Interaksi Air
Dipublikasikan oleh Viskha Dwi Marcella Nanda pada 26 Mei 2025
Mengapa Interaksi Air Permukaan dan Air Tanah pada Skala Regional Itu Penting?
Dalam konteks perubahan iklim dan tekanan populasi global, pemahaman terhadap interaksi antara air permukaan dan air tanah (groundwater-surface water/GW-SW) pada skala regional semakin mendesak. Makalah karya Roland Barthel dan Stefan Banzhaf (2015) meninjau secara komprehensif tantangan dan potensi pendekatan terintegrasi dalam memodelkan interaksi GW-SW pada wilayah berskala 1.000–100.000 km². Resensi ini membedah temuan tersebut, memperkaya dengan kritik, studi kasus tambahan, serta mengaitkannya dengan implementasi praktis di Indonesia dan negara berkembang lainnya.
Skala Itu Penting: Dari Titik ke Kawasan
Titik dan Lokal: Tingkat Mikroskopik
Pada skala titik, hukum fisika seperti Hukum Darcy masih bisa diaplikasikan langsung. Namun data terbatas hanya di area sangat sempit dan cenderung tak dapat merepresentasikan keseluruhan akuifer.
Sub-DAS dan DAS Kecil
Di sinilah agregasi dimulai: beberapa sungai, beberapa akuifer, dan berbagai pola aliran permukaan mulai berinteraksi. Model pada tahap ini harus mampu mengatasi heterogenitas geologi dan tata guna lahan.
Skala Regional: Kompleksitas Eksponensial
Ketika masuk ke wilayah >10.000 km² seperti Citarum atau DAS Bengawan Solo, interaksi antar-sistem jadi sangat kompleks. Geologi karst, transfer air lintas wilayah, dan infrastruktur buatan membuat model semakin tak linier. Barthel dan Banzhaf menyoroti bahwa di skala ini, data seringkali tambal sulam, inkonsisten antar instansi, dan terfragmentasi secara spasial dan temporal.
Kritik terhadap Literatur Eksisting
Bias Skala Kecil
Mayoritas literatur GW-SW fokus pada skala lokal atau hiporeik (zona dekat saluran sungai). Barthel menunjukkan hanya segelintir studi (misalnya proyek Murray-Darling Basin oleh CSIRO) yang benar-benar memodelkan interaksi di skala regional.
Publikasi Tertutup
Banyak model besar tidak pernah masuk jurnal ilmiah karena terlalu kompleks atau terlalu "pragmatis" untuk direplikasi. Ini menyulitkan evaluasi silang antar metode.
Data dan Validasi
Model fisik canggih seperti ParFlow atau HydroGeoSphere menjanjikan, tetapi membutuhkan data sangat detail yang jarang tersedia di negara berkembang. Alhasil, pendekatan "loosely coupled" (menggabungkan dua model yang berbeda) seperti MODFLOW + SWAT lebih sering digunakan meski punya keterbatasan akurasi interaksi dinamis GW-SW.
Studi Kasus Tambahan: Pembelajaran Global
Jerman (Neckar Basin)
Model DANUBIA mengintegrasikan data klimatologi, sosial, dan hidrogeologi di wilayah 77.000 km². Namun hanya satu skema model digunakan, menyulitkan perbandingan efektivitas antar pendekatan.
California (Central Valley)
IWFM menggabungkan manajemen permukaan dan air tanah di wilayah 51.000 km². Keunggulan: dirancang untuk kebutuhan pengambilan keputusan real-time oleh pemerintah.
Tiongkok (North China Plain)
MIKE SHE digunakan pada wilayah 140.000 km², namun dengan asumsi catchment tertutup yang tidak selalu realistis di lapangan.
Relevansi untuk Indonesia
Kesimpulan: Membangun Jembatan antara Akuifer dan Sungai
Barthel dan Banzhaf menyampaikan kritik jujur terhadap stagnasi penelitian GW-SW skala regional. Mereka menyerukan agar pendekatan tidak hanya teknis, tetapi juga sistemik dan partisipatif. Dalam konteks Indonesia, urgensi ini berlipat ganda karena keterbatasan data, tekanan populasi, dan perubahan tata guna lahan.
Artikel ini menegaskan bahwa pengelolaan air terintegrasi tidak bisa hanya mengandalkan satu disiplin atau satu skala, melainkan butuh sinergi spasial, institusional, dan teknologi yang konkret.
Sumber: Barthel, R., & Banzhaf, S. (2015). Groundwater and Surface Water Interaction at the Regional-scale – A Review with Focus on Regional Integrated Models. Water Resources Management, 30, 1–32.