Industri Minuman, Hasil Tembakau & Bahan Penyegar

Kenaikan Cukai Rokok dan Peta Jalan CHT

Dipublikasikan oleh Farrel Hanif Fathurahman pada 27 April 2024


Di tengah kebijakan kenaikan tarif Cukai Hasil Tembakau 2022, muncul wacana mengenai penyusunan Peta Jalan Cukai Hasil Tembakau (CHT). Wacana ini digulirkan dalam rangka memberikan kepastian tarif CHT yang hampir tiap tahun berubah-ubah. Tercatat hanya pada tahun 2019 pemerintah tidak merevisi tarif CHT.

Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri) ikut mengusulkan kepada pemerintah untuk menyusun peta jalan (roadmap) industri hasil tembakau. Menurut Gappri, Peta Jalan ini akan memberikan kepastian berusaha kepada pelaku industri rokok serta menekan peredaran rokok ilegal di pasaran.

Namun, tentu saja selain aspek keberlangsungan usaha, pemerintah juga akan dihadapkan dengan aspek kesehatan masyarakat sebagai dampak buruk dari konsumsi rokok. Akan terjadi ketimpangan jika Peta Jalan CHT ini hanya mempertimbangkan kepentingan industri rokok dan petani tembakau.

Kebijakan ini akan menuai pro kontra di kalangan masyarakat, khususnya antara pelaku bisnis rokok dan petani tembakau dengan kalangan masyarakat yang peduli akan dampak buruk tembakau bagi Kesehatan.

Keberlangsungan Usaha vs Kesehatan

Peta Jalan CHT akan sulit diterapkan karena sangat kontras dengan Roadmap Pengendalian Dampak Konsumsi Rokok bagi Kesehatan yang tertuang dalam Permenkes Nomor 40 tahun 2013. Dalam regulasi tersebut pemerintah justru menargetkan penurunan prevalensi perokok pada 2024. Salah satunya melalui peningkatan tarif cukai rokok serta pelarangan iklan dan sponsorship rokok.

Dengan demikian, sekali lagi akan sulit untuk menyelaraskan antara Peta Jalan CHT dengan Peta Jalan Pengendalian Dampak Konsumsi Rokok bagi Kesehatan. Karena kedua roadmap ini akan memiliki target masa depan yang kontradiktif satu sama lain. Apakah mungkin roadmap CHT menjamin tarif cukai yang pro kepada industri rokok sekaligus pro kepada Kesehatan? Rasanya impossible.

Pun seandainya pemerintah mengakomodasi penyusunan roadmap CHT, maka jelas akan ada target kenaikan produksi rokok di dalamnya. Hal ini akan menimbulkan kesan pemerintah melanggar kewajibannya untuk menekan produksi, distribusi, dan konsumsi rokok dalam rangka menjaga Kesehatan masyarakat.

Kecuali memang pemerintah berniat menjadikan industri rokok sebagai sunset industry. Yaitu industri yang perlahan akan hilang di masa mendatang seiring berjalannya waktu. Dalam arti produksi rokok ke depan akan semakin berkurang dan Industri rokok bermetamorfosis ke jenis industri lainnya. Jika kebijakan ini yang diambil maka Peta Jalan CHT akan lebih relevan dengan aspek kesehatan.

Belajar dari Masa Lalu

Secara historis, sebenarnya Peta Jalan Industri Rokok sudah pernah dimuat dalam Peraturan Menteri Perindustrian (Permenperin) Nomor 63/M-IND/PER/8/2015. Beleid tersebut mencakup Peta Jalan produksi industri hasil tembakau tahun 2015-2020. Namun roadmap tersebut berujung mangkrak karena kalah dalam gugatan uji materiil di Mahkamah Agung pada tahun 2016.

MA memutuskan Permenperin tersebut bertentangan dengan lima peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi sehingga tidak sah atau tidak berlaku secara umum. Lima peraturan tersebut yakni UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU Nomor 11 Tahun 2005, UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dan UU Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai.

Belajar dari gugatan di masa lalu, menurut hemat saya, sebaiknya pemerintah saat ini lebih fokus kepada efektivitas perubahan tarif CHT ketimbang menyusun Peta Jalan CHT. Penetapan tarif CHT ini hendaknya memprioritaskan aspek Kesehatan, setelah itu barulah ke aspek penerimaan negara, tenaga kerja, petani tembakau/cengkeh dan industri rokok.

Menurut Data WHO, tiga juta orang mengalami kematian dini setiap tahunnya terkait konsumsi tembakau yang menyebabkan penyakit kardiovaskular seperti serangan jantung dan stroke, penyebab kematian utama di dunia. Kematian tersebut termasuk 890.000 para perokok pasif.

Maka sudah selayaknya CHT ini menjalankan fungsinya sebagai Pigouvian Tax, yaitu pajak atas eksternalitas negatif berupa gangguan Kesehatan yang ditimbulkan. Juga sebagai Control Tax, yaitu pajak untuk mengendalikan konsumsi rokok, khususnya bagi anak generasi kita.

Yang menjadi ironi adalah peningkatan tarif CHT pun belum tentu dapat mengendalikan konsumsi rokok. Contoh di tahun 2021 kenaikan tarif CHT rata-rata 12,5% tapi tidak menyebabkan perubahan siginifikan pada harga rokok. Harga rokok masih terjangkau karena kadang dijual di bawah harga eceran yang tertera pada pita cukai.

Selain itu, kalaupun harga rokok naik, para konsumen rokok tetap dapat menjangkaunya dengan kehadiran rokok ilegal. Tentu saja rokok ilegal jauh lebih murah karena biaya produksinya lebih rendah akibat tidak membayar cukai.

Pemerintah juga perlu menjamin agar Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DHBCHT) sebagai bentuk earmarking cukai rokok bisa lebih efektif dan tepat sasaran. Pemanfaatan DHBCHT di daerah harus lebih optimal untuk mengatasi dampak buruk rokok. Berdasarkan PMK nomor 206/PMK.07/2020 proporsi DHBCHT untuk Kesehatan hanya sebesar 25%, lebih rendah dari sebelumnya sebesar 50%.

Perubahan tarif CHT juga hendaknya memperhatikan aspek tenaga kerja. Saya sepakat jika CHT untuk Sigaret Kretek Tangan (SKT) tidak mengalami kenaikan di tahun 2022 karena pertimbangan industri ini padat karya yang menyerap sekitar 158 ribu tenaga kerja.

Dalam aspek petani tembakau/cengkeh pemerintah perlu lebih serius dalam melindungi penyedia bahan baku dalam negeri. Selama ini memang pengenaan tarif CHT terhadap rokok Sigaret Putih Mesin (SPM) lebih tinggi dari rokok Sigaret Kretek Mesin (SKM).

Hal ini wajar karena SKM lebih banyak menyerap bahan baku lokal ketimbang bahan baku impor seperti SPM. Simplifikasi tarif CHT diperlukan tapi dengan melihat perkembangan pandemi COVID-19 agar tidak terjadi efek ganda antara kenaikan tarif dan simplifikasi.

Jadi, perubahan tarif CHT perlu memperhatikan aspek-aspek tersebut di atas dengan tetap memprioritaskan aspek kesehatan. Kalaupun Pemerintah akhirnya menyusun Peta Jalan CHT maka pilihan yang logis adalah menjadikan Industri rokok sebagai sunset industry.

Sumber Artikel:

detik.news

Selengkapnya
Kenaikan Cukai Rokok dan Peta Jalan CHT

Industri Minuman, Hasil Tembakau & Bahan Penyegar

PT Gudang Garam dan Sejararhnya

Dipublikasikan oleh Farrel Hanif Fathurahman pada 22 April 2024


Perusahaan ini dimulai pada tahun 1956 ketika Tjoa Ing-Hwie atau Surya Wonowidjojo membeli lahan sekitar 1.000 meter persegi milik Muradioso di Jl. Semampir II/l, Kediri. Tjoa Ing-Hwie kemudian mulai membuat rokok sendiri di atas lahan tersebut. Dia memulai dengan rokok kretek dari kelobot dengan merek Inghwie, dan setelah beroperasi selama dua tahun, pada tanggal 26 Juni 1958, Tjoa Ing-Hwie mengubah nama perusahaannya menjadi Perusahaan Rokok Tjap Gudang Garam. Perusahaan ini hanya mempekerjakan 50 orang pada awalnya. Konon, Tjoa Ing-Hwie mendapatkan nama "Gudang Garam" dari mimpinya.

Dengan ribuan pekerja dan kapasitas produksi 50 juta batang sigaret kretek tangan (SKT) per bulan, perusahaan ini menjadi produsen SKT terbesar di Indonesia pada tahun 1966.Perusahaan ini sempat kehilangan banyak karyawan karena krisis politik di Indonesia pada pertengahan tahun 60-an, tetapi ia cepat pulih.Perusahaan ini mengubah badan hukumnya menjadi firma (Fa) pada tahun 1969, dan kemudian kembali diubah menjadi perseroan terbatas (PT) pada tanggal 30 Juni 1971. Pada tahun 1973, perusahaan mulai mengekspor barang-barangnya ke luar Indonesia.

Berbeda dengan Bentoel Group, yang telah membuat sigaret kretek mesin (SKM) sejak dekade 1970-an, perusahaan ini terus memproduksi SKT, dan baru pada tahun 1979 mereka membawa mesin pembuat rokok. Produksi perusahaan kemudian meningkat dua kali lipat dari 9 miliar batang per tahun menjadi 17 miliar batang per tahun berkat mesin pembuat rokok tersebut. Pada tahun 1980-an, perusahaan ini memiliki pabrik seluas 240 hektar yang dapat menghasilkan 1 juta batang rokok per hari. Perusahaan ini memiliki omset US$ 7 juta dan menguasai 38% pangsa pasar. Perusahaan ini sekarang menjadi produsen kretek terbesar di Indonesia, dengan cukai yang disetor ke negara mencapai Rp 1 miliar per tahun.Pada saat itu, perusahaan memiliki 37.000 karyawan dan memiliki helikopter pribadi.Walaupun begitu, perusahaan tetap berkonsentrasi pada pembuatan rokok dan kertas rokok . Setelah itu, bisnis ini juga mulai melakukan CSR. Salah satu contohnya adalah mendukung pertumbuhan olahraga tenis meja.

Dua putra Surya, Rachman Halim dan Susilo Wonowidjojo, juga mulai aktif terlibat di perusahaan sejak tahun 1970-an. Setelah Surya Wonowidjojo meninggal pada tahun 1985, dua orang tersebut kemudian menjadi pimpinan perusahaan.Perusahaan ini menjadi perusahaan publik resmi pada tanggal 27 Agustus 1990 ketika melepas 57 juta saham di Bursa Efek Jakarta dan 96 juta saham di Bursa Efek Surabaya dengan harga perdana Rp 10.250/lembar.Keluarga mendiang Surya Wonowidjojo—istrinya Tan Siok Tjien dan putranya Rachman Halim—memiliki sebagian besar saham perusahaan pada saat itu. Sekarang, keluarga Wonowidjojo memiliki sebagian besar saham perusahaan melalui PT Suryaduta Investama.

Perusahaan ini mempekerjakan 41.000 orang dan penjualan sebesar Rp 9,6 triliun pada tahun 1996 dan Rp 15 triliun pada tahun 2000. Perusahaan ini pernah menjadi perusahaan (konglomerasi) terbesar kelima di Indonesia pada tahun 1990-an. Perusahaan ini tidak terlalu bergantung pada utang luar negeri, sehingga tidak terpengaruh oleh krisis keuangan yang terjadi di Indonesia pada akhir tahun 1990-an. Perusahaan ini juga mampu mengatasi berbagai masalah, seperti kehadiran BPPC yang mengganggu produksinya pada awal tahun 1990-an. Perusahaan ini memiliki enam pabrik seluas 100 hektar dan lebih dari 40.000 karyawan pada tahun 2001.

Dengan pabriknya di Kediri, Sumenep, Karanganyar, dan Gempol, perusahaan ini menguasai sekitar 21% pangsa pasar rokok nasional pada tahun 2017.Japan Tobacco asal Jepang resmi membeli semua saham PT Karyadibya Mahardika dan PT Surya Mustika Nusantara pada tanggal 4 Agustus 2017. Setelah pembelian, ada spekulasi bahwa perusahaan akan digabungkan atau diakuisisi oleh Japan Tobacco. Namun, perusahaan selalu menolaknya.

Perusahaan ini mendirikan tiga anak usaha baru pada tahun 2021 untuk bekerja di bidang impor, distribusi, dan produksi rokok elektrik, tetapi tiga perusahaan tersebut belum beroperasi. Perusahaan mendirikan PT Surya Kerta Agung pada tahun 2022 dengan tujuan untuk berkembang ke bidang pengelolaan jalan tol. Selain itu, pada tahun 2022, perusahaan juga menyuntikkan modal sebesar Rp 1 triliun ke PT Surya Dhoho Investama, yang akan menangani Bandara Dhoho di Kediri.

Disadur dari:

https://id.wikipedia.org
 

Selengkapnya
PT Gudang Garam dan Sejararhnya

Industri Minuman, Hasil Tembakau & Bahan Penyegar

PT Djarum dan Sejarahnya

Dipublikasikan oleh Farrel Hanif Fathurahman pada 22 April 2024


PT Djarum adalah perusahaan rokok terbesar keempat di Indonesia, dengan kantor pusat di Kudus, Jawa Tengah. Banyak perusahaan dimiliki oleh PT Djarum, yang merupakan induk dari Djarum Group. Keluarga Hartono, yang generasi pertamanya adalah Oei Wie Gwan, bertanggung jawab atas bisnis Djarum Group. Selain rokok kretek, grup ini juga memiliki bisnis lain seperti perbankan (BCA), elektronik (Polytron), perkebunan (HPI AGRO), akomodasi (Padma Hotels and Resorts), pusat perbelanjaan (Grand Indonesia dan Margo City), ritel (Supra Boga Lestari), perdagangan elektronik (Blibli), media komunikasi (Mola), makanan dan minuman (Sapuri), dan Akhir-akhir ini, Djarum telah membeli saham Como 1907, Ranch Market, dan 5 Days Croissant.

Seorang pengusaha Tionghoa-Indonesia bernama Oei Wie Gwan membeli perusahaan rokok NV Murup di Kudus, Jawa Tengah, yang hampir gulung tikar pada tahun 1951. Dia menyingkat merek Gramofon perusahaan menjadi Djarum. Perusahaan hampir hancur akibat kebakaran besar yang menghancurkan pabriknya pada tahun 1963. Namun, anak-anak Oei Wie Gwan, Budi dan Bambang Hartono, akhirnya menemukan kesempatan untuk membangun kembali perusahaan.

Produk awal Djarum adalah rokok kretek lintingan tangan dan rokok kretek lintingan mesin, keduanya sangat populer dan diproduksi dalam jumlah besar. Rokok kretek lintingan tangan klasik terus dibuat oleh Djarum menggunakan metode kuno yang dikerjakan secara manual oleh buruh terampil, dan rokok kretek lintingan mesin diperkenalkan pada awal tahun 1970 dan diproduksi secara otomatis menggunakan mesin canggih.

Pada pertengahan tahun 1970-an, Djarum secara resmi mendirikan Pusat Penelitian dan Pengembangan untuk mengembangkan rokoknya. Pada tahun 1972, Djarum mulai mengekspor rokok kretek lintingan tangan dan lintingan mesin ke pengecer tembakau di seluruh dunia: Korea, Jepang, Belanda, Amerika Serikat, dan Republik Rakyat Tiongkok. Ini terjadi di tengah besarnya pasar domestik untuk rokok kretek. Produk Djarum Super, yang diluncurkan pada tahun 1981, sukses di pasar global. Produk Djarum Special, yang diluncurkan di Amerika Serikat pada tahun 1983, mengikutinya. Menurut Forbes, Budi dan Michael Hartono adalah orang terkaya di Indonesia saat ini.

Setelah krisis finansial Asia tahun 1997, perusahaan ini menjadi bagian dari konsorsium yang membeli Bank Central Asia (BCA) dari BPPN. BCA adalah bank swasta terbesar di Indonesia dan sebelumnya merupakan bagian dari Grup Salim, tetapi saat ini Djarum memiliki mayoritas saham (51%) bank. Pemerintah memberi Djarum Group kontrak BOT selama tiga puluh tahun pada tahun 2004 untuk mengembangkan dan merenovasi Hotel Indonesia di Jakarta dalam rangka proyek superblok Grand Indonesia. Pemerintah memberi Djarum Group kontrak BOT selama tiga puluh tahun pada tahun 2004 untuk mengembangkan dan merenovasi Hotel Indonesia di Jakarta dalam rangka proyek superblok Grand Indonesia.

Keluarga Hartono memiliki bisnis lain selain rokok. Pertama, hutan industri dan perkebunan PT Hartono Plantation Indonesia. Di Kalimantan Barat, perusahaan mendirikan kebun kelapa sawit seluas 30.000 hektare, yang akan diperluas menjadi 50.000 hektare di masa mendatang. Di Kalimantan Timur, perusahaan mendirikan 20.000 hektare hutan tanaman industri kayu. Kedua, situs e-commerce Blibli.com dan Tiket.com, yang merupakan situs agen perjalanan, dan ketiga, perusahaan elektronik PT Hartono Istana Teknologi dengan nama Polytron. Alat elektronik konsumen seperti telepon seluler, AC, kulkas, dan TV dibuat oleh perusahaan ini.

Sumber:

https://id.wikipedia.org

Selengkapnya
PT Djarum dan Sejarahnya

Industri Minuman, Hasil Tembakau & Bahan Penyegar

Mengenal Bentoel Group

Dipublikasikan oleh Farrel Hanif Fathurahman pada 22 April 2024


PT Bentoel Internasional Investama, juga dikenal sebagai Bentoel Group, adalah salah satu perusahaan rokok terbesar di Indonesia, dengan kantor pusat di Jakarta dan sebagian besar operasinya di Malang. British American Tobacco adalah pemilik perusahaan rokok internasional.

Dalam kenyataannya, perusahaan asli Bentoel bukanlah PT Bentoel Internasional Investama, yang saat ini dikenal sebagai perusahaan. Perusahaan ini didirikan pada tahun 1987 dan diberi nama PT Rimba Niaga Idola. PT Bentoel Internasional Investama baru mulai bermain dalam industri rokok ketika mengakuisisi PT Bentoel Prima, penerus dari Bentoel yang asli sejak 1930, pada tahun 2000. PT Bentoel Prima kemudian menjadi anak usaha PT Bentoel Internasional Investama, yang sekarang menjadi perusahaan induk dari Bentoel Prima dan Bentoel Distribusi Utama.

PT Perusahaan Rokok Tjap Bentoel dan PT Bentoel Prima

Perusahaan ini pertama kali didirikan sebagai "Strootjes Fabriek Ong Hok Liong", sebuah pabrik rokok kecil di Malang pada 10 September 1930. Pada tahun 1951, pabrik rokok berganti nama menjadi NV Pertjetakan Hien An (atau Hien An Kongsie), dan pada tahun 1954, namanya berubah menjadi PT Perusahaan Rokok Tjap Bentoel. Ong mendirikan perusahaan rokoknya sebagai bisnis rumahan yang dibuat dengan tangan dan dijajakan sendiri dengan bantuan tetangganya, Tjoa Sio Bian. Dengan pabriknya, Ong telah mendirikan banyak merek sebelum mendirikan Bentoel, seperti Gendang, Kelabang, Lampu, Turki, dan Djeruk Manis, tetapi semuanya gagal dan tidak berhasil. Namun, ketika ia berziarah ke Gunung Kawi pada tahun 1935, juru kunci makam keramat yang sering ia kunjungi, makam Mbah Djoego (EYD: Jugo), sepertinya memberinya saran. Juru kunci itu mengatakan bahwa Ong, yang sering bermimpi bentul (talas belitung), akan sukses jika nama dan merek perusahaan diubah menjadi bentul (ejaan lama: Bentoel). Sulit untuk dipercaya, tetapi bisnis Ong akhirnya berhasil, dan sejak tahun 1935, merek Bentoel terus dipertahankan.

Setelah bisnis Ong berhenti setelah Jepang masuk ke Indonesia, ia kemudian berkembang dengan 3.000 karyawan pada tahun 1950 dan menambah pabriknya di Blitar. Karena masalah ketenagakerjaan, Bentoel Group menjadi perusahaan pertama di Indonesia yang membuat rokok kretek filter buatan mesin dan membungkus kotak rokoknya dengan plastik pada akhir tahun 60-an. Innovasi ini kemudian menjadi standar industri tembakau nasional. Pada 1970-an, Bentoel menjadi nomor tiga di industri rokok nasional. Selain itu, perusahaan ini berusaha untuk berkembang dengan mendirikan sarana, anak usaha, dan mendapatkan pinjaman dari berbagai bank. Saat ini, banyak keluarga dan keturunan Ong memiliki saham PR Tjap Bentoel.

PT Perusahaan Rokok Tjap Bentoel menghadapi masalah pada akhir 1980-an ketika perusahaan kretek ini tidak dapat membayar pinjamannya senilai US$ 170 juta ke BRI dan Bank Bumi Daya. Masalah ini baru terungkap pada September 1991 dan menjadi topik pemberitaan di banyak media. Memasuki tahun itu, Bentoel menghadapi krisis likuiditas dan hutang ke kreditor asing telah melonjak menjadi US$ 350 juta. Ada beberapa orang yang berpendapat bahwa masalah ini disebabkan oleh devaluasi mata uang pemerintah, atau konflik keluarga pemilik. Namun, ada juga yang berpendapat bahwa Budhiwijaya Kusumanegara, Presiden Direktur Bentoel pada saat itu—yang merupakan generasi ketiga keturunan Ong Hok Liong—tidak berhasil mengelola salah satu pabrik rokok terbesar di Indonesia. Ada tuduhan bahwa Budhiwijaya menyelewengkan pinjaman itu untuk kepentingannya sendiri.

Dalam upaya Rajawali untuk memprofesionalisasikan manajemen perusahaan, yang sebelumnya dimiliki keluarga Ong selama 60 tahun, mereka mendirikan PT Bentoel Prima. PT Bentoel Prima didirikan pada tahun 1997 dengan aset PT PR Tjap Bentoel yang diserahkan kepadanya. Peter secara langsung bernegosiasi dengan para kreditor untuk memungkinkan bisnis ini berjalan dan berusaha menyelesaikan 21 masalah dan kerugian yang menimpa Bentoel untuk mendukung rencananya. Hasilnya, PT Bentoel Prima tidak melakukan PHK sejak 24 Maret 1997, melepaskan banyak hutang lamanya. Di tahun 1999, perusahaan sudah bisa mendapatkan untung.

Pada tahun 2000, Bentoel Prima masih merupakan perusahaan non-publik dan tertutup. Namun, pada tahun itu, PT Bentoel Prima berhasil masuk ke bursa saham melalui mekanisme backdoor listing. Akibatnya, struktur kepemilikan Bentoel Prima berubah. Pada awalnya dimiliki secara langsung oleh PT Rajawali Corporation, perusahaan ini kemudian beralih ke perusahaan lain bernama PT Transindo Multi Prima Tbk, yang kemudian berganti nama menjadi PT Bentoel Internasional Investama Tbk pada tahun 2000, dan terus beroperasi sampai sekarang. Namun, peristiwa ini tidak banyak mengubah kepemilikan perusahaan karena Rajawali (Peter Sondakh) tetap menjadi pemegang saham utama di PT Bentoel Prima, yang kemudian dibeli oleh British American Tobacco pada tahun 2009. Dengan kata lain, kepemilikan yang berubah berasal dari perusahaan induknya, bukan dari pabriknya secara langsung.

PT Bentoel Internasional Investama

Sebenarnya, PT Bentoel Internasional Investama hanyalah perusahaan induk dari Bentoel Prima, dan bukan perusahaan yang memproduksi rokok secara langsung. PT Rimba Niaga Idola adalah nama PT Bentoel Internasional, yang didirikan pada 11 April 1987, dan mulai beroperasi pada tahun 1989. Sebelum menjadi PT, bisnisnya bernama CV Rimba Niaga dan didirikan pada 19 Januari 1979 dengan tujuan mengumpulkan, mengolah, dan memproses rotan mentah untuk keperluan industri dan ekspor di Samarinda, Kalimantan Timur. Kemudian, setelah diubah menjadi PT dan diberi nama baru, kantor pusatnya pindah ke Jakarta, dan bisnisnya berkembang menjadi furnitur yang terbuat dari rotan dan kayu. PT Rimba berdiri pada 5 Maret 1990, setelah tiga tahun berdiri, resmi mencatatkan sahamnya di Bursa Efek Jakarta dengan harga Rp 3.800/saham. PT Bentoel Internasional Investama masih menggunakan kode saham RMBA hingga saat ini.

Sumber:

https://id.wikipedia.org

Selengkapnya
Mengenal Bentoel Group

Industri Minuman, Hasil Tembakau & Bahan Penyegar

Mengenal PT Sampoerna

Dipublikasikan oleh Farrel Hanif Fathurahman pada 22 April 2024


PT Hanjaya Mandala Sampoerna Tbk, juga dikenal sebagai PT HM Sampoerna Tbk, adalah perusahaan rokok yang berbasis di Surabaya. Kantor pusat perusahaan berada di Surabaya, Jawa Timur, dan merupakan salah satu yang terbesar dan pemimpin pasar dalam industri rokok di negara ini. Keluarga Sampoerna sebelumnya memiliki perusahaan ini. Namun, pada Mei 2005, sebagian besar kepemilikan beralih ke Philip Morris International, perusahaan rokok terbesar di dunia di Amerika Serikat, mengakhiri tradisi lebih dari sembilan puluh tahun.

Lim Seeng Tee, seorang imigran Tiongkok dari Fujian, Tiongkok, bersama istrinya Siem Tjiang Nio, mulai menjajakan rokok kecil-kecilan di warung mereka di Ngaglik, Surabaya, pada tahun 1912. Saat itu, Lim sudah memiliki pengalaman dalam meracik dan melinting rokok setelah bekerja di sebuah pabrik rokok di Lamongan. Untuk mengesahkan bisnisnya, Liem memulai produksi rokok secara komersial dalam wadah Handel Maatschappij Liem Seeng Tee pada tahun 1913. Produk pertama yang dibuat adalah kretek yang dilinting dengan tangan di Surabaya. Setelah itu, rokok kretek ini disebut "Dji Sam Soe" (234, jika dijumlahkan menjadi 9, "angka keberuntungan" Liem). Kemasan Dji Sam Soe, yang telah digunakan sejak 1914, tampaknya tidak pernah diubah hingga tahun 2000.

Usaha "Pabrik Rokok Liem Seeng Tee" (juga dikenal sebagai Sigaretten Fabriek Liem Seeng Tee) awalnya menghadapi masalah seperti kebakaran warung mereka yang menghancurkan bisnis rokok pada tahun 1916. Namun, setelah membeli pabrik rokok yang hampir bangkrut dengan tabungan Siem, Liem kembali ke industri rokok setelah 5 tahun berusaha meracik resep rokok yang tepat untuk menarik pelanggan dengan bantuan istrinya. Perusahaan milik Liem kemudian menggunakan resep ini untuk produk utamanya, Dji Sam Soe. Belakangan, perusahaannya juga menjual merek seperti 123, 77, 720, 678, dan Djangan Lawan.

Putra Liem, Aga Sampoerna, mengambil alih PT HM Sampoerna dalam keadaan sulit seperti itu dan mengembalikannya dengan manajemen yang lebih baik. Setelah saudaranya, Liem Swie Hwa (Adi Sampoerna), meminta bantuan untuk bisnis keluarga yang sedang gulung tikar, Aga bergabung. Sebelum ini, Aga telah memulai bisnisnya sendiri di bidang rokok dengan nama "Panamas" melalui PT Handel Maatschappij Sampoerna, yang didirikan pada 19 Oktober 1963 dan berbasis di Bali. Kemudian, Aga mulai dari nol, fokus pada bisnis Sampoerna meskipun ia sudah memiliki usaha sendiri sebelumnya.

Dji Sam Soe terkenal kembali membantu Aga mengembangkan bisnis Sampoerna. Puluhan tahun kemudian, PT HM Sampoerna memiliki 1.200 pekerja dan memproduksi 1,3 juta batang per hari. Aga percaya bahwa perusahaan harus menjual semua rokoknya segera. Oleh karena itu, terlepas dari semua upaya, rokok Sampoerna menjual 2,5 juta batang setiap hari dan menghasilkan keuntungan sebesar $250.000 setiap bulan. Perusahaan juga mengeluarkan produk keduanya, Sampoerna Hijau, pada tahun 1979. Belakangan, ada juga Sampoerna A Djingga dan 234 Filter. Walaupun demikian, saat itu Sampoerna masih dianggap "kalah" dibandingkan produsen lain seperti Gudang Garam dan Djarum. Ini mungkin karena kekurangan pemasarannya. Di awal 1980-an, pabrik Sampoerna di Bali, Malang, dan Surabaya mempekerjakan 7.000 orang.

Di tahun 1977, Aga mulai mempersiapkan anak bungsunya, Putera Sampoerna. Putera Sampoerna bekerja untuk dua perusahaan rokok keluarga, PT Handel Maatschappij Sampoerna dan PT Perusahaan Dagang dan Industri Panamas. Setelah itu, Putera melakukan banyak terobosan dan modernisasi di berbagai industri. Salah satunya adalah membangun pabrik baru seluas 153 hektar yang memproduksi rokok secara terpadu dan modern serta membeli tembakau langsung dari petani. Untuk memenuhi permintaan perusahaan, tembakau ini kemudian dikelola dengan cara yang berbeda. Mereka disimpan di beberapa gudang baru dan pusat distribusi yang baru dibangun. Setelah itu, perusahaan rokok Sampoerna di Surabaya sendiri berkonsentrasi pada pembuatan rokok dengan mesin di Rungkut, sedangkan Taman Sampoerna berkonsentrasi pada pembuatan rokok tangan.

Kemudian Putera dan Aga memperluas bisnis keluarga Sampoerna ke bidang seperti transportasi, percetakan, periklanan, dan perdagangan. Dilaporkan bahwa Sampoerna juga memiliki Sampoerna Bank, saham di supermarket Alfa, dan berniat memasuki industri mebel. Selain itu, Putera berusaha membangun sistem keagenan dan distribusi yang lebih intensif dan membeli mesin produksi kretek baru. Sampoerna sekarang menjual produknya sendiri daripada bergantung pada agen seperti sebelumnya. Rokok bernikotin rendah A Mild, yang diluncurkan sebagai modernisasi, adalah salah satu terobosan besar tahun 1989. Selain itu, pengembangan bisnis dilakukan melalui kerjasama dengan perusahaan besar dan ekspor ke Malaysia, Myanmar, Vietnam, Filipina, dan Brasil. Untuk membuat rokok Salem di Indonesia, mereka bekerja sama dengan R. J. Reynolds Tobacco Company di Amerika Serikat. Sejak tahun 1986, Putera didapuk sebagai pimpinan Sampoerna menggantikan Aga, tetapi beberapa langkah Putera tidak berhasil. Misalnya, kegagalan perbankan Sampoerna Bank hampir memaksanya untuk menutup semua lini bisnis non-rokoknya, tetapi akhirnya tidak terjadi.

Keluarga Sampoerna melakukan reorganisasi bisnis rokok mereka pada Oktober 1988. PT Handel Maatschappij Sampoerna diambil alih oleh PT Perusahaan Dagang dan Industri Panamas, yang memiliki semua aset, operasi, dan merek (seperti Dji Sam Soe dan Sampoerna Hijau). Di waktu yang sama, PT PD dan Industri Panamas berganti nama menjadi PT Hanjaya Mandala Sampoerna. Pada 8 Juli 1989, perusahaan baru yang bernama sama, PT Perusahaan Dagang dan Industri Panamas, didirikan sebagai anak usaha HM Sampoerna di bidang distribusi. Melanjutkan, PT Hanjaya Mandala (HM) Sampoerna menjadi perusahaan publik pada 15 Agustus 1990 dengan melepas 27 juta saham, atau 15 persen dari total sahamnya, di Bursa Efek Jakarta dan Surabaya dengan harga penawaran Rp 12.600 per lembar.

Di tahun 1990, PT HM Sampoerna mempekerjakan 20.000 orang. Setahun kemudian, produksi rokok Sampoerna meningkat menjadi 64 juta batang per minggu—naik dari 21 juta batang per minggu pada 1980. Putera kemudian menggunakan wafatnya Aga Sampoerna pada tahun 1994 untuk mempekerjakan orang-orang yang tidak terlibat dengan Sampoerna untuk memimpin perusahaan dan mencapai visinya untuknya. Kapasitas Sampoerna untuk memproduksi rokok 170 juta batang per minggu pada tahun 1995-1996 naik menjadi 660 juta, dengan dukungan dari empat belas mesin produksi dan dua puluh satu mesin pengemasan. Selama periode ini, Sampoerna baru bisa menjadi salah satu pemain yang mulai dikenal, mengungguli pabrikan seperti Bentoel dan Djarum, dan menjadi salah satu perusahaan rokok paling menguntungkan di Indonesia, bersaing dengan pesaingnya. Selain itu, putra Putera, Michael Sampoerna, masuk ke jajaran direksi dan menjabat sebagai CEO pada tahun 2000. Produksi rokok Sampoerna mencapai 41,2 miliar batang dan keuntungan 15 miliar rupiah pada tahun 2004. Ini mewakili 19,4 persen dari pasar rokok nasional. Promosi kreatif juga dilakukan di bawah dan di atas meja untuk meningkatkan jumlah penjualan.

Philip Morris International (PMI) mengakuisisi Philip Morris pada 15 Maret 2005, mengukuhkan posisi Philip Morris di pasar rokok global dengan nilai transaksi diperkirakan US$ 5,2 miliar. Setelah penjualan Sampoerna kepada Putera Sampoerna, kondisi keuangan Sampoerna menjadi lebih baik. Setelah penjualan, Putera memperoleh dana sebesar Rp 18,5 triliun untuk berinvestasi dalam bisnis baru yang berbeda dari bisnis rokok sebelumnya, dengan fokus pada agroindustri di bawah Sampoerna Strategic Group. Pada 18 Mei 2005, kepemilikan PMI perusahaan ini mencapai 97% setelah hanya membeli 40% saham Putera melalui tender offer.

Sumber:

https://id.wikipedia.org

Selengkapnya
Mengenal PT Sampoerna
« First Previous page 2 of 2