kesehatan

Tantangan dan Solusi Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) di Sekolah di Negara Berkembang

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 19 Februari 2025


Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) merupakan faktor penting dalam menciptakan lingkungan pendidikan yang aman dan mendukung proses belajar mengajar. Namun, dalam banyak kasus, praktik K3 di sekolah-sekolah di negara berkembang masih belum menjadi prioritas. Artikel ini menyoroti pentingnya implementasi sistem K3 yang lebih baik serta kerjasama antara sekolah dan pemerintah dalam menciptakan lingkungan yang aman bagi tenaga pengajar dan siswa.

Penelitian ini dilakukan melalui tinjauan literatur yang mencakup:

  • Analisis data kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja di sekolah-sekolah di negara berkembang.
  • Identifikasi kesenjangan dalam regulasi dan kebijakan K3 di sektor pendidikan.
  • Pengembangan kerangka kerja manajemen K3 yang dapat diterapkan di sekolah.

Hasil kajian ini digunakan untuk menyusun rekomendasi kebijakan yang bertujuan meningkatkan standar K3 di institusi pendidikan.

1. Statistik K3 di Negara Berkembang

  • Menurut ILO (2019, 2023), sekitar 340 juta pekerja mengalami kecelakaan kerja, sementara 160 juta menderita penyakit akibat kerja setiap tahun.
  • 65% kematian akibat kerja terjadi di Asia, sementara Afrika menyumbang 11,8% dari total kematian kerja.
  • Di Afrika, sekitar 33% penyakit akibat kerja berasal dari penyakit menular, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah lain.
  • OHS legislation di negara berkembang hanya mencakup 10% dari populasi pekerja, sedangkan 80% dari total bahaya kerja ada di negara-negara ini.

2. Kesenjangan dalam Implementasi K3 di Sekolah

Penelitian ini menemukan beberapa faktor utama yang menyebabkan lemahnya penerapan K3 di sekolah:

  • Kurangnya regulasi dan kebijakan spesifik: Banyak negara berkembang tidak memiliki kebijakan yang jelas mengenai K3 di sektor pendidikan.
  • Minimnya pelatihan dan kesadaran K3: Kurangnya pelatihan bagi guru dan tenaga pendukung menyebabkan rendahnya kesadaran akan pentingnya keselamatan kerja.
  • Fasilitas yang tidak memadai: Banyak sekolah memiliki infrastruktur yang buruk, termasuk ventilasi yang tidak layak, kurangnya jalur evakuasi darurat, dan sanitasi yang buruk.
  • Kurangnya pendanaan: Keterbatasan anggaran menyebabkan sekolah tidak mampu menyediakan peralatan keselamatan dasar seperti pemadam kebakaran, alat pelindung diri (APD), dan fasilitas kesehatan.

3. Dampak Buruk Lingkungan Kerja yang Tidak Aman

  • Risiko cedera akibat kecelakaan: Lantai licin, kabel listrik terbuka, dan kurangnya sistem evakuasi dapat menyebabkan kecelakaan yang mengancam keselamatan guru dan siswa.
  • Penyakit akibat kerja: Kurangnya ventilasi yang baik di ruang kelas dapat menyebabkan masalah pernapasan, terutama di daerah dengan tingkat polusi tinggi.
  • Dampak psikologis: Guru yang bekerja dalam kondisi tidak aman mengalami stres yang lebih tinggi, yang dapat memengaruhi kualitas pengajaran.

Berdasarkan hasil penelitian, artikel ini menawarkan beberapa solusi untuk meningkatkan K3 di sekolah:

1. Penguatan Regulasi dan Kebijakan

  • Pemerintah perlu mengembangkan dan mengimplementasikan regulasi K3 khusus untuk sektor pendidikan.
  • Standar keselamatan minimum harus ditetapkan dan diawasi secara berkala oleh lembaga pengawas.

2. Peningkatan Infrastruktur dan Fasilitas Sekolah

  • Pembangunan sekolah harus mempertimbangkan aspek keselamatan, termasuk jalur evakuasi, ventilasi yang memadai, dan akses terhadap fasilitas kesehatan.
  • Setiap sekolah harus memiliki peralatan keselamatan dasar seperti alat pemadam kebakaran dan kotak P3K.

3. Pelatihan dan Edukasi Keselamatan

  • Guru dan staf sekolah harus mendapatkan pelatihan rutin mengenai prosedur keselamatan kerja dan tanggap darurat.
  • Kurikulum sekolah harus memasukkan pendidikan keselamatan untuk meningkatkan kesadaran siswa sejak dini.

4. Kolaborasi antara Sekolah, Pemerintah, dan Komunitas

  • Sekolah perlu bekerja sama dengan otoritas lokal dan organisasi non-pemerintah untuk mendapatkan sumber daya tambahan untuk meningkatkan standar keselamatan.
  • Program kesadaran keselamatan harus diterapkan di seluruh komunitas pendidikan untuk menciptakan budaya keselamatan yang lebih baik.

Keselamatan kerja di sekolah harus menjadi prioritas utama bagi pemerintah dan manajemen sekolah. Dengan mengembangkan regulasi yang lebih kuat, meningkatkan infrastruktur, dan memberikan pelatihan yang lebih baik, lingkungan sekolah dapat menjadi tempat yang lebih aman bagi tenaga pengajar dan siswa. Penelitian ini juga menyoroti pentingnya kolaborasi antara berbagai pihak dalam menciptakan budaya keselamatan yang berkelanjutan di sektor pendidikan.

Sumber: Rielander, C., Visser, T., & Esterhuyzen, E. Schools and Occupational Health and Safety: Perspectives for Developing Countries. African Journal of Inter/Multidisciplinary Studies, Vol. 6 No. 1, 2024, Hal. 1-15.

Selengkapnya
Tantangan dan Solusi Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) di Sekolah di Negara Berkembang

kesehatan

Evaluasi Praktik Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) di Dapur Sekolah Menengah Atas di Ghana

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 19 Februari 2025


Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) dalam industri makanan, terutama di lingkungan sekolah, menjadi faktor penting dalam memastikan kualitas dan keamanan makanan yang dikonsumsi siswa. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan deskriptif. Data dikumpulkan melalui wawancara dengan 20 staf dapur dari enam SMA yang dipilih secara purposif. Selain itu, observasi langsung dilakukan untuk mengevaluasi kondisi dapur dan sistem keselamatan yang diterapkan.

Aspek yang dianalisis dalam penelitian ini mencakup:

  • Jenis bahaya yang dihadapi staf dapur
  • Tingkat kepatuhan terhadap standar K3
  • Dampak praktik K3 terhadap kualitas makanan
  • Hambatan dalam penerapan K3

Penelitian ini mengidentifikasi lima kategori bahaya utama yang dihadapi staf dapur:

  • Bahaya Keselamatan: Lantai licin akibat tumpahan minyak dan air menyebabkan risiko terpeleset dan jatuh.
  • Bahaya Biologis: Kontaminasi dari lalat, kecoa, dan hewan pengerat di area penyimpanan bahan makanan.
  • Bahaya Fisik: Ventilasi yang buruk menyebabkan akumulasi asap dan panas, berdampak pada kesehatan pernapasan staf.
  • Bahaya Ergonomis: Cedera punggung dan bahu akibat pengangkatan beban berat, seperti karung beras dan tepung.
  • Bahaya Psikososial: Stres akibat tekanan kerja yang tinggi dan komunikasi buruk antara staf dan pengelola.

Data penelitian menunjukkan bahwa 85% staf dapur adalah perempuan, dengan mayoritas berusia antara 40-49 tahun (30%). Sebanyak 90% telah bekerja lebih dari 4 tahun, menunjukkan pengalaman panjang namun tetap menghadapi tantangan keselamatan kerja.

Penelitian ini menemukan bahwa minimnya penerapan K3 berdampak langsung pada kualitas makanan yang disajikan kepada siswa:

  • Penyimpanan bahan makanan yang tidak memadai menyebabkan 50% bahan makanan terkontaminasi serangga.
  • Kurangnya sanitasi peralatan dapur meningkatkan risiko penyakit bawaan makanan.
  • 70% dapur tidak memiliki ventilasi yang memadai, menyebabkan akumulasi asap dan polutan udara.

Hambatan utama dalam penerapan K3 meliputi:

  • Kurangnya pelatihan: 80% staf tidak pernah mendapatkan pelatihan K3, sehingga kurang memahami prosedur keselamatan dasar.
  • Minimnya peralatan keselamatan: Sebagian besar staf tidak memiliki sarung tangan, sepatu anti-slip, atau alat pelindung diri lainnya.
  • Ketidakpedulian manajemen: 75% staf merasa manajemen tidak serius dalam menerapkan standar keselamatan kerja.

Paper ini memberikan wawasan yang kuat tentang tantangan K3 di dapur sekolah, tetapi ada beberapa aspek yang dapat diperbaiki:

  • Perlunya solusi berbasis kebijakan: Studi ini tidak banyak membahas bagaimana kebijakan pemerintah Ghana dapat meningkatkan standar keselamatan di dapur sekolah.
  • Kurangnya perbandingan dengan industri lain: Akan lebih baik jika penelitian ini membandingkan tantangan K3 di dapur sekolah dengan sektor perhotelan atau manufaktur makanan.

Studi ini menegaskan bahwa kurangnya penerapan K3 di dapur sekolah memiliki dampak besar terhadap keselamatan staf dan kualitas makanan yang dikonsumsi siswa. Untuk mengatasi tantangan ini, diperlukan peningkatan pelatihan K3, perbaikan fasilitas dapur, dan komitmen manajemen dalam menerapkan standar keselamatan.

Sumber: Adzinyo, O. A., Frempong, F., Appaw, E. T. A., Antwi, A. B., & Nkrow, J. E. Assessing Occupational Health and Safety Practices Among Kitchen Staff of Selected Senior High Schools in the Ho Municipality, Ghana. Cogent Food & Agriculture, Vol. 10 No. 1, 2024, Hal. 2392404.

Selengkapnya
Evaluasi Praktik Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) di Dapur Sekolah Menengah Atas di Ghana

kesehatan

Apoteker

Dipublikasikan oleh Viskha Dwi Marcella Nanda pada 18 Februari 2025


Apoteker (apt.) merupakan gelar profesi bagi seseorang yang telah menempuh pendidikan profesi apoteker dan mengucapkan sumpah jabatan apoteker. Sebelum menempuh pendidikan profesi apoteker, seseorang harus menempuh pendidikan sarjana farmasi terlebih dahulu untuk memperoleh gelar akademik sarjana sains (S.Si.) atau sarjana farmasi (S.Farm.) yang umumnya ditempuh dalam waktu empat tahun. Setelahnya, barulah seorang sarjana tersebut dapat melanjutkan pendidikan profesi apoteker (apt.) yang umumnya dicapai dalam waktu satu tahun. Jadi, total waktu yang dibutuhkan seseorang untuk menjadi seorang apoteker adalah lima tahun. Konsep pendidikan ini serupa dengan yang dijalani seseorang untuk menjadi seorang dokter, di mana setelah memperoleh gelar sarjana kedokteran (S.Ked.), mereka harus melanjutkan pendidikan bagi dokter muda atau koasistensi untuk memperoleh gelar dokter (dr.).

Dalam praktik klinis, apoteker berperan sebagai pengawas atas peresepan yang dikeluarkan oleh dokter. Sebagai profesi yang memelajari obat-obatan secara mendalam, mulai dari cara pembuatannya sampai dengan bagaimana obat tersebut memberikan reaksi tertentu pada tubuh, apoteker secara aktif menelaah, mengoreksi, dan memberi masukan kepada dokter dan tim medis lainnya dalam memberikan terapi pada pasien.

Dalam menjalankan praktik kefarmasian, apoteker mengenakan jas berwarna putih gading.Hal ini berbeda dengan dokter yang mengenakan jas berwarna putih tulang saat menjalankan praktik kedokteran. Di Indonesia, tenaga kesehatan yang mengenakan baju resmi berupa jas hanya apoteker dan dokter saja.

Sejarah

Istilah apoteker dan apotek bermula dari dokter Claudius Galenus dari Pergamum (129–199) yang biasa dikenal sebagai Galen. Ia menamakan tempatnya memeriksa pasien sebagai latron dan tempat Galen menyimpan obat sebagai apotheca, yang secara harfiah berarti gudang. Pada tahun 1240, negara Kerajaan Sisilia untuk pertama kalinya mengeluarkan undang-undang yang memisahkan pekerjaan dokter dan apoteker. Dokter hanya boleh memeriksa pasien dan menulis resep, tetapi obat dibuat dan diserahkan ke pasien oleh apoteker.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dalam pertemuan di Vancouver 1997 menggunakan istilah 7 Star Pharmacist untuk menyatakan peran dan tanggung jawab seorang apoteker yang bermutu. Pada tahun 1999 yang dicantumkan pada Annex 7, badan dunia ini mengeluarkan Good Pharmacy Practice In Community And Hospital Pharmacy Settings.

Perkembangan di Indonesia

Apoteker di Indonesia bergabung dalam organisasi profesi apoteker yang disebut Ikatan Apoteker Indonesia (IAI). Apoteker di Indonesia sering kali dipersepsikan publik sebagai seseorang yang bekerja di apotek. Namun, sebenarnya lingkup kerja apoteker tidak hanya di apotek semata, melainkan juga dapat bekerja di sektor publik–seperti Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)–atau sektor swasta–seperti perusahaan farmasi.

Sebelum menempuh pendidikan apoteker di Indonesia, calon mahasiswa akan diminta untuk memilih konsentrasi yang menjadi fokus keilmuan apoteker. Umumnya konsentrasi yang dapat dipilih meliputi Farmasi Industri, dan Farmasi Klinik dan Komunitas. Apoteker dengan konsentrasi Farmasi Industri akan tepat untuk bekerja di industri farmasi pada beragam bidang seperti regulatory affairs, pemastian mutu, penjaminan mutu, produksi, distribusi, dan lain-lain. Sementara itu, apoteker dengan konsentrasi Farmasi Klinik dan Komunitas akan tepat untuk bekerja di apotek, rumah sakit, dan lain-lain. Walaupun terdapat klasterisasi semacam ini, sejauh ini tidak dilarang seorang apoteker dengan konsentrasi Farmasi Industri untuk bekerja di lingkungan klinis atau sebaliknya.

Dalam perkuliahan apoteker, terdapat praktik kerja profesi apoteker (PKPA) yang merupakan kesempatan bagi mahasiswa apoteker untuk menjalani magang di berbagai bidang kefarmasian, sehingga mereka akan memperoleh gambaran dan kesiapan dalam dunia kerja di bidang kefarmasian nantinya. Setelah mahasiswa apoteker dinyatakan lulus secara akademik, mereka akan diambil sumpahnya seperti halnya dokter. Sumpah itu dimaksudkan agar seorang apoteker bersungguh-sungguh dalam mengaplikasikan ilmu kefarmasiannya demi kebaikan manusia. Seorang apoteker pun dilarang menggunakan pengetahuannya untuk merugikan orang lain.

Pada awalnya, apoteker teridentifikasi dengan adanya gelar Apt. di belakang nama mereka. Namun, sejak 20 Februari 2020, Komite Farmasi Nasional (KFN) menetapkan perubahan penulisan gelar apoteker menjadi apt. yang diletakkan di depan nama. Penetapan tersebut merupakan kesepakatan bersama antara Komite Farmasi Nasional (KFN), Asosiasi Perguruan Tinggi Farmasi Indonesia (APTFI), dan Ikatan Apoteker Indonesia (IAI). Menurut apt. Drs. Purwadi, M.M., M.E. selaku Ketua Komite Farmasi Nasional (KFN) dalam sambutannya pada tanggal 10 Maret 2020, pemindahan letak gelar ini dimaksudkan agar apoteker dapat lebih fokus tampil di depan untuk melayani masyarakat secara langsung. Hal tersebut dikarenakan apoteker di Indonesia masih belum terlalu dikenal perannya di masyarakat secara luas. Apoteker pun sering kali lebih banyak bekerja di balik layar dalam melayani masyarakat. Dengan terlihatnya gelar apoteker di depan nama, masyarakat bisa lebih mengenal sosok apoteker tersebut.

Apoteker spesialis

Saat ini telah ada apoteker spesialis farmasi nuklir dengan pengukuhannya pada 2020.

Penulisan gelar

Gelar apoteker diletakkan di depan nama dengan seluruhnya huruf kecil, dengan contoh:

apt. Aditya Pradhana, S.Farm.

di mana gelar sarjana farmasi yang telah diperoleh sebelumnya tetap dituliskan. Hal ini berbeda dengan profesi dokter yang umumnya hanya menuliskan gelar profesi dokter (dr.) tanpa perlu menuliskan gelar sarjana kedokteran (S.Ked.). Jika gelar apoteker dituliskan bersama dengan gelar lain, maka contoh penulisannya adalah sebagai berikut:

apt. Dra. Corona Mileniawati

apt. Drs. Artifisial Dermawan

apt. Ngangsu Elmu Mardiko, S.Farm., M.Si.

Dr. apt. Ngangsu Elmu Mardiko, S.Farm.

Prof. Dr. apt. Ngangsu Elmu Mardiko, M.Sc.

Prof. apt. Ngangsu Elmu Mardiko, M.Sc., Ph.D.

Ketika dikombinasikan dengan pangkat dan gelar keagamaan nonakademik, maka contoh penulisannya adalah sebagai berikut:

Brigadir Jenderal TNI (Purn.) Prof. Dr. apt. Drs. K.H. Ngangsu Elmu Mardiko, M.Sc.

Pedoman penulisan gelar apoteker yang baru ini berlaku pula untuk apoteker yang lulus sebelum ditetapkannya pedoman ini.

 

Sumber Artikel: id.wikipedia.org

Selengkapnya
Apoteker

kesehatan

Kedokteran di Indonesia

Dipublikasikan oleh Viskha Dwi Marcella Nanda pada 18 Februari 2025


Di Indonesia, pendidikan kedokteran dapat ditempuh setelah seseorang menyelesaikan pendidikan sekolah menengah atas atau sederajat. Mahasiswa harus menempuh pendidikan strata-1 selama sekitar 3,5 tahun untuk mendapatkan gelar Sarjana Kedokteran (S.Ked.) yang kemudian dilanjutkan dengan pendidikan profesi dokter selama 1,5 tahun. Setelah itu, mereka wajib mengikuti Uji Kompetensi Mahasiswa Pendidikan Profesi Dokter (UKMPPD) atau yang sebelumnya dikenal sebagai Uji Kompetensi Dokter Indonesia (UKDI). Hanya mahasiswa yang lulus ujian tersebut yang dapat mengangkat sumpah dan dilantik sebagai dokter. Setelah diambil sumpah, seorang dokter diwajibkan untuk mengikuti program dokter internsip selama satu tahun.[3] Setelah menyelesaikan program internsip, seorang dokter umum dapat mengambil pendidikan spesialisasi sesuai pilihannya. Saat ini kurikulum pendidikan kedokteran di Indonesia menganut sistem pembelajaran berdasarkan masalah (PBL).

Konsil Kedokteran Indonesia

Berdasarkan UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) dibentuk untuk melindungi masyarakat penerima jasa pelayanan kesehatan, dan meningkatkan mutu pelayanan kesehatan dari dokter, dan dokter gigi, yang terdiri atas Konsil Kedokteran, dan Konsil Kedokteran Gigi. KKI bertanggung jawab kepada Presiden, dan berkedudukan di Ibu kota Negara Republik Indonesia.

KKI mempunyai fungsi pengaturan, pengesahan, penetapan, serta pembinaan dokter, dan dokter gigi yang menjalankan prakterk kedokteran dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan medis. KKI mempunyai tugas meregistrasi dokter, dan dokter gigi, mengesahkan standar pendidikan profesi dokter, dan dokter gigi, dan melakukan pembinaan terhadap penyelenggaraan praktik kedokteran yang dilaksanakan bersama lembaga terkait sesuai dengan fungsi masing-masing. Standar pendidikan profesi dokter, dan dokter gigi yang disahkan Konsil ditetapkan bersama oleh Konsil Kedokteran Indonesia dengan kolegium kedokteran, kolegium kedokteran gigi, asosiasi institusi pendidikan kedokteran, asosiasi institusi pendidikan kedokteran gigi, dan asosiasi rumah sakit pendidikan.

KKI mempunyai wewenang:

  • menyetujui, dan menolak permohonan registrasi dokter, dan dokter gigi,
  • menerbitkan, dan mencabut surat tanda registrasi dokter, dan dokter gigi,
  • mengesahkan standar kompetensi dokter, dan dokter gigi,
  • melakukan pengujian terhadap persyaratan registrasi dokter, dan dokter gigi,
  • mengesahkan penerapan cabang ilmu kedokteran, dan kedokteran gigi,
  • melakukan pembinaan bersama terhadap dokter, dan dokter gigi mengenai pelaksanaan etika profesi yang ditetapkan oleh Organisasi Profesi,
  • melakukan pencatatan terhadap dokter, dan dokter gigi yang dikenakan sanksi oleh organisasi profesi, atau perangkatnya karena melanggar ketentuan etika profesi.

Susunan organisasi Konsil Kedokteran Indonesia terdiri atas:

  • Konsil Kedokteran
  • Konsil Kedokteran Gigi.

Konsil Kedokteran, dan Konsil Kedokteran Gigi masing-masing terdiri atas 3 divisi yaitu:

  • divisi registrasi,
  • divisi standar pendidikan profesi,
  • divisi pembinaan.

Jumlah anggota Konsil Kedokteran Indonesia berjumlah 17 orang yang terdiri dari unsur-unsur yang berasal dari:

  • Organisasi Profesi Kedokteran 2 orang,
  • Organisasi Profesi Kedokteran Gigi 2 orang,
  • Asosiasi Institusi Pendidikan Kedokteran 1 orang,
  • Asosiasi Institusi Pendidikan Kedoktan Gigi 1 orang,
  • Kolegium Kedokteran 1 orang,
  • Kolegium Kedokteran Gigi 1 orang,
  • Asosiasi Rumah Sakit Pendidikan 2 orang,
  • Tokoh Masyarakat 3 orang,
  • Departemen Kesehatan 2 orang,
  • Departemen Pendidikan Nasional 2 orang.

Keanggotaan KKI untuk pertama kali ditetapkan oleh Presiden atas usul Menteri Kesehatan (pasal 84 Undang Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran).

Sertifikat kompetensi

Sertifikat kompetensi perlu dibuat bagi dokter lulusan sebelum 29 April 2007, dan belum mengajukan pembuatan Surat Tanda Registrasi (STR) ke Konsil Kedokteran Indonesia (KKI). Proses pembuatan sertifikat kompetensi ini hanya berlaku sampai dengan tanggal 29 Oktober 2007 (batas terakhir pengajuan STR ke KKI berdasarkan surat KKI No. KK. 01.03/KKI/Reg/IV/301). Sertifikat kompetensi akan dikirim ke alamat korespondensi yang tercantum dalam formulir pendaftaran dengan pos tercatat.

Surat tanda registrasi

Surat tanda registrasi (STR) adalah pencatatan resmi dokter dan dokter gigi yang telah memiliki sertifikat kompetensi, telah mempunyai kualifikasi tertentu, serta diakui secara hukum untuk melakukan tindakan sesuai kompetensinya. Registrasi yang memenuhi persyaratan, dan melewati proses verifikasi, konfirmasi, validasi, dan penandatanganan oleh Registar maka terbitlah STR. Surat Tanda Registrasi tersebut menjadi bukti tertulis yang diberikan oleh KKI bagi dokter dan dokter gigi.

 

Sumber Artikel: id.wikipedia.org

Selengkapnya
Kedokteran di Indonesia

kesehatan

Uji Kompetensi Dokter Indonesia

Dipublikasikan oleh Viskha Dwi Marcella Nanda pada 18 Februari 2025


Uji Kompetensi Dokter Indonesia (UKDI) merupakan prosedur yang wajib diikuti oleh mahasiswa ataupun lulusan ilmu kedokteran yang ingin mendapatkan lisensi profesi sebagai dokter. Uji kompetensi dilakukan melalui berbagai cara diantaranya ujian tulis, portofolio, dan OSCE (Objective Structured Clinical Examination). Di Indonesia UKDI digunakan sebagai tolok ukur dan barometer kerja bagi seorang dokter.

Tujuan

Tujuan UKDI adalah untuk memberikan informasi berkenaan kompetensi pengetahuan, keterampilan, dan sikap dari para lulusan dokter umum secara komprehensif kepada pemegang kewenangan dalam pemberian sertifikat kompetensi sebagai bagian dari persyaratan registrasi, untuk kemudian seorang dokter dapat mengurus pengajuan surat ijin praktik (SIP).

Pusat Tempat Ujian

  1. Wilayah Banda Aceh di Universitas Syiah Kuala.
  2. Wilayah Medan di Universitas Sumatera Utara.
  3. Wilayah Padang di Universitas Andalas.
  4. Wilayah Palembang di Universitas Sriwijaya.
  5. Wilayah DKI Jakarta di Universitas Trisakti, Universitas Indonesia, Universitas Kristen Indonesia.
  6. Wilayah Bandung di Universitas Kristen Maranatha, Universitas Padjajaran, Universitas Jenderal Achmad Yani.
  7. Wilayah Semarang di Universitas Diponegoro, Universitas Islam Sultan Agung.
  8. Wilayah Yogyakarta di Universitas Gadjah Mada, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
  9. Wilayah Surabaya di Universitas Airlangga, Universitas Hang Tuah, Universitas Wijaya Kusuma.
  10. Wilayah Malang di Universitas Brawijaya.
  11. Wilayah Denpasar di Universitas Udayana.
  12. Wilayah Makasar di Universtas Hasanuddin.
  13. Wilayah Manado di Universitas Sam Ratulangi.
  14. Wilayah Banjarmasin di Universitas Lambung Mangkurat.

 

Sumber Artikel: id.wikipedia.org

Selengkapnya
Uji Kompetensi Dokter Indonesia

kesehatan

Pentingnya Peranan Apoteker dalam Penanganan Kesehatan Mental Pasien

Dipublikasikan oleh Viskha Dwi Marcella Nanda pada 18 Februari 2025


Corona Virus Disease 2019 (covid-19) menginjak periode 1,5 tahun lebih semenjak pertama kali ditemukan di Wuhan, China bulan Desember 2019 dan sudah dinyatakan oleh WHO sebagai pandemi global pada Maret 2020 dan Pemerintah Indonesia menetapkan sebagai bencana nasional melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2020 (covid19.go.id, 2021).

Data terbaru dari WHO pada 6 September 2021, ada 220.563.227 jumlah kasus terkonfirmasi dan 4.565.483 di seluruh dunia. Tak dapat dipungkiri bahwa penyakit Covid-19 dampaknya sangatlah luar biasa di seluruh sektor kehidupan, meliputi aspek sosial, transportasi, ekonomi, pendidikan,  industri farmasi, industri manufaktur dan kesehatan. Yang tak kalah mengagetkan yaitu isu gangguan mental dan psikososial selama pandemik Covid-19 muncul menjadi trend di masyarakat. Angka kejadian kasus gangguan mental ditemukan lebih tinggi ketika pandemik dibandingkan sebelum pandemik.

Pandemik Covid-19 adalah stressor yang luar biasa untuk setiap orang termasuk pasien positif covid-19, pendamping keluarga pasien, orang yang sehat dan juga tenaga Kesehatan. Munculnya kecemasan dan kepanikan yang timbul bisa memicu gejala gangguan mental layaknya depresi dan kecemasan.  

Menurut WHO, gangguan mental merupakan sebuah kondisi sehat utuh dengan mampu menyadari pikiran, perasa dan perilaku sehingga bisa produktif dan kolaboratif secara sosial dan ekonomi. Beberapa hal penyebab covid-19 menjadi stressor yakni pertama, berkaitan dengan kebijakan lockdown ataupun karantina yang mengharuskan tinggal dirumah (stay at home),  bekerja dari rumah (work from home), sekolah dari rumah (school from home) dan jaga jarak serta social (social and physical distancing). Kedua yaitu stigma tenaga kesehatan yang belum seluruhnya diterima oleh masyarakat sebab tenaga Kesehatan dianggap mentransmisikan virus Covid-19.

Ketiga, munculnya cyberbullying terhadap pasien Covid-19 maupun yang telah masuk tahap pemulihan dari hasil swab negatif. Keempat merupakan isu paranoid dari masyarakat dengan ketakutan berlebih terhadap Covid-19, takut tertular, takut mengetahui hasil tes Covid-19, tidak ingin bertemu orang luar, tidak ingin keluar rumah, dan menimbun bahan pokok makanan. Kelima yaitu munculnya perasaan bersalah karena tak bisa optimal mengurus anggota keluarga yang terinfeksi Covid-19 dan akhirnya meninggal. Kelima hal tersebut menyebabkan adanya keterbatasan saat beraktivitas, melakukan program kerja, dan bisnis sehingga konsekuensinya yaitu cemas, frustasi, stress, bosan dan depresi. Fokus semua pihak terhadap transmisi global Covid-19 bisa mengalihkan perhatian publik dari gangguan mental yang ditimbulkan.

Untuk mendukung keberhasilan terapi dari pasien yang menderita gangguan mental, butuh adanya kolaborasi dan sinergisme peran dari berbagai pihak, yaitu professional kesehatan seperti dokter, apoteker, keluarga pasien dan lingkungan sekitar pasien dengan menggunakan model perawatan kolaboratif.

Selama lebih dari 40 tahun, apoteker klinis sudah berkontribusi pada model perawatan ini baik sebagai edukator, konselor maupun sebagai penyedia obat. Obat adalah modalitas pengobatan utama dalam manajemen terapi pada gangguan mental. Maka dari itu apoteker berada pada posisi yang sangat proporsional guna meningkatkan layanan kesehatan dengan dari aspek promotive, preventif maupun kuratif. Walaupun penderita telah ditangani dengan pemberian obat, nyatanya masih banyak kasus ketidak berhasilan terapi. Yang melatarbelakanginya yaitu ketidakpatuhan pasien dalam mengkonsumsi obat sebab pasien menggunakan obat-obatan dalam jangka panjang minimal 6 bulan dan beberapa diantaranya terjadi efek samping obat.


Disadur dari sumber research.lppm.itb.ac.id

Selengkapnya
Pentingnya Peranan Apoteker dalam Penanganan Kesehatan Mental Pasien
page 1 of 2 Next Last »