Festival Seni Nusantara

Kritik Seni dalam Festival Nagari Ngayogyakarta

Dipublikasikan oleh Afridha Nu’ma Khoiriyah pada 28 April 2025


Pendahuluan: Seni Bukan Hanya Estetika, tapi Penanda Sejarah

Di tengah riuh rendah polemik politik mengenai keistimewaan Yogyakarta, lahirlah sebuah peristiwa budaya yang sarat makna: Festival Seni Rupa "Nagari Ngayogyakarta Hadiningrat". Acara ini bukan sekadar pameran estetika, melainkan sebuah deklarasi sikap melalui seni rupa tentang posisi strategis Yogyakarta dalam sejarah bangsa.

Hagung Kuntjara dalam artikelnya membedah festival ini bukan hanya dari aspek artistik, tetapi juga dari dimensi historis, politis, dan sosiokultural, mengajak pembaca melihat bagaimana seni menjadi bahasa perlawanan terhadap lupa kolektif bangsa.

Latar Belakang: "Perang Melawan Lupa" dan Krisis Ingatan Sejarah

Festival ini lahir di tengah memanasnya perdebatan mengenai apakah Sultan otomatis menjadi Gubernur atau harus melalui pemilihan umum. Di balik wacana tersebut, mengendap sindrom nasional: cepat lupa sejarah.

Menurut Hagung, bangsa ini mengalami akselerasi teknologi tanpa pondasi budaya yang kuat. Akibatnya, banyak nilai sejarah yang tercerabut. Festival ini hadir sebagai "Titi Pranoto Mongso"—penanda waktu—agar bangsa tak kehilangan akarnya.

Metodologi Kritik: Identifikasi, Analisis, Interpretasi, dan Evaluasi

Hagung Kuntjara menggunakan empat tahap fundamental dalam menyusun kritik seni:

  • Identifikasi: Mengamati langsung pameran, mencatat gagasan, suasana, hingga dialog dengan seniman.

  • Analisis: Meneliti alur pameran, partisipasi seniman, teknik karya, dan interaksi pengunjung.

  • Interpretasi: Membaca festival sebagai "penanda" sejarah 1 Abad HB IX untuk Republik Indonesia.

  • Evaluasi: Menarik pelajaran tentang pentingnya ingatan sejarah lewat seni.

Metodologi ini membuat kritik Hagung terasa hidup, reflektif, dan kaya sudut pandang.

Isi dan Sorotan Festival: Ketika Seni Berbicara Lebih Lantang daripada Orasi

🎨 Ragam Karya, Ragam Ekspresi

  • Hampir 100 perupa berpartisipasi.

  • Media beragam: batik, wayang, lukisan, patung, instalasi, video art.

  • Gaya bebas dari konvensional, absurd, hingga modern-konseptual.

Karya-karya tersebut bukan hanya memperindah ruang pamer, tetapi membentuk narasi kolektif tentang cinta, penghormatan, dan keprihatinan terhadap Yogyakarta dan HB IX.

🎨 Studi Kasus Karya Penting

  1. "Kawulo Gonjang-Ganjing di Plengkung Gading" - Joko Pekik
    Melukiskan ribuan rakyat berduka mengiringi jenazah HB IX, mengabadikan rasa kehilangan dalam warna-warna tanah yang membisu.

  2. "Air Susu untuk Republik" - Ardian Kresna
    Bayi menyusu ke simbol kerajaan: metafora tentang Republik yang berutang besar pada Yogyakarta.

  3. "Republik of Lost & Found" - Eko Nugroho
    Kritik satir tentang bangsa yang lupa asal-usulnya, divisualkan melalui sosok manusia berhelm celeng.

  4. "Tetangga yang Berisik" - Sigit Raharjo
    Menggambarkan ketidakpedulian rakyat Jogja terhadap riuh politik nasional lewat visual satire.

  5. "Jogya International" - Dunadi
    Sosok bertopeng Spiderman di atas bola dunia: Jogja dengan kekuatan lokalnya menembus dunia.

Interpretasi Kritis: Festival Sebagai Kritik Sosial Kultural

Melalui beragam ekspresi, festival ini menyuarakan satu pesan:
👉 "Yogyakarta adalah tiang kokoh Republik ini, dan keistimewaannya bukan hadiah, melainkan hasil pengorbanan sejarah."

Karya-karya yang ditampilkan tidak hanya bersifat kontemplatif, tetapi bersifat politis dan edukatif, mengajak publik merenungkan kembali arti nasionalisme, sejarah, dan identitas lokal di era globalisasi.

Nilai Tambah: Relevansi dan Perbandingan

📌 Relevansi Hari Ini

Di tengah euforia Pilkada, otonomi daerah, dan debat tentang otonomi khusus, festival ini masih sangat relevan. Ia mengingatkan kita bahwa kebijakan harus berpijak pada penghormatan terhadap sejarah dan budaya lokal, bukan sekadar agenda politik pragmatis.

📌 Perbandingan dengan Peristiwa Serupa

Festival ini dapat dibandingkan dengan Documenta di Kassel (Jerman) yang juga menggunakan seni sebagai kritik sosial-politik. Namun, yang unik dari "Nagari Ngayogyakarta Hadiningrat" adalah muatan lokal yang sangat kuat, tanpa kehilangan daya universalnya.

Kritik terhadap Penyelenggaraan

❗ Kelemahan:

  • Tidak semua karya memiliki kekuatan kritis yang seimbang; ada beberapa karya yang cenderung hanya "ikut meramaikan."

  • Kurangnya dokumentasi digital profesional membuat festival ini kurang terekspos di ranah internasional.

💡 Saran:

  • Perlu ada arsip digitalisasi karya dan publikasi internasional untuk memperkuat diplomasi budaya Indonesia.

Kesimpulan: Seni Sebagai Pilar Memori Kolektif

Festival Seni Rupa "Nagari Ngayogyakarta Hadiningrat" berhasil membuktikan bahwa seni bisa menjadi alat diplomasi budaya, kritik sosial, dan sarana pendidikan sejarah. Kritik Hagung Kuntjara membawa pembaca untuk tidak sekadar mengapresiasi estetika, melainkan menyelami denyut sejarah, politik, dan jati diri bangsa melalui karya seni.

Seni, dalam konteks ini, bukan hanya cermin masyarakat—tetapi juga penanda, pengingat, sekaligus peringatan.

Sumber

Kuntjara, H. (2013). Kritik Seni dengan Kasus Festival Seni Rupa "Nagari Ngayogyakarta Hadiningrat". HUMANIORA Vol.4 No.2 Oktober 2013: 755–762.
Link dokumen sumber: (file internal)

Selengkapnya
Kritik Seni dalam Festival Nagari Ngayogyakarta
page 1 of 1