agar mereka memahami pentingnya keselamatan berbasis data.

  3. Insentif untuk Kontraktor Berprestasi dalam K3
    Kontraktor dengan catatan “zero accident” harus mendapat prioritas dalam proyek nasional dan insentif fiskal berupa potongan pajak atau sertifikasi penghargaan dari Kementerian Ketenagakerjaan.

  4. Audit dan Evaluasi Berbasis Kinerja Nyata
    Audit keselamatan harus menggunakan indikator berbasis data lapangan, bukan sekadar laporan administrasi. Penerapan sistem digital memungkinkan pengawasan transparan dan real-time.

  5. Kolaborasi Lintas Sektor
    Pemerintah, lembaga pelatihan seperti Diklatkerja, asosiasi profesi, dan perguruan tinggi perlu bekerja sama dalam merancang kurikulum keselamatan modern yang berbasis teknologi dan perilaku.

Kritik terhadap Potensi Kegagalan Kebijakan

Walaupun konsep integrasi teknologi dan perubahan perilaku sangat ideal, kebijakan ini dapat gagal bila tidak diiringi oleh kesiapan ekosistem.

Pertama, resistensi terhadap teknologi masih tinggi, terutama di kalangan pekerja senior yang terbiasa dengan metode konvensional. Kedua, ketimpangan akses digital di daerah terpencil menyebabkan pelatihan berbasis VR atau IoT sulit diterapkan. Ketiga, keterbatasan tenaga pelatih bersertifikat membuat program pelatihan sering tidak berkelanjutan.

Sebagaimana diperingatkan dalam artikel Tantangan Implementasi Regulasi Konstruksi, kebijakan yang baik bisa gagal jika tidak disertai mekanisme pengawasan dan evaluasi yang kuat. Tanpa komitmen institusional, budaya keselamatan hanya akan menjadi slogan.

Penutup

Membangun budaya keselamatan kerja di sektor konstruksi membutuhkan sinergi antara teknologi digital, perubahan perilaku, dan kebijakan publik yang adaptif. Penerapan Behavior-Based Safety dan sistem K3 digital dapat membawa Indonesia menuju industri konstruksi yang lebih aman, produktif, dan berkelanjutan.

Ke depan, setiap proyek harus menjadi ruang pembelajaran keselamatan, bukan arena risiko. Dengan dukungan pemerintah, lembaga pendidikan seperti Diklatkerja, serta industri konstruksi, target “Zero Accident Construction Industry 2030” bukanlah sekadar mimpi—melainkan langkah nyata menuju masa depan yang lebih aman.

Sumber

Teknologi Canggih dalam K3 Konstruksi: Solusi Inovatif untuk Menekan Kecelakaan di Lokasi Proyek.

Selengkapnya
Membangun Budaya Keselamatan Konstruksi Berbasis Teknologi dan Perilaku: Strategi Menuju Zero Accident di Indonesia

Keselamatan Kerja

Mengurangi Risiko di Bengkel dan Laboratorium: Analisis Faktor Kecelakaan Kerja di Perguruan Tinggi

Dipublikasikan oleh Raihan pada 25 September 2025


Kecelakaan kerja tidak hanya terjadi di dunia industri, tetapi juga dalam kegiatan praktik di perguruan tinggi, terutama pada program studi teknik dan vokasi. Penelitian ini bertujuan menganalisis faktor-faktor penyebab kecelakaan kerja di lingkungan pendidikan tinggi, dengan fokus pada kegiatan praktik di bengkel dan laboratorium.

Metodologi penelitian melibatkan observasi langsung serta penyebaran kuesioner kepada mahasiswa dan dosen pendamping. Analisis data menunjukkan bahwa kecelakaan kerja disebabkan oleh kombinasi faktor manusia (human error), faktor lingkungan, serta faktor manajemen keselamatan yang belum optimal.

Beberapa kasus kecelakaan ringan seperti luka gores, terjepit peralatan, hingga terpeleset sering dilaporkan. Penyebab utama antara lain:

  1. Kurangnya penggunaan APD (Alat Pelindung Diri) oleh mahasiswa.
  2. Kurangnya pengawasan dari dosen atau teknisi laboratorium.
  3. Lingkungan kerja yang tidak tertata, misalnya peralatan berserakan.
  4. Kurangnya pemahaman prosedur kerja aman sebelum praktik dimulai.

Sorotan Data:

  • 65% kecelakaan disebabkan oleh faktor manusia (human error).
  • 20% kecelakaan dipicu oleh kondisi lingkungan praktik.
  • 15% terkait dengan lemahnya sistem manajemen keselamatan.

Kontribusi Utama terhadap Bidang

Penelitian ini memperkaya literatur tentang keselamatan kerja di pendidikan tinggi, sebuah area yang sering terabaikan karena fokus keselamatan lebih banyak diberikan pada dunia industri. Studi ini menunjukkan bahwa perguruan tinggi perlu mengadopsi standar keselamatan industri dalam pembelajaran praktik agar mahasiswa terbiasa dengan budaya kerja aman sejak dini.

Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka

  • Sampel penelitian terbatas pada satu institusi, sehingga generalisasi masih terbatas.
  • Hanya menganalisis faktor penyebab kecelakaan tanpa mengukur efektivitas intervensi.

Pertanyaan terbuka: Bagaimana strategi pelatihan keselamatan yang paling efektif untuk mahasiswa teknik? Apakah integrasi teknologi digital (misalnya modul e-safety atau simulasi VR) dapat menurunkan angka kecelakaan?

5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan

  1. Intervensi Pelatihan Keselamatan: Uji efektivitas pelatihan berbasis simulasi (safety drill) terhadap penurunan angka kecelakaan.
  2. Integrasi Teknologi Digital: Terapkan modul e-safety berbasis web atau VR untuk melatih prosedur kerja aman.
  3. Studi Multikampus: Bandingkan faktor penyebab kecelakaan di beberapa perguruan tinggi vokasi teknik.
  4. Evaluasi Jangka Panjang: Teliti dampak pembiasaan APD terhadap sikap mahasiswa saat masuk dunia kerja.
  5. Keterlibatan Industri: Uji kolaborasi dengan perusahaan untuk menyamakan standar keselamatan kampus dengan industri.

Ajakan Kolaboratif

Penelitian lebih lanjut sebaiknya melibatkan Fakultas Teknik UNJ, politeknik, serta lembaga keselamatan kerja seperti Kementerian Ketenagakerjaan atau BPJS Ketenagakerjaan, agar strategi pencegahan kecelakaan benar-benar sesuai standar industri.

Baca Selengkapnya di: Pelita Sukma, T. C. (2020). BUKU PROSIDING SEMINAR PENELITIAN UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA 2020 "Inovasi Pembangunan dalam Teknologi dan Pendidikan". Buku Prosiding SPKTS 2020 Jilid 1.

 

Selengkapnya
Mengurangi Risiko di Bengkel dan Laboratorium: Analisis Faktor Kecelakaan Kerja di Perguruan Tinggi

Keselamatan Kerja

Mengapa Sistem Manajemen K3 Penting? Studi Kasus di Industri Manufaktur Mengungkap Bukti Kuat untuk Mengurangi Kecelakaan Kerja

Dipublikasikan oleh Raihan pada 23 September 2025


Latar Belakang dan Urgensi Penelitian

Dalam era globalisasi dan modernisasi yang ditandai dengan kemajuan teknologi dan peningkatan intensitas kerja, sektor industri di Indonesia menghadapi tantangan signifikan terkait risiko kecelakaan kerja.1 Data dari Kementerian Ketenagakerjaan pada tahun 2020 menunjukkan urgensi masalah ini, dengan jumlah kasus kecelakaan kerja mencapai 177.000, sebuah peningkatan sebesar 35,6% dibandingkan tahun 2019.1 Angka-angka ini menggarisbawahi kebutuhan mendesak akan sistem perlindungan yang efektif bagi tenaga kerja.

Dalam konteks ini, penelitian ini berfokus pada peran vital SMK3, yang diatur oleh Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2012, sebagai sistem perlindungan yang dirancang untuk meminimalkan risiko kecelakaan dan kerugian material.1 Meskipun demikian, penelitian ini mencatat bahwa adopsi SMK3 masih rendah, dengan hanya 2,1% perusahaan besar di Indonesia yang telah menerapkannya.1 Kondisi ini memunculkan pertanyaan fundamental mengenai efektivitas dan implementasi praktis dari sistem ini di lapangan.

Penelitian ini dirancang dengan alur logis yang terstruktur. Dimulai dari identifikasi masalah nasional—yaitu meningkatnya angka kecelakaan kerja—kemudian beralih ke eksplorasi solusi potensial, yaitu implementasi SMK3.1 Penelitian ini memilih untuk mengeksplorasi hubungan ini melalui studi kasus kualitatif di sebuah perusahaan manufaktur di Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.1 Fokus spesifik pada Unit Pra-Perawatan dan Pengecatan (Pre-Treatment and Painting Unit) di Divisi Peralatan Rumah Sakit (HE) dipilih karena unit ini memiliki tingkat bahaya potensial yang lebih tinggi dibandingkan unit lain dalam divisi yang sama.1 Dengan demikian, para peneliti berupaya untuk secara empiris menilai seberapa jauh kerangka kerja SMK3 yang formal dapat memengaruhi hasil keselamatan kerja yang nyata.

 

Metodologi Riset dan Gambaran Temuan Kuantitatif

Studi ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan desain studi kasus untuk menilai implementasi SMK3. Instrumen penelitian utamanya adalah daftar periksa audit SMK3 yang merujuk pada kriteria dalam Lampiran II Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2012.1 Daftar periksa ini mencakup 5 prinsip, 12 kriteria, dan 166 item, yang memungkinkan para peneliti untuk melakukan audit yang komprehensif melalui tinjauan dokumen, observasi lapangan, dan wawancara dengan manajemen serta pekerja.1

Hasil audit yang terukur menunjukkan tingkat pencapaian implementasi SMK3 di perusahaan tersebut adalah 76,5%.1 Angka ini menempatkan perusahaan dalam kategori "baik", yang didefinisikan oleh rentang pencapaian 60–84%.1 Dari total 166 kriteria yang diaudit, ditemukan 39 temuan non-konformitas, di mana seluruhnya (39 kriteria) merupakan kategori minor dan tidak ada temuan kategori mayor.1 Temuan non-konformitas minor ini mencakup berbagai aspek, mulai dari kurangnya dokumentasi pertemuan P2K3 (Panitia Pembina Keselamatan dan Kesehatan Kerja), ketidaklengkapan informasi K3 di lapangan, hingga tidak adanya prosedur perizinan kerja berisiko tinggi (misalnya,

hot work permit atau confined space permit) dan prosedur Lock-out/Tag-out (LOTO).1

Selain audit, penelitian ini juga menganalisis data sekunder mengenai kasus kecelakaan kerja dalam divisi tersebut. Hasil analisis data sekunder menunjukkan penurunan kasus kecelakaan di unit yang telah menerapkan SMK3.1 Secara spesifik, dalam periode 2011–2014, unit yang diaudit (Unit Pra-Perawatan & Pengecatan) yang telah menerapkan SMK3 bersertifikasi OHSAS 18001:2007 hanya memiliki 2 kasus kecelakaan kerja.1 Angka ini menunjukkan hubungan kuat antara

implementasi SMK3 yang baik dan penurunan kasus kecelakaan kerja, dengan rasio yang signifikan — menunjukkan potensi kuat untuk objek penelitian baru. Perbandingan ini menjadi lebih jelas ketika melihat data unit lain dalam divisi yang sama yang belum menerapkan SMK3 secara formal: Unit Perakitan mencatat 9 kasus, Unit Pengelasan 11 kasus, dan Unit Pengepakan 4 kasus.1 Data ini secara deskriptif menggambarkan bahwa unit yang memiliki kerangka kerja SMK3 formal memiliki tingkat insiden kecelakaan yang jauh lebih rendah.

 

Kontribusi Utama terhadap Bidang

Penelitian ini memberikan sejumlah kontribusi penting bagi bidang K3, terutama dalam konteks Indonesia. Pertama, kontribusi utamanya terletak pada penyediaan bukti empiris langsung yang menegaskan efektivitas SMK3 di tingkat operasional industri manufaktur. Meskipun data kecelakaan kerja global sudah banyak yang menunjukkan korelasi antara SMK3 dan penurunan insiden, studi ini mengisi celah pengetahuan dengan memberikan validasi yang spesifik pada konteks industri lokal.1

Kedua, melalui penggunaan daftar periksa audit yang terperinci, penelitian ini tidak hanya membuktikan keberhasilan sistem secara umum, tetapi juga secara spesifik mengidentifikasi 39 area di mana implementasi praktis masih memiliki celah.1 Daftar temuan non-konformitas minor yang terperinci ini memberikan peta jalan yang sangat spesifik dan praktis bagi manajer dan praktisi K3. Misalnya, temuan terkait kurangnya prosedur Lock-out/Tag-out (LOTO), kelengkapan Alat Pelindung Diri (APD) yang tidak memadai, dan tidak adanya laporan rutin P2K3, menunjukkan area prioritas yang memerlukan perbaikan segera.1 Informasi ini memiliki nilai praktis yang tinggi karena memungkinkan perusahaan untuk mengalokasikan sumber daya secara lebih terarah.

Ketiga, temuan ini memiliki implikasi signifikan terhadap kebijakan. Hasil bahwa implementasi SMK3 yang diatur oleh pemerintah secara langsung berkorelasi dengan tingkat kecelakaan di unit produksi memberikan justifikasi ilmiah yang kuat bagi pemerintah untuk mendorong adopsi regulasi ini secara lebih luas.

 

Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka

Meskipun memberikan kontribusi yang berharga, penelitian ini juga memiliki keterbatasan yang memunculkan pertanyaan-pertanyaan terbuka untuk riset di masa depan. Keterbatasan metodologis terbesar adalah sifatnya sebagai studi kasus tunggal di satu perusahaan.1 Meskipun temuan ini signifikan untuk kasus yang diteliti, tidak memungkinkan untuk digeneralisasi ke seluruh sektor manufaktur di Indonesia yang sangat beragam dalam skala, jenis produksi, dan budaya kerja.

Selain itu, penelitian ini bersifat kualitatif dan deskriptif, yang tidak memungkinkan pembuktian hubungan kausal yang kuat secara statistik.1 Meskipun paper secara deskriptif menyebutkan hubungan yang kuat, data yang disajikan lebih bersifat komparatif dan observasional. Hal ini menimbulkan pertanyaan kritis: "Apakah penurunan kasus kecelakaan ini benar-benar disebabkan oleh implementasi SMK3, atau ada faktor lain yang tidak terukur, seperti perbedaan jumlah pekerja, jam kerja, atau jenis pekerjaan yang secara inheren lebih aman di unit yang diaudit?" Kerangka kerja kualitatif-deskriptif tidak mampu secara definitif menjawab pertanyaan ini.

Sebuah celah pengetahuan yang signifikan terungkap dari observasi di lapangan. Meskipun perusahaan memiliki skor audit yang "baik" dan bersertifikasi, paper ini mencatat adanya "tindakan tidak aman" oleh pekerja, seperti tidak menggunakan kacamata atau sepatu keselamatan.1 Ini menunjukkan adanya diskoneksi antara prosedur formal yang tertulis (sistem) dan perilaku aktual di lapangan. Hal ini memunculkan pertanyaan penting tentang seberapa besar efektivitas SMK3 ditentukan oleh faktor sistemik versus faktor perilaku dan budaya organisasi. Pertanyaan ini tidak dapat dijawab hanya dengan analisis audit, melainkan membutuhkan pendekatan riset yang berbeda.

 

5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan

Berdasarkan analisis mendalam terhadap temuan dan keterbatasan, berikut adalah lima rekomendasi riset strategis yang dapat mengisi celah pengetahuan yang ada dan memetakan arah penelitian K3 di masa depan, menjadikannya layak untuk hibah riset.

1. Studi Kuantitatif-Korelasi Multisektor untuk Generalisasi Temuan

Justifikasi Ilmiah: Penelitian ini mengamati korelasi yang kuat antara implementasi SMK3 dan penurunan kecelakaan dalam satu studi kasus.1 Namun, keterbatasan generalisasi menjadi penghalang utama. Riset di masa depan harus beralih ke pendekatan kuantitatif skala besar.

Metode dan Variabel Baru: Penelitian lanjutan harus mengumpulkan data audit SMK3 dan data historis kecelakaan kerja dari sampel yang lebih besar dan beragam, misalnya lebih dari 50 perusahaan manufaktur dari berbagai sub-sektor di Indonesia. Variabel yang dipertimbangkan harus mencakup jenis industri, jumlah tenaga kerja, durasi implementasi SMK3, dan tingkat keparahan kecelakaan. Pendekatan statistik, seperti analisis regresi, harus digunakan untuk secara kuantitatif membuktikan hubungan sebab-akibat dan menetapkan koefisien yang terukur, misalnya, "peningkatan 10% dalam skor audit SMK3 berkorelasi dengan penurunan 15% dalam tingkat kecelakaan."

Perlunya Penelitian Lanjutan: Penelitian ini akan memberikan bukti statistik yang kokoh yang dapat digunakan untuk advokasi kebijakan, alokasi sumber daya perusahaan, dan perumusan standar industri yang lebih efektif. Hasilnya akan memiliki validitas eksternal yang jauh lebih tinggi.

2. Analisis Kausalitas Non-Konformitas Minor Terhadap Insiden Kecelakaan

Justifikasi Ilmiah: Paper ini mengidentifikasi 39 temuan non-konformitas minor tetapi tidak menganalisis dampak spesifik dari masing-masing temuan tersebut terhadap insiden kecelakaan.1 Hal ini mengindikasikan bahwa tidak semua "minor" memiliki bobot yang sama. Misalnya, non-konformitas terkait kurangnya prosedur LOTO mungkin memiliki risiko kecelakaan yang lebih tinggi dibandingkan non-konformitas terkait kurangnya laporan P2K3.

Metode dan Variabel Baru: Riset lanjutan harus mengklasifikasikan 39 temuan minor yang ditemukan dalam paper ke dalam kategori yang lebih luas (misalnya, non-konformitas administratif, non-konformitas fasilitas, dan non-konformitas perilaku). Melalui studi kasus longitudinal, peneliti dapat melacak dampak dari perbaikan di setiap kategori non-konformitas terhadap jenis kecelakaan spesifik yang terjadi. Variabel kunci yang dianalisis adalah proporsi insiden yang secara langsung terkait dengan setiap kategori temuan.

Perlunya Penelitian Lanjutan: Pemahaman yang lebih dalam tentang mana non-konformitas yang paling berbahaya akan memungkinkan perusahaan untuk memprioritaskan perbaikan dan mengalokasikan sumber daya secara lebih efisien.

3. Investigasi Faktor Perilaku dan Budaya Organisasi dalam K3

Justifikasi Ilmiah: Paper ini mencatat adanya "tindakan tidak aman" oleh pekerja, sebuah kontradiksi yang menunjukkan bahwa sistem formal saja tidak cukup.1 Ada celah signifikan antara prosedur tertulis (sistem) dan praktik di lapangan (perilaku).

Metode dan Variabel Baru: Penelitian selanjutnya harus mengadopsi pendekatan sosiologis dan psikologis. Metode penelitian harus mencakup observasi partisipatif, wawancara mendalam, dan survei psikometri untuk mengukur variabel seperti persepsi risiko pekerja, motivasi kepatuhan, tekanan produksi, dan peran kepemimpinan dalam membentuk budaya K3.

Perlunya Penelitian Lanjutan: Temuan dari penelitian ini akan memberikan wawasan yang tidak bisa didapat dari audit berbasis dokumen. Ini akan membantu perusahaan merancang program K3 yang tidak hanya berbasis pada prosedur tetapi juga pada perubahan perilaku dan pembentukan budaya keselamatan yang kuat.

4. Studi Longitudinal untuk Mengevaluasi Keberlanjutan Implementasi SMK3

Justifikasi Ilmiah: Penelitian ini memberikan gambaran tunggal (snapshot) pada tahun 2021 dan data historis hingga 2014.1 Tidak ada bukti tentang keberlanjutan atau dampak jangka panjang dari perbaikan yang diusulkan dalam audit.1 Tanpa bukti keberlanjutan, sulit untuk memastikan bahwa perbaikan bersifat permanen dan bukan hanya respons sementara terhadap audit.

Metode dan Variabel Baru: Penelitian lanjutan harus menjadi studi longitudinal yang melacak perusahaan yang sama selama beberapa tahun pasca-audit. Peneliti dapat melakukan re-audit tahunan untuk mengukur perubahan tingkat pencapaian SMK3 dan mengumpulkan data kecelakaan kerja pasca-perbaikan. Variabel kunci yang diukur adalah "keberlanjutan kepatuhan" dan "efektivitas perbaikan."

Perlunya Penelitian Lanjutan: Studi semacam ini akan memberikan bukti vital tentang apakah upaya implementasi SMK3 dan perbaikan minor bersifat sementara atau berkelanjutan. Hasilnya akan sangat relevan bagi lembaga pemberi hibah yang ingin mendanai proyek yang memiliki dampak jangka panjang.

5. Komparasi dan Evaluasi Transisi dari OHSAS 18001 ke ISO 45001

Justifikasi Ilmiah: Paper ini menyebutkan OHSAS 18001:2007 sebagai standar yang digunakan oleh perusahaan dan secara eksplisit menyarankan ISO 45001:2018 sebagai standar baru.1 Namun, paper tidak mengevaluasi dampak dari transisi ini. ISO 45001 memiliki fokus yang lebih besar pada konteks organisasi dan keterlibatan pekerja, yang dapat menjadi solusi potensial untuk kesenjangan antara sistem dan perilaku yang disorot oleh penelitian ini.

Metode dan Variabel Baru: Riset komparatif harus membandingkan kerangka kerja OHSAS 18001 dengan ISO 45001. Penelitian dapat berfokus pada studi kasus perusahaan yang telah sukses atau gagal dalam transisi, menganalisis perbedaan dalam kriteria audit, dan mengukur dampaknya terhadap tingkat kecelakaan, budaya keselamatan, dan keterlibatan pekerja. Variabel kunci yang perlu dianalisis adalah perubahan dalam tingkat pelaporan insiden, kepuasan pekerja terhadap K3, dan skor audit yang spesifik pada kriteria baru di ISO 45001.

Perlunya Penelitian Lanjutan: Temuan ini akan memandu perusahaan-perusahaan di Indonesia yang sedang mempertimbangkan transisi ke standar baru, menyoroti manfaat dan tantangan yang spesifik.

 

Kesimpulan dan Ajakan Kolaborasi

Penelitian oleh Abidin et al. (2021) memberikan bukti awal yang signifikan bahwa implementasi SMK3 dapat menjadi strategi efektif untuk meminimalisasi kecelakaan kerja di industri manufaktur Indonesia.1 Skor audit sebesar 76,5% dan perbandingan data kecelakaan antar unit menunjukkan korelasi yang menjanjikan, meskipun masih terdapat celah dalam implementasi praktis dan faktor perilaku. Dengan mengalihkan fokus dari studi kasus tunggal ke studi kuantitatif yang lebih luas, dan dari audit prosedural semata ke analisis faktor perilaku, komunitas akademik memiliki peluang untuk membangun fondasi riset yang lebih kuat.

Penelitian lebih lanjut harus melibatkan institusi dari mana para peneliti paper ini berasal, yaitu Universitas Islam Indonesia, Universitas Gadjah Mada, dan Ahmad Dahlan University, untuk memastikan keberlanjutan dan validitas hasil, sekaligus memperkaya wawasan dari berbagai disiplin ilmu yang relevan.1 Kolaborasi lintas institusi akan memungkinkan studi yang lebih komprehensif, multi-disiplin, dan relevan secara nasional.

(https://doi.org/10.1088/1755-1315/933/1/012037)

Selengkapnya
Mengapa Sistem Manajemen K3 Penting? Studi Kasus di Industri Manufaktur Mengungkap Bukti Kuat untuk Mengurangi Kecelakaan Kerja

Keselamatan Kerja

Mengapa Manajemen Keselamatan Kontraktor Gagal

Dipublikasikan oleh Raihan pada 22 September 2025


Ringkasan Analitis: Disparitas Kinerja Keselamatan dan Celah Kritis dalam CSMS

Isu keselamatan dan kesehatan kerja (K3) di sektor industri berisiko tinggi merupakan tantangan global yang mendesak. Menurut data dari International Labor Organization (ILO) tahun 2018, sebanyak 380.000 pekerja, atau 13,7% dari total 2,78 juta pekerja, meninggal dunia akibat kecelakaan kerja.1 Situasi ini bahkan lebih kritis di negara berkembang seperti Indonesia, di mana tingkat kecelakaan kerja dilaporkan empat kali lebih tinggi dibandingkan negara industri.1 Data dari Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan juga menunjukkan angka yang signifikan, dengan 157.313 kecelakaan kerja pada tahun 2018 dan 130.923 kecelakaan dari Januari hingga September 2019.1

Di dalam konteks industri, tantangan ini semakin kompleks dengan adanya keterlibatan kontraktor. Sebuah studi evaluasi yang dilakukan oleh Wardhani (2022) pada PT Pupuk Kujang, sebuah perusahaan petrokimia yang memiliki risiko tinggi, secara spesifik mengkaji implementasi Sistem Manajemen Keselamatan Kontraktor (CSMS). Penelitian ini merupakan studi deskriptif dengan metode observasi dan pendekatan cross-sectional untuk menilai efektivitas CSMS dalam memastikan keselamatan mitra kerja.1

Makalah ini menyajikan narasi logis yang berangkat dari evaluasi enam tahapan kunci dalam implementasi CSMS di PT Pupuk Kujang, yaitu identifikasi dan penilaian risiko, prakualifikasi, seleksi, kegiatan awal kerja, penilaian selama kerja, dan penilaian akhir kerja.1 Secara prosedural, semua tahapan ini telah dijalankan. Namun, penelitian ini berhasil mengidentifikasi sebuah anomali kritis yang merusak integritas seluruh sistem. Temuan menunjukkan bahwa pada tahap prakualifikasi, "sebelum dinyatakan lulus tahap penilaian prakualifikasi, kontraktor lokal telah ditunjuk sebagai pemenang tender".1

Temuan ini sangat penting karena menunjukkan adanya disparitas kinerja keselamatan yang mencolok. Berdasarkan data dari International Association of Oil and Gas Producers (OGP) pada tahun 2018 yang dikutip dalam makalah ini, Fatal Accident Rate (FAR)—sebuah metrik kunci yang mengukur jumlah kecelakaan fatal per 1 juta jam kerja—menunjukkan perbedaan signifikan antara karyawan perusahaan dan kontraktor.

Kategori:

  • Karyawan Perusahaan

  • Kontraktor

Jumlah Kematian:

  • Karyawan Perusahaan: 2

  • Kontraktor: 29

Jam Kerja yang Dilaporkan:

  • Karyawan Perusahaan: 21% dari total

  • Kontraktor: 79% dari total

Fatal Accident Rate (FAR) per 1 Juta Jam Kerja:

  • Karyawan Perusahaan: 0,31

  • Kontraktor: 1,20

Data ini menunjukkan hubungan kausal yang kuat antara kegagalan implementasi CSMS dengan hasil keselamatan. Disparitas FAR yang hampir empat kali lebih tinggi pada kontraktor (1.20 vs. 0.31) bukanlah sekadar data statistik; ini adalah manifestasi nyata dari kegagalan sistematis. Rantai sebab-akibatnya jelas: tingginya tingkat kecelakaan pada kontraktor (efek) disebabkan oleh praktik penunjukan pemenang tender yang tidak sesuai prosedur (sebab). Sistem seleksi yang seharusnya menjadi "penjaga gerbang" pertama untuk memastikan kontraktor memiliki kapabilitas K3 yang memadai, telah dilanggar.1

Implikasi dari temuan ini meluas melampaui PT Pupuk Kujang. Pelanggaran prosedur ini menunjukkan bahwa dokumen CSMS dan prosedur yang terperinci tidak secara otomatis menjamin kinerja keselamatan yang baik. Ada faktor-faktor non-teknis, seperti komitmen manajemen dan pertimbangan ekonomi atau sosial, yang dapat merusak integritas seluruh sistem.1 Makalah ini secara eksplisit menyebutkan bahwa pelanggaran tersebut disebabkan oleh "beberapa pertimbangan seperti harga penawaran, teknis, prioritas pada kontraktor lokal, dan pengalaman masa lalu kontraktor lokal sebagai mantan pekerja di perusahaan".1 Ini mengindikasikan bahwa CSMS tidak hanya merupakan masalah teknis-prosedural, tetapi juga masalah budaya organisasi dan komitmen kepemimpinan.

 

Kontribusi Utama terhadap Bidang

Kontribusi terpenting dari makalah ini adalah kemampuannya untuk menyingkap kesenjangan antara kebijakan dan implementasi di lapangan. Alih-alih hanya menjelaskan bagaimana seharusnya CSMS bekerja, penelitian ini secara kritis menunjukkan di mana sistem tersebut dapat runtuh dalam praktik. Penemuan bahwa seorang kontraktor dapat memenangkan tender tanpa melewati proses prakualifikasi yang mengikat memberikan wawasan yang sangat berharga bagi praktisi dan akademisi.1

Makalah ini berfungsi sebagai studi kasus diagnostik yang kuat. Ini membuktikan bahwa keberadaan prosedur formal tidak cukup untuk menjamin kinerja keselamatan yang optimal jika komitmen untuk melaksanakannya tidak konsisten. Studi ini menggarisbawahi bagaimana faktor-faktor non-teknis, seperti "prioritas pada kontraktor lokal" atau "pertimbangan harga," dapat secara fundamental merusak efektivitas sistem manajemen keselamatan yang dirancang dengan baik.1

Secara tidak langsung, makalah ini juga menyoroti peran sentral dari komitmen manajemen yang otentik. Meskipun sistem dan prosedur ada, ketiadaan dukungan dan implementasi yang konsisten dari manajemen puncak dapat menyebabkan kegagalan sistematis. Ini merupakan kontribusi penting terhadap literatur K3 yang sering kali terlalu fokus pada aspek prosedural dan teknis, dan kurang memperhatikan aspek budaya dan kepemimpinan.

 

Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka

Sebagai studi deskriptif dan cross-sectional, makalah ini memiliki beberapa keterbatasan metodologis yang perlu diakui. Penelitian ini hanya memberikan "potret" atau gambaran kondisi pada periode waktu yang spesifik (Februari hingga April 2018), sehingga tidak dapat menangkap dinamika perubahan atau dampak jangka panjang dari implementasi CSMS.1 Selain itu, karena studi ini terbatas pada satu perusahaan (PT Pupuk Kujang), generalisasi temuan ke industri atau perusahaan lain menjadi terbatas.1

Keterbatasan ini membuka sejumlah pertanyaan penting yang memerlukan penelitian lebih lanjut:

  1. Mengapa manajemen membuat keputusan yang bertentangan dengan prosedur K3 yang telah ditetapkan? Keputusan untuk mengesampingkan prosedur prakualifikasi demi kontraktor lokal menunjukkan adanya dilema internal. Apakah ini mencerminkan budaya organisasi di mana keselamatan dianggap sebagai biaya, bukan investasi? Apakah ada tekanan ekonomi atau sosial yang lebih besar yang menyebabkan kompromi ini?
  2. Apa dampak jangka panjang dari pelanggaran prosedur prakualifikasi ini terhadap kinerja keselamatan kontraktor? Makalah ini mengidentifikasi kegagalan dalam proses, tetapi tidak melacak konsekuensinya di masa depan. Apakah kontraktor yang dipilih secara tidak sah memiliki tingkat kecelakaan yang lebih tinggi atau lebih sering mengalami insiden dibandingkan dengan yang melalui proses seleksi ketat?
  3. Mengingat penelitian lain (yang dikutip dalam makalah) juga menemukan kekurangan serupa di perusahaan lain (misalnya, di PT Pupuk Sriwijaya dan PT X), seberapa luas masalah ini di sektor industri Indonesia? Apakah ada faktor regulasi atau budaya yang lebih besar yang berkontribusi pada fenomena ini? Sejauh mana praktik "prioritas kontraktor lokal" dan "pertimbangan harga" mendominasi keputusan pengadaan di industri lain, dan bagaimana dampaknya terhadap kinerja K3 nasional?

 

5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan

Berdasarkan temuan dan pertanyaan terbuka, berikut adalah lima rekomendasi riset yang dapat menjadi agenda penting bagi komunitas akademik dan penerima hibah, dengan justifikasi ilmiah yang kuat.

  1. Riset Kualitatif Mendalam tentang Komitmen Manajemen dan Budaya Keselamatan.
    • Justifikasi: Temuan bahwa pelanggaran prosedur CSMS terjadi pada tahap prakualifikasi menunjukkan bahwa komitmen manajemen masih perlu diperkuat.1 Pemahaman tentang motivasi di balik keputusan ini tidak dapat diperoleh melalui data kuantitatif.
    • Metode Baru: Menggunakan metode kualitatif, seperti wawancara mendalam dengan manajer senior, petugas K3, dan staf pengadaan barang/jasa. Tujuannya adalah untuk memahami dilema, hambatan, dan faktor-faktor yang memengaruhi keputusan yang mengesampingkan prosedur K3.
    • Kebutuhan: Penelitian lanjutan diperlukan untuk menganalisis bagaimana budaya organisasi, tekanan ekonomi, dan kebijakan internal (seperti prioritas kontraktor lokal) berinteraksi dan memengaruhi implementasi CSMS, melampaui apa yang terlihat pada dokumen.
  2. Studi Komparatif Lintas Industri (Petrokimia vs. Pertambangan atau Migas).
    • Justifikasi: Makalah ini menyiratkan bahwa masalah serupa mungkin terjadi di perusahaan lain.1 Namun, studi kasus tunggal membatasi generalisasi.
    • Metode Baru: Mengadakan studi kasus multi-situs yang membandingkan implementasi CSMS di PT Pupuk Kujang dengan perusahaan di industri serupa yang dikenal memiliki kinerja K3 yang kuat. Analisis dapat berfokus pada variabel seperti struktur tata kelola, integrasi K3 ke dalam proses pengadaan, dan mekanisme audit.
    • Kebutuhan: Penelitian lanjutan diperlukan untuk mengidentifikasi praktik terbaik dan variabel kontekstual yang membedakan keberhasilan dan kegagalan implementasi CSMS di sektor berisiko tinggi.
  3. Analisis Korelasi dan Pemodelan Statistik antara Variabel Non-Teknis dan Kinerja K3 Kontraktor.
    • Justifikasi: Makalah ini menyebutkan bahwa keputusan seleksi dipengaruhi oleh pertimbangan harga dan pengalaman masa lalu.1 Penelitian lanjutan harus memberikan bukti kuantitatif mengenai hubungan ini.
    • Metode Baru: Mengumpulkan data kuantitatif dari beberapa perusahaan mengenai variabel non-teknis (misalnya, skor penawaran harga, status kontraktor lokal, jumlah proyek yang pernah dikerjakan) dan data kecelakaan historis mereka. Analisis regresi dapat digunakan untuk mengukur koefisien korelasi dan memodelkan hubungan kausal antara variabel-variabel ini dengan Fatal Accident Rate (FAR) atau Total Recordable Injury Rate (TRIR) kontraktor.
    • Kebutuhan: Penelitian lanjutan diperlukan untuk memberikan bukti yang kuat (bukan hanya deskriptif) mengenai seberapa besar pengaruh faktor non-teknis terhadap hasil keselamatan, yang dapat menjadi dasar untuk perubahan kebijakan.
  4. Studi Longitudinal Jangka Panjang tentang Dampak Prakualifikasi yang Gagal.
    • Justifikasi: Makalah ini hanya mengidentifikasi pelanggaran prakualifikasi, tetapi tidak melacak dampaknya di masa depan.1
    • Metode Baru: Melakukan studi longitudinal yang melacak kinerja keselamatan dari kontraktor yang dipilih melalui prosedur yang tidak sesuai selama 3–5 tahun. Ini akan melibatkan pengumpulan data kecelakaan, near-miss, dan insiden dari waktu ke waktu untuk secara objektif mengukur konsekuensi nyata dari kompromi prosedural.
    • Kebutuhan: Penelitian lanjutan diperlukan untuk secara definitif membuktikan dampak negatif dari kompromi prosedural terhadap keselamatan jangka panjang. Temuan ini dapat menjadi alat advokasi yang kuat untuk mendorong perubahan kebijakan di tingkat perusahaan dan industri.
  5. Pengembangan Kerangka Kerja CSMS Adaptif yang Mengintegrasikan Konteks Lokal.
    • Justifikasi: Masalah utama yang diidentifikasi adalah ketegangan antara prosedur K3 yang ketat dan kebijakan pro-lokal.1 Penelitian ini perlu beralih dari diagnosis masalah menuju perancangan solusi.
    • Metode Baru: Menggunakan pendekatan desain riset partisipatif (Participatory Action Research) yang melibatkan pemangku kepentingan dari perusahaan, kontraktor lokal, dan regulator. Tujuannya adalah untuk bersama-sama merancang model CSMS yang tidak hanya mempertahankan standar keselamatan internasional, tetapi juga menyediakan jalur yang transparan dan terukur bagi kontraktor lokal untuk meningkatkan kapabilitas K3 mereka hingga memenuhi standar tersebut.
    • Kebutuhan: Penelitian lanjutan diperlukan untuk menyediakan solusi praktis dan berkelanjutan yang mengatasi konflik kepentingan yang diidentifikasi dalam makalah, tanpa mengorbankan keselamatan.

Makalah ini memberikan dasar yang kuat untuk agenda riset yang lebih luas dan mendalam di bidang manajemen K3. Temuannya secara jelas menunjukkan bahwa ada celah yang signifikan antara prosedur yang dirancang dengan baik dan implementasi di lapangan. Disparitas tingkat kecelakaan antara karyawan dan kontraktor adalah manifestasi dari kegagalan ini, yang akarnya terletak pada faktor non-prosedural seperti komitmen manajemen dan pertimbangan ekonomi.

Penelitian lebih lanjut harus melibatkan institusi akademik, lembaga riset industri, dan otoritas pemerintah untuk memastikan keberlanjutan dan validitas hasil, serta untuk menerjemahkan temuan riset menjadi kebijakan dan praktik yang lebih efektif.

(https://doi.org/10.20473/ijosh.v1lil.2022.1-11)

 

Selengkapnya
Mengapa Manajemen Keselamatan Kontraktor Gagal

Keselamatan Kerja

Manajemen Keselamatan Konstruksi: Perspektif Pekerja dan Implikasi Kebijakan

Dipublikasikan oleh Marioe Tri Wardhana pada 22 September 2025


Mengapa Temuan Ini Penting untuk Kebijakan?

Penelitian ini berfokus pada perspektif para pekerja konstruksi atau tradespeople, kelompok yang paling rentan terhadap risiko kecelakaan. Mereka menilai bagaimana kebijakan dan sistem manajemen K3 yang ada benar-benar bekerja dalam kehidupan sehari-hari di proyek. Temuan menunjukkan adanya perbedaan persepsi antara manajemen dan pekerja lapangan. Bagi banyak pekerja, pelatihan keselamatan masih dianggap formalitas, sementara implementasi praktik pencegahan di lapangan belum optimal. Hal ini memperlihatkan adanya jurang antara desain kebijakan di atas kertas dengan realitas pelaksanaan di proyek.

Dalam konteks Indonesia, masalah ini sangat relevan. Regulasi formal terkait K3 sudah ada, bahkan diwajibkan dalam berbagai proyek strategis. Namun, tingkat kecelakaan kerja di sektor konstruksi masih tinggi. Pekerja lapangan sering tidak mendapatkan pelatihan yang memadai atau perlengkapan pelindung diri yang layak. Penelitian ini menekankan perlunya kebijakan publik yang tidak hanya menyusun aturan, tetapi juga melibatkan para pekerja dalam perencanaan dan evaluasi sistem K3. Hal ini sejalan dengan panduan dari artikel K3 di Sektor Konstruksi: Panduan Lengkap untuk Mencegah Kecelakaan Kerja Berdasarkan Standar ILO yang menjelaskan bahwa regulasi keselamatan harus diterapkan sejak tahap perencanaan dan dirancang agar sesuai dengan kondisi nyata di lapangan.

Implementasi di Lapangan: Dampak, Hambatan, dan Peluang

Implementasi manajemen K3 memiliki dampak positif yang signifikan. Dengan pelatihan yang benar dan kepatuhan pada protokol, angka kecelakaan dapat ditekan, produktivitas meningkat, dan kualitas pekerjaan lebih terjamin. Keberadaan budaya keselamatan yang kuat juga menciptakan rasa aman bagi pekerja, yang pada akhirnya meningkatkan motivasi kerja.

Namun, terdapat banyak hambatan yang muncul. Salah satunya adalah budaya kerja di mana pekerja seringkali mengutamakan kecepatan dan target proyek dibandingkan keselamatan. Kurangnya pengawasan yang konsisten membuat banyak prosedur keselamatan hanya berjalan di atas kertas. Hambatan lain adalah biaya tambahan untuk pelatihan dan penyediaan alat pelindung diri, yang sering dianggap sebagai beban oleh kontraktor.

Meski begitu, peluang tetap besar. Dengan meningkatnya perhatian publik terhadap isu keselamatan kerja, ditambah dengan dorongan dari organisasi internasional seperti ILO, ada ruang untuk memperkuat kebijakan K3 di sektor konstruksi. Pemanfaatan teknologi digital seperti aplikasi monitoring keselamatan dan wearable devices juga membuka peluang untuk meningkatkan pengawasan secara real-time.

5 Rekomendasi Kebijakan Praktis

Pertama, pemerintah perlu mewajibkan integrasi pelatihan K3 berbasis praktik ke dalam setiap proyek konstruksi, bukan hanya sebagai formalitas administratif. Kedua, perlu ada mekanisme pengawasan independen untuk memastikan bahwa standar keselamatan benar-benar diterapkan di lapangan. Ketiga, penyediaan perlengkapan pelindung diri harus menjadi tanggung jawab kontraktor utama, dengan sanksi tegas jika lalai. Keempat, kebijakan publik harus mendorong partisipasi pekerja dalam evaluasi program K3, karena merekalah yang paling memahami risiko nyata di lapangan. Kelima, pemanfaatan teknologi digital dalam pengawasan keselamatan harus diperluas agar kebijakan lebih adaptif terhadap tantangan lapangan.

Kritik terhadap Potensi Kegagalan Kebijakan

Jika kebijakan K3 tidak diterapkan secara konsisten, risiko yang muncul sangat besar. Pertama, angka kecelakaan kerja akan tetap tinggi, menyebabkan kerugian manusia dan ekonomi. Kedua, kredibilitas regulasi K3 akan melemah, karena pekerja melihatnya hanya sebagai aturan formal tanpa dampak nyata. Ketiga, ketidakselarasan antara kebijakan dan praktik lapangan akan memperlebar kesenjangan kepercayaan antara pekerja dan manajemen. Dalam jangka panjang, hal ini dapat menurunkan daya saing industri konstruksi Indonesia di mata investor global.

Penutup

Penelitian tentang pandangan pekerja konstruksi terhadap manajemen K3 memberikan pelajaran penting bahwa keselamatan kerja bukan hanya persoalan regulasi, tetapi juga budaya, kepedulian, dan implementasi nyata. Indonesia perlu mengambil pelajaran dari temuan ini untuk memperkuat kebijakan publik yang menekankan keterlibatan pekerja, konsistensi pengawasan, dan pemanfaatan teknologi. Dengan langkah-langkah tersebut, industri konstruksi dapat bergerak menuju masa depan yang lebih aman, produktif, dan berdaya saing global.

Sumber

Health and Safety Management on Construction Projects: The View of Construction Tradespeople.

Selengkapnya
Manajemen Keselamatan Konstruksi: Perspektif Pekerja dan Implikasi Kebijakan

Keselamatan Kerja

Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Kualifikasi Petugas Keselamatan – dan Ini yang Harus Anda Ketahui!

Dipublikasikan oleh Hansel pada 13 September 2025


Mengapa Keselamatan di Konstruksi adalah Masalah Hidup dan Mati yang Terlupakan

Ketika kita membicarakan industri konstruksi, yang terlintas di benak banyak orang adalah gedung-gedung pencakar langit yang menjulang tinggi, infrastruktur megah, atau jalan raya yang menghubungkan kota. Industri ini adalah motor penggerak ekonomi global, yang pada tahun 2017 menyumbang lebih dari USD 10 triliun untuk Produk Domestik Bruto (PDB) global, dengan kontribusi sebesar USD 892 miliar di Amerika Serikat (AS) saja.1 Kekuatan ekonomi ini sangat bergantung pada lebih dari 7 juta pekerja yang bekerja di dalamnya di AS.1

Namun, di balik kontribusi ekonomi yang masif, tersembunyi sebuah kenyataan yang suram dan sering kali terabaikan: konstruksi adalah salah satu industri paling berbahaya di dunia, dengan angka cedera dan kematian yang sangat tinggi.1 Angka-angka ini tidak hanya mencolok, tetapi juga mengejutkan. Data dari Biro Statistik Tenaga Kerja AS menunjukkan bahwa satu dari setiap lima kematian pekerja di AS terjadi di sektor konstruksi.1 Rata-rata, seorang pekerja konstruksi 5.5 kali lebih mungkin mengalami kecelakaan fatal di tempat kerja dibandingkan pekerja di industri lain.1 Pada tahun 2019 saja, 1.061 pekerja meninggal di industri ini, angka tertinggi sejak 2007.1

Angka-angka ini bukan sekadar statistik dingin; ini adalah cerita nyata tentang nyawa yang hilang, keluarga yang hancur, dan kerugian ekonomi yang tak terhitung. Selama ini, banyak yang meyakini bahwa kecelakaan di lokasi proyek utamanya disebabkan oleh kesalahan atau salah perhitungan dari para pekerja lapangan. Namun, pandangan ini mulai bergeser. Sejumlah peneliti dan profesional industri kini meyakini bahwa tingginya angka kecelakaan sering kali disebabkan oleh perencanaan dan kontrol keselamatan yang buruk, yang merupakan tanggung jawab utama dari tim manajemen dan personel keselamatan.1 Keberadaan personel keselamatan penuh waktu di lokasi proyek dapat meningkatkan kemungkinan kinerja keselamatan hingga 229%.1 Ini menyoroti sebuah realitas baru: masalah keselamatan di industri konstruksi bukan hanya soal perilaku individu, tetapi juga soal sistem, dan inti dari sistem itu adalah orang-orang yang ditugaskan untuk mengelolanya.

 

Celah Berbahaya: Mengapa Panduan Kualifikasi Selama Ini Tidak Ada?

 

Meskipun peran personel keselamatan sangat krusial, sebuah celah berbahaya terungkap: selama ini, tidak ada panduan standar atau bahkan konsensus yang jelas di antara para pemangku kepentingan industri di AS mengenai kualifikasi yang diinginkan untuk personel keselamatan konstruksi.1 Kurangnya pedoman ini telah menciptakan disparitas yang substansial dan berpotensi mematikan dalam kualifikasi para profesional ini.1 Ini berarti, seleksi individu untuk posisi keselamatan sering kali terabaikan, atau didasarkan pada kriteria yang tidak seragam di seluruh industri.1

Tentu saja, ada beberapa panduan umum yang tersedia, seperti "The Employer's Guide to Hiring a Safety Professional" dari American Society of Safety Professionals (ASSP).1 Namun, panduan ini tidak secara spesifik dirancang untuk industri konstruksi.1 Makalah penelitian yang diterbitkan di jurnal

Buildings ini secara tegas menunjukkan bahwa kualifikasi yang direkomendasikan untuk "industri umum"—yaitu semua industri selain pertanian, konstruksi, dan maritim—tidak sepenuhnya relevan dengan industri konstruksi.1

Sebagai contoh, panduan umum tersebut merekomendasikan sertifikasi seperti Certified Loss Control Specialist (CLCS) atau Certified Fire Protection Specialist (CFPS) untuk profesional keselamatan.1 Namun, penelitian ini mencatat bahwa sertifikasi-sertifikasi ini jarang sekali dimiliki oleh profesional keselamatan yang bekerja di industri konstruksi.1 Perbedaan-perbedaan ini sangat penting karena industri konstruksi memiliki keunikan tersendiri, termasuk jumlah pekerja imigran yang tinggi, perbedaan geografis, dan jenis bahaya yang spesifik.1 Dengan kata lain, pedoman umum tidak dapat menjadi solusi yang memadai untuk masalah yang sangat spesifik dan kompleks ini.

Oleh karena itu, penelitian ini muncul untuk mengisi kekosongan pengetahuan tersebut, dengan tujuan tunggal untuk mengidentifikasi kualifikasi yang diinginkan—dari segi pendidikan, pengalaman, dan sertifikasi—khusus untuk personel keselamatan di industri konstruksi AS.1 Ini adalah langkah kritis untuk menciptakan standar yang relevan dan dapat diterapkan, yang pada akhirnya dapat memperbaiki kinerja keselamatan di seluruh industri.

 

Menggali Kebenaran dari Ahlinya: Kisah di Balik Metode Delphi

 

Untuk mencapai tujuannya, studi ini menggunakan sebuah metodologi yang kokoh dan teruji, yaitu metode Delphi.1 Metode Delphi adalah teknik survei multi-putaran yang kolaboratif, dirancang untuk mengumpulkan umpan balik dari sekelompok pakar di bidang tertentu untuk mencapai konsensus.1 Metodologi ini dipilih karena dianggap andal untuk mengumpulkan wawasan dari para ahli dan telah berhasil digunakan dalam berbagai penelitian di bidang konstruksi sebelumnya.1

Laporan ini menyoroti sebuah proses yang teliti dan ketat dalam memilih panel ahli. Berbeda dengan klaim yang beredar bahwa proses seleksi tidak dijelaskan secara rinci, makalah ini justru menguraikan langkah demi langkahnya secara cermat.1 Pertama, tim peneliti mengidentifikasi daftar awal lebih dari 40 individu yang diyakini sebagai ahli keselamatan potensial, berdasarkan keanggotaan mereka di asosiasi dan komite ternama seperti American Society of Safety Professionals (ASSP) dan ASCE CI Construction Safety Committee.1

Langkah kedua adalah proses penyaringan yang sangat ketat. Dari 18 individu yang bersedia berpartisipasi, mereka dievaluasi menggunakan sistem poin objektif yang diadopsi dari studi sebelumnya.1 Sistem ini memberikan poin berdasarkan pendidikan, pengalaman (1 poin per tahun), sertifikasi profesional (3 poin per sertifikat), dan keterlibatan dalam komite atau publikasi ilmiah.1 Untuk memastikan panelis benar-benar ahli, tim peneliti menetapkan standar yang konservatif: skor minimum 15 poin, pengalaman profesional minimal 10 tahun, dan pendidikan minimal setingkat gelar sarjana.1

Dari proses seleksi yang ketat ini, hanya 15 individu yang berhasil memenuhi kualifikasi yang ditetapkan dan diakui sebagai subjek ahli untuk studi ini.1 Kredibilitas temuan studi ini sangat bergantung pada kredibilitas panelisnya. Dengan pengalaman profesional rata-rata 14 tahun dan latar belakang pendidikan yang solid, panel ini bukan hanya kumpulan opini, melainkan representasi dari akumulasi pengetahuan praktis dan teoretis yang mendalam di industri.1 Proses seleksi yang transparan dan ketat ini secara fundamental meningkatkan validitas dan keandalan temuan studi ini.

 

Tiga Pilar Kunci: Membentuk Profesional Keselamatan Ideal

 

Hasil dari proses Delphi yang melibatkan para pakar ini menghasilkan sebuah kerangka kerja yang sangat dibutuhkan untuk kualifikasi personel keselamatan konstruksi. Temuan ini diuraikan untuk tiga posisi keselamatan yang umum ditemukan di lapangan: Staf Keselamatan Tingkat Awal (Entry Safety), Profesional Keselamatan (Safety Professional), dan Manajer Keselamatan (Safety Manager).1

 

Staf Keselamatan Tingkat Awal (Entry Safety)

 

Untuk posisi tingkat awal, konsensus yang tinggi tercapai. Panelis sepakat bahwa kualifikasi yang diinginkan adalah ijazah sekolah menengah atas sebagai pendidikan minimum, ditambah dengan pengalaman profesional 1-3 tahun.1 Menariknya, para ahli juga sepakat bahwa tidak ada sertifikasi wajib untuk posisi ini, meskipun beberapa panelis menyarankan kursus OSHA 500 atau pelatihan OSHA 10 jam sebagai nilai tambah.1

 

Profesional Keselamatan (Safety Professional)

 

Untuk posisi ini, para ahli merekomendasikan kualifikasi yang lebih tinggi.1 Kualifikasi yang paling diinginkan adalah gelar sarjana atau setara (gelar 4 tahun), dengan pengalaman profesional minimum 3-5 tahun.1 Dalam hal sertifikasi, dua per tiga panelis menyarankan sertifikasi Construction Health and Safety Technician (CHST) atau Graduate Safety Practitioner (GSP) sebagai kualifikasi yang diinginkan.1

 

Manajer Keselamatan (Safety Manager)

 

Sebagai pimpinan dalam urusan keselamatan, kualifikasi yang diinginkan untuk manajer keselamatan tentu lebih tinggi lagi. Temuan menunjukkan bahwa gelar sarjana atau setara (gelar 4 tahun) adalah pendidikan yang paling diinginkan.1 Panelis merekomendasikan pengalaman profesional minimum 5 tahun atau lebih.1 Dalam hal sertifikasi, ada konsensus kuat untuk memiliki sertifikasi CHST atau Certified Safety Professional (CSP).1

Secara keseluruhan, temuan dari studi ini dapat dirangkum dalam tabel di bawah ini, yang menyajikan panduan yang jelas bagi para pemangku kepentingan industri.

Dalam dunia konstruksi, kualifikasi personel keselamatan ditentukan berdasarkan jenjang posisi yang mereka emban. Untuk staf keselamatan tingkat awal, persyaratan utamanya relatif sederhana, yaitu lulusan sekolah menengah atas dengan pengalaman kerja antara satu hingga tiga tahun. Pada level ini tidak ada kewajiban sertifikasi khusus, sehingga fokus lebih pada pengalaman praktis di lapangan.

Sementara itu, untuk posisi profesional keselamatan, standar yang diinginkan lebih tinggi. Kandidat ideal setidaknya memiliki gelar sarjana empat tahun, ditambah pengalaman kerja tiga hingga lima tahun di bidang keselamatan. Selain itu, mereka juga diharapkan memiliki sertifikasi khusus seperti Construction Health and Safety Technician (CHST) atau Graduate Safety Practitioner (GSP).

Adapun pada jenjang tertinggi, yaitu manajer keselamatan, kualifikasi yang diperlukan semakin menuntut. Seorang manajer keselamatan minimal harus memiliki gelar sarjana empat tahun dengan pengalaman kerja lima tahun atau lebih di bidang terkait. Sertifikasi profesional juga menjadi prasyarat penting, dengan kualifikasi seperti CHST atau Certified Safety Professional (CSP) sebagai standar utama yang menunjukkan penguasaan dan kredibilitas dalam manajemen keselamatan konstruksi.

Penting untuk dicatat bahwa para ahli juga menyoroti fleksibilitas dari kualifikasi ini. Sebanyak 93.34% panelis menyatakan bahwa pendidikan dapat berasal dari bidang terkait konstruksi, seperti teknik sipil, manajemen konstruksi, atau teknik lingkungan.1 Demikian pula, 86.67% dari mereka setuju bahwa pengalaman bisa datang dari industri konstruksi secara umum, tidak harus spesifik di bidang keselamatan.1 Fleksibilitas ini menunjukkan bahwa seorang profesional yang memiliki pengalaman luas di bidang konstruksi, misalnya sebagai insinyur sipil atau manajer proyek, dapat beralih ke peran keselamatan dengan modal pengetahuan yang sangat berharga.

 

Lebih dari Sekadar 'Kewajiban': Mengapa Rekomendasi Ini Begitu Bernuansa?

 

Salah satu aspek yang paling menarik dan mengungkapkan kedalaman pemikiran di balik penelitian ini adalah pergeseran terminologi dari "kualifikasi yang diperlukan" (required) menjadi "kualifikasi yang diinginkan" (desired). Perubahan ini bukanlah hal sepele; ia adalah cerminan dari dinamika yang kompleks antara standar akademis yang ideal dan realitas pragmatis di lapangan. Laporan ini secara spesifik menguraikan kisah di balik perubahan tersebut, yang mana tidak sepenuhnya diungkapkan oleh ringkasan eksternal.1

Pada putaran kedua survei, ketika peneliti menyajikan temuan awal yang menggunakan istilah "diperlukan", terjadi ketidaksepakatan yang signifikan di antara panelis.1 Sebanyak 53.85% panelis tidak setuju dengan kata tersebut untuk posisi Profesional dan Manajer Keselamatan.1 Mereka memberikan umpan balik yang sangat kritis, berargumen bahwa kata "diperlukan" terlalu kaku dan "menetapkan standar yang terlalu tinggi untuk industri".1

Seorang panelis secara khusus menyatakan, "Tiga atau empat huruf setelah nama Anda tidak berarti banyak di lapangan jika Anda tidak memiliki pengalaman yang dibutuhkan".1 Dia menambahkan bahwa perusahaan yang hanya merekrut berdasarkan sertifikasi tertentu mungkin hanya mendapatkan orang yang "pintar secara teori" tetapi tidak memiliki pemahaman praktis tentang pekerjaan di lokasi proyek.1 Panelis lain menyoroti bahwa standar yang terlalu tinggi dapat "menyingkirkan cukup banyak profesional keselamatan hebat yang sudah ada" di industri, yang memiliki pengalaman luas tetapi mungkin tidak memiliki gelar formal.1

Para peneliti mendengarkan umpan balik ini dengan cermat. Mereka menyadari bahwa tujuan studi bukanlah untuk menciptakan hambatan birokrasi, tetapi untuk memberikan panduan yang realistis dan dapat diimplementasikan. Oleh karena itu, mereka menyesuaikan terminologi menjadi "direkomendasikan" (recommended) pada putaran ketiga survei, yang kemudian divalidasi ulang menjadi "diinginkan" (desired) setelah proses validasi lebih lanjut dengan para pemangku kepentingan industri.1 Perubahan ini secara dramatis meningkatkan tingkat konsensus di antara para ahli, mencapai 84.62% untuk posisi Profesional Keselamatan dan 92.31% untuk posisi Manajer Keselamatan.1

Keputusan untuk mengubah istilah ini menunjukkan sebuah kompromi yang bernuansa dan sangat penting. Ini adalah cerita di balik data yang menunjukkan bahwa penelitian ini tidak hanya didasarkan pada teori, tetapi juga berakar kuat pada kebijaksanaan praktis dari para profesional yang bekerja di garis depan. Kerangka kerja yang dihasilkan bukanlah sebuah aturan kaku yang harus diikuti, melainkan sebuah panduan yang fleksibel dan beradaptasi dengan realitas industri.

 

Dampak Nyata dan Tantangan di Depan: Jalan Menuju Industri Konstruksi yang Lebih Aman

 

Dengan menyediakan panduan yang spesifik dan berbasis konsensus untuk kualifikasi personel keselamatan, studi ini telah memberikan kontribusi signifikan, baik secara teoretis maupun praktis.1 Secara teoretis, studi ini mengisi celah pengetahuan yang telah lama ada, melengkapi literatur yang ada yang cenderung berfokus pada industri umum.1 Secara praktis, studi ini memberikan peta jalan yang jelas bagi pemangku kepentingan industri, seperti kontraktor umum dan perusahaan, untuk memilih personel keselamatan yang benar-benar berkualitas untuk proyek-proyek mereka.1

Jika panduan ini diterapkan secara luas, dampaknya bisa sangat nyata dan transformatif. Peningkatan dalam seleksi personel keselamatan yang berkualitas diharapkan dapat secara langsung meningkatkan kinerja keselamatan di tempat kerja, mengurangi insiden, dan pada akhirnya, berkontribusi pada penurunan angka cedera dan kematian.1 Lebih dari itu, studi ini menunjukkan bahwa investasi dalam kualifikasi personel keselamatan dapat membawa manfaat finansial. Organisasi yang memprioritaskan keselamatan dan merekrut profesional yang berkualitas cenderung memiliki citra dan reputasi yang lebih baik, menarik pekerja terampil, dan mengurangi biaya yang terkait dengan kecelakaan, seperti klaim kompensasi pekerja.1 Jika diterapkan secara efektif, temuan ini dapat mengurangi biaya operasional dan menyelamatkan nyawa dalam kurun waktu lima tahun.

Namun, seperti halnya setiap penelitian, ada keterbatasan yang perlu diakui.1 Pertama, studi ini sangat bergantung pada persepsi para panelis ahli, yang dapat menimbulkan bias dan subjektivitas.1 Meskipun tim peneliti telah melakukan upaya mitigasi melalui proses seleksi yang ketat dan studi validasi, pandangan dari para pekerja lini depan mungkin berbeda.1 Kedua, temuan ini secara spesifik berfokus pada industri konstruksi AS dan mungkin tidak dapat digeneralisasi sepenuhnya ke negara lain yang memiliki karakteristik unik, seperti perbedaan regulasi dan budaya kerja.1

Pada akhirnya, studi ini tidak dimaksudkan untuk menjadi sebuah aturan yang tidak bisa diubah. Sebaliknya, ia berfungsi sebagai kerangka kerja yang kuat untuk pengambilan keputusan, menawarkan saran-saran yang didukung oleh konsensus para ahli. Para pembuat keputusan di industri konstruksi harus mempertimbangkan konteks yang lebih luas, berkonsultasi dengan para ahli, dan mengadaptasi panduan ini sesuai dengan kebutuhan spesifik proyek dan organisasi mereka. Temuan ini adalah titik awal yang penting, sebuah fondasi yang dapat disempurnakan seiring berjalannya waktu dan munculnya informasi baru.

 

Kesimpulan: Fondasi Baru untuk Keselamatan

 

Industri konstruksi adalah pilar ekonomi yang vital, namun juga salah satu tempat kerja paling berbahaya di dunia. Selama ini, kurangnya pedoman yang jelas tentang kualifikasi personel keselamatan telah menciptakan celah berbahaya yang berkontribusi pada tingginya angka kecelakaan. Penelitian yang inovatif ini berhasil mengisi kekosongan tersebut dengan menggunakan metode Delphi yang melibatkan panelis ahli yang sangat berkualitas.

Dengan menemukan kualifikasi yang diinginkan untuk tiga posisi keselamatan—dari tingkat awal hingga manajer—studi ini memberikan sebuah fondasi baru yang solid bagi industri. Yang paling penting, studi ini menunjukkan bahwa kualifikasi yang efektif haruslah merupakan perpaduan antara pendidikan formal, pengalaman praktis yang substansial, dan sertifikasi yang relevan. Kesediaan peneliti untuk mengubah istilah "diperlukan" menjadi "diinginkan" juga menunjukkan sebuah pemahaman yang mendalam bahwa pengalaman di lapangan adalah aset yang tak ternilai, sebuah kebijaksanaan yang tidak dapat diukur hanya dengan gelar atau sertifikat.

Jika panduan ini diimplementasikan, industri konstruksi memiliki kesempatan nyata untuk menjadi lebih aman, lebih efisien, dan pada akhirnya, lebih manusiawi. Ini adalah langkah besar menuju masa depan di mana setiap pekerja konstruksi dapat kembali ke rumah dengan selamat pada akhir hari.

Sumber Artikel:

Karakhan, A. A., & Al-Bayati, A. J. (2023). Identification of desired qualifications for construction safety personnel in the United States. Buildings13(5), 1237.

Selengkapnya
Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Kualifikasi Petugas Keselamatan – dan Ini yang Harus Anda Ketahui!
page 1 of 12 Next Last »